Anda di halaman 1dari 18

Inkontinensia Urin pada Geriatri

Evita Jodjana
102013201
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
FK UKRIDA 2013
Jalan Arjuna Utara No.6,Jakarta Barat 11510
Evitajodjana19@gmail.com
_____________________________________________________________________
Pendahuluan
Sebagai akibat proses menua terdapat perubahan dalam tatacara pelayanan
kesehatannya, yang penyebabnya dapat diakibatkan oleh berbagai hal, yaitu: (1)
perubahan anatomic/fisiologik akibat proses enua (2) berbagai penyakit atau keadaan
patologik sebagai akibat penuaan dan yang terakhir (3) pengaruh psiko-sosial pada
fungsi organ. Berbagai proses menua ini biasanya terjadi pada pasien usia lanjut dan
kita sebut sebagai sindroma geriatrik.1 Sindroma geriatrik ini merupakan kumpulan
gejala mengenai kesehatan yang sangat sering dikeluhkan oleh para lanjut usia
biasanya

meliputi

gangguan

kognitif,

depresi,

inkontinesia,

ketergantungan

fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka morbiditas yang
signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah. Sindrom ini biasanya
melibatkan beberapa sistem organ.
Inkontinensia uri merupakan salah satu keluhan utama pada penerita lanjut
usia. Seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan merupakan diagnosis,
sehingga perlu dicari penyebabnya. Inkontinesia itu sendiri adalah pengeluaran urin
tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehinga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial. Inkontinensia urin memunyai dampak
medic, psikososial dan ekonomik. Dampak medic dari inkontinensia urin antara lain
dikaitkan dengan ulkus decubitus, infeksi saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal dan
mortalitas yang meningkat. Sedangkan dampak psikososial dari inkontinensia urin
adalah kehilanan percaya diri, depresi, menurunya aktifitas seksual, dan pembatasan
aktifitas sosial. 1
Pada makalah ini akan dibahas inkontinesia pada pasien usia lanjut dengan
post menopause, jenis-jenis inkontinensia, penyebabnya dan faktor risiko untuk
terkena inkontinesia urin serta penatalksanaanya baik secara non-medicamentosa atau
medicamentosa terhadap inkontinesia urin.

Anamnesis
Anamnesis merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan evaluasi
inkontinensia. Perlu ditanyakan seberapa jauh inkontinensia ini mengganggu
kehidupannya dan berapa banyak urine yang dikeluarkan pada saat inkontinensia.
Keluarnya tetesan-tetesan urine yang tidak mampu dicegah dijumpai pada
inkontinensia paradoksa atau inkompetensi uretra, sedangkan keluarnya urine dalam
jumlah yang sedah dijumpai pada overaktivitas detrusor. Demikian pula jumlah yang
cukup banyak dijumpai pada inkontinensia kontinua akibat fistula, ektopik ureter,
ataupun sfingter uretra mengalami kerusakan. Apakah pasien selalu memakai pemper
dan berapa sering harus ganti?Pada malam hari, berapa kali terbangun untuk miksi
atau menganti pemper?
Adanya faktor pencetus seperti batuk, bersim, atau aktivitas lain yang
mendahului inkontinensia merupakan tanda dari inkompetensia uretra dan
sfingternya. Faktor pencetus itupun kadang-kadang dapat memacu terjadinya
kontraksi detrusor dini seperti yang dijumpai pada inkontinensia urge.
Keluhan adanya urgensi dan frekuensi merupakan tanda overaktivitas detrusor.
Pasien dianjurkan untuk mencatat tentang aktivitas miksi, terjadinya inkontensia ,
maupun volume asupan cairan yang diminum setiap harinya di dalam catatan harian
miksi. Adanya diare, konstipasi, dan inkontinensia alvi patut dicurigai kemungkinan
kelainan neurologis.2
Riwayat Penyakit
Adanya riwayat penyakit dahulu harus dicari. Apakah penderita ada diabetes
melitus, kelainan neurologic, hipertensi, infeksi saluran kemih berulang, penyakit
pada rongga pelvis, dan atrofi genitourinaria pada menopause?Semuanya itu perlu
ditanyakan karena merupakan predisposisi terjadinya inkontinensia urin. Perlu juga
ditanyakan apakah penderita pernah melakukan operasi di daerah pelvis atau
abdomen. Diperhatikan juga riwayat melahirkan dari penderita apakah normal atau
tidak. Selain itu perlu juga ditanyakan riwayat penggunaan obat dalam jangka waktu
yang lama atau tidak.2
Pemeriksaan Fisik
Riwayat penyakit dapat mengarahkan dalam melakukan pemeriksaan fisik
yang lebih spesifik, meskipun secara umum harus dilakukan pemeriksaan fisik
2

menyeluruh.

