2.
Faktor lain yang mempengaruhi ketenagakerjaan pertanian adalah tingkat pendidikan petani
mayoritas yang masih rendah sehingga kapasitas dan kapabilitas petani sebagai tenaga kerja
yang handal masih sangat jarang sehingga yang terjadi adalah kemajuan dalam pengelolaan
usahatani menjadi belum maksimal,baik segi kualitas mapun kuantitas hasil produksi. Lebih
lanjut yang menyebabkan masalah terkait ketenagakerjaan usahatani adalah berbagai faktor
masalah sebagai berikut ini
Kurangnya Rangsangan.
Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan usahatani kepada penggerak
usahatani (access to services) sebagai akibat kurang diperhatikannya rangsangan bagi
penggerak usahatani tersebut dalam tumbuhnya lembaga-lembaga sosial (social capital).
Kurangnya rangsangan menyebabkan tidak adanya rasa percaya diri (self reliances) pada
petani pelaku usahatani akibat kondisi yang dihadapi. Sebaiknya, untuk menghasilkan output
seperti yang diharap, penggerak usahatani seperti petani berhak mendapat pengetahuan atau
rangsangan yang lebih terhadap tumbuhnya lembaga-lembaga yang merupakan salah satu
jalan usahatani dapat berkembang dan berjalan dengan baik (Fadholi, 1981).
Masalah Transformasi dan Informasi.
Pelayanan publik bagi adaptasi transformasi dan informasi terutama untuk petani pada
kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang
terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan akan terjadinya
pencemaran lingkungan, yaitu terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak
tertampung dan tanpa keahlian dan ketrampilan lain. Dapat juga terjadi ledakan hama
tanaman karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya akibat dari
kurangnya informasi mengenai hal tersebut. Sedangkan untuk mengatasi masalah
transformasi dan informasi harga karena belum adanya kemitraan, maka diusahakan
pemecahannya melalui temu usaha atau kemitraan antara petani dengan pengusaha yang
bergerak di bidang pertanian serta penanganan pemasaran melalui Sub Terminal Agribisnis
(STA). Khusus untuk pembelian gabah petani sesuai harga dasar setiap tahun dicairkan dana
talangan kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) (Fadholi, 1981).
Luasan Usaha yang Tidak Menguntungkan.
Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan dalam
pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak
hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan
kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan
tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang
lebih tinggi. Luas lahan sawah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya alih fungsi
lahan yang besarnya rata-rata 166 Ha per tahun. Pemilikan lahan sawah yang sempit dan
setiap tahunnya yang cendrung mengalami pengurangan maka peningkatan produksi
pertanian dilaksanakan melalui usaha intensifikasi dan diversifikasi pertanian (Fadholi,
1981).
3.
Teknologi
Penerapan tenologi baru dalam bidang pertanian selalu dimaksudkan untuk menaikkan
produktivitas apakah ia produktivitas tanah, modal atau tenaga kerja. Dengan penggunaan
teknologi yang lebih maju dari sebelumnya maka usahatani yang dilakukan dapat lebih
efektif dan efisien, sehingga dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan produktivitas
yang tinggi. Dalam menganalisa peranan teknologi baru dalam pembangunan pertanian
kadang-kadang digunakan dua istilah lain yang sebenarnya berbeda namun dapat dianggap
sama dan sering dipertukarkan karena keduanya menunjukkan pada soal yang sama yaitu
perubahan teknik (technical change) dan inovasi (innovation). Istilah perubahan teknik jelas
menunjukkan unsur perubahan suatu cara baik dalam produksi maupun dalam distribusi
barang-barang dan jasa-jasa yang menjurus ke arah perbaikan dan peningkatan produktivitas.
Inovasi berarti pula suatu penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah
dikenal sebelumnya. Inovasi selalu bersifat baru. Sehingga walapun dengan sumberdaya
tenaga kerja yang minim tidak menjadi masalah dalam pengelolaan usaha tani
Fasilitas Kredit
Kredit adalah modal pertanian yang yang diperoleh dari pinjaman. Pentingnya peranan kredit
disebabkan oleh kenyataan bahwa secara relatif memang modal merupakan faktor produksi
non-alami (buatan manusia) yang persediannya masih sangat terbatas terutama di negaranegara yang sedang berkembang. Lebih-lebih karena kemungkinan yang sangat kecil untuk
memperluas tanah pertanian. Sehingga dengan terakomodasinya petani dalam penyediaan
kredit untuk modal usaha dapat menstimulus petani untuk tetap menjalankan usaha tani dan
tidak beralih ke sektor profesi lainnya yang dianggap lebih menguntungkan.
Kebijakan pemerintah
Dalam hal ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan diharapkan lebih aktif dan profesional
dalam mengatasi yang ada terkait ketenagakerjaan usahatani seperti regulasi
kebijakan
terkait lahan sebagai areal untuk usahatani. Pemerintah dituntut untuk mengatur tentang lahan
yang harus digunakan untuk pertanian dan secara tegas melakukan upaya perlindungan serta
pemantauan agar lokasi yang seharusnya menjadi lahan pertanian tidak dikonversi menjadi
penggunaan lain yang bersifat non-pertanian.
Akomodasi akses informasi
Ketersediaan sarana komunikasi menjadi sangat penting untuk interaksi sosial dan
komunikasi baik antara petani dan petani, petani dan kelembagaan, serta petani dan
masyarakat diantaranya dapat meningkatkan kualitas SDM petani, mengembangkan pola
kemitraan, mengembangkan kelompok tani melalui peningkatan kemampuan dari aspek
budidaya dan aspek agribisnis secaa keseluruhan, memperkuat dan melakukan pembinaan
terhadap seluruh komponen termasuk petani melalui peningkatan fasilitas, kerja sama dengan
swasta, pelayanan kredit dan pelatihan. Jika sarana komunikasi dalam berusahatani kurang
mencukupi maka perkembangan usahatani dan petani yang menjalankan kurang maksimal
karena ruang lingkup interaksi sosialnya sempit.
DAFTAR REFERENSI
Fadholi, Hermanto. 1981. Bahan Bacaan Pengantar Ekonomi Pertanian. Bogor : Pendidikan
Guru Kejuruan Pertanian Fakultas Politeknik Pertanian Bogor
Guruswany T, Murphy GRK, Desai SR, Mathew M, and M Veevaangound. 1992. Energy use
pattern for dryland crops an Mansalapur village. A Case Study. Journal of
Agricultural Engineering (ISAE), 2(3): 164-170
Kasryno, Faisal. 1984. Prospek Pengembangan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta :
Yayaysan Obor Indonesia.
Pimentel D. 2009b. Energy input in the agriculture production. Monthly Review: 61(03)