Hijrah ke Qom
Tak lama setelah kepindahan Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi
Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini
pun akhirnya turut hijrah ke Hauzah Ilmiah Qom dan dengan segera ia
menyelesaikan pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari
bagian akhir kitab Al-Muthawwal di bidang ilmu ma'ani dan bayan (sastra Arab)
di bawah bimbingan Agha Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani. Sebagian besar
pelajaran tingkat menengah hauzahnya ia tamatkan di bawah asuhan Ayatollah
Sayid Ali Yatsribi Kashani, dan juga Ayatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari.
Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih beliau pelajari dari Ayatollah Al-Udzma
Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, pendiri Hauzah Ilmiah Qom.
Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam Khomeini dan para
ulama besar Hauzah Ilmiah Qom lainnya, Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi akhirnya
dikukuhkan sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Di masa itu, Imam Khomeini
terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid di
bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahun-tahun
menjadi pengajar di Hauzah, Imam Khomeini mengajar di madrasah Faiziyah,
masjid A'zam, masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid
Salmasi dan beberapa tempat lainnya.
Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini
mengajar ilmu-ilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di
masjid Syeikh A'zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama
kalinya mengungkapkan dasar-dasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian
pelajaran wilayatul-faqihnya.
pertahanan. Sementara
merampok".
para
penjahat
bayaran
hendak
menyerang
dan
Pada tanggal 3 Esfand tahun 1299 HS (22 Februari 1921), Reza Khan
menggelar aksi kudeta. Berdasarkan data-data dan bukti sejarah yang valid,
kudeta tersebut didalangi dan diorganisir oleh Inggris. Meski kudeta Reza Khan
berhasil mengakhiri era kekuasaan dinasti Qajar, dan mampu meminimalisir
gerak para penguasa lokal yang zalim, namun kudeta tersebut memunculkan
diktator baru. Diktator baru ini lantas mendirikan dinasti Pahlevi sebagai
penguasa tunggal Iran.
Pasca meletusnya Revolusi Konstitusional dan tekanan bertubi-tubi pemerintah
dan konspirasi Inggris di satu sisi, serta perselisihan kaum elite dan intelektual
kebarat-baratan di sisi lain, mendorong kalangan ulama yang ditekan untuk
bangkit berjuang membela Islam. Atas permintaan para ulama Qom, Ayatollah
Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi dari Arak hijrah ke Qom. Tak lama
setelah itu, Imam Khomeini pun dengan segera menyelesaikan pelajaran tingkat
dasar dan menengah Hauzahnya di Khomein dan Arak, lantas menyusul ke Qom.
Beliau juga turut aktif dalam memperkuat posisi Hauzah Ilmiah Qom yang baru
saja berdiri. Dalam waktu yang relatif singkat, Imam Khomeini pun lantas dikenal
sebagai ulama terkemuka di bidang irfan, filsafat, fiqih, dan ushul fiqih. Dengan
wafatnya Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi, pada tanggal 10 Bahman 1315 (30
Januari 1937), Hauzah Ilmiah Qom yang baru saja didirikan terancam bubar.
Namun demikian, para ulama Hauzah pun segera mencari solusi. Selama
delapan tahun, Hauzah Ilmiah Qom diasuh oleh Ayatollah Al-Udzma Sayid
Mohammad Hojjat, Ayatollah Al-Udzma Sadruddin Sadr, dan Ayatollah Al-Udzma
Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Selang masa itu, khususnya setelah
tumbangnya Reza Khan, situasi untuk memunculkan marjaiyat yang besar mulai
terbuka.
Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi, merupakan figur ulama besar, yang layak
untuk menggantikan posisi Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi. Karena itu
para murid Ayatollah Hairi Yazdi termasuk Imam Khomeini segera mengusulkan
untuk memilih Ayatollah Boroujerdi sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom.
Dengan penuh kesungguhan, Imam Khomeini mengundang Ayatollah Boroujerdi
untuk berhijrah ke Qom dan menerima tanggung jawab besar sebagai pengasuh
Hauzah Ilmiah di kota ini.
Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini selalu memantau situasi
politik Iran dan kondisi Hauzah. Pelbagai informasi dan data beliau peroleh lewat
telaah tak kenal lelah buku-buku sejarah kontemporer, beragam majalah, dan
koran. Imam Khomeini juga kerap pergi ke Tehran dan berhubungan dengan para
tokoh politik Islam, seperti Ayatollah Modarres. Imam Khomeini melihat bahwa
satu-satunya harapan untuk melepaskan bangsa Iran dari jeratan penguasa
diktotar dan konspirasi asing, pasca kegagalan Revolusi Konstitusional dan
berkuasanya Reza Khan adalah kebangkitan para ulama Hauzah. Tentu saja
sebelum kebangkitan itu dilancarkan, upaya menjamin keberadaan Hauzah
Ilmiah dan hubungan spritual masyarakat dengan ulama harus terealisasikan
terlebih dahulu.
Kebangkitan 15 Khordad
Bulan Muharram datang bersamaan dengan bulan Khordad 1342 HS. Imam
Khomeini memanfaatkan moment tersebut untuk menggerakkan rakyat Iran
bangkit melawan rezim diktator Syah Pahlevi. Pada sore Asyura 13 Khordad 1342
HS (3 Juni 1963) Imam Khomeini menyampaikan pidato bersejarahnya di
madrasah Faiziyah Qom. Pidato ini merupakan titik awal kebangkitan 15
Khordad. Dalam pidatonya ini, Imam secara lantang berbicara kepada Syah dan
menyatakan, "Tuan, saya menasehati Anda. Wahai Syah! Wahai yang terhormat
Syah! Saya menasehati Anda agar meninggalkan seluruh upaya yang membuat
Anda menjadi lalai. Saya tak ingin, suatu hari jika Anda hendak pergi justru
disyukuri oleh semua pihak...Jika engkau didikte dan diperintah membaca,
berpikirlah pada sekelilingmu...Dengarlah nasehat saya. Apa sebenarnya
hubungan Syah dengan Israel, sehingga pihak keamanan melarang untuk tidak
angkat bicara soal Israel...Apakah Syah adalah orang Israel?" Syah
mengeluarkan perintah untuk menumpas gerakan kebangkitan rakyat. Mulanya,
pihak keamanan menangkap banyak sahabat dan pendukung Imam Khomeini
pada malam 14 Khordad (4 Juni 1963). Kemudian, pada pukul 3 pagi, 15 Khordad
1342 HS (5 Juni 1963), ratusan tentara Syah mengepung rumah Imam Khomeini.
Mereka menangkap Imam saat beliau sedang menjalankan shalat malam dan
segera membawanya ke Tehran. Beliau dijebloskan di penjara Bashgah-e
Afsaran. Sore harinya, beliau dipindahkan ke penjara Ghasr. Pagi tanggal 15
Khordad berita penangkapan Imam Khomeini pun menyebar ke kota-kota besar
Iran, seperti Qom, Tehran, Mashhad, Shiraz, dan kota-kota lainnya.
Jenderal Hossein Fardust, orang kepercayaan Syah, dalam kesaksiannya
menuturkan bahwa upaya penumpasan gerak kebangkitan 15 Khordad dilakukan
dengan memanfaatkan pelbagai pengalaman dan bekerjasama dengan para
politisi dan petugas intelijen paling handal AS. Fardust juga mengungkapkan
betapa terguncangnya Syah, kalangan istana, para petinggi militer dan agen
mata-mata Iran (SAVAK) saat terjadinya aksi kebangkitan 15 Khordad. Ia juga
membeberkan bagaimana Syah dan para jenderal arogan mengeluarkan
perintah penumpasan gerakan rakyat.
Setelah 19 hari mendekam di penjara Ghasr, Imam Khomeini dipindahkan ke
sebuah penjara di pangkalan militer Eshrat Abad. Dengan ditangkapnya
pemimpin revolusi, Imam Khomeini, dan dilancarkannya pembantaian massal
pada peristiwa 15 Khordad, tampaknya gerak revolusi sudah berhasil
dipadamkan.
Di penjara, Imam Khomeini dengan beraninya menolak seluruh pertanyaan
yang diajukan dalam proses intrograsi. Beliau dengan lantang menyatakan
bahwa pemerintah dan lembaga yudikatif Iran adalah penguasa yang ilegal dan
tidak sah. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, pada malam 18 Farvardin 1343 HS
(7 April 1964), Imam Khomeini akhirnya dibebaskan dan dipindahkan ke Qom.
Kabar pembebasan Imam pun menyebar luas dan disambut gembira oleh rakyat.
