Anda di halaman 1dari 12

Tatalaksana Depresi Pasca-Stroke

Andri,* Mardi Susanto**

*Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta


**Departemen Psikiatri, RS Persahabatan, Jakarta

Abstrak: Gangguan depresi dapat merupakan gangguan emosional yang sering


dihubungkan
dengan penyakit serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien stroke mengalami depresi setelah
serangan stroke. Banyak penelitian mengatakan bahwa pada pasien pasca stroke yang
mengalami depresi, akan terjadi peningkatan persentase mortalitas. Pada pasien yang lebih
muda dan tidak mempunyai penyakit kronis sebelumnya, angka kematian tetap tinggi pada
pasien depresi pasca-stroke. Beberapa penelitian mengatakan bahwa lokasi jejas pada otak
memegang peranan penting terhadap terjadinya depresi pasca-stroke. Penelitian
melaporkan
sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak dengan kejadian depresi
pascastroke
pada lesi di hemisfer kiri. Depresi pasca stroke juga dapat terjadi sebagai hasil
ketidakmampuan pasien melakukan kegiatan sehari-hari. Kondisi ini membuat pasien secara
fisik dan mental tidak berdaya dan dapat mengarah ke perasaan tidak kompeten dan
tertekan.
Tatalaksana depresi pasca-stroke merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan
psikoterapi.
Kata kunci: depresi pasca-stroke, psikoterapi, SSRI

Pendahuluan
Penyakit serebrovaskuler atau stroke masih merupakan
salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kecacatan
dan kematian di dunia. Penyakit ini merupakan penyebab
kematian ketiga di dunia. Di Amerika, stroke merupakan
penyebab kematian ketiga dan merupakan penyebab kematian
yang umum pada orang dewasa. Di Indonesia, menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke juga
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama 1-5 Laki-laki disebutkan mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk terkena stroke dengan perbandingan 1,33:1,
tujuh puluh persen dari pasien yang selamat akibat stroke
mempunyai disabilitas pekerjaan yang permanen dan sekitar
25% mengalami demensia vaskular.4
Stroke yang disebut juga gangguan perdarahan
pembuluh darah otak adalah sindrom gangguan serebri yang
bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak. Gangguan
tersebut akibat penyumbatan lumen pembuluh darah oleh
trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah
otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan
perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Proses
ini dapat tidak menimbulkan gejala dan akan muncul secara
klinis jika aliran darah ke otak turun sampai tingkat melampaui
batas toleransi jaringan otak yang disebut ambang aktivitas
fungsi otak.2
Faktor risiko penyakit ini adalah umur, jenis kelamin,
suku bangsa, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,
genetik, obesitas, diet, hiperkolestrolemia, merokok dan

kurangnya aktivitas fisik.1-4


Etiologi Stroke1
Ada empat kategori stroke:
1. Trombosis aterosklerotik: sering terjadi akibat interaksi
dinamik antara hipertensi dan aterosklerotik pada dinding
pembuluh darah perifer, otak dan koroner
2. Emboli serebri: stroke dapat disebabkan trombosis dari
jantung yang berjalan ke arteri karotis. Emboli bisa juga
akibat plak ateromatosus dalam karotis atau emboli udara
dalam arteri karotis interna.
3. Perdarahan: terjadi pada sekitar 25% penderita sroke.
Dapat disebabkan oleh hipertensi, ruptur arteriovenous
malformation (AVM).
4. Lakuna, terjadi pada sekitar 20% kasus. Biasanya terjadi
akibat oklusi arteri serebri yang kecil. Sering terdapat di
talamus, ganglia basalis, kapsula interna dan batang otak.
Diagnosis Stroke2
Stroke sebagai suatu proses penyumbatan darah otak
mempunyai sifat klinik yang spesifik sebagai berikut:

a. Timbul mendadak
b. Menunjukkan gejala-gejala neurologis kontralateral
terhadap pembuluh yang tersumbat
c. Kesadaran dapat menurun terutama jika terjadi perdarahan
otak. Pada stroke iskemik hal ini jarang terjadi.
Anamnesis dengan pasien dan keluarga pasien menunjukkan
adanya kelumpuhan anggota sebelah badan,
mulut mencong, bicara pelo dan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Pada pasien stroke sering dijumpai faktor-faktor
risiko yang menyertai misalnya penyakit diabetes, hipertensi
dan penyakit jantung.
Gambaran klinik yang sering terdapat pada pasien
stroke adalah defisit neurologis seperti hemiparese, afasia,
gang-guan kognisis dan gangguan fungsi sensoris. Selain
itu stroke juga dapat menyebabkan gangguan perilaku dan
emosi yang disebabkan oleh lesi di otak atau akibat reaksi
psikologis akibat hendaya dan disabilitasnya.1
Pegangan klinisi untuk membuat diagnosis stroke masih
memiliki keterbatasan. Sebelum ditemukannya CT Scan
ketepatan diagnosis klinis mengenai stroke hemoragik 65%
sedangkan untuk stroke non hemoragik adalah 57%. Setelah
adanya CT Scan persentase penyebab stroke adalah sebagai
berikut :
- 52%-70% : infark non embolik
- 7%-25% : perdarahan intra serebral primer
- 7%-9% : tidak diketahui sebabnya
- 6% : TIA
-5%-10% : perdarahan subarakhnoid
- 3% : neoplasma
- 2%-5% : embolus
Setelah dilakukan CT Scan rutin dalam kasus-kasus
stroke diketahui 19% berupa stroke hemoragik dan 81%
berupa stroke non hemoragik.6

Depresi Pasca-Stroke
Gangguan depresi mungkin merupakan gangguan
emosional yang paling sering dihubungkan dengan penyakit
serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien stroke mengalami
depresi setelah serangan stroke 1,4
Kepustakaan mengatakan bahwa gejala depresi pasca
stroke sama dengan gejala depresi fungsional seperti adanya
rasa sedih atau gangguan afek, anhedonia, tidak bertenaga,
sulit konsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan libido,
gangguan tidur pada malam hari dan adanya ide-ide bunuh
diri. Duapuluh enam persen depresi pasca-stroke adalah
penderita dengan sindrom depresi berat sedang sisanya
adalah dengan sindrom depresi ringan.1
Suatu penelitian mengatakan bahwa pada pasien pascastroke
yang mengalami depresi, akan terjadi peningkatan
persentase mortalitas, bahkan pada pasien yang lebih muda
dan tidak mempunyai penyakit kronis yang terlalu banyak
dibanding pasien yang tidak depresi, angka kematian tetap
tinggi pada pasien depresi pasca-stroke dan yang didiagnosis
gangguan jiwa lain akibat stroke.
Etiologi
Walaupun penyebab depresi pasca-stroke tidak diketahui
namun beberapa penelitian mengatakan lokasi jejas
pada otak memegang peranan penting. Penelitian melaporkan
sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak
dengan kejadian depresi pasca-stroke di lesi hemisfer kiri.
Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya tingkat
keparahan depresi dengan jauhnya batas anterior lobus frontalis,
walaupun demikian tidak semua lesi pada hemisfer kiri
menyebabkan depresi pasca-stroke.4,7
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien dengan
depresi mempunyai riwayat gangguan psikiatrik atau adanya
keluarga yang menderita gangguan psikiatrik. Sebagai
tambahan, hubungan depresi dengan ketidakmampuan
fungsi fisik. Hal ini tidak ditemukan pada semua penelitian,
sehingga keparahan ketidakmampuan dalam fungsi fisik tidak
ada hubungannya dengan keparahan depresi.7
Depresi lebih sering terjadi pada pasien afasia non fluent
dibanding yang afasia fluent, walaupun secara sebab
akibat tidak ada hubungan antara depresi dengan afasia.
Adanya hubungan antara afasia non fluent dengan depresi
pasca-stroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak
yang menyebabkan afasia non fluent juga mungkin
menyebabkan depresi.7 Hal berbeda disebutkan oleh
kepustakaan lain bahwa pasien stroke dengan afasia ringan
menderita depresi lebih sering dibandingkan pasien stroke
dengan afasia global. Hal ini disebabkan pasien dengan afasia
ringan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap ketidakberdayaannya.
1

Diagnosis
Tidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita
pasca-stroke terutama jika pasien tersebut mengalami afasia.
Adanya ekspresi kesedihan akibat kelemahan otot wajah,
apatis yang disebabkan lesi pada hemisfer kanan atau adanya
aprosodi akan menyesatkan diagnosis pada stroke.

Indikasi yang dapat membantu diagnosis depresi pada


stroke antara lain bila didapatkan perubahan kepribadian atau
mood, kehilangan berat badan dalam waktu singkat, pola tidur
yang kacau dan kemajuan minimal rehabilitasi.
Dexamethason Suppression Test
Tes ini tidak menunjukkan kegunaan sebagai alat diagnostik
yang meyakinkan. Beberapa penilitian menunjukkan
sebuah hubungan secara statistik antara gangguan depresi
pasca-stroke dengan kegagalan untuk menekan serum
kortisol dengan pemberian deksametason namun spesifisitasnya
secara umum tidak terlalu berguna untuk digunakan
sebagai alat diagnostik. Telah dikemukakan pendapat bahwa
depresi pasca-stroke berhubungan dengan hilangnya
norepinefrin dan serotonin yang disebabkan lesi frontal atau
ganglia basal.
Sebuah studi tentang hormon pertumbuhan (growth
hormone) menemukan bahwa respon hormon secara
signifikan menumpul pada pasien depresi pasca-stroke. Hal
ini menunjukkan kehilangan fungsi reseptor adrenergik 2
merupakan pertanda yang penting untuk depresi pascastroke.
Sensitivitas tes ini 100% dengan spesifisitas 75%.7
Penatalaksanaan
Psikofarmakoterapi
Penderita depresi pasca-stroke dapat diberikan antidepresi.
Penderita dianjurkan untuk mulai terapi dengan dosis
kecil terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan
efek samping. Perlu diingat penggunaan subterapeutik tidak
dianjurkan. Tidak ada satupun jenis antidepresan yang
khusus untuk pengobatan depresi pasca-stroke.2 Kepustakaan
lain mengatakan bahwa antidepresan trisiklik seperti
amitriptilin berguna juga untuk menghilangkan gejala
pseudobulbar yaitu tertawa dan menangis patologis yang
dikaitkan dengan stroke. Penggunaan golongan trisklik yang
juga mempunyai efek antiaritmia menyebabkan obat
antiaritmia lain dapat dihentikan atau dikurangi dosisnya.
Fluolestine merupakan SSRI dengan efek antikolinergik
ringan. Dikatakan fluolestine efektif untuk pasien depresi
pasca-stroke. Karena kurang menimbulkan kenaikan berat
badan, obat-obat ini dapat dipakai oleh pasien depresi yang
gemuk atau ada riwayat penambahan berat badan selama
pemakaian trisiklik. 1 Perlu diperhatikan obat yang diminum
penderita sebelum terkena stroke seperti obat anti hipertensi
misalnya beta-blocker atau metildopa karena obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan depresi.2
Penderita stroke yang mengalami depresi harus
diberikan antidepresan agar tidak terjadi peningkatan
mortalitas akibat stroke ataupun depresi pasca-strokenya.
Terjadi peningkatan mortalitas pada pasien stroke iskemik
yang mengalami depresi. Penggunaan antidepresan telah
terbukti dapat menurunkan angka mortalitas pasien depresi
pasca-stroke.8,9 Penelitian lain mengatakan adanya
penemuan yang mengejutkan bahwa pada pasien yang
menerima pengobatan aktif dengan antidepresan terdapat
kecenderungan untuk selamat dari penyakitnya. Keuntungan

pemakaian antidepresan tetap siginifikan di atas keadaan


lain yang menyertai keadaan stroke seperti usia, tipe stroke,
adanya penyerta diabetes melitus dan kekerapan gangguan
depresif.9
Terapi elektrokonvulsif bisa diberikan pada penderita
depresi pasca-stroke yang tidak ada komplikasi lainnya.
Psikoterapi dan terapi lainnya seperti fisioterapi dan terapi
okupasi diberikan bersama-sama dengan terapi medikamentosa
untuk strokenya.2
Psikoterapi
Psikoterapi individu, terapi keluarga, dan terapi
kelompok dapat diberikan kepada pasien stroke dengan
emosi.
Psikoterapi Individu
Adanya gangguan kognitif, perjalanan penyakit yang
kronis, dan perawatan di rumah sakit yang berulang dapat
menimbulkan gangguan emosional sehingga pasien
memerlukan ventilasi, dukungan, perbaikan mekanisme dan
mentolerir terhadap ketidakmampuannya dan ketergantungannya.
Terapis dapat memberikan terapi suportif seperti
mengangkat kembali harga diri pasien yang menurun.
Psikoterapi Keluarga
Adanya hubungan antara fungsi keluarga dengan
kesembuhan dari gangguan emosional pasca-stroke. Kritikan
lingkungan atau lingkungan yang sangat terlibat dapat
memperlambat penyembuhan. Perbaikan atau pengurangan
perawatan di rumah sakit tergantung dari kemampuan keluarga
untuk menurunkan ekspresi emosinya. Terapi keluarga
merupakan komponen perencanaan terapi yang komprehensif
pada pasien gangguan emosional pasca-stroke. Tujuan terapi
keluarga adalah untuk mengurangi disfungsi tingkah laku
pada anggota keluarga dalam berhubungan dengan pasien.
Terapi Kelompok
Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi
isolasi, mendorong hubungan interpersonal. Terapi dapat
memperbaiki harga diri, orientasi, tingkah laku, pemecahan
masalah, mengurangi depresi dan ansietas. Suatu terapi
kelompok yang efektif ditandai dengan terbentuknya lingkungan
terapeutik yang kohesif dan berkembangnya hubungan
yang saling mendukung, sehingga dapat memberikan
kesempatan perbaikan adaptasi terhadap disabilitas yang
sebenarnya dapat menimbulkan gangguan emosi.1
Prognosis
Terdapat beberapa penelitian tentang prognosis pasien
depresi pasca-stroke. Penelitian di rumah sakit tidak menunjukkan
prognosis yang baik, tetapi menurut penelitian
komunitas didapatkan perbaikan setelah 1 tahun. Penelitian
lain mengatakan penderita stroke dengan depresi selama 1
tahun akan sulit mengalami perbaikan.2
Peningkatan angka kematian pada penderita depresi
pasca-stroke juga berhubungan dengan ketidakpatuhan
pasien dalam rangka pengobatan untuk keadaan akibat
strokenya. Pasien juga terkadang enggan dalam meelakukan
upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya

keberulangan stroke. Apalagi jika terdapat penyakit penyerta


lain seperti diabetes melitus, pasien biasanya mempunyai
kepatuhan yang kurang untuk menerapkan dietnya dalam
rangka mengontrol gula darah sehingga peningkatan gula
darah menjadi tidak terkontrol dan komplikasi kardiovaskuler
lebih mudah terjadi. Dengan demikian prognosis juga menjadi
kurang baik.9
Peranan keluarga maupun pengertian dari penderita
sendiri mengenai stroke akan mempengaruhi prognosis,
terutama pengertian tentang serangan stroke yang tiba-tiba
dan kondisi penyembuhan yang terjadi sangat lambat perlu
diterima dengan lapang dada oleh penderita dan keluarganya.
Fisioterapi, formal psikoterapi dan terapi kognitif harus
direncanakan dengan baik untuk mendapatkan hasil akhir
yang optimal.2
Kesimpulan
Penyakit serebrovaskuler atau stroke masih merupakan
salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kecacatan
dan kematian di dunia. Penyakit ini merupakan penyebab
kematian ketiga di dunia. Depresi sebagai suatu sindrom
sangat sering dijumpai pada pasien pasca-stroke. Penelitian
melaporkan hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi
otak dengan kejadian depresi pasca-stroke pada lesi di
hemisfer kiri. Ada hubungan depresi dengan ketidakmampuan
fungsi fisik yang diderita pasien pasca-stroke. Pengobatan
pasien depresi pasca-stroke dapat dengan cara farmakoterapi
yaitu dengan obat-obatan anti depresan dan juga dengan
psikoterapi terhadap pasien.
Daftar Pustaka
1. Amir N. Penatalaksanaan Pasien Stroke dengan Gangguan Emosi.
Jiwa Indon Psychiatry Quarter 1998;XXXI:2:169-72.
2. Misbach J. Stroke Aspek Diagnosis Patofisiologi dan Manajemen.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999.
3. Lumempouw SF. Gangguan Neurobehavior dan Cedera Otak. Ethical
Digest 2005 April; 14(III).
4. Cummings JL, Trimble MR. Stroke and Brain Tumors in: Concise
guide to Neuropsychiatry and behavioral neurology. Washington:
American Psychiatric Press;1995.
5. Birkett DP. Psychiatry of Stroke. Washington: American Psychiatry
Press;1996.9.416.
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. 6thed.Dian
Rakyat;1994.
7. Kaplan HI, Sadock BJ. Neuropsychiatric aspect of cerebrovascular
disease and tumor. Dalam: Comprehensive textbook of Neuropsychiatry
Vol. 17th ed. Baltimore: William&Wilkins;
2000.p.187-94.
8. Williams L, Ghose SS, Swindle RW. Am J Psychiatry 2004
June;161:1090-95.
9. Jorge RE, Robinson RG, Arndt S, Starkstein S. Am J Psychiatry.
2003 Oct; 160:1823-9.
HQ
85

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Depresi
Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala
utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang
menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Disamping itu gejala
lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna,
pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang. 6
Gangguan neurologis yang sering diikuti depresi adalah multiple sclerosis, demensia
Alzheimer, penyakit Parkinson, stroke, dan epilepsi. Lokasi paling sering dari stroke untuk
munculnya depresi adalah lesi pada lobus frontal kiri. 7,8
2.2 Stroke
Stroke atau disebut juga cerebrovascular disease (CVD) adalah simtom gangguan
serebri yang bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak. Gangguan sirkulasi otak tersebut
dapat disebabkan oleh hipoperfusi ekstrakranial, trombosis, perdarahan intrakranial, emboli,
hipertensi, arterosklerosis, anoksia, dan gangguan darah seperti polisitemia. 9
World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai suatu kumpulan
gejala klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak, baik
Universitas Sumatera Utara

sebagian ataupun menyeluruh, secara tiba tiba disebabkan oleh gangguan


pembuluh darah.
Stroke terjadi ketika aliran suplai darah untuk otak tiba - tiba terganggu atau ketika
pembuluh darah di otak menjadi pecah, sehingga darah tumpah disekitar sel pada otak.
Gejala dari stroke tiba tiba muncul dan sering lebih dari satu gejala pada waktu yang
bersamaan, seperti : 12 5,10,11
Tiba tiba kebas atau terjadi kelemahan pada wajah, lengan, kaki, khususnya pada
salah satu bagian tubuh.
Tiba tiba menjadi bingung, sulit berbicara, atau perkataan yang sulit dimengerti.
Terjadi gangguan pada penglihatan pada salah satu atau kedua belah mata.
Tiba tiba menjadi sulit berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau kordinasi.
Tiba tiba terjadi sakit kepala yang hebat tanpa diketahui penyebabnya.
Faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya stroke adalah hipertensi, penyakit
jantung, diabetes, dan perokok. Termasuk pengkonsumsi alkohol, tinggi kadar kolesterol,
penggunaan obat terlarang, genetik, khususnya gangguan pembuluh darah. 12
Stroke dapat terjadi pada semua golongan usia namun tiga perempat serangan stroke
terjadi pada orang orang dengan usia 65 tahun keatas. 12 Menurut data statistik stroke
terbanyak dijumpai pada usia diatas 55 tahun,
Universitas Sumatera Utara

walupaun dapat terjadi pada semua golongan usia. Insidens stroke karena
perdarahan lebih sering terjadi pada usia 40 60 tahun sedangkan akibat infark (emboli
trombus) lebih sering dijumpai pada usia 60 90 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan
Ecktstrorn dan kawan - kawan, juga penelitian yang dilakukan oleh Suharso, insiden menurut
jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna antara pria dan wanita.
Depresi yang terjadi setelah stroke disebut juga sebagai depresi pasca stroke. Hal ini
merupakan konsekuensi yang sering terjadi, dan mempunyai akibat yang negatif pada masa
penyembuhan dari fungsi motorik dan kognitif. Prevalensi terjadinya depresi pasca stroke
berkisar antara 5% hingga 63% pada beberapa penelitian cross sectional, dimana hal ini
sering terjadi 3 hingga 6 bulan setelah stroke. 7,18 Prevalensi depresi dapat menurun sampai
16% pada 12 bulan, 19% pada 2 tahun, dan meningkat sampai 29% pada 3 tahun. 4
Menurut Masdeu dan Solomon, penderita stroke cenderung mudah menderita
gangguan jiwa karena adanya perubahan yang tiba tiba terhadap seseorang akibat
ketidakmampuannya untuk menggunakan anggota badan mereka, adanya ketidakmampuan
mereka berkomunikasi, mudah menyebabkan timbulnya gangguan penyesuaian. Sedangkan
menurut Horvath dan kawan - kawan, gejala psikiatri yang paling sering dijumpai pada
penyakit pembuluh darah otak adalah gejala depresi. 4 4 2.3 Depresi Pasca Stroke
Universitas Sumatera Utara

Dari 600.000 pria dan wanita Amerika mengalami stroke yang pertama atau berulang
setiap tahunnya, diperkirakan 10-27% mengalami depresi berat, dan 15-40% mengalami
beberapa gejala gejala depresi. 11 Menurut penelitian yang dilakukan Kaplan dan kawan kawan, perubahan psikologi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak. 4
Lokasi yang sering dihubungkan dengan simtom depresi adalah lesi pada lobus frontalis,
lobus temporalis, dan bangsal ganglia terutama nukleus kaudatus. 12 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa depresi lebih sering dijumpai pada lesi stroke di hemisfer kiri. 4,13,14
Mayer mengatakan bahwa ada hubungan antara kelainan emosi dengan lokasi
kerusakan otak pada penderita stroke. Babinski juga menyatakan bahwa pasien stroke
dengan kerusakan hemisfer kanan sering menampakkan gejala gejala eforia dan sikap
tidak peduli.9 Selain itu, Bleuer mengatakan bahwa terdapat melankolia selama beberapa
bulan bahkan lebih lama pada pasien pasca stroke. 9 Robinson menyatakan bahwa lesi pada
left anterior cerebral lebih signifikan untuk terjadinya depresi daripada lesi left posterior.15,16
Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian systemic review yang dinyatakan oleh Carson dan
kawan - kawan, dimana mereka menemukan dari 34 kelompok penelitian yang dilakukan,
lokasi lesi tidak selalu berhubungan dengan depresi. 8,15
Penelitian tentang hubungan antara stroke dan penyakit psikiatri berfokus pada
depresi yang merupakan efek dari stroke, yang menyebabkan munculnya insiden depresi
pasca stroke yang berkisar 20 - 50% setelah 1
Universitas Sumatera Utara

bulan hingga 1 tahun setelah kejadian stroke.


Bentuk dan perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas,
tetapi tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi kognitif
saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana atau multi faktorial.
Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah
pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis. 4
Munculnya atropi kortikal dan pembesaran dari ventrikel juga merupakan faktor risiko
penting terjadinya depresi pasca stroke. Starkstein dan teman teman melakukan penelitian
terhadap atropi subkortikal pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah stroke. Pasien
yang mengalami depresi pasca stroke secara signifikan mengalami atropi yang besar
dibandingkan pasien stroke yang tidak mengalami depresi. Sebagai tambahan, lesi
subkortikal yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan 15,17 Meta analisis
dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi mempunyai riwayat depresi
pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia, gangguan fungsional, hidup sendiri,
dan social isolation merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi kiri,
khususnya lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih besar sebagai faktor
risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis dari 48 penelitian dengan data
yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti antara lokasi lesi dengan
kemungkinan terjadinya depresi. 17
Universitas Sumatera Utara

frekuensi yang tinggi terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan.
Beck Depression Inventory (BDI) merupakan suatu skala yang dapat digunakan
sebagai alat skreening pada pasien depresi yang timbul akibat stroke. BDI terdiri dari 21
pertanyaan yang sering digunakan pada penelitian depresi pasca stroke. BDI mempunyai
cutoff point optimal dengan nilai 10, sensitivitas 80.0, dan spesifisitas 61.4. 19
Pasien dengan depresi pasca stroke lebih lambat penyembuhan atau perbaikan
fungsi fisik maupun kognitifnya dibandingkan dengan pasien stroke tanpa depresi. Juga 3 4
kali lebih cepat berakibat fatal dalam kurun waktu 10 tahun setelah mengalami stroke. Stroke
merupakan suatu stressor psikososial yang berat bagi penderita maupun pasangannya, yang
harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik. 4
Pasien Stroke :
Depresi pasca stroke 18 2.4 Beck Depression Inventory (BDI) 2.5 Kerangka Konsep Umur
penderita Jenis kelamin Tingkat pendidikan Pekerjaan Status perkawinan Lokasi lesi
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai