Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN GIZI BURUK

A. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut
umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI,
2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada
anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
B. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa
jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari
6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Pada
tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15
%. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis
(marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit
infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta
penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan
pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7%
campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%
pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi
jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi
NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target
pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk
NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui
target nasional 2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa
prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut
data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk di
NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77. 1
C. Klasifikasi Gizi Buruk
1

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmuskwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
1. Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti
mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic
atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat
mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan
sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah
makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah : 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan ototototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
2. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),
bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,
walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi.
Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik
dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak
cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu,
seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria
2

(nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti
pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat
dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan
yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi
kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda
dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol
di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi,
apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak
cukup, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan
terhadap infeksi, dan udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari
manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,
kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat
terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi
awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam
organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,
laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil
pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini
sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi
tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat
terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering
jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut
(hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual,
muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi
kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental,
terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat
menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
3

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas
3. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein
dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda
kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan
biokimiawi terlihat pula.4
D. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut
Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah
gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan
kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor
sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu,
pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini dijelaskan
beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita, yaitu:
1. Tingkat Pendapatan Keluarga.

Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan


untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya.

Pengaruh peningkatan

penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang


mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir universal.
4

Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam
hal memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang
higienis.
2. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada tiga kenyataan yaitu:

Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal.

Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun

menu

yang

baik untuk dikonsumsi. Semakin

banyak

pengetahuan

gizi

seseorang,maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang


diperolehnya untuk dikonsumsi.
3. Tingkatan Pendidikan Ibu.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya
tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap
perawatan kesehatan, kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta
kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu
pendidikan berpengaruh pula pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan,
pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk
menghadapi berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya,
memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari
ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup
serta tumbuh lebih baik.
4. Akses Pelayanan Kesehatan.
Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical
service)dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum
akses kesehatan masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang
tujuan utamanya

adalah pelayanan

preventif (pencegahan) dan promotif


5

(peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Meskipun demikian, tidak


berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif
(pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan
danstatus gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui,
bayi dan anak-anak kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian.
E. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat
dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh
karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)

Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor :


BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan paha tulang iga terlihat jelas
dengan atau tanpa adanya edema.7
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :

Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan
diare (encer/darah/lender)

Kapan terakhir berkemih

Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin


6

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami


dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan
Untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan setelah
kedaruratan tertangani)

Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit

Riwayat pemberian ASI

Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

Hilangnya nafsu makan

Kontak dengan campak atau tuberculosis paru

Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

Batuk kronik

Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

Berat badan lahir

Riwayat tumbuh kembang

Riwayat imunisasi

Apakah ditimbang setiap bulan

Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)

Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7

Pemeriksaan Fisik

Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB

Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk

Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran
menurun

Demam (suhu aksilar 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)

Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung

Sangat pucat

Pembesaran hati dan ikterus


7

F.

Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites

Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)

Ulkus pada mulut

Fokus infeksi : THT, paru, kulit

Lesi kulit pada kwashiorkor

Tampilan tinja

Tanda dan gejala infeksi HIV

Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk

Berikut

disertakan

alur

pemeriksaan

anak

dengan

gizi

buruk

Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas
perawatan.

Bagan 2. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk di Rumah Sakit/Puskesmas Perawatan

Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk tanpa tada
bahaya atau tanda penting tertentu.

10

Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga
ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini
dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien
kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama
adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2%
tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada,
berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan
untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,
kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3
jam.
11

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau
100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A
diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal
400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi
(Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai
KKP berat.
Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

12

13

G. Dampak Gizi Buruk


Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi
buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien
lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem
pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah
sekali terkena infeksi.
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena
berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang
dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani
dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan
mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap
pertumbuhan maupun perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat
kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak
pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan
derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap
pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,
penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan
perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Identitas
14

Pengakajian mengenaz identitas anak, usia, pendidikan, serta identitas orang


tua pendidikan dan pekerjaan serta pengakajain mengenai antropometri yaitu tinggi
badan/ panjang badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepela, lingkar dada,
lingkar perut.
2. Alasan Masuk
Tanyakan kepada klien / keluarga yang datang :
Apa yang menyebabkan klien / keluarga datang ke rumah sakit ini apakah pasien
mengalami Demam, diare dengan karakteristik tertentu dalam < 3 hari mual muntah
batuk pilek, apakah pasien tidak mendapatkan nutrisi makanan dan menagalami
penurunan BB
3. Focus pengkajian marasmus menurut Mi Ja Kim adalah :
Rasio berat badan
Kehilangan BB dengan asupan makan yang adekuat.
BB 20% atau lebih dibawah BB ideal untuk tinggi badan& bentuk tubuh yang
normal.
4. Tinggi aktivitas
Berkurangnya aktivitas tampak pada kebanyakan kasus gizi buruk. Anak tampak lesu
dan tidak bergairah& pada anak yang lebih tua terjadi penurunan produktivitas kerja.
5. Masukan atau intake nutrisi
Melaporkan asupan makan yang tidak adekuat kurang dari jumlah harian yang
dianjurkan, melaporkan / terlihat kurang makan, melaporkan perubahan dalam hal
merasakan makanan.
6. Pengetahuan tentang nutrisi
Memperlihatkan/terobservasi kurangnya pengetahuan dalam perilaku peningkatan
kesehatan.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Perubahan rambut
Warna rambut lebih muda (coklat, kemerah-merahan dan lurus, panjang, halus,
mudah lepas

bila ditarik).

b. Warna kulit lebih muda


Seluruh tubuh / lebih sering pada muka, mungkin menampakan warna lebih muda
daripada warna kulit anak sehat.
c. Tinja encer
Disebabkan gangguan penyerapan makan, terutama gula.
d. Adanya ruam bercak bersepih
15

Noda warna gelap pada kulit, bila terkelupas meninggalkan warna kulit yang
sangat muda / bahkan ulkus di bawahnya.
e. Gangguan perkembangan & pertunbuhan
f. Hilangnya lemak di otot & bawah kulit karena makanan kurang mengandung
kalori dan protein.
g. Adanya perut yang membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas.
h. Adanya anemia yang berat
Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi, asam folat dan
berbagai vitamin.
i. Mulut dan gigi adanya tanda luka di sudut-sudut mulut.
j. Kaji adanya anoreksia, mual muntah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan
tidak adekuat (nafsu makan berkurang).
Defisit volume cairan berhubungan dengan diare.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status metabolik.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi.

2.
3.
4.
5.

C. Rencana perawatan
NO No

Tujuan

&

dx
I

hasil
Tujuan

1.

kriteria Intervensi

Rasional

Pasien 1. Dapatkan riwayat diet


1. Untuk mengetahui asupan
2. Dorong
orangtua
atau
mendapat
nutrisi
kalorI
anggota keluarga lain untuk
yang adekuat
2. untuk meningkatkan selera
Kriteria
hasil
:
menyuapi anak atau ada
makan
meningkatkan
disaat makan
3. Sajikan makansedikit tapi
masukan oral
3. Meningkatkan
asupan
sering
4. Sajikan porsi kecil makanan
nutrisi
dan berikan setiap porsi 4. proses penyembuhan pada
secara terpisah

2.

II

Tujuan

anak

Tidak 1. Monitor tanda-tanda vital dan 1. Mengetahui

keadaan
16

terjadi dehidrasi
Kriteria
hasil
Mukosa

tanda-tanda dehidrasi
umum
: 2. Monitor jumlah dan tipe 2. Mengetahui
bibir

lembab, tidak terjadi


peningkatan

suhu,

intake

dan

masukan cairan
output cairan dalam tubuh
3. Ukur haluaran urine dengan 3. Mengetahui output cairan
akurat

dalam tubuh

turgor kulit baik.


3.

III

Tujuan

Tidak 1. Monitor

terjadi

gangguan

kemerahan, 1. Mengetahui

pucat,ekskoriasi
2. Dorong mandi 2xsehari dan

keadaan

umum

integritas kulit
2. Untuk
meningkatkan
Kriteria hasil :
gunakan lotion setelah mandi
personal hygiene
kulit tidak kering, 3. Massage kulit
3. Mempelancar peredaran
tidak
bersisik,
darah
elastisitas normal
4.

IV

Tujuan : Pasien tidak 1. Mencuci tangan sebelum dan 1. Meningkatkan kebersihan


menunjukkan tandatanda infeksi
Kriteria hasil : suhu
tubuh normal 36,6
C-37,7

C,lekosit

dalam batas normal

sesudah melakukan tindakan


personal
2. Pastikan semua alat yang 2. Mencegah
kontak

dengan

bersih/steril
3. Instruksikan
perawatan
keluarga

pasien
pekerja

kesehatan
dalam

terjadinya

infeksi
3. Meningkatkan
pengetahuan pada keluarga

dan

prosedur

control infeksi

17

5.

Tujuan

: 1. Tentukan

pengetahuan pasien
dan

keluarga

pengetahuan orangtua pasien


2. Mengkaji kebutuhan diet dan
jawab

bertambah
Kriteria
hasil

Menyatakan
kesadaran

dan

perubahan

pola

hidup,mengidentifik

tingkat 1. agar

pertanyaan

keluarga

mengetahui

kesehatan

lebih lanjut
sesuai 2. program kesehatan

indikasi
3. proses
3. Dorong konsumsi makanan
penyakit
tinggi serat dan masukan
cairan adekuat
4. Berikan informasi

pasien

pemulihan

tertulis 4. meningkatkan

untuk orangtua pasien

asi hubungan tanda

pengetahuan orang tua

dan gejala.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1
3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
18

4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta : Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.
7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : Tim
Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian Diare pada Anak
Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dalam Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).
9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status Gizi Anak
Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Surakarta.
10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta : Pengurus
Pusat IDAI.
11. Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan Perkembangan
Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam Sari Pediatri Volume 10.
No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Udayana.
12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak. Semarang :
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.
13. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

19

Anda mungkin juga menyukai