Pendahuluan
Penyakit serebrovaskuler atau stroke masih merupakan
salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kecacatan
dan kematian di dunia. Penyakit ini merupakan penyebab
kematian ketiga di dunia. Di Amerika, stroke merupakan
penyebab kematian ketiga dan merupakan penyebab kematian
yang umum pada orang dewasa. Di Indonesia, menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke juga
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama 1-5 Laki-laki disebutkan mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk terkena stroke dengan perbandingan 1,33:1,
tujuh puluh persen dari pasien yang selamat akibat stroke
mempunyai disabilitas pekerjaan yang permanen dan sekitar
25% mengalami demensia vaskular.4
Stroke yang disebut juga gangguan perdarahan
pembuluh darah otak adalah sindrom gangguan serebri yang
bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak. Gangguan
tersebut akibat penyumbatan lumen pembuluh darah oleh
trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah
otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan
perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Proses
ini dapat tidak menimbulkan gejala dan akan muncul secara
klinis jika aliran darah ke otak turun sampai tingkat melampaui
batas toleransi jaringan otak yang disebut ambang aktivitas
fungsi otak.2
Faktor risiko penyakit ini adalah umur, jenis kelamin,
suku bangsa, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,
genetik, obesitas, diet, hiperkolestrolemia, merokok dan
a. Timbul mendadak
b. Menunjukkan gejala-gejala neurologis kontralateral
terhadap pembuluh yang tersumbat
c. Kesadaran dapat menurun terutama jika terjadi perdarahan
otak. Pada stroke iskemik hal ini jarang terjadi.
Anamnesis dengan pasien dan keluarga pasien menunjukkan
adanya kelumpuhan anggota sebelah badan,
mulut mencong, bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Pada pasien stroke sering dijumpai faktor-faktor
risiko yang menyertai misalnya penyakit diabetes, hipertensi
dan penyakit jantung.
Gambaran klinik yang sering terdapat pada pasien
stroke adalah defisit neurologis seperti hemiparese, afasia,
gang-guan kognisis dan gangguan fungsi sensoris. Selain
itu stroke juga dapat menyebabkan gangguan perilaku dan
emosi yang disebabkan oleh lesi di otak atau akibat reaksi
psikologis akibat hendaya dan disabilitasnya.1
Pegangan klinisi untuk membuat diagnosis stroke masih
memiliki keterbatasan. Sebelum ditemukannya CT Scan
ketepatan diagnosis klinis mengenai stroke hemoragik 65%
sedangkan untuk stroke non hemoragik adalah 57%. Setelah
adanya CT Scan persentase penyebab stroke adalah sebagai
berikut :
- 52%-70% : infark non embolik
- 7%-25% : perdarahan intra serebral primer
- 7%-9% : tidak diketahui sebabnya
- 6% : TIA
-5%-10% : perdarahan subarakhnoid
- 3% : neoplasma
- 2%-5% : embolus
Setelah dilakukan CT Scan rutin dalam kasus-kasus
stroke diketahui 19% berupa stroke hemoragik dan 81%
berupa stroke non hemoragik.6
Depresi Pasca-Stroke
Gangguan depresi mungkin merupakan gangguan
emosional yang paling sering dihubungkan dengan penyakit
serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien stroke mengalami
depresi setelah serangan stroke 1,4
Kepustakaan mengatakan bahwa gejala depresi pasca
stroke sama dengan gejala depresi fungsional seperti adanya
rasa sedih atau gangguan afek, anhedonia, tidak bertenaga,
sulit konsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan libido,
gangguan tidur pada malam hari dan adanya ide-ide bunuh
diri. Duapuluh enam persen depresi pasca-stroke adalah
penderita dengan sindrom depresi berat sedang sisanya
adalah dengan sindrom depresi ringan.1
Suatu penelitian mengatakan bahwa pada pasien pascastroke
yang mengalami depresi, akan terjadi peningkatan
persentase mortalitas, bahkan pada pasien yang lebih muda
dan tidak mempunyai penyakit kronis yang terlalu banyak
dibanding pasien yang tidak depresi, angka kematian tetap
tinggi pada pasien depresi pasca-stroke dan yang didiagnosis
gangguan jiwa lain akibat stroke.
Etiologi
Walaupun penyebab depresi pasca-stroke tidak diketahui
namun beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas
pada otak memegang peranan penting. Penelitian melaporkan
sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak
dengan kejadian depresi pasca-stroke di lesi hemisfer kiri.
Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya tingkat
keparahan depresi dengan jauhnya batas anterior lobus frontalis,
walaupun demikian tidak semua lesi pada hemisfer kiri
menyebabkan depresi pasca-stroke.4,7
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien dengan
depresi mempunyai riwayat gangguan psikiatrik atau adanya
keluarga yang menderita gangguan psikiatrik. Sebagai
tambahan, hubungan depresi dengan ketidakmampuan
fungsi fisik. Hal ini tidak ditemukan pada semua penelitian,
sehingga keparahan ketidakmampuan dalam fungsi fisik tidak
ada hubungannya dengan keparahan depresi.7
Depresi lebih sering terjadi pada pasien afasia non fluent
dibanding yang afasia fluent, walaupun secara sebab
akibat tidak ada hubungan antara depresi dengan afasia.
Adanya hubungan antara afasia non fluent dengan depresi
pasca-stroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak
yang menyebabkan afasia non fluent juga mungkin
menyebabkan depresi.7 Hal berbeda disebutkan oleh
kepustakaan lain bahwa pasien stroke dengan afasia ringan
menderita depresi lebih sering dibandingkan pasien stroke
dengan afasia global. Hal ini disebabkan pasien dengan afasia
ringan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap ketidakberdayaannya.
1
Diagnosis
Tidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita
pasca-stroke terutama jika pasien tersebut mengalami afasia.
Adanya ekspresi kesedihan akibat kelemahan otot wajah,
apatis yang disebabkan lesi pada hemisfer kanan atau adanya
aprosodi akan menyesatkan diagnosis pada stroke.
walupaun dapat terjadi pada semua golongan usia. Insidens stroke karena
perdarahan lebih sering terjadi pada usia 40 60 tahun sedangkan akibat infark (emboli
trombus) lebih sering dijumpai pada usia 60 90 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan
Ecktstrorn dan kawan - kawan, juga penelitian yang dilakukan oleh Suharso, insiden menurut
jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna antara pria dan wanita.
Depresi yang terjadi setelah stroke disebut juga sebagai depresi pasca stroke. Hal ini
merupakan konsekuensi yang sering terjadi, dan mempunyai akibat yang negatif pada masa
penyembuhan dari fungsi motorik dan kognitif. Prevalensi terjadinya depresi pasca stroke
berkisar antara 5% hingga 63% pada beberapa penelitian cross sectional, dimana hal ini
sering terjadi 3 hingga 6 bulan setelah stroke. 7,18 Prevalensi depresi dapat menurun sampai
16% pada 12 bulan, 19% pada 2 tahun, dan meningkat sampai 29% pada 3 tahun. 4
Menurut Masdeu dan Solomon, penderita stroke cenderung mudah menderita
gangguan jiwa karena adanya perubahan yang tiba tiba terhadap seseorang akibat
ketidakmampuannya untuk menggunakan anggota badan mereka, adanya ketidakmampuan
mereka berkomunikasi, mudah menyebabkan timbulnya gangguan penyesuaian. Sedangkan
menurut Horvath dan kawan - kawan, gejala psikiatri yang paling sering dijumpai pada
penyakit pembuluh darah otak adalah gejala depresi. 4 4 2.3 Depresi Pasca Stroke
Universitas Sumatera Utara
Dari 600.000 pria dan wanita Amerika mengalami stroke yang pertama atau berulang
setiap tahunnya, diperkirakan 10-27% mengalami depresi berat, dan 15-40% mengalami
beberapa gejala gejala depresi. 11 Menurut penelitian yang dilakukan Kaplan dan kawan kawan, perubahan psikologi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak. 4
Lokasi yang sering dihubungkan dengan simtom depresi adalah lesi pada lobus frontalis,
lobus temporalis, dan bangsal ganglia terutama nukleus kaudatus. 12 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa depresi lebih sering dijumpai pada lesi stroke di hemisfer kiri. 4,13,14
Mayer mengatakan bahwa ada hubungan antara kelainan emosi dengan lokasi
kerusakan otak pada penderita stroke. Babinski juga menyatakan bahwa pasien stroke
dengan kerusakan hemisfer kanan sering menampakkan gejala gejala eforia dan sikap
tidak peduli.9 Selain itu, Bleuer mengatakan bahwa terdapat melankolia selama beberapa
bulan bahkan lebih lama pada pasien pasca stroke. 9 Robinson menyatakan bahwa lesi pada
left anterior cerebral lebih signifikan untuk terjadinya depresi daripada lesi left posterior.15,16
Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian systemic review yang dinyatakan oleh Carson dan
kawan - kawan, dimana mereka menemukan dari 34 kelompok penelitian yang dilakukan,
lokasi lesi tidak selalu berhubungan dengan depresi. 8,15
Penelitian tentang hubungan antara stroke dan penyakit psikiatri berfokus pada
depresi yang merupakan efek dari stroke, yang menyebabkan munculnya insiden depresi
pasca stroke yang berkisar 20 - 50% setelah 1
Universitas Sumatera Utara
frekuensi yang tinggi terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan.
Beck Depression Inventory (BDI) merupakan suatu skala yang dapat digunakan
sebagai alat skreening pada pasien depresi yang timbul akibat stroke. BDI terdiri dari 21
pertanyaan yang sering digunakan pada penelitian depresi pasca stroke. BDI mempunyai
cutoff point optimal dengan nilai 10, sensitivitas 80.0, dan spesifisitas 61.4. 19
Pasien dengan depresi pasca stroke lebih lambat penyembuhan atau perbaikan
fungsi fisik maupun kognitifnya dibandingkan dengan pasien stroke tanpa depresi. Juga 3 4
kali lebih cepat berakibat fatal dalam kurun waktu 10 tahun setelah mengalami stroke. Stroke
merupakan suatu stressor psikososial yang berat bagi penderita maupun pasangannya, yang
harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik. 4
Pasien Stroke :
Depresi pasca stroke 18 2.4 Beck Depression Inventory (BDI) 2.5 Kerangka Konsep Umur
penderita Jenis kelamin Tingkat pendidikan Pekerjaan Status perkawinan Lokasi lesi
Universitas Sumatera Utara