Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL DAN KONSEP


KONSEKUENSI EKONOMI

Walaupun tidak sepenuhnya full fair value, PSAK 50 dan PSAK 55 revisi 2006
memiliki kecenderungan kearah arah akuntansi nilai wajar (fair value accounting).
Dibandingkan standar sebelumnya, perlakuan akuntansi dengan menggunakan nilai
wajar jelas berbeda dibandingkan dengan menggunakan biaya historis (historical
cost). Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang instrumen keuangan menurut PSAK 50
dan PSAK 55 revisi 2006 dan apa yang membedakannya dengan standar sebelumnya,
bab ini akan menjelaskan perbedaan antara akuntansi nilai wajar dengan biaya historis
dengan menggunakan kerangka konseptual (conceptual framework), termasuk trade
off antara relevan dan keandalan (realiable) yang merupakan argumen dasar dari
penggunaan kedua metode pengukuran tersebut. Akan dibahas juga dalam bab ini
konsep konsekuensi ekonomi (economic consequence) dalam pemilihan kebijakan
akuntansi.

II.1. Kerangka Konseptual (Conceptual Framework)


Operasional perusahaan yang semakin kompleks, termasuk juga perbankan,
menimbulkan permasalahan dalam menentukan perlakuan akuntansi yang tepat.
Permasalahan-permasalahan tersebut tidak bisa secara cepat diselesaikan oleh
standars setters dengan mengeluarkan standar akuntansi baru ataupun revisi standar
yang sudah ada. Hal ini disebabkan adanya time lag yang cukup panjang dimulai dari
indentifikasi masalah, perumusan, sampai dengan penerapan standar akuntansi baru

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

yang dilakukan standard setters. Padahal perusahaan dan pelaku bisnis lainnya
membutuhkan pemecahan secara cepat atas permasalahan mereka.
Untuk memudahkan pemecahan masalah dalam perlakuan akuntansi tanpa harus
menunggu adanya standar baru, dibutuhkan suatu pemahaman yang sama akan
konsep dasar dari akuntansi, yang disebut sebagai kerangka konseptual (conceptual
framework). Kerangka konseptual ini dibutuhkan untuk menciptakan koherensi dan
konsistensi dari standar-standar yang telah dikeluarkan dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan baru dalam praktik perlakuan akuntansi secara lebih
cepat (Kieso, 2004). Selain itu kerangka konseptual juga dimaksudkan untuk
mengurangi jumlah standar dan intepretasi dari standar baru yang harus dikeluarkan,
karena setiap permasalahan akuntansi tidak harus diselesaikan dengan dikeluarkan
standar yang sifatnya spesifik ataupun revisi standar yang telah ada.
Pemilihan atau perubahan kebijakan akuntansi yang dilakukan pihak manajemen
perusahaan, harus tetap mengacu pada komitmen untuk menghasilkan laporan
keuangan yang dapat diandalkan pengguna dalam pembuatan keputusan, melalui
informasi keuangan yang transparan berkualitas. Kerangka konseptual IASB
menjelaskan informasi keuangan yang berkualitas dalam bentuk karakteristik
kualitatif (qualitative characteristic), yakni dapat dimengerti (understandability),
dapat diperbandingkan (comparability), relevan (relevance) dan keandalan (reliable).
Dua hal yang disebut terakhir akhir-akhir ini menjadi perdebatan akhir-akhir ini
dalam mengartikan informasi yang berguna bagi pengguna.
Informasi dalam laporan keuangan dapat dikatakan relevan jika dapat
mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna, melalui (a) membantu mengevaluasi
peristiwa di masa lalu, saat ini, atau masa depan dari sebuah entitas; dan (b)
menegaskan, atau mengkoreksi hasil evaluasi dimasa masa lalu (IAI, 1994, paragraf

