Sang Pertapa
metaNIETZSCHE
Boneka Sang Pertapa
Oleh Whani Darmawan
Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis seseorang dengan
darahnya. Menulislah dengan darah dan kau akan dapati bahwa darah itu roh.
(Neitzsche, Sabda Zarathustra)
(Sebuah interior rumah yang pengap, kotor, dengan sedikit cahaya masuk di dalamnya. Di
dalam kegelapan itu tinggal seorang lelaki dengan raut muka keruh dan penampilan kucel.
Di dalam ruangan itu terdapat ratusan buku berserakan, mesin ketik, sekelempit tikar
kumuh, kursi roda tua, lengkap dengan kecohan yang terikat di tangan kursi, kapstock
yang digantungi sebuah jubah putih. Tokoh kita yang bernama Bagal ini sedikit-sedikit
mendehem, seolah selalu mengalir dahak di tenggorokannya dan tidak pernah berhasil
dikeluarkan. Dalam kepengapan itulah tokoh sandiwara tunggal ini bergumam dengan
kata-kata tidak jelas, tetapi lama kelamaan menjadi ledakan....)
Bagaaal! Kamu sungguh dunguu! Apa yang kau takutkan dari pertikaian silang-saling itu!?
Bukankah setiap orang punya sesuatu yang hak yang patut mereka bela. Kamu? Apa yang
sudah kamu lakukan dengan itu semua? Berpangku tangan merenungi semua ini sebagai
tragedi bangsa? Apa gunanya kami tunggu jika hanya segitu nyalimu!
Tidak! Masa itu sudah tamat. IA tidak akan bangga dengan tingkah membabi-buta. Kalian
sangka mereka membela apa jika bukan kebodohan yang mereka usung di kepala mereka!?
Gobloog! Seseorang membutuhkan alasan untuk berperang!
Apakah kalian tidak memiliki alasan untuk tidak berperang? IA yang kalian agungkan itu
hanyalah fiksi kedunguan kalian! Haaaii, budaaakk! Beribu-ribu orang kehilangan nyawa
dalam perseturuan dan rasa bela dungu, yang tidak pernah jelas sumbernya, dan berlari dari
tanah kelahiran mereka dengan kepala kosong dan kehilangan keyakinan untuk hidup, apa
yang kalian lakukan, haiii budaaaakk!? Terus memenggal kepala setiap orang, sambil
mengibarkan panji-panji, bendera, sambil menyerukan namanya! Nama siapaaaaaa!? Nama
siapaaaa!
(Tokoh sandiwara tunggal kita ini menjadi gelisah, terengah-engah. Ia seperti seseorang
yang tengah mengalami tekanan. Dalam kepanikan itulah penyakit psikosomatis dan
schizofrenik menguasainya, tubuhnya seperti stroke, dan semakin ia biacra, semakin tidak
bisa berhenti. Beberapa saat kemudian terdengar dentang lonceng seperti lonceng gereja
lelaki ini kian gelisah. Membuka jendela dan melihat suatu arah, menutupnya kembali)
Saya ceritakan semua ini tidak untuk mengupayakan kebebasan saya. Tidak pula sekedar
untuk mengenang. (tiba-tiba semacam mengerang kesakitan) Saya
ingin............menjebol.......... Menjebol............ Sekat dan tembok. Jalan-jalan buntu.
(ia berusaha meredakan gejolak dalam dirinya. Lewat)
2|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
3|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
Ketika proyek itu selesai, mulailah jarum-jarum itu bekerja di dalam perasaan dan jiwa
saya. Ya Tuhan keluh saya waktu itu apa yang Engkau kehendaki dariku. Sekarang aku
lelah dan sedih hati. Dengarlah, sudah kupenuhi lebih dari yang diharapkan dariku. Cobaan
selama tiga tahun rasanya seperti tigapuluh tahun. Dapatkan orang lain kau tuntu sebanyak
itu?! Saya seperti murid silat yang jatuh bangun bertarung dengan para suhu. Gedeblag,
blug, gedeblag, plok, plak. Memar jiwa saya.
(menyanyikan potongan Lagu dalam opera Jesus Christ Super Star episode di taman
Getsemany).