Peringatan tahun pertama hari Kebangkitan 15 Khordad pada tahun 1343 HS
(5 Juni 1964) diperingati dengan dirilisnya statemen bersama Imam Khomeini
dan para marji taqlid lainnya serta pernyataan terpisah Hauzah Ilmiah. Hari itu
dinyatakan sebagai hari duka. Pada tanggal 4 Aban 1343 HS (26 Oktober 1964)
Imam Khomeini mengeluarkan statemen revolusioner dan menyatakan, "Dunia
harus tahu, setiap musibah yang menimpa bangsa Iran dan bangsa-bangsa
muslim lainnya bersumber dari pihak asing, dari AS. Secara umum, bangsabangsa Islam membenci pihak asing, khususnya AS. Amerikalah yang
mendukung rezim zionis Israel dan para sekutunya. Amerikalah yang memberi
Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara
rezim Ba'ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan
diusirnya warga Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden
Irak di masa itu, Imam Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut.
Dalam situasi semacam itu, Imam Khomeini bertekad untuk segera keluar dari
Irak. Namun pemerintah Baghad tanggap dengan dampak dari keluarnya Imam
Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang meninggalkan Irak.
Pada tahun 1354 HS (Juni 1975) bersamaan dengan peringatan hari
Kebangkitan 15 Khordad, madrasah Faiziyah kembali menjadi pentas
kebangkitan para santri revolusioner Iran. Yel-yel Hidup Khomeini dan matilah
dinasti Pahlevi' terus membahana selama dua hari berturut-turut. Padahal,
sebelum peristiwa ini, banyak organisasai-organisasi perjuangan rakyat yang
telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan dan politik yang aktif berjuang ramai
yang dijebloskan ke penjara.
Di sisi lain, Syah terus melanjutkan politik anti-Islamnya. Kebijakan antiIslamnya itu ditandai dengan diubahnya dasar kalender nasional Iran pada bulan
Esfand 1354 HS (Maret 1976). Selama ini, dasar kalender nasional Iran dihitung
sejak dimulainya hijrah Nabi Muhammad saw. Namun dasar tersebut diubah oleh
Syah dengan menetapkan masa dimulainya kekuasaan dinasti Achemanid
sebagai dasar perhitungan kalender nasional Iran. Mereaksi hal itu, Imam
Pertemuan para menteri luar negeri Iran dan Irak di New York memutuskan
untuk mengeluarkan Imam Khomeini dari Irak. Hari kedua bulan Mehr 1357 HS
(24 September 1978) rumah Imam Khomeini di Najaf di kepung oleh tentara
Ba'ath Irak. Tersebarnya berita ini menyulut kemarahan luas umat Islam di Iran,
Irak dan negara-negara lainnya. Pada tanggal 12 Mehr 1357 HS (4 Oktober
1978), Imam Khomeini berencana meninggalkan Najaf menuju perbatasan
Kuwait. Namun pemerintah Kuwait atas desakan rezim Syah menolak Imam
Khomeini memasuki negara ini. Rencana hijrah ke Lebanon dan Syria pun
sempat dibicarakan, namun setelah bermusyawarah dengan putranya, Hojjatul
Islam Haj Sayed Ahmad Khomeini, Imam khomeini akhirnya memutuskan untuk
hijrah ke Paris.
Tanggal 14 Mehr 1357 HS (6 Oktober 1978), Imam Khomeini memasuki Paris.
Dua hari setelahnya, Imam Khomeini tinggal di kediaman salah seorang warga
Iran mukim Perancis di Nofel Loshato, sebuah kota kecil di pinggiran Paris. Para
pejabat Perancis menyampaikan pandangan presiden negaranya kepada Imam
Khomeini yang berisi desakan untuk menjauhi segala bentuk aktifitas politik
selama tinggal di Perancis. Mereaksi desakan tersebut, Imam Khomeini secara
lantang menegaskan bahwa pembatasan semacam itu bertentangan nyata
dengan slogan demokrasi yang selama ini didengung-dengungkan oleh Perancis.
Beliau bahkan menyatakan tidak akan berhenti memperjuangkan cita-citanya
meski harus berpindah-pindah dari satu airport ke airport lainnya. Pada bulan
Dey 1357 HS (Januari 1979), Imam Khomeini membentuk Dewan Revolusi Islam.
Sementara Syah Iran kabur meninggalkan Iran pada tanggal 26 Dey 1357 HS (16
Januari 1979) setelah terbentuknya Dewan Kerajaan dan pengambilan mosi
kepercayaan atas kabinet PM Bakhtiar. Berita kepergian Syah pun menyebar ke
Tehran dan akhirnya ke seluruh pelosok negeri. Berita pun ini disambut dengan
suka cita oleh seluruh rakyat Iran.
Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan
Imam Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran,
kabar tersebut merupakan berita gembira yang paling dinanti-nantikan. Sekitar
14 tahun rakyat Iran merindukan kembalinya Imam Khomeini ke negerinya.
Meski demikian, mereka juga amat mengkhawatirkan keselamatan jiwa
pemimpin revolusi itu. Sebab hingga saat itu, pemerintah buatan Syah masih
bercokol dan Iran berada di bawah kendali militer.
Kendati situasi di Iran masih begitu kritis dan berbahaya, namun Imam
Khomeini bertekad untuk kembali ke tanah airnya. Dalam pesannya kepada
rakyat Iran, beliau menyatakan bahwa dirinya ingin bersama rakyat di saat-saat
yang paling menentukan dan kritis.
PM Bakhtiar bersama pihak militer menutup seluruh bandar udara negara
untuk penerbangan asing. Namun setelah beberapa hari, pemerintah Bakhtiar
tak sanggup bertahan dan terpaksa memenuhi desakan rakyat. Akhirnya pagi 12
Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14 tahun hidup di pengasingan, Imam
Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat Iran menyambut kedatangan
Imam Khomeini secara besar-besaran dan penuh suka cita. Menurut pengakuan
media-media Barat, warga yang menyambut kedatangan Imam Khomeini di
jalan-jalan kota Tehran mencapai sekitar 4 sampai 6 juta orang.
rakyatnya pun telah tiba. Dalam surat wasiatnya beliau menulis, "Dengan hati
yang damai, kalbu yang tenang, jiwa yang bahagia dan diri yang penuh harapan
kepada karunia ilahi, saya mohon pamit kepada Saudari dan Saudara sekalian
menempuh perjalanan menuju tempat keabadian. Saya sangat memerlukan doa
baik kalian. Kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang saya meminta
maaf atas segala kekurangan dan kesalahan saya dalam berkhidmat. Saya juga
berharap bangsa Iran bisa menerima maaf saya atas segala kekurangan dan
kesalahan yang ada. Saya berharap bangsa Iran bisa terus melangkah maju
dengan teguh, tekad, dan kehendak". Yang menakjubkan beberapa tahun
sebelum beliau wafat, Imam Khomeini dalam salah satu puisinya pernah
menuturkan:
Aku menanti datangnya anugrah ilahi di paruh Khordad Tahun demi tahun berlalu
Peristiwa demi peristiwa berganti
Sabtu 13 Khordad 1367 HS, pukul 22.20 adalah saat-saat perpisahan. Sebuah
jantung yang menghidupkan jutaan jantung-jantung lainnya dengan sinaran ilahi
dan spiritualitas, berhenti berdetak. Lewat kamera tersembunyi yang terpasang
di ruang perawatan Imam Khomeini, di sebuah rumah sakit di Tehran, masamasa operasi jantung dan detik-detik kepergian sang pemimpin revolusi,
seluruhnya terekam sebagai dokumen sejarah. Menjelang masa-masa akhir,
kondisi ruhani dan jasmani Imam Khomeini ditayangkan lewat televisi. Tangis
dan duka rakyat Iran pun tak bisa ditahan.
Bibir Imam Khomeini selalu mengisyaratkan rangkaian dzikir yang tak putusputusnya. Di malam terakhir hidupnya, setelah menjalani operasi jantung yang
sangat berat dan melelahkan di usianya yang ke-87 tahun, beliau masih
menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah shalat malam meski kedua
tangannya masih dipenuhi serum dan infus. Beliau masih meluangkan dirinya
untuk membaca kalam suci Al-Quran.
Saat detik-detik akhir mulai menjelang, raut muka Imam Khomeini terlihat
seperti diliputi aura ketenangan dan penuh damai. Lidahnya tak pernah putus
mengucap syahadat atas keesaan Allah dan risalah Rasulullah. Dalam suasana
yang begitu pekat dengan cahaya surgawi inilah, jiwa Imam Khomeini terbang
menuju keharibaan ilahi.
Iran seakan terguncang hebat, saat berita wafatnya Imam Khomeini
diumumkan. Seantero Iran dan seluruh sudut dunia yang mengenal pesan dan
perjuangan Imam Khomeini tenggelam dalam duka. Tak ada ungkapan dan
tulisan yang bisa melukiskan betapa sedihnya rakyat dan umat revolusioner saat
melepas kepergian sang Imam, pemimpin agung yang berhasil melepaskan
negerinya dari jeratan kezaliman penguasa yang diktator dan campur tangan
asing, sosok yang berhasil menghidupkan kembali Islam, mengembalikan
kemuliaan umat Islam, mendirikan Republik Islam, seorang ulama besar yang tak
gentar menghadapi dua kekuatan adidaya dunia, Timur dan Barat.
Selama 10 tahun Imam Khomeini bertahan menghadapi segala bentuk
konspirasi penggulingan, kudeta, kerusuhan, dan pelbagai fitnah. Selama
delapan tahun, beliau tetap teguh memimpin jihad pertahanan suci menghadapi
agresi militer rezim Ba'ath Irak yang didukung oleh dua adidaya dunia, Timur dan
Barat. Rakyat benar-benar kehilangan seorang pemimpin tercinta, ulama besar,
dan pejuang Islam yang sejati.
Mungkin tak ada siapapun yang kuasa untuk menafsirkan perpisahan ini,
ketika mereka mendengar betapa banyak pecinta Imam Khomeini yang
meninggal dunia lantaran tak mampu menahan pedihnya perpisahan, ketika
mereka melihat betapa banyak rakyat yang kehilangan kesadarannya saat
melihat jenazah Imam Khomeini disemayamkan, dan ketika menyaksikan jutaan
pengagum sang pemimpin revolusi tenggelam dalam tangis dan duka yang
mendalam. Namun bagi mereka yang pernah merasakan manisnya cinta, tentu
mudah memahami hakikat semua ini.
Benar, rakyat Iran sungguh jatuh cinta kepada Imam Khomeini. Dalam selarik
puisi yang begitu indah, rakyat Iran menuturkan, "Cinta kepada Khomeini adalah
cinta kepada seluruh kebaikan".
Tanggal 14 Khordad 1368 HS (4 Juni 1989), Dewan Ahli Kepemimpinan Revolusi
Islam menggelar sidang. Setelah dibacakannya wasiat Imam Khomeini oleh
Ayatollah Ali Khamenei yang berlangsung selama dua setengah jam,
pembahasan mengenai calon pengganti Imam Khomeini dan pemimpin tertinggi
revolusi dimulai. Setelah beberapa jam berlalu, presiden Iran saat itu, Ayatollah
Sayid Ali Khamenei terpilih sebagai pemimpin tertinggi revolusi Islam. Beliau
adalah salah satu murid dekat Imam Khomeini, tokoh terkemuka pejuang
revolusi, dan sahabat seperjuangan yang selalu menyertai Imam di segala
keadaaan.
Selama bertahun-tahun, Barat dan anasir bonekanya di dalam negeri Iran
merasa putus asa untuk menumbangkan Imam Khomeini dan mereka selalu
menantikan wafatnya beliau. Namun rakyat Iran begitu waspada dan tanggap.
Dengan segera rakyat mendukung keputusan Dewan Ahli yang memilih Ayatollah
Sayid Ali Khamenei sebagai pemimpin revolusi sehingga konspirasi musuh pun
gagal kembali.
Selama ini musuh mengira dengan wafatnya Imam Khomeini , Revolusi Islam
pun berakhir. Namun nyatanya, kepergian Imam justru menempatkan era
Khomeini ke ranah yang lebih luas dari sebelumnya. Sebab, apakah mungkin
pemikiran luhur, kebaikan, spritualitas, dan hakikat bisa musnah?
Siang dan malam 15 Khordad 1368 HS (5 Juni 1989), jutaan warga Iran yang
datang dari pelbagai kota dan desa datang ke Tehran, memenuhi Mushalla Besar
Tehran, untuk melepas kepergian Imam Khomeini yang terakhir kalinya. Dalam
upacara pemakamam agung itu, tak terlihat suasana upacara resmi kenegaraan
sebagaiman yang biasa dilakukan dalam prosesi pemakaman seorang pemimpin
negara. Yang terlihat hanya suasana kerakyatan dan penuh cinta sebuah bangsa
revolusioner yang berduka dan menangis melepas pemimpinnya menuju ke
haribaan ilahi.
Dari kejauhan terlihat jenazah Imam yang terbaring damai di tengah lautan
pecintanya yang berduka. Setiap orang berbicara kepada Imamnya dengan
agung Revolusi Islam ini. Dengan demikian seperti halnya masa-masa hidup
Imam Khomeini yang menjadi sumber perjuangan dan kebangkitan, saat-saat
kepergian beliau pun seperti itu juga. Semoga abadilah dia. Karena dia adalah
hakikat dan hakikat akan senantiasa abadi dan tak kenal fana.