LATAR BELAKANG
1.Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih
dalam mengenai kerusakan sistem imun padagangguan immunologi khususnya penyakit
hipersensitivitas serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Immunologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dikenal ada 4 (empat) tipe yaitu :
a. reaksi hipersensitivitas tipe-i (reaksi alergi)
b. reaksi hipersensitivitas tipe-ii (reaksi sitotoksik)
c. reaksi hipersensitivitas tipe-iii (imun kompleks)
d. reaksi hipersensitivitas tipe-iv (delayed type hypersensitivity)
2.1.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh terhadap
bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-hari. Makanan atau obat yang semula
tidak menimbulkan reaksi, pada suatu saat dapat menimbulkan gatal-gatal, eksim, atau
sesak nafas. Pada vaksinasi cacar pertama, reaksi imun maksimal terjadi setelah 10 15
hari sementara pada vaksinasi cacar kedua, reaksi terjadi setelah 5 7 hari. Titer widal
pada vaksinasi tifus kedua meningkat lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan dengan
vaksinasi pertama. Dalam contoh reaksi vaksinasi cacar, tubuh dirugikan sedangkan pada
peningkatan titer widal tubuh mendapat keuntungan. Dewasa ini reaksi yang merugikan
disebut hipersensitif dan yang menguntungkan disebut imunitas. Sel mast dan basofil
memiliki peran yang sama dalam mekanisme reaksi alergi. Reaksi dimulai dengan
adanya ikatan antara antigen dengan Ig E pada permukaan sel mast. Selanjutnya sel mast
akan mengalami aktivasi dan melepaskan mediator kimia yang berkaitan dengan
manifestasi klinik alergi.
2.1.2 Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa immunoglobulin G (IgG)
dan immunoglobulin (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibody sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel epidermal).
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berkaitan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkaan isis sel darah merah).
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
2.1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Hipeprsensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang kehadiran,
bakteri, virus lingkungan atau antigen (spora, fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa
asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terusmenerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat mempengaruhi beberapa organ, seperti kuli, ginjal, paruparu, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Pathogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya
artitis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihin antibody disebut juga
reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam
waktu yang lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibody.
Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergilus clavatus
dan A. fumigates yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt)
dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
Produksi IgE
IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang mengalami
reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami inflamasi. IgE
berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian besar menempati
jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast dengan reseptornya yang disebut FcRI.
Ikatan antigen dengan IgE menyebabkan terjadinya penggabungan silang antar reseptor yang
berakibat tersekresinya mediator kimia dari sel mast. Mekanisme ini
menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I. Basofil dan eosinofil
yang teraktivasi juga mengekspresikan FcR sehingga dua macam sel