I only want to say/ if there is away/ take this cup away from me for i dont want to taste its
poison/ feel it burn me, I have changed I'm not as sure/ as when we started.1
Akhirnya, saya memutuskan untuk menantang persoalan itu. Jika anda dihadapkan pada
ketakutan dan tidak ada pilihan di luarnya, maka memasuki persoalan itu menjadi pilihan
mutlak untuk melunaskan kegelisahan itu. Itu yang akan saya lakukan. Kesenangan,
kegilaan, kekecewaan, kepuasan, apa yang harus ditakuti? Bukankah itu adalah urusan
resiko yang belum bisa kita lihat ujung tanduknya.
(bersenandung)
Tidakkan kutinggalkan engkau
Sebagai yatim piatu
Aku akan kembali padamu?2
Para Pangon muda yang terkasih dalam roh kudus, kenapakah kita bisa bertemu muka di
rumah Bapa ini? Tidakkah karena tangan-tangannya yang berkerja secara halus itu telah
membingbing anda sekalian. Berbahagialah bagi mereka yang telah diketuk hatinya.
Karena dengan tanpa berhitung Dia mengetuk hatimu.
Itu awal mulanya.
Tetapi seperti antara kemayaan suatu kecantikan yang bertemu dengan obsesi birahi
ataupun eksperimentasi lelaki, semua perempuan berasa sama. Yang membedakan adalah
fantasinya maaf atas perumpamaan ini. Akibatnya, saya semakin kecewa. Apa yang saya
kejar? Siapa yang saya buntuti? Dan denting suara keindahan itu kian lama kian menipis,
seirama dengan sangkalan yang muncul semakin kuat. Mana suara itu? Siapa kamu? Semua
berubah menjadi fantasi-fantasi yang membingungkan. Tiba-tiba saya menyadari bahwa
saya memang sendiri. Lonely with lonelynes. Akulah Thomas Becket yang terbunuh di
Katedral. Dengarlah lonceng berkeleneng; bangun pagi, berdoa, kuliah, lonceng, makan
siang, baca koran, bobo, lonceng, mandi, belajar, lonceng, silentium magnum. Silentim
Magnum. Silentium sakrum. Silentium magnum?
(bersenandung)
Tidakkan kutinggalkan engkau
Sebagai yatim piatu
Aku akan kembali padamu.............
1 Bait lagu Jesus Christ Super Star, episode Di Taman Getsemany, hal 39- Indonesia Inggris, versi Pusat
Musik Liturgi Yogyakarta.
2 Syair lagu Landung Simatupang dalam naskah Emaus, 1994
4|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
Selang beberapa waktu lamanya saya tinggal di tempat yang saya bayangkan penuh
keagungan itu, pertanyaan-pertanyaan itu muncul kembali. Kesombongan dan gede rasa
saya runtuh. Ketika malam jatuh dan matahari tertidur, justru kehidupan sedang dimulai.
Deraan-deraan itu. Sudah saya coba untuk mengelabui, kutinggalkan ia dengan meloncati
pagar, berlari untuk menemukan kehidupan liar dan kembali dengan laku maling saat adzan
menggema. Dan saat matahari merekah, kehidupan pun mati. Siapa memburu siapa, siapa
membohngi siapa? Dalam kegalauan dan keterbelahan itulah, hadir suatu peristiwa yang
sangat sulit saya percayai. Suatu hari dalam perasaan saya datang seorang perempuan.
Jangan anda salah sangka, ia sama sekali tak berjubah putih apalagi bersayap. Biasa saja.
Pada pukul dua dini hari menjelang puncak keraguan itu, perempuan itu muncul tepat
menghadang langkah saya.
Apa yang engkau gelisahkan, Anakku? Sapa perempuan itu.
Semuanya ini hanya bohong! Kata saya.
Tidak ada kebohongan apapun.
Saya tidak pernah mengenal semua ini.
Semuanya tidak bisa seketika.
Apa yang kamu mau?
Kamu. Apa yang kamu mau!
Saya telah menipu. Saya telah menjalani kebohongan.
Bukan. Ini bukan kebohongan.
Bohong!
Bukan!
Apa kau mampu membuktikan soal ini? Bisakah kamu mecelikkan mataku bahwa semua
ini bukan kebohongan?