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

26). Sedangkan keandalan (reliable) sendiri dapat diartikan bahwa informasi dalam
laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material dan
dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faitfull
representation) dari yang seharusnya disajikan atau secara wajar diharapkan dapat
disajikan (IAI, 1994, paragraph 31).
Kerangka konseptual IASB sendiri mengakui adanya trade off antara relevan
dan keandalan, sehingga membutuhkan judgement dalam menentukan mana kebijakan
akuntansi yang lebih sesuai. Dalam banyak kasus, standard setter (IASB) menengahi
perdebatan antara relevan dan keandalan dengan memberikan penjelasan pada standar
yang ditetapkan mengenai penyeimbangan (balancing) relevan dan keandalan ataupun
mengutamakan yang satu dibandingkan dengan lainnya.
Tapi apakah konsep relevan dan keandalan masih berlaku saat ini saat ini? Ball
(2005) menyebutkan bahwa konsep relevan dan keandalan tidaklah berguna lagi. Ia
mencontohkan bahwa standar yang dikeluarkan oleh IASB and FASB akhir-akhir ini
berat sebelah, karena lebih sering mengutamakan relevan dibandingkan keandalan,
IAS 39 misalnya. Ia juga mengutip pernyataan salah seorang staf FASB, L Todd
Johnson dalam FASB Report:
The Board has required greater use of fair value measurements in financial
statements because it perceives that information as more relevant to investors
and creditors than historical cost information. Such measures better reflect the
present financial state of reporting entities and better facilitate assessing their
past performance and future prospects. In that regard, the Board does not accept
the view that reliability should outweigh relevance for financial statement
measures.

II.2. Pengakuan (Recognition) and Pengukuran (Measurement)


Selain konsep relevan dan keandalan, konsep pengakuan dan pengukuran juga
menjadi kritikal dalam penentuan ataupun revisi standar baru. Kerangka konseptual

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

10

IASB mendefinsikan pengakuan (recognition) sebagai (IAI, 1994, paragraf 82 dan


83):
proses pembentukan suatu pos yang memenuhi definisi unsur (elemen) dalam
neraca dan laporan rugi, serta dua kriteria pengakuan (recognition), yakni
kemungkinan manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos tersebut dan
mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal.

Sebelum item dalam suatu laporan keuangan diklasifikasikan kedalam sebuah


kelompok yang lebih spesifik pada laporan keuangan, sebuah item harus memenuhi
kriteria pengakuan yang ada apakah sebagai aset, kewajiban, penghasilan (revenue)
ataupun beban (expenses).
Sedangkan pengukuran (measurement) didefinisikan sebagai (IAI, 1994,
paragraf 86):
Proses penetapan jumlah uang untuk mengakui dan memasukkan setiap unsur laporan
keuangan dalam neraca dan lapran laba rugi. Proses ini menyangkut pemilihan dasar
pengukuran tertentu.

SFAC No 5 paragraph 66-70 menyebutkan ada 5 macam pengukuran yang


digunakan saat ini (1) historical cost; (2) current cost, (3) current market value; (4)
net realizable value; (5) present value of future cash flow. Sedangkan IASB hanya
mengakui 4 macam pengkuran (IAI, 1994, paragraf 100), yakni:
1. Biaya historis (historical cost), aktiva dicatat sebesar pengeluaran kas atau
setara kas yang dibayar, atau sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration)
yang diberikan untuk memperoleh aktiva tersebut. Kewajiban dicatat sebesar
jumlah yang diterima sebagai penukar dari kewajiban (obligation), atau dalam
keadaan tertentu (misalnya, pajak penghasilan), dalam jumlah kas (atau setara
kas) yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban dalam
pelaksanaan usaha yang normal
2. Biaya kini (current cost); aktiva dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang
seharusnya dibayar bila aktiva yang sama atau setara aktiva diperoleh
sekarang. Kewajiban dinilai dalam jumlah kas (atau setara kas) yang tidak
didiskontokan (undiscounted) yang mungkin akan diperlukan untuk
menyelesaikan kewajiban (obligation) sekarang.
3. Nilai realisasi/penyelesaian (reliazable/settelement value), aktiva dinyatakan
dalam jumlah kas (atau setara kas) yang dapat diperoleh sekarang dengan
menjual aktiva dalam pelepasan normal. (orderly disposal). Kewajiban
dinyatakan sebesar nilai penyelesaian, yaitu jumlah kas (atau setara kas) yang
tidak didiskontokan yang diharapkan akan dibayar untuk memenuhi kewajiban
4. Nilai sekarang (present value), aktiva dinyatakan sebesar arus kas masuk
bersih dimasa depan yang didiskontokan ke nilai sekarang dari pos yang

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

11

diharapkan dapat memberikan hasil dalam pelaksanaan usaha normal.


Kewajiban dinyatakan sebagai arus kas keluar bersih dimasa depan yang
didiskontokan ke nilai sekarang.

II.3. Biaya Historis dan Nilai Wajar


II.3.1. Akuntansi Biaya Historis
GAAP mendefinisikan biaya historis sebagai teknik pengukuran dimana aset
dan kewajiban dihitung dan dilaporkan berdasarkan acquisition price-nya. Termasuk
seluruh biaya yang dikeluarkan sampai aset berada di lokasi dan siap digunakan
dalam proses produksi (Hendriksen, 2001, hlm. 491). Pengukuran dengan
menggunakan biaya historis dikatakan lebih handal (reliable), karena nilai yang
digunakan berasal dari transaksi yang sudah terealisasi (reliazed), membatasi
judgment dari pihak manajemen (Hendriksen, 2001, hlm. 491), dan menghasilkan
earnings number yang bukan berasal dari teknik valuasi (Shortridge, 2006).
Pengukuran dengan menggunakan biaya historis dapat menjadi benchmark yang stabil
dan konsisten untuk mengukur historical trend (Kieso, 2004).
Kelemahan utama dari pengukuran dengan biaya historis ialah bahwa nilai aset
perusahaan memiliki kemungkinan untuk berubah, baik mengalami kenaikan atau
penurunan nilai. Sesuai dengan definisinya, suatu item dikelompokkan sebagai aset
jika memiliki future economic benefit, baik future cash flow maupun future service.
Jika future economic benefit suatu item berubah, seyogyanya nilai dari aset tersebut
berubah. Sedangkan menurut biaya historis, nilai aset tersebut tetap. Hal ini
mengakibatkan nilai aset yang tercatat pada neraca tidak bisa memberikan masukan
(feedback) bagi manajemen mengenai kinerja perusahaan. Ini mengakibatkan
pengukuran dengan biaya historis menjadi tidak relevan

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

12

II.3.2. Akuntansi Nilai Wajar (fair value accounting)


Definisi nilai wajar tidak sama dengan definisi nilai sekarang (current value)
pada kerangka konseptual IASB. PSAK 50 (revisi 2006) mendefiniskan nilai wajar
(fair value) sebagai
nilai dimana suatu aset dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan antara
pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arms
length transaction).

Tidak seperti pengukuran dengan biaya historis yang nilainya tetap walaupun future
economic benefit-nya berubah, pengukuran dengan menggunakan nilai wajar, nilainya
dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang dialami perusahaan.
Konsep

fair

value

bukanlah

hal

yang

benar-benar

baru,

walaupun

penggunaannya dalam laporan keuangan masih terbatas. Contoh dari penggunaan


nilai wajar pada laporan keuangan yang telah dikenal sebelumnya ialah: (1)
pengukuran instrumen keuangan dengan tujuan untuk diperdagangkan (trading), atau
lebih dikenal dengan mark-to-market, (2) pada penggabungan usaha (business
combination) untuk menentukan nilai dari intangible asset/goodwill, dan (3) pada
penurunan nilai (impairment) long-lived asset untuk menentukan apakah long lived
asset tersebut memenuhi kriteria untuk diturunkan nilainya yang bersifat permanen.
Kelemahan dari standar sebelumnya yang mengatur tentang penggunaan nilai
wajar ialah tidak ada standar hirarki yang tegas tentang bagaimana cara menentukan
nilai wajar sehingga sulit menentukan konsistensi dan komparabilitasnya. Standar
yang dikeluarkan ataupun disempurnakan akhir-akhir ini, IAS 39 (yang kemudian
diadopsi menjadi PSAK 50 (revisi 2006)) dan SFAS 15710, menjelaskan ada tiga
hirarki penentuan nilai wajar: pertama ialah kuotasi di pasar aktif. Jika aset/kewajiban
yang dinilai tidak mempunyai kuotasi dipasar aktif, maka penilaiannya mengacu pada
hirarki kedua, yakni penggunaan kuotasi di pasar aktif dari aset dan kewajiban yang
10

SFAS 157 Fair Value Measurement

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

13

memiliki karakteristik serupa. Jika tidak memungkinkan, menggunakan hirarki ketiga,


yakni dengan menggunakan teknik penilaian, yakni discounted cash flow, option
pricing model
Yang dimaksud dengan pasar aktif menurut Pedoman Aplikasi (PA) 86 PSAK
55 revisi 2006 ialah ialah harga kuotasi yang tersedia sewaktu-waktu (readily), dan
dapat diperoleh secara rutin (regularly) baik berasal dari bursa, pedagang efek
(dealer), perantara efek (broker). Kuotasi di pasar aktif yang paling baik ialah harga
penawaran (bid price) dan harga permintaan (asking price). Jika harga penawaran dan
permintaan tidak bisa didapatkan maka menggunakan kuotasi dipasar aktif transaksi
terakhir instrumen dengan karakteristik yang sama.
Dengan menggunakan kerangka konseptual, maka penggunaan nilai wajar akan
menimbulkan beberapa implikasi, yakni:
1. Penggunaan nilai wajar akan menyebabkan adanya volatilitas nilai aset atau
kewajiban yang diukur dengan menggunakan nilai wajar. Hal ini akan
mempengaruhi pemahaman (understandability) pengguna laporan keuangan
dalam mengartikan volatilitas yang terjadi (Shortridge, 2006).
2. Perdebatan antara relevan dan keandalan dari informasi keuangan. Penggunaan
nilai wajar dianggap lebih relevan karena dapat mengevaluasi peristiwa yang telah
terjadi untuk kemudian memberikan masukan kepada manajemen. Bandingkan
pengukuran dengan menggunakan biaya historis, dimana tidak ada evaluasi dan
masukan, karena nilai aset tidak berubah. Akan tetapi penggunaan nilai wajar
memerlukan estimasi-estimasi, sehingga memungkinkan celah bagi manajemen
untuk melakukan manajemen laba (earning management). Hal ini akan
berpengaruh pada keandalan laporan keuangan.

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

14

3. Penggunaan nilai wajar akan menyulitkan penilaian komparabilitas untuk aset


atau kewajiban yang tidak memiliki kuotasi di pasar aktif atau pasarnya tidak
likuid. Karena setiap entitas akan menggunakan asumsi yang berbeda dalam
menentukan nilai wajar menggunakan teknik penilaian (valuation)
4. penggunaan nilai wajar akan mengharuskan setiap perusahaan untuk memiliki
sistem yang baik karena mengharuskan penghitungan nilai wajar setiap hari. Hal
ini dapat menyebabkan biaya (cost) yang dikeluarkan agar perusahaan dapat memaintenance pencatatan dan pelaporan nilai wajar akan lebih besar dibandingkan
manfaat (benefit) yang diterima (Shortridge, 2006).