Pemeriksaan

khusus

meliputi

pemeriksaan

abdominal,

daerah

urogenitalis, dan pemeriksaan neurologis.


Pada pemeriksaan abdomen dicari kemungkinan dijumpai adanya distensi
buli-buli yang merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa atau adanya massa di
pinggang dari suatu hidronefrosis. Mungkin diketemukan jaringan parut bekas operasi
pelvis atau abdomen.
Pada region urogenitalia, perhatikan orifisium uretra dan vagina. Dengan
mempergunakan speculum vagna dicari kemungkinan adanya kelainan dinding vagina
anterior maupun posterior. Perhatikan adanya perubahan warna dan penebalan
mukosa vagina yang merupakan tanda vaginitis atrofikans akibat defisiensi estrogen;
hal ini biasanya disertai dengan peningkatan sensitifitas buli-buli dan uretra yang
dapat terlihat pada inkontinensia urge. Perhatikan kemungkinan adanya sistokel,
enterokel, prolapses uteri, atau rektokel yang menyertai suatu SUI. Pemeriksaan
palpasi bimanual untuk mencari adanya massa pada uterus atau adneksa.
Perhatikan posisi orifisium eksternum. Jika didapatkan penonjolan dari
orifisium eksternum mungkin merupakan suatu proses inflamasi atau diverticulum.
Mintalah pasien untuk melakukan maneuver Valsava; jika terdapat penurunan leher
buli-buli uretra dan dijumpai urine yang keluar, kemungkinan pasien menderita suatu
SUI.2
Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan neurologi ditujukan mencari kemungkinan adanya kelainan
neurologik yang berakibat kelainan pada sistem urogenitalia, seperti lesi motor
neuron atau lesi saraf perifer yang merupakan penyebab dari buli buli neurogen.
Diperiksa status mental (kognitif) pasien, mungkin dijumpai tanda demensia. Juga
untuk memeriksa tonus sfingter ani atau reflex bulbokavernosus. Keadaan sfingter ani
yang flaksid menunjukkan adanya kelemahan kontraksi dari otot detrusor.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis, kultur urine dan kalau perlu sitology urine
dipergunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi
atau keganasan pada saluran kemih.

Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan penunjang lain yang membantu dalam menentukan jenis
maupund erajat inkontinensia dan dipergunakan untuk melakukan evaluasi pada
waktu sebelum maupun setelah terapi. Pemeriksaan itu di antaranya adalah
pemeriksaan urodinamik yang terdiri atas pemeriksaan uroflometri, pengukuran profil
tekanan uretra, sistometri, valsava leak point pressure, serta video urodinamika.
Pemeriksaan pencitraan berupa pielografi intravena maupun sistografi miksi
diperlukan untuk mencari kemungkinan adanya fistulah ureterovagina, muara ureter
ektopik, dan penurunan leher buli-buli uretra pada sistografi.2
Working Diagnosis (Diagnosis Utama)
Definisi Inkontinensia Urin
The International Continence Society menyusun definisi inkontinensia urin
sebagai suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter, kencing tidak lancar dan
tidak lampias, secara objektif dapat diperagakan (demonstrable), memberikan dampak
sosial atau higienik bagi penderita.3
Epidemiologi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu
dan juga menganggap tidak ada yang dapat diperbuat untuk menolongnya. Penderita
lanjut usia dengan inkontinensia, tidak selalu dirawat, terpancang pada tempat
tidurnya, atau menderita demensia berat. Banyak diantaranya cukup sehat di Panti
Wredha, dirumahnya sendiri, bahkan cukup aktif di masyarakat dan dalam kondisi
mental yang baik.
Prevalensi dari inkontinensia urin sering menunjukkan macam-macam hasil,
sebagian besar disebabkan tiap penelitian menggunakan populasi berbeda-beda
dengan kriteria yang berbeda juga. Secara keseluruhan, diperkirakan sekitar separuh
dari orang lanjut usia yang dirawat di rumah atau di panti-panti mengalami
inkontinensia. Sedang mereka yang masih aktif, 10-15% dari pria dan 20-35% dari
wanita, mengalami episode-episode inkontinensia.
Penderita lanjut usia dengan inkontinensia, banyak yang dapat diobati,
terutama yang mempunyai mobilitas dan fungsi mental cukup baik. Bila diobati
dengan sempurna, inkontinensia urin selalu dapat diupayakan lebih ringan, sehingga
4

penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat di
samping mengurnagi komplikasi serta biaya perawatannya.1
Etiologi Inkontinensia Urin
Saluran kemih terdiri dari ginjal (tempat terbentuknya urin), kandung kemih (tempat
urin dikumpulkan dan disimpan), dan saluran yang menghubungkan kandung kemih
ke luar (uretra). Banyak sekali penyebab inkontinensia urin, yang mana bisa bersifat
akut atau kronis.4
Inkontinensia urin akut dapat disebabkan oleh:

Sembelit

Infeksi saluran kemih

Konsumsi alkohol berlebih

Minum terlalu banyak atau minum cairan yang dapat mengiritasi kandung kemih,
seperti minuman berkarbonasi, minuman yang mengandung kafein, buah dan jus
jeruk, pemanis buatan, dan termasuk kopi dan teh tanpa kafein.

Mengonsumsi obat, seperti obat untuk flu, alergi, depresi, nyeri, tekanan darah tinggi,
diuretik, dekongestan dan relaksan otot.
Inkontinensia urin kronis dapat terjadi karena:

Otot kandung kemih yang terlalu aktif

Terdapat obstruksi pada saluran kemih, seperti batu saluran kemih

Otot dasar panggul lemah

Stroke

Kanker kandung kemih

Multiple sclerosis (penyakit kronis pada sistem saraf pusat)

Penyakit Parkinson

Tumor otak

Cedera tulang belakang

Interstitial cystitis (radang kronis pada dinding kandung kemih)

Penyakit atau cedera yang mempengaruhi sistem saraf dan otot, termasuk diabetes

Mobilitas yang minim.

Penyebab khusus inkontinensia urin pada perempuan meliputi:

Infeksi atau iritasi pada vagina

Kehamilan dan persalinan

Ketidakseimbangan hormon terkait menopause

Histerektomi (operasi pengangkatan rahim).


Pada lansia, seringkali mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang

dideritanya. Pada kasus ini , wanita tersebut mempunyai riwayat hipertensi yang
terkontrol dengan obat antihipertensi. Akan tetapi penggunaan obat antihipertensi
tertentu dapat menyebabkan inkontinensia urin karena efek yang ditimbulkannya.
Golongan obat yang berkontribusi adalah adrenergic alfa, diuretic, ACE inhibitor, dan
kalsium antagonik. Obat-obat tersebut akan meningkatkan volume urin serta dilatasi
atau relaksasi sfingter uretra secara terus menerus.5
Differential Diagnose (Diagnosis Banding)
1.Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan
dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic
dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan
akronim DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis,
psikologi dan pharmacology, excessive urin production (produksi urin yang
berlebihan), restriksi mobilitas dan stool impaction (impaksi feses).6
2.Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan
berlangsung lama ( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar
yang melatar belakangi Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu : menurunnya
kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan
kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin
kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe (stress, urge, overflow,
mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe Inkontinensia
urin kronik atau persisten :6
a) Inkontinensia urin tipe stress : Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin
secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut,
melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya

antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan
tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obatobatan), maupun dengan operasi.
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan
melalui pemeriksaan
Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya
sedikit penurunan uretra pada leher vesika urinaria
Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher
vesika urinaria 2 cm atau lebih
Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung
kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah
sebelumnya) dengan gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga
defisiensi sfingter intrinsik
b) Inkontinensia urin tipe urge : timbul pada keadaan otot detrusor kandung
kemih yang tidak stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan.
Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidak mampuan menunda berkemih
setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin
kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi ) dan
kencing di malam hari ( nokturia ).
c) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin mengalir keluar
akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya
akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai
pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang
belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak
puas setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih ),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow
ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita.
d) Inkontinensia tipe campuran (Mixed) : merupakan kombinasi dari setiap
jenis inkontinensia urin di atas. Kombinasi yangpaling umum adalah tipe
campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe
fungsional.6
Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan keadaan tumbuh dan berkembang


biaknya kuman dalam saluran kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna.
Secara anatomi, ISK dibagi menjadi infeksi saluran kemih bagian atas dan infeksi
saluran kemih bagian bawah. ISK bagian atas mencakup semua infeksi yang
menyerang ginjal, sedangkan ISK bagian bawah mencakup semua infeksi yang
menyerang uretra, kandung kemih dan prostat.
Dalam keadaan normal saluran kemih tidak mengandung bakteri, virus, atau
mikroorganisme lainnya. Dengan kata lain bahwa diagnosis ISK ditegakkan dengan
membuktikan adanya mikroorganisme di dalam saluran kemih. Pada pasien dengan
simptom ISK, jumlah bakteri dikatakan signifikan jika lebih besar dari 10 5/ml urin.
Infeksi ini juga lebih sering dijumpai pada wanita daripada laki-laki. Hal ini
dikarenakan

Panjang urethra. Wanita mempunyai urethra yang lebih pendek

dibandingkan pria sehingga lebih mudah terkena infeksi saluran kemih Selain itu pada
wanita juga berpengaruh pada faktor hormonal seperti menopause. Wanita pada masa
menopause lebih rentan terkena karena selaput mukosa yang tergantung pada
esterogen yang dapat berfungsi sebagai pelindung.
Escherecia coli merupakan bakteri penyebab ISK pada kehamilan yang
ditemukan pada 80-90% kasus. Bakteri ini dapat berasal dari flora usus yang keluar
sewaktu buang air besar, dan jika bakteri berkembang biak akan menjalar ke saluran
kencing dan naik ke kandung kemih dan ginjal, inilah yang menyebabkan ISK.7
Biasanya proses ISK tanpa gejala dan tanda yang spesifik, namun apabila
kandung kemih telah terinfeksi maka mulai timbul gejala seperti nyeri di bawah perut
dan susah kencing atau keluar hanya sedikit. Keadan yang sangat serius apabila telah
terjadi infeksi pada ginjal (pielonefritis), ini sering dijumpai pada usia kehamilan 20
28 minggu, ditandai dengan gejala demam, lemah, mengigil, nyeri pinggang, mual
dan muntah.7
Menurut gejala, tanda dan kelainan urinnya, dapat disebabkan oleh
pielonefritis akut, pielonefritis sub akut, I.S.K. bagian bawah yaitu sistitis dan atau
uretritis, uretritis Klamidia atau gonokokus, vaginitis, sistitis interstisial dan bukan
infeksi. Pada wanita muda yang seksual aktif, penyebab primer dari ISK adalah
Eschericia coli dan sekunder oleh Stafilokokus saprophyticus. Pada pria berumur
lebih dari 50 tahun yang sering mengalami kateterisasi saluran kemih. Gejala klinis
ISK dapat bervariasi dan tumpang tindih. Berikut adalah contoh gejala yang biasa
terjadi pada ISK.8
8

ISK bagian bawah

Cystitis dan uretritis


- Disuria
- Poliuria / sering berkemih
- Mendesak bila mau berkemih
- Ketidaknyamanan pada supra pubis
- Air kemih keruh, banyak eritrosit

Prostatitis
-

Demam

Menggigil

Sakit pinggang bawah

Rasa nyeri pada perineum

Mendesak bila mau berkemih

Disuria

Prostat nyeri

Keluar lendir dari urethra

ISK bagian atas

Pielonefritis
- Mendadak demam
- Menggigil
- Sakit di daerah costovertebral
- Leukositosis
- Banyak urin eritosit dalam urin

Faktor Risiko Inkontinensia Urin


Faktor resiko yang berperan memicu inkontinensia urin pada wanita adalah : 9

1. Faktor kehamilan dan persalinan


-

Efek kehamilan pada inkontinensia urin tampaknya bukan sekedar proses

mekanik inkontinensia urin pada perempuan hamil dapat terjadi dari awal kehamilan
hingga masa nifas, jadi tidak berhubungan dengan penekanan kandung kemih oleh
uterus.
-

Prevalensi inkontinensia urin meningkat selama kehamilan dan beberapa

minggu setelah persalinan.