Perempuan itu membuka jendela kamar saya, saudara-saudara. Ia perlihatkan langit cerah
biru malam,
Lihat, hari cerah itu akan digulung oleh awan hitam. Hujan akan jatuh tepat jam lima pagi
hari.
Dan apa yang terjadi saudara-saudara, saya tidak pernah bisa mengelak dari kebenaran itu.
Hujan itu runtuh dengan cepat dan berhenti dengan cepat, oo, ini menyakitkan. Saya tahu
mungkin saya telah dihadapkan pada kebenaran, tetapi untuk apa jika saya tak pernah
memiliki getaran terhadap kebenaran itu. Kebenaran itu tidak pernah bisa diwakilkan dan
sampai kepada saya.
5|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
Dengan semangat dan berteriak-riak mereka menggiring kawanan domba mereka menuju
jembatan; seolah hanya ada satu jembatan menuju masa depan! Sesungguhnya, gembalagembala itu masih sama dengan kawanan domba yang digiringnya!3
Bukan. Bukan ini yang saya cari. Saya hanya menemukan kemunafikan. Saya sudah tidak
dapat bertahan lebih lama lagi. Maka, menginjak bulan ke tigapuluh enam, sayapun berdiri
di mimbar.
Saudara-saudara yang terkasih. Hari ini saya pamit untuk melanjutkan peziarahan di
tempat lain. Barangkali itulah jalan hidup saya yang sesungguhnya. Ini bukan soal baik dan
buruk, benar ataupun salah. Barangkali bisa saya sebut sebagai kecocokan. Selamat
berpisah, semoga roh yang sama menuntun pilihan langkah hidup kita masing-masing.
Dan ya saudara-saudara, suara tepuk tangan menggemuruh memenuhi kapel. Tepuk tangan
itu menggema. Lihat mulut saya, menggema. Apakah ada pesta. Saya disalami bertubi-tubi,
dipeluk berganti-ganti, pundak saya diguncang-guncang, seolah saya ini adalah seorang
pahlawan yang penuh keberanian pulang dari medan perang. Selamat untuk apa? Selamat
jalan? Selamat pisah? Proficiat? Atau selamat minggat karena satu pesaing telah gugur di
jalan? Inilah panorama absurd anak manusia, di mana persaudaraan, persaingan, kesucian,
cinta kasih, ambisi dan cita-cita berbatas maya. Adalah sesuatu yang menakjubkan
sekaligus tidak berarti apa-apa, ketika mereka dengan riuh menyalami saya. Yah, datang tak
diundang, pulang tak diantar. Saya bukan pecundang yang keluar dengan sembunyisembunyi. Tidak. Saya tidak ingin dipestakan orang se desa, hanya untuk disampiri pesan
kemuliaan sambil dianiaya. Dengan ini saya tidak pernah berhutang. Tidak, saya tidak
pernah berhuntang! Tidak!
Bagaaaall!
Oh, tidak! Tidak! Jangan sekarang! Jangan sekarang! Dengar, dengar! Suara itu, suara itu,
masih juga memanggil. Padahal sudah saya katakan kalau.........................
Bagaaaaalll! Di mana kamu Bagaaal! Kembaliii! Kami sudah lama mencarimuuu!
Tidak. Jangan katakan kalau saya ada di tempat ini. Mengapa dia bisa tahu kalau saya ada
di sini? Saudara, masa pertama sudah lewat. Saya tidak punya kesempatan lagi untuk
menawar apakah ini panggilan atau bukan. Andai tidur adalah jamu mujarab untuk
melupakan. Tetapi bagaimana mungkin, sementara mimpi selalu menghadang di sana.
Aaahh!
(ia kemudian menggeliat, seolah seluruh tubuhnya pegal-pegal tak tertanggungkan.
Berulang-ulang melap keringat di mukanya. Sangat gelisah. Dengan kasar kemudian
memasukkan buku-buku ke dalam kardus dan menutupnya)
Saya sangka saya telah menemukan kebebasan saya. Apa yang kemudian saya temukan di
luaran? Apakah kemudian saya menemukan jawaban? Saya tidak menyangka kian terpojok
oleh peristiwa absurd yang sulit saya cerna. Bayangkan,.......ah bagaimana saya
mengatkannya. Atau begini saja,......... apakah anda pernah bertemu dengan pater sergius,
atau keluh orang tentang persekutuan tentang hal ini dengan negara di abad lampau?
Apakah menurut anda abad itu telah berlalu, atau demi berhala segala berhala!
3 Sabda Zarathustra, Pustaka Pelajar, hal. 167
6|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
kebiadaban itu telah bertengger di ujung peradaban! Jika saya melakukan penyangkalan itu
hanyalah ekspresi kegeraman kerinduan hakiki saya yang tak pernah terpuaskan. Tetapi lain
sama sekali dengan apa yang saya peroleh kini; banyak penyangkalan yang dilakukan
secara bersamaan dengan pemujaan. Dan, ya sialan. Bagaimana saya harus menggambarkan
semua ini.
(terengah-engah menhan geloran dalam perasannya, sampai kemudian sedikit tenang, ia
memulai ceritanya).
Bukan sekedar kata surat kabar. Bukan sekedar berita dari mulut ke mulut. Sayalah pelaku
konyol pertikaian itu. Sebenarnya sejak semula saya menganggap hal itu adalah ketololan.
Tetapi ketika saya tergelubat langsung ke dalam peristiwa, ternyata saya pun telah
berposisi. Entah dari mana dimulainya, situasi itu sudah demikian mencekam. Banyak
orang berkumpul dengan senjata di tangan. Saya masih juga menduga bahwa peristiwa itu
masih jauh di angan. Tolol! Kamu dungu Bagal! Inilah dosa saya yang tak terelakkan.
Dungu! Gerombolan itu datang dari berbagai arah dengan cepat. Dan tidak ada lagi pikiran,
tidak ada lagi gagasan. Semuanya berlari begitu cepat. Membela diri, menyerang, bertahan,
tidak jelas lagi perbedaannya. Kalangkabut para perempuan, pekik perang, darah muncrat,
suara si...............si..........ya sialan, ia masih jabang orok. Ia masih seonggok daging mentah
ketika
parang
memisahkan
kepala
dengan
tubuhnya.
Saya...............
saya........................ooohhh! di manakah malaikat itu berada ketika parang itu menetak nadi
besar jabang bayi itu. Ini.........gilaaaa! Bagaaall! Khotbah macam apalagi yang hendak
kamu dendangkan dengan ketenangan yang maha sempurna itu? Omong kosoong!
Keyakinan segala keyakinan, adalah pisau baja berkilat. Itulah sang apollo dalam hidup
saya!
(Kesakitan. Mengejang. Meminum obatnya. Sedikit tenang).
Apa yang bisa saya percayai kini. Janganlah bicara iman dan keyakinan kepada saya. Saya
telah melewati hal terpait yang tak termeterai oleh kitab-kitab manapun. Sayalah pertapa
dengan seribu tujuman bagi masa depan. Bagi saya, menjadi lebih terhormat si Pembunuh
Tuhan daripada mereka.
Berbahagialah, wahai, engkau pembunuh Tuhan. Sebab dalam dirimu tersimpan kerinduan
dan keberanian untuk memasuki alam yang hakiki. Memasuki petarungan yang sejati.
Penyangkalan dan pengingkaranmu, justru teriak seorang anak yang rindu emak. Musafir di
padang pasir yang muak akan segala bentuk kemayaan dan fatamorgana.
Maka mengapa banyak orang yang menuhankan tatanan sempalan itu, sebagai yang segalagalanya? Dan saudara, di pihak saya sendiri, terlalu banyak ketidakberdayaan telah saya
temukan; misalnya, batu karang itu terlalu lama berpangku tangan. Atau, dalam situasi
dan kondisi setempat ini, di mana mereka hanya bisa tumbuh secara tanggung,
sesungguhnya mereka tak sempat, bisa dan mungkir memiliki tangan. Tetapi apakah tidak
aday bisa ia lakukan. Batu karang itu terlalu lama mendiamkan kemungkaran terjadi,
sebagaimana dulu ia berdosa mendiamkan Fehruer menggulung eropa dan mendirikan
monumen kebiadaban. Batu Karang itu terlalu malu-malu untuk tampil nyata. Dan
mereka tidak tahu bagaimana mencintai Tuhan mereka kecuali dengan memaku seorang
anak manusia di kayu salib!4
7|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
(Tiba-tiba sakit kepalanya kambuh. Ia merasa kesakitan dan segera mencari obatnya di
antara tumpukan buku.)
