Anda di halaman 1dari 7

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat terpapar
suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen memicu terjadinya
aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan. IgE merupakan antibodi yang sering
terlihat pada reaksi melawan parasit, terutama untuk melawan cacing parasit yang umumnya
mewabah pada negara yang masih terbelakang. Namun demikian, pada negara maju, respon
IgE terhadap antigen sangat menonjol dan alergi menjadi sebab timbulnya penyakit. Hampir
separuh masyarakat Amerika bagian utara dan juga masyarakat Eropa mempunyai alergi
terhadap satu atau lebih antigen yang berasal dari lingkungan, misalnya serbuk bunga.
Meskipun bahan alergen itu tidak sampai mengakibatkan kematian namun sangat
mengganggu produktivitas karena menyebabkan penderitanya tidak dapat bekerja maupun
sekolah. Oleh karena alergi menjadi masalah kesehatan yang cukup penting sehingga
patofisiologi yang ditimbulkan oleh IgE lebih diketahui daripada peran IgE pada fisiologi
yang normal. Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen VonPirquet yang artinya adalah
perubahan kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup
luas karena mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang
lebih sempit yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang
tidak berbahaya. Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi
hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya
karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Oleh Coobs dan
Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas.
1.2 Rumusan Masalah
a.
b.
c.
d.
e.

Apa yang dimaksud dengan penyakit hipersensitivitas?


Etiologi dan patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
Jelaskan klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
Apa tanda dan gejala penyakit hipersentivitas?
Bagaimana penanganan atau terapi hipersensitivitas?

1.Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih
dalam mengenai kerusakan sistem imun padagangguan immunologi khususnya penyakit
hipersensitivitas serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Immunologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dikenal ada 4 (empat) tipe yaitu :
a. reaksi hipersensitivitas tipe-i (reaksi alergi)
b. reaksi hipersensitivitas tipe-ii (reaksi sitotoksik)
c. reaksi hipersensitivitas tipe-iii (imun kompleks)
d. reaksi hipersensitivitas tipe-iv (delayed type hypersensitivity)
2.1.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh terhadap
bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-hari. Makanan atau obat yang semula
tidak menimbulkan reaksi, pada suatu saat dapat menimbulkan gatal-gatal, eksim, atau
sesak nafas. Pada vaksinasi cacar pertama, reaksi imun maksimal terjadi setelah 10 15
hari sementara pada vaksinasi cacar kedua, reaksi terjadi setelah 5 7 hari. Titer widal
pada vaksinasi tifus kedua meningkat lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan dengan
vaksinasi pertama. Dalam contoh reaksi vaksinasi cacar, tubuh dirugikan sedangkan pada
peningkatan titer widal tubuh mendapat keuntungan. Dewasa ini reaksi yang merugikan
disebut hipersensitif dan yang menguntungkan disebut imunitas. Sel mast dan basofil
memiliki peran yang sama dalam mekanisme reaksi alergi. Reaksi dimulai dengan
adanya ikatan antara antigen dengan Ig E pada permukaan sel mast. Selanjutnya sel mast
akan mengalami aktivasi dan melepaskan mediator kimia yang berkaitan dengan
manifestasi klinik alergi.
2.1.2 Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa immunoglobulin G (IgG)
dan immunoglobulin (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibody sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel epidermal).
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berkaitan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkaan isis sel darah merah).
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
2.1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Hipeprsensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang kehadiran,
bakteri, virus lingkungan atau antigen (spora, fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang

persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa
asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terusmenerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat mempengaruhi beberapa organ, seperti kuli, ginjal, paruparu, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Pathogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya
artitis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihin antibody disebut juga
reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam
waktu yang lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibody.
Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergilus clavatus
dan A. fumigates yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt)
dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

1.Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV


Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap
berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis
dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini
juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan
infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit
autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus
bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe
lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai
olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi
sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang
merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik
menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah
injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan
mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72
jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan
mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel
helper-T CD4+ perivaskular (seperti manset) dan makrofag dalam jumlah yang lebih
sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan
pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi
fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang
pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih
khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat
menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang
berat.

