: M Bari Muwardi
NIM
: 135040201111032
KELAS
:M
KELOMPOK
: M1
tanah, salah satunya adalah bakteri yang hidup di sekitar akar (Rhizobakteria). Bakteri dilaporkan bisa
menekan pertumbuhan jamur patogen dalam tanah secara alamiah, terdapat beberapa genus bakteri
yang berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, yaitu Alcaligenes,
Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus,
Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas.
Rhizobakteria ini mampu menjadi agen antagonis untuk mengendalikan pertumbuhan jamur.
Rhizobakteria bersimbiosis mutualisme secara tidak langsung dengan tanaman, karena beberapa bakteri
dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman atau disebut sebagai mikroorganisme PGPR
(Plant growth-promoting rhizobacteria).
Rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas
degradasi kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur Fusarium sp. Rhizobakteri
yang digunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan aman untuk
dikonsumsi. Aplikasi penggunaanya pun cukup praktis, petani bisa menggunakan kultur cair
rhizobakteria secara langsung (dengan pengenceran), menggunakan senyawa aktif biofungisida yang
dihasilkan bakteri atau digunakan sebagai inokulum tambahan pada proses pengomposan.
Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium
sp di Indonesia sendiri masih belum