-

Tingginya usia, paritas dan berat badan bayi tampaknya berhubungan dengan

inkontinensia urin.
2. Wanita dengan indeks masa tubuh lebih tinggi akan cenderung lebih banyak
mengalami inkontinensia urin. Kelebihan berat badan terutama orang dengan BMI 30
kg/m2 atau lebih berat akan menyebabkan regangan konstan pada kandung kemih dan
otot-otot sekitarnya. Pada gilirannya akan menyebabkan kebocoran urin, misalnya
ketika batuk atau bersin.
3. Menopause cenderung bertindak sebagai kontributor untuk resiko terjadinya
inkontinensia urin.
4. Merokok akan meningkatkan risiko terkena inkontinensia urin karena merokok
dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin pada dinding
kandung kemih.
5. Konsumsi kafein dan alkohol akan meningkatkan risiko inkontinensia urin karena
keduanya bersifat diuretik, yang menyebabkan kandung kemih terisi dengan cepat dan
memicu keinginan untuk sering buang air kecil.
Ada mitos yang menetap yang menganggap bahwa inkontinensia urin pada
wanita merupakan konsekuensi proses penuaan normal. Walaupun proses penuaan
bukanlah penyebab inkontinensia, perubahan fungsi saluran kemih bawah terjadi
seiring dengan proses penuaan dan ini menjadi faktor predisposisi inkontinensia urin.
Usia pada wanita merupakan faktor independen penting yang berhubungan dengan
prevalensi inkontinensia urin tetapi sangat sulit untuk membedakan apakah
inkontinensia urin timbul akibat efek independen dari pertambahan usia itu sendiri
atau akibat menopause.
Pengaruh Menopause terhadap Inkontinensia Urin

10

Pada masa menopause terjadi perubahan endokrin yang diduga berkaitan


dengan proses penuaan yang terjadi pada aksis hipotalamus-hipofisis dan ovarium.
Akibatnya terjadi gangguan interaksi antara hormon yang dihasilkan oleh ketiga organ
tersebut. Terutama terjadi penurunan produksi hormon estrogen oleh ovarium.
Penurunan hormon estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses penuaan pada
ovarium. Akibatnya ovarium menjadi kecil, dindingnya tebal dan tidak dapat lagi
menjawab rangsangan hormon FSH untuk membentuk estradiol.10
Penurunan estradiol mencapai kadar < 108 pg/ml dan peningkatan FSH
mencapai > 25 mIU/ml, yang menandakan awal dari masa menopause. Pada masa
menopause estradiol menurun sampai di bawah 10%.
Bila terjadi penurunan estrogen terutama pada traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen dapat mempertahankan kontinesia
dengan mening- katkan resistensi uretra, meningkatkan ambang sensoris kandung
kemih, dan meningkatkan sensitivitas adreno reseptor pada otot polos uretra.
Uretra dan ureter merupakan jaringan yang tergantung pada estrogen. Penurunan
estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada dinding
uretra dan kandung kemih yang menyebabkan berbagai keluhan. Uretra mempunyai
empat lapisan fungsional yang sensitif terhadap estrogen, terdiri dari epitel, vaskuler,
jaringan penyokong dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan uretra.
Keluhan yang ditimbulkan berupa inkontinensia urin, peningkatan frekuensi
berkemih, nokturia, dan kesulitan berkemih.
Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan vaskuler yang
terletak di antara mukosa dan jaringan otot. Bagian distal uretra akan menjadi kaku
dan tidak elastis sehingga sukar untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh
maka tetesan urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna juga
menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk ke dalam kandung
kemih sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan kandung kemih.
Inkontinensia di atas terjadi akibat proses penua- an dan akibat penurunan kadar
estrogen. Secara mekanisme dapat disebabkan:10
1. Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi sangat mudah
digerakkan. Disebut Uretra hipermobilitas.
2. Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih. Disebut Defisiensi Sfingter
intrinsik/Intrinsic sphincteric deficiency atau ISD.