2. Reaksi Hipersentivitas Tipe V


Hipersensitivitas tipe V adalah jenis terakhir dari hipersensitivitas di mana
antibodi yang diproduksi dengan merangsang target sel tertentu. Tipe V ini adalah jenis
tambahan yang digunakan sebagai perbedaan dari reaksi 2 Jenis. Reaksi-reaksi ini terjadi
ketika antibodi IgG diarahkan antigen permukaan sel memiliki efek merangsang pada target
mereka. Contoh paling jelas adalah Graves penyakit yang disebabkan oleh antibodi yang
merangsang thyroid-stimulating hormon reseptor, menyebabkan overactivity dari kelenjar
tiroid. Selain itu terdapat juga contoh penyakit lain seperti Myasthenia Gravis, Tiroiditis
Hashimoto, lupus eritematosus sistemik.
Penggunaan Tipe 5 ini jarang terjadi. Kondisi ini lebih sering diklasifikasikan sebagai
Tipe 2, meskipun kadang-kadang mereka secara khusus dipisahkan menjadi subkategori
sendiri tipe 2.

Produksi IgE
IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang mengalami
reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami inflamasi. IgE
berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian besar menempati
jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast dengan reseptornya yang disebut FcRI.
Ikatan antigen dengan IgE menyebabkan terjadinya penggabungan silang antar reseptor yang
berakibat tersekresinya mediator kimia dari sel mast. Mekanisme ini
menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I. Basofil dan eosinofil
yang teraktivasi juga mengekspresikan FcR sehingga dua macam sel

tersebut juga dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya


reaksi hipersensitif tipe I. Agar IgE dapat terbentuk memerlukan
antigen serta rute presentasi tertentu. TH2 yang merupakan subset
CD4 dapat membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari bentuk IgM
menjadi IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah
sintesis antibodi dari IgM menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit
dari IgM menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus dapat
mempengaruhi TH2 untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi
IgE disebut alergen.
Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh
protein alergen kecil yang terhirup dan memicu produksi IgE pada
individu yang peka. Kita sering menghirup berbagai macam protein
namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE. Ada beberapa kriteria
sehingga protein mempunyai peran sebagai alergen inhalasi karena
dapat mengaktifkan TH2 dalam memicu perkembangan IgE. Pertama
protein tersebut harus menimbulkan terjadinya respon pada sel T.
Kedua, protein tersebut harus bersifat sebagai enzim aktif, dan
kebanyakan alergen bersifat proteasis. Ketiga, protein itu pada kadar
yang rendah dapat mempengaruhi subset sel T populasi CD4
membentuk IL-4. Keempat, protein tersebut mempunyai berat
molekul yang rendah sehingga dapat berdifusi masuk ke mukus.
Kelima, protein alergen harus mudah larut. Keenam protein tersebut
harus tetap stabil dan tidak rusak pada kondisi kering. Ketujuh,
alergen tersebut harus mempunyai peptida yang dapat berikatan
dengan MHC kelas II dari host yang mengawali aktivasi sel T.
Hampir semua alergen berupa partikel kecil, dan berupa protein
mudah terlarut contohnya berupa butir serbuk sari dan kotoran
tungau. Apabila terjadi kontak antara partikel alergen dengan mukosa
pada saluran pernafasan partikel tersebut segera larut dan berdifusi
masuk mukosa. Alergen umumnya dipresentasikan pada sistem imun
dalam dosis yang sangat rendah. Artemisia artemisiifolia merupakan
jenis tumbuhan yang mempunyai potensi menimbulkan alergi dari
serbuk sarinya. Diperkirakan setiap tahun seseorang menerima
paparan melalui inhalasi tidak melebihi 1g. Namun demikian,
paparan tersebut dapat menimbulkan iritasi dan bahkan mengancam
hidup seseorang yang peka. Reaksi itu diperantarai oleh antibodi IgE
yang sekresinya dipacu oleh TH2. Sangat penting untuk diketahui
bahwa hanya orang-orang tertentu yang merespon substansi tersebut
dan membuat antibodi IgE melawan substansi itu, namun tidak bagi
yang lain.
Nampaknya kehadiran antigen transmukosa pada level yang
sangat rendah merupakan cara yang sangat efisien menginduksi
respon IgE yang dipacu oleh TH2. Produksi antibodi IgE
memerlukan bantuan TH2 yang mensekresi IL-4 dan IL-13. Peran
TH2 dapat dihambat oleh TH1 yang memproduksi interferon-
(IFN- ). Presentasi antigen pada dosis yang sangat rendah akan
memungkinkan terjadinya aktivasi TH2 dan tidak menyebabkan
aktivasi TH1, dan banyak alergen yang masuk sistem respirasi dengan
dosis yang sangat rendah. APC yang dominan pada sistem respirasi
adalah sel dendritik. Sel dendritik memproses antigen yang berupa

protein secara efisien dan sel tersebut mengalami aktivasi. Selanjutnya


sel dendritik akan melakukan migrasi menuju lymph node dan berdiferensiasi menjadi APC
yang mengekspresikan molekul
kostimulator dan membantu deferensiasi TH2.
Banyak bukti yang memperkuat bahwa IgE mempunyai peran
sebagai pertahanan terhadap parasit. Banyak parasit yang menginvasi
host dengan mensekresi enzim proteolitik yang dapat merusak
jaringan konektif yang memungkinkan parasit menerobos jaringan
pada host. Enzim ini diduga mempunyai peranan mengaktivasi TH2.
Alergen utama pada feses Dermatophagoides pteronyssimus yang
menimbulkan alergi pada 20% populasi di Amerika Utara berupa
sistein protease yang mirip dengan enzim papain yang disebut Der
p1. Der p1 merupakan suatu enzim yang dapat memecah okludin.
Okludin adalah protein intraseluler komponen tight junction.
Dengan rusaknya intergrasi tight junction di antara sel-sel epitel
memungkinkan Der p1 menjangkau beberapa sel yang terletak
pada subepitel misalnya APC, sel mast, dan eosinofil. Molekul
alergen semakin kuat pengaruhnya karena daya proteolitik yang
dimilikinya terhadap reseptor tertentu yang terletak pada sel B dan
sel T. Der p1 mempunyai kemampuan memecah komponen IL2R, CD25, dari sel T. Hilangnya reseptor IL-2 dapat mengganggu
survival dan aktivitas sel TH1 dan menyebabkan terjadinya
aktivitas sel TH2. Protease papain dari buah pepaya yang
digunakan untuk melunakkan daging dapat menyebabkan alergi
bagi seseorang kontak dengan enzim tersebut. Alergi yang sama
terdapat pada kasus asma yang disebabkan oleh inhalasi enzim
subtilisin dari bakteri. Injeksi enzim papain aktif pada mencit
menstimuli sintesis IgE. Kimopapain merupakan enzim yang mirip
papain, digunakan pada medis untuk merusak intervertebrata discs
pada pasien yang menderita linu punggung. Penggunaan
kimopapain ini dapat menyebabkan anafilaksis, merupakan respon
sistemik terhadap suatu alergen. Tidak semua alergen berupa
enzim, bahkan ada alergen yang merupakan penghambat enzim,
contohnya alergen yang berasal dari cacing filaria.
Pasien penderita penyakit Netherton mempunyai
kecenderungan peningkatan IgE oleh pengaruh enzim protease.
Pasien ini mempunyai karakteristik dengan keadaan IgE tinggi dan
menderita berbagai macam alergi. Penderita penyakit Netherton
awalnya diakibatkan oleh terhambatnya sintesis enzim SPINK5.
SPINK5 merupakan enzim yang mempunyai peranan menghambat
sintesis protease yang diproduksi oleh bakteri. Di antara bakteri yang
memproduksi protease adalah Staphylococcus aureus. SPINK5
diperkirakan mempunyai arti penting sebagai agen terapi pada
beberapa alergi. Pengetahuan mengenai protein yang terlibat pada
reaksi alergi ini sangat penting pada masalah kesehatan, bahkan
mempunyai arti yang penting pula pada masalah ekonomi. Pernah
dilakukan suatu penelitian terhadap gen yang mengode protein pada
kacang Brazil. Gen tersebut diketahui menyandi protein yang banyak
mengandung metionin dan sistein. Gen tersebut selanjutnya
ditransfer ke tanaman kedelai dengan rekayasa genetika untuk tujuan

makanan ternak. Rekayasa ini dilakukan untuk memperkaya


kandungan nutrisi kedelai yang sebelumnya kekurangan asam amino
yang kaya sulfur. Selanjutnya diketahui ternyata protein albumin 2S
merupakan alergen utama yang terdapat pada kacang Brazil. Injeksi
ekstrak kedelai hasil rekayasa genetika pada epidermis akan
menimbulkan respon alergi pada seseorang yang alergi terhadap
kacang Brazil. Oleh karena tidak ada jaminan kedelai hasil rekayasa ini
aman bagi kesehatan manusia sehingga saat ini dilarang
penggunaannya.

Anda mungkin juga menyukai