Anda di halaman 1dari 3

Orang Mandar Orang Pancasilais1

Mabrur S.Th.I
Mahasiswa Program Magister UIN Jakarta
(Alumni Pon-Pes Nuhiyah Pambusuang 2009)
Pancasila sebagai ideologi negara adalah aktualisasi dalam bernegara untuk
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yaitu konsep kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Maka
logis kiranya kenapa pancasila dijadikan sebagai ideologi negara karena diyakini mampu
mengakomodir berbagai elemen masyarakat dibalik keberagaman agama, budaya, suku dan
ras, bukan asas agama yang dijadikan sebagai legitimasi hukum negara. Secara sederhana
bangsa ini hidup dalam bingkai multikultural khususnya berbagai agama. Para pejuang
kemerdekaan mendirikan bangsa ini bukan untuk memonopoli kepentingan agama tertentu,
melainkan merangkul dan mengandengkan tangan untuk menciptakan harmonisasi dan
semangat menghargai perbedaan. Untuk itu, rumusan dan lahirnya pancasila yang tepatnya
pada tanggal 1 Juni menjadi momentum untuk kembali mengembalikan ruh dan spirit
pancasila dalam realitas kehidupan masyarakat ditengah krisis keteladanan, dekadensi moral,
hiruk pikuk politik yang semakin memperlihatkan adigdaya kekuasaannya.
Spirit dan filosofis dalam pancasila sebagai ideologi negara penulis menganalisis
dalam realitas masyarakat Mandar dengan tiba pada sebuah hipotesa bahwa eksistensi orang
Mandar secara konsep kebudayaan adalah masyarakat yang sadar akan pesan-pesan
pancasila, pecinta dan pengamal prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pancasila. Setelah pada
opini sebelumnya tepatnya pada perayaan hari Kartini penulis juga memberikan statemen
bahwa Kartini juga ada dibumi Mandar. Maka unik dan menarik ketika diskusi tentang
sosio-kultur masyarakat Mandar dengan dikaitkan filosofis bangsa kita ini. Lalu apa indikasi
bahwa orang Mandar adalah masyarakat yang sangat pancasilais? Maka ada tiga poin yang
menjadi indikasi demikian.
Pertama, pada sila pertama pancasila menegaskan ketuhanan yang Maha Esa. Pada
prinsip inilah pancasila hadir dalam lingkup masyarakat untuk memberikan ruang gerak yang
bebas bagi masyarakat untuk memilih, menentukan dan menjalankan ajaran dan
keyakinannya masing-masing. Untuk itu, negara menjamin setiap individu untuk memeluk,
meyakini dan menjalankan ajaran-ajaran setiap agama yang mereka anut. Prinsip ini secara
sosiologis sejalan dengan realitas masyarakat Mandar sebagai masyarakat penganut ajaran
dan keyakinan monoteis bahkan mayoritas Muslim, meskipun sebagian masyarakatnya
masih percaya kuat akan kekuatan mistik. Keyakinan monoestik tesebut, berdampak pada
tingkat kesadaran dan ketaatan cara beragama masyarakat Mandar yang cukup intens dan
kuat. Ketaatan dalam konteks ini adalah ketaatan beragama pada persoalan hari-hari besar
Islam yang dianggap sakral bagi umat Islam. Karena perayaan itu adalah ekpresi kecintaan,
kepatuhan dan ketundukan manusia pada agamanya. Bentuk ketaatan itu terwujud dalam
antusiasme perayaan hari-hari besar Islam. Sebut misalnya perayaan Maulid Nabi saw, bagi
sebagian kalangan Muslim perayaan maulid Nabi saw merupakan kesadaran dan refleksi
keagamaan dengan kecintaan dan penghormatan kepada Nabi saw. Bentuk kecintaan dan
perayaan ini bukan hanya sebatas simbolik belaka, melainkan dasar teologis dan keyakinan
kuat bahwa dengan perayaan maulid memberikan dampak secara psikologis (ketenangan,
ketentraman dan kebahagiaan), hingga persoalan material. Seolah perayaan tesebut mewakili