11

Uretra hipermobilitas
Pada uretra hipermobilitas terjadi di mana uretra tidak menutup secara sempurna dan
sangat mudah digerakkan. Kondisi ini terjadi bila otot dasar pelvis menjadi lemah
akibat proses penuaan dan mengikuti hal-hal seperti di bawah ini:10
Tegangan dari otot-otot dasar pelvis berkurang
Kandung kemih akan turun ke bawah.
Kandung kemih yang turun ke bawah akan mendesak otot-otot yang
mengelilingi leher kandung kemih.
Inkontinensia urin pada uretra hipermobilitas dikategorikan dalam 2 tipe yaitu:

Tipe 1: Terjadi karena leher kandung kemih dan uretra tidak menutup dengan

sempurna.
Tipe 2: Terjadi karena leher kandung kemih tergeser akibat perubahan posisi
kandung kemih seperti pada cystocele.

Intrinsic Sphincteric deficiency (ISD)


Tipe ini kadang disebut sebagai tipe 3 dari inkontinensia urin. Inkontinensia urin ini
disebabkan oleh karena otot-otot pada leher kandung kemih rusak atau lemah. Kondisi
ini menyebabkan:10

Leher kandung kemih terbuka selama fase pengisian.


Tekanan penutupan pada uretra rendah.

Penatalaksanaannya
Non-medikamentosa
Teknik latihan perilaku (behavioral treatments)
Teknik latihan ini membutuhkan instruksi yang cermat pada penderita.
Edukasi pada penderita meliputi latihan kandung kemih, latihan menahan dorongan
untuk berkemih dan latihan otot dasar panggul.1
a. Latihan kandung kemih (bladder training)
Latihan kandung kemih mengikuti suatu jadwal yang ketat untuk ke
kamar kecil/berkemih. Jadwal dimulai dengan ke kamar kecil tiap dua jam, dan
waktunya makin ditingkatkan. Makin lama waktu yang dicapai untuk berkemih,
makin memberikan peningkkatan kontrol terhadap kandung kemih. Latihan
kandung kemih terbukti efektif baik untuk inkontinensia tipe stress maupun
urgensi. Latihan kandung kemih ini mempunyai beberapa sasaran:

12

Memperpanjang waktu untuk ke kamar kecil.


Meningkatkan jumlah urin yang ditahan oleh kandung kemih.
Meningkatkan kontrol pada dorongan/rangsangan berkemih menurut jadwal,

dan tidak begitu saja saat dorongan berkemih datang.


Mengurangi atau menghilangkan inkontinensia.
b. Latihan menahan dorongan untuk berkemih
Untuk mendapatkan kontrol atas kandung kemih, cara berikut dapat dipakai
saat datang dorongan berkemih:1

Berdiri tenang atau duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan. Tindakan

ini mencegah rangsang berlebihan dari kandung kemih.


Tarik napas teratur dan relaks.
Kontraksikan otot-otot dasar panggil beberapa kali. Ini akan membantu

menutup urethra dan menenangkan kandung kemih.


Alihkan pikiran ke hal lain, untuk menjauhkan perhatian dari dorongan

berkemih.
Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum jadwal

berkemih.
c. Latihan otot dasa panggul
Latihan otot-otot pelvis memperkuat otot-otot lemah sekitar kandung kemih.
Untuk identifikasi otot yang tepat, bayangkan kita sedang menahan untuk tidak
flatus. Otot yang dipakai untuk menahan flatus adalah otot yang ingin kita latih.1

Lakukan latihan otot dasar panggul beberapa kali sehari sekitar sepuluh

menit.
Praktekkan setiap waktu dan tempat. Paling baik saat berbaring ditempat

tidur. Setelah menguasai metodenya, lakukan juga saat duduk dan berdiri.
Jangan memakai otot-otot perut, paha dan betis saat latihan dan bernapaslah
biasa saja.

Semua latihan diatas akan memberikan kontrol yang baik terhadap kandung
kemih. Biarpun memakan waktu dan kesabaran, hasilnya cukup memuaskan.
Medikamentosa
Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah akut
sebagai pemicu timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dna berbagai upaya bersifat
nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi masalah
inkontinensia tersebut. Pemberian obat pada inkontinensia urin disesuaikan dengan
tipe inkontinensia urinnya.1

13

Gambar 1. Obat obat inkontinensia urin


Selain pemberian obat-obat diatas, perlu juga diberikan hormone estrogen.
Hal ini dikarenakan pada kasus ini penderita sudah mengalami postmenopause,
dimana kita tahu ketika menopause hormone estrogen akan menurun. Hormon
estrogen itu sendiri menyebabkan kelemahan pada sfingter uretranya. Hormon

estrogen dapat diberikan secara oral selama satu tahun, dan 1-3 bulan dihentikan
secara perlahan-lahan. Pemberian estrogen tidak boleh berlebihan karena dapat
menyebabkan retensi cairan (edema) dan sakit kepala.9

Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk masalah inkontinensia yang
tidak berhasil daiatasi dengan teknik latihan perilaku, obat-obatan ataupun dengan
memanfaatkan alat-alat bantu untuk meminimalkan problem inkontinensia.1
Yang sering dikerjakan pada penderita lanjut usia dengan inkontinensia adalah
memasang kateter secara mentap. Untuk beberapa pertimbangan, misalnya memantau
produksi urin dan keperluan mengukur balans cairan, hal ini masih dapat diterima.
14

Tetapi sering alasan pemasangan kateter ini tidak jelas, dna mengundang risiko untuk
terjadinya komplikasi, umumnya adalah infeksi.
Ada tiga macam cara kateterisasi pada inkontinensia urin:1
1. Kateterisasi luar
Terutama pada pria dengan memakai sistem kateter-kondom. Efek samping
yang terutama adalah iritasi pada kulit, dan sering lepas. Metode ini hanya
dianjurkan pada pria yang tidak menderita retensio urin dan mobilitasnya masih
cukup baik. Kateter eksternal semacam ini untuk wanita mulai diperkenalkan,
tetapi manfaatnya masih belum memuaskan.
2. Kateterisasi intermiten
Dapat dicoba pada wanita lanjut usia. Frekuensi pemasangannya 2 hingga 4 x
sehari, dengan sangat memperhatikan sterilitas dan teknik prosedurnya.
3. Kateterisasi menetap
Pemasangan kateter secara menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi
yang tepat. Komplikasi dari kateterisasi secara terus-menerus ini disamping
infeksi, juga mungkin menyebabkan batu kandung kemih, abses ginjal dan
bahkan proses dair keganasan dari saluran kemih.
Memang akan lebih rumit dan membutuhkan biaya serta tenaga untuk memaki
pembalut-pembalut khusus serta alas tempat tidur dengan bahan yang baik daya
serapna, dan secara teratur memprogram penderita untuk berkemih. Tetapi untuk
jangka panjag, dapat diharapkan risiko morbiditas ynag menurun, dan dengan begiu
juga berpengaruh pada penurunan biaya perawatan.
Akan tetapi ada beberapa produk yang dapat diberikan sebagai pelengkap
terapi untuk meningkatkan kenyamanan dna percaya diri. Produk-produk tersebut
antara lain:1

Produk penyerap gunanya untuk menyerap dna menampung kebocoran


urin. Dengan adanya penyerap ini urin dijauhkan dari kulit dan diserap
oleh lapisan penyerap sehingga kulit diupayakan tetap kering. Produk
penyerap ini ada yang sekali dipkai atau dapat digunakan lagi, juga ada
yang penggunaannya siang atau malam, atau sama saja. Akan tetapi
pemakaian produk ini juga tetap perlu diperhatikan kesehatan kulitnya
agara tidak over hidrasi dan peningkatan temperature kulit. Oleh karena
itu, produk penyerap ini tidak boleh dipasang terlalu erat/rapat. Produk ini

15

lebih mudah digunakan bagia mereka yang terkena stroke dengan

kelemahan badan sesisi.


Stimulasi elektrik dipakai suatu probe lewat anal atau rektal untuk
merangsang saraf pudendus, mengakibatkan kontraksi maksimal otoot

dasar panggul dan relaksasi otot detrusor.


Pessarium ada beberapa ukuran dna bentuk, ditempatkan di vagina untuk

mengurangi/mencegah prolapse rahim.


Klem penis, biasanya untuk penderita sehabis operasi prostat dan masih
ada kebocoran urin saat aktivitas. Klem dibuka saat mau berkemih dan
waktu tidur.

Pembedahan yang lain misalnya dengan evaluasi saraf per kutaneus. Prosedur
retropubic mid-urethral tape

dengan pendekatan bottomup

macroporous

juga

polypropylene

dianjurkan

bila

dengan mesh

tatalaksana

konservatif

inkontinensia urin stress mengalami kegagalan. 1


Dilakukan rujukan bila perempuan dengan inkontinensia urinnya terdapat
hematuria mikroskopik pada usia pasien 50 tahun atau lebih dan atau hematuria yang
kasat mata. Bila terdapat infeksi saluran kemi rekuren atau persisten dengan
hematuria pada pasien 40 tahun atau lebih juga perlu dilakukan rujukan. Rujukan juga
dilakukan bila juga ditemukan massa keganasan yang terdpat pada saluran kemih. 11
Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai Inkontinensia Urin adalah infeksi saluran
kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, depresi, mudah marah dan rasa terisolasi dan
juga dehidrasi akibat kurang asupan air dan decubitus.12
Prognosis
Prognosisnya tergantung dari bagaimana terapi itu dilakukan dilihat dari sikap
kepatuhan dan kesabaran dalam menjalankan terapi.
Pencegahan
Tidak mengangkat barang yang berat sewaktu muda serta menjalani tindakantindakan operasi yang melemahkan dasar panggul dapat menjadi tindakan pencegahan
Inkontinensia Urin. Mengurangi kejadian obesitas juga dapat mengurangi prevalensi

16

Inkontinensia, sejalan dengan tidak merokok dapat mengurangi prevalensi


Inkontinensia.11
Penutup
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis
inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensia stres, desakan, luapan dan fistula
urine. Penatalaksanaan konservatif dilakukan pada kasus inkompetem sfingter uretra
sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka
pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.

Daftar Pustaka
1. Martono H, Pranarka K. Buku ajar boedhi-darmojo geriatri.Edisi ke-5.
Jakarta:FKUI;2014.h.61,118,246-61
2. Purnomo B. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2.Jakarta:Agung Seto;2009.h.134,113-9
3. Jaya DU, Rachmadi D. Januari 2009. Inkontinensia urin. Diunduh dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-

17

content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_INKONTINENSIA_-URIN.pdf.pdf,
19 Oktober 2015
4. Syah E.2014. Penyebab, jenis, dan pengobatan inkontinensia urin. Diunduh
dari

http://www.medkes.com/2014/07/penyebab-jenis-pengobatan-

inkontinensia-urin.html, 19 Oktober 2015


5. Kirss F, Lang K. 2013. Prevalence and risk factors of urinary incontinence
among

estonian

postmenopausal

women.

Diunduh

dari

http://www.springerplus.com/content/pdf/2193-1801-2-524.pdf, 19 Oktober
2015
6. Unknown.

Tinjauan

pustaka:

inkontinensia

urin.

Diunduh

dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41542/4/Chapter%20II.pdf, 19
Oktober 2015
7. Sukandar E. Buku ajar: ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke-5. Jakarta:
Internal publishing; 2009. h.1008-14.
8. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga;
2006. h.166-7.
9. Suparman E, Rompas J. Inkontinensia urin pada perempuan menopause.
Januari

2008.

Diunduh

dari

http://ejournal-

s1.undip.ac.id/index.php/medico/article/view/4994, 20 Oktober 2015


10. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. Juli 2008. Diunduh dari
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/id, 20 Oktober 2015
11. Setiati S, Pramantara DP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.865-74.

18

Anda mungkin juga menyukai