II.4. Konsep Konsekuensi Ekonomi (economic consequence)


Konsekuensi Ekonomi adalah konsep yang menegaskan bahwa pilihan
kebijakan akuntansi akan mempengaruhi nilai ekonomi perusahaan (Scott, 1997), dan
berdampak pada perilaku bisnis, pemerintah, dan kreditur dalam membuat keputusan
(Jeff, 1978). Secara singkat dapat dikatakan accounting policy matters. Konsep ini
tidak hanya terbatas pada pilihan atas kebijakan akuntansi yang dilakukan oleh pihak
manajemen kepada sebuah perusahaan, tetapi juga dampak dari penerapan sebuah
standar akuntansi baru yang dikeluarkan oleh standard setters.
Kebijakan akuntansi yang dimaksud juga tidak terbatas hanya kepada kebijakan
akuntansi yang berpengaruh kepada future cash flow dan dividen perusahaan (Scott,
1997). Konsep konsekuensi ekonomi ini menyanggah pendapat Beaver (1973) yang
menyatakan bahwa kebijakan akuntansi yang diadopsi perusahaan tidak berpengaruh
pada harga saham perusahaan, selama kebijakan tersebut tidak berpengaruh pada cash
flow dan divididen perusahaan, dan fully disclosed. Accounting policy doesnt matters.
Sebagai contoh perubahan kebijakan metode depresiasi atau amortisasi, menurut

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

15

Beaver, perubahan metode tersebut memang akan mempengaruhi pelaporan laba


bersih, akan tetapi tidak memiliki pengaruh langsung terhadap future cash flow dan
dividen.
Pada efficient securities market, harga saham perusahaan tidak hanya ditentukan
oleh informasi keuangan (akuntansi) perusahaan, tetapi juga informasi yang berasal
dari analis keuangan, media, public hearing/presentation yang dilakukan oleh
perusahaan, serta informasi-informasi lainnya yang relevan (Scott, 1997). Dengan
mengkaitkan teori efficient securities market dan argument Beaver (1973), maka
dapat disimpulkan investor tidak akan terpaku pada informasi yang tidak berpengaruh
kepada future cash flow dan dividen perusahaan, termasuk juga pilihan kebijakan
akuntansi yang memenuhi kriteria tersebut. Jika memang accounting policy doesnt
matters, mengapa dalam setiap penyusunan standar bisnis, asosiasi industri, dan
pemerintah sangat berkepentingan dan mencoba mempengaruhi penyusunan standar
akuntansi yang dilakukan oleh standard setters? (Jeff, 1978).
Accounting policy matters baik yang mempengaruhi atau tidak terhadap cash
flow dan dividen sebenarnya bisa dijelaskan melalui agency theory. Agency
didefinisikan sebagai persetujuan antara dua pihak yakni manajemen (agen) dan
shareholder (principal), dimana manajemen diberi kepercayaan untuk mengelola
perusahaan demi menghasilkan kemakmuran bagi shareholders, oleh karena
shareholders tidak memiliki keahlian, pengalaman dan waktu yang cukup dalam
mengelola perusahaan (Schroeder, 2001). Dari persetujuan tersebut, manajemen akan
mendapatkan kompensasi sesuai dengan standar kinerja/target yang ditetapkan oleh
shareholders.
Hubungan keagenan ini akan menjadi masalah ketika manajemen (agen)
menjalankan perusahaan hanya untuk memaksimal benefit/wealth yang diterimanya

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

16

dibanding benefit/wealth yang diterima oleh shareholders. Untuk mengatasi hal


tersebut maka shareholders melakukan suatu monitoring untuk memastikan bahwa
manajemen bertindak sesuai dengan seharusnya (Schroeder, 2001). Salah satu bentuk
monitoring ialah monitoring terhadap pemilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan
oleh pihak manajemen. Hal ini dikarenakan manajemen dapat memilih kebijakan
akuntansi yang akan meningkatkan accounting earning, dimana kompenasi yang
mereka terima ditentukan melalui accounting earning tersebut (Schroeder, 2001).
Pada konteks ini pilihan kebijakan akuntansi akan menjadi matters bagi shareholders
sebagai alat monitoring, tanpa melihat apakah kebijakan akuntansi tersebut
mempengaruhi atau tidak terhadap cash flow dan dividen.

Implikasi penerapan ..., Jagatsyah Aminullah, FE UI, 2007

17

Anda mungkin juga menyukai