Edisi 16 senin tanggal 08-juli-2015

cara beragama dan berkeyakinan mereka yang sesunguhnya dengan suguhan nilai-nilai
budaya di dalamnya.
Kedua, pada sila kedua menegaskan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nilai-nilai kemanusiaan yang adil juga beradab menjadi penegasan karena bangsa ini tidak
mengharapkan adanya ketidak adilan dan sifat yang tidak mencerminkan aspek moral dan
adab dibalik keberagaman. Bangsa ini mengutuk adanya diskriminasi karena perbedaan suku,
agama bahkan ras. Namun pluralitas itu diharapkan bisa menciptakan keadilan, asas norma
dan etika. Nampaknya prinsip-prinsip masyarakat beradab jikalau disoroti dalam dinamika
kehidupan masyarakat Mandar tertuang dalam konsep yang diistilahkan dengan (makkeadaq)
yang berarti berbudi pekerti. Di mana konsep (makkeadaq) adalah bagian dari kesadaran
kesalehan sosial untuk saling menghargai dan menghormati antar sesama. Misalnya, tradisi
permisi ketika lewat di depan orang lain itu adalah bagian dari ekspresi dan tingkah beradab
seseorang terhadap orang lain yang mencerminkan sikap menghargai dan menghormati, di
dalam istilah Mandar disebut dengan (mitaweq). Salah satu yang menjadi cerminan dengan
konsep (mitaweq) adalah dengan menundukkan kepala sembari meluruskan tangan kanan ke
bawah sebagai simbol permisi untuk menghargai dan menghormati orang lain. Aspek yang
lain yang diajarkan di dalam budaya Mandar adalah bertutur kata yang baik sebagai bentuk
penghormatan terhadap orang lain yang diistilahkan (mi puang), dan dianggap tidak beradab
kurang ajar kalau berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dengan tidak memakai
puang. Konsep budaya seperti ini sesungguhnya mencerminkan bahwa kita sebagai
masyarakat yang berwibawa dan masyarakat yang akan sadar akan prinsip etika sosial.
Ketiga, di dalam pancasila dirumuskan dengan persatuan Indonesia. Dasar persatuan
menjadi sangat logis, sebab kemerdekaan dapat dicapai bukan perjuangan yang semuda
membalikkan tangan melainkan perjuangan yang sampai meneteskan darah hanya untuk
memerdekakan masyarakat Indonesia dari segala bentuk perbudakan dan penindasan.
Problemnya adalah masih kah kemerdekaan yang secara subtansial dewasa ini kita rasakan?
ataukah kemerdekaan hanya sebatas peninggalan sejarah yang pernah dilakukan oleh para
pejuang bangsa ini? Pertanyaan itu menjadi renungan bersama. Namun, semangat persatuan
yang ditekankan dalam Pancasila dapat dimaknai sebagai persatuan untuk mempertahankan
hak-hak kemerdekaan bangsa, atau persatuan untuk saling menumbuhkan kesadaran entitas
bersama untuk saling membantu dan tolong menolong antar sesama. Dalam sosiologi
kehidupan masyarakat Mandar sangat mengedepankan sikap solidaritas, saling tolong
menolong sebagai wujud kesalehan sosial. Secara konkrit dapat dilihat antusiasme warga
ketika masyarakat mendirikan rumah baru dengan berbondong-bondong datang untuk
membantu, dan kedatangan mereka karena panggilan nurani bukan karena di mintai
pertolongan, bahkan dengan secara suka rela dan ikhlas mereka memberikan bantuan
sifatnya materi (beras, gula pasir dan lain-lain). Hemat saya ini sebuah tradisi yang perlu
dipertahankan untuk menumbuhkan semangat persatuan dan kebersamaan. Lalu kenapa
semangat solidaritas dan tingkat kepedulian masyarakat tinggi khususnya di Mandar, karena
secara sosiologis masyarakat Mandar hidup secara kultur sifatnya homogen dengan kata lain
hidup dan berdiam dengan suku, nenek moyang dan budaya yang sama, sehingga secara
psikologis ada kedekatan emosional yang menyebabkan sikap solidaritas dan saling tolong
menolong untuk bersatu lebih mudah. Berbeda dengan sosiologi kehidupan di kota yang lebih
mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi, karena sosiologi kehidupan di kota
sifatnya heterogen dengan berbagai macam budaya dan suku yang berbeda-beda, sehingga
dampak secara psikologis merasa bukan bagian dari orang lain.

Tentu sebagai masyarakat yang berbudaya, nilai-nilai kemanusiaan perlu


dipertahankan sebagai wujud bahkan kita adalah masyarakat yang sadar akan budaya dan
kearifan lokal sendiri. Tidak hanya pada batas itu, wujud dari itu adalah citra sebagai warga
masyarakat yang patuh dan tunduk terhadap ideologi bangsanya.

Anda mungkin juga menyukai