Selalu seperti ini. Ia tidak pernah membiarkan saya berpikir jernih. Anda tahu, obat ini tidak
hanya berfungsi menyelesaikan sakit kepala saya, tapi juga yang lainnya. Jangan heran
kalau saya bisa minum delapan sampai sepuluh butir dalam sehari.
Saudar-saudara, apakah anda termasuk orang yang percaya pada ikatan permainan sosial?
Siapa mengerjakan apa, siapa bekerjasama dengan siapa, siapa makan siapa; bahwa struktur
dan jabatan sama dengan kemuliaan? (meminum obatnya) Jika hal ini dipertautkan dengan
moral, wah, sungguh saya akan melihat panorama bahwa yang disebut manusia adalah
badut semata. Seorang dramawan dari Norwegia memaparkan kepada saya, bahwa diri
sosial yang sesungguhnya hanya berlaku bagi perdagangan. Dan jika, moral, nurani,
keseteiaan, spiritual, imanensi, dipercakapkan dalam wilayah sosial, tak kurang tak lebih ia
hanya berlaku sebagai ganjal yang harus diinjak bagi seseorang untuk meraih laba
sebanyak-banyaknya. Celakanya, manusia tidak pernah bisa mengelak dari keterjepitan ini.
Buah keraguan duniawi itulah yang menyebabkan manusia menjadi monster munafik.
Nilai-nilai semu dan kata-kata bodoh: inilah monster-monster yang paling mengerikan bagi
banyak orang biasa seperti saya.
Apakah saudara akan membantah pernyataan saya? Silakan, bantah. Sebab bagi saya
bantahan macam apapun tidak akan ada gunanya, ketika makna telah melampaui kata-kata,
dan kata-kata tak kuasa lagi memenjara makna. Saya telah melampaui si Doktor muda dari
Leipzig itu. Saya terlanjur tidak bisa mempercayai lagi pembagian-pembagian wilayah
kemanusiaan. Itu omong kosong besar! Tipu-tipu! Itu ganjalan kaki!
(sakit kepalanya kian menjadi).
Mengapa obat ini tidak juga bekerja. Harusnya memang kutelan satu strip seluruhnya.
(Tokoh sandiwara tunggal ini kembali menelan pil. Langsung beberapa butir)
Apa itu yang dinamakan Kehalusan budi oleh para pemilik Tuhan yang memiliki Tuhan;
Tuhan dimiliki (sambil memperagakan memiting kepala seseorang) yang mensahkan
ayat-ayat suci sebagai alat pembunuhan!? Jungkir balik perang kebijakan kata-kata, tatanan
yang dijungkirbalikkan dalam cangkak otak setiap orang. Itulah musuh utama yang sampai
sekarang melelahkan dan telah menyudutkan saya! Negara, demikian aku menyebutnya,
adalah tempat bagi semua peminum racun, yang baik maupun yang buruk; negara, adalah
tampat semua orang kehilangan dirinya sendiri, yang baik maupun yang buruk; tempat bagi
semua yang perlahan-lahan membunuh dirinya sendiri, - dan menyebutnya, kehidupan!5
Tapi yang mencelakan saya, dan paling saya benci dalam satu episode hidup saya adalah
bahwa saya tidak pernah bisa memiliki kekerasan hati. Celakalah mereka yang hidup tidak
memiliki kekerasan hati. Sebab ia akan terombang-ambing masuk dalam alunan
gelombang.
Bagaaaal! Kamu pengecut bagal! Jangan melarikan diri dari kenyataan! Hadapi semua ini
seperti banyak orang menghadapinya dengan tawaa! Rupanya kamu perlu ebrguru kepada
para politikus, supaya pandanganmu tidak menjadi kaku....
5 Sabda Zarathustra, Pustaka Pelajar, hal. 104.
8|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
9|M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
10 | M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
11 | M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
(dan seperti dalang sedang menyabetkan wayang, tokoh kita ini memeragakan peperangan
wayang)
sadaya rep. Tidhem premanem. Mboten wonten ingkang arsa ngugandika. Amung angin.
Amung angin.
(menembangkan tembang mijil)
duh manungsa, siya temen urip
urip isan muspra, datan weruh purna wusarane
ngaku nyembah mring guestiallahe
ning atimu bengis, lir sona ambaung
Apa yang bisa dipertanggungjawabkan dari kebodohan? Apakah IA sedemikian haus darah?
Apakah kalian pikir IA tidak punya rasa malu dengan tingkahmu? Toloooll!
Sahabat, apa yang kau katakan tentang semua ini? Bersabdalah wahai Zarathustra!
Betapa manusia hanya layak di tingkat percaturan pikiran; manusia adalah seutas tambang
yang terentang antara hewan dan adimanusia-sebuah tambang di atas jurang tak berdasar!
aku ajarkan adimanusia padamu; dialah kilat itu! 9
manusia itu sesuatu yang harus dilampaui. Apa yang telah kalian lakukan untuk melampaui
manusia?
Apakah kalian memilih untuk menjadi arus balik dari arus padang agung itu dan lebih suka
kembali menjadi binatang daripada melampaui manusia!? 10
Kamu berkerumun dengan sesamamu dan punya kata-kata indah untuk tindakanmu itu.
Tapi aku katakan kepadamu; cinta sesamamu itu adalah cinta diri yang buruk.
Sang ewngkau lebih tua daripada sang aku. Eang engkau telah disebut suci,tapi sang aku
belum; itulah sebabnya orang-orang berkerumun kepada sesamanya. Apakah perah aku
menasihatkan padamu tentang cinta sesama? Justru aku nasihatkan kepadamu untuk lari
dari sesamamu.
Celakalah mereka yang mencinta tapi tidak memiliki ketinggia yang melampaui belas
kasihan mereka! 11
Saudaraku, bukan cinta sesama yang aku nasihatkan padamu, tapi cinta yang paling jauh! 12
Bagaaall!
dengar, dia mulai lagi memanggilku. Tolong! Jangan tinggalkan aku wahai Zarathustra,
jangantinggalkan aku
12 | M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
Bagaallll! Kamu sungguh dungu! Apa yang kamu takutkan dari pertikaian saling silang
itu!? Bukankah setiap orang punya sesuatu yang hak yang patut mereka bela. Kamu? Apa
yang sudah kamu lakukan dengan semua itu? Barpangku tangan merenungi semua ini
sebagai tragedi bangsa? Apa gunanya kami tunggu jika hanya segitu nyalimu!
Bagaaaalll! Masuk pertarungan Bagaaal!
jangan takut membela yang hak bagal. Jika semua orang takut pada alasan, maka ia tidak
akan melakukan apapun! Diam-dioam, mereka itu pahwlawan bagi kelompoknya, Bagal!
Kamu sudah mencoreng kebesaran warga kita
Kamu sungguh tidak patut menjadi panutan
Tidak! Masa itu sudah tamat. IA tidak akan bangga dengan tingkah membabi buta. Kalia
sangka mereka membela apa jika bukan kebodohan yang mereka usung di kepala mereka!?
Oh, tidak bisa demikian! Tapi bagaimana dengan siraman darah pada kedua tangan saya....
ya, Tuhan, saya....
Goblog! Seseorang memerlukan alasan untuk berperang!
apakah kalian tidak memiliki alasan untuk tidak berperang? IA yang kalian agungkan itu
adalah fiksi kedunguan kalian. Sungguh tega kalian mendesak-desakan IA di kepala sempit
kalian!
Kami tidak mau pergi sebelum melihat kau menjadi!
aku tidak apapun seperti yang kalian harapkan! Aku tidak menjadi seperti itu! Aku menjadi
seperti diriku sendiri. Aku menjadi seperti ini! Aku menjadi....
(sakit kepalanya kambuh kembali lagi hebat, sementara obat yang dicarinya tak
ditemukan)
Aduh, kepalaku. Datanglah segala kuasa, datanglah segala kuasa. Peristiwakanlah
semuanya kepadaku. Di manakah letak cahaya kebenaran itu! Di mana obat sakit kepalaku?
Di mana obat itu? Di mana obat-obatan? Siapa yang punya obat-obatan, untuk
menyembuhkan semua ini. Untuk menyembuhkan situasi ini? Siapa yang punya obatobatan- apa saja!?
(tokoh sandiwara tunggal ini mengobrak-abrik meja kerjanya mencari obat, tetapi yang
ditemukan adalah sebuah topeng filsuf jerman)
aku mendengar rintih perempuan, menangis dalam kepedihan, menangisi saudara tua yang
terjebak dalam kesunyian. Itulah Zaratustra, itulah saya. Kini, tidak ada jalan pulang.
Perahu telah diluncurkan, daratan telah ditinggalkan, dan tidak adal lagi pulau untuk masa
depan. Tertutuplah jalan pulang. Dengarlah suara suci sang pertapa yang tak pernah diberi
hati. Dengarlah suara kejantanan yang dengan gagah tegak berdiri melawan (mengenakan
topengnya)
13 | M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa
Lizbeth, mengapa engkau menangis? Apakah kita tidak bahagia? Lisbeth, kebahagian
bukan sesuatu yang penting. Orang harus mencari kebenaran meski tidak bahagia 13
Aku mendengar suara tanpa memasang telinga, menerima tanpa bertanya tangan siapa ada
di sebelah sana, bagai api halilintar menerangi pikiran, denga mau tak mau, masuk kedalam
bentuk curahan kata tanpa bersusah payah aku tak punya pilihan lain.... semua terjadi
dalam kelempangan tertinggi begitu saja, seperti berarus di dalam keliaran rasa, hakikat
kemutlakan, kekuasan keilahian.... 14
Semua sudah berlalu, masa lampau, keramahan. Masih saling melihat, berbicara untuk
tiada berdiam diri, masih saling menulis surat untuk saling tidak berdiam diri. Tetapi
kenyataan mata memandang, menandakan; dan berkata kepada saya (yah, saya mendengar
cukup jelas!) sahabat Nieztzche kau kini sama sekali sndiri 15
inilah kesamaan yang saya dapatkan. Mengapa saya tidak berani sendiri. Berdua.
Menemnai kesendiriannya.
Dalam kemelut jiwa demikian, satu-satunya sahabat tersetia di sisiku hanyalah waisata
alam bisu yang terbentang di antara sela awan hujan musim dingin. Chiavari dan hutan
Silvanaplana, rahim terbuka lembah pegunungan Portofino yang liar di tengah panorama
Rapallo. Sengatan diam di mana mana menerawangkan kesepianku mengembara menerjang
arah jarak sejauh 6000 kaki di seberang jarak manusia dan waktu 16
Bagaaalll! Kembali bagall! Marilah kita dirikan pasukan, Bagaaalll!
(bersenandung)
Tidakkah kutinggalkan engkau
Sebagai yatim piatu
Aku akan kembali padamu....
Apa yang kamu lakukan kecuali menyedihi ini semua? Apa!!?
Hai budaaaaak!beribu-ribu orang kehilangan nyawa dalam perseteruan dan rasa bela dungu,
yang tidak pernah jelas sumbernya, dan berlari dari tanah kelahiran mereka dengan kepala
kosong dan kehilangan keyakinan untuk hidup, apa yang kalian lakukan, hai budaaakkk!?
Terus memeggal kepala setiap orang sambil mengibarkan panji-panji, bendera, sambil
menyerukan namanya! Nama siapaaaaaa!? Nama siapaaa!
Apa yang bisa saya katakan tentang semua ini, tubuh saya yang kacau, jiwa saya yang sakit,
kemunafikan dan kebodohan yang parah, sementara saya pun tak lebih dari seorang
pesakitan yang tak mampu bergeming. Apa yang bisa kau lakukan untuk semuanya ini,
wahai, boneka sang pertapa. Omong kosong! Tidak!! Aku tidak mencintai manusia.
Manusia terlalu tak sempurna bagiku. Cinta manusia akan mencelakakan aku
Betapa manusia hanya layak di tingkat percaturan pikiran. Manusia adalah seutas tambang
yang terentang antara hewan dan adimanusia- sebuah tambang di atas jurang tak berdasar
13 A. Sudiardja, Basis November-Desember 200
14 Dami N. Toda, Zarathustra, Surat kepada Rhodde
15 Dami N Toda, Zarathustra
16 Sabda Zarathustra, Pustaka Pelajar, hal. 104.
14 | M o n o l o g B o n e k a
Sang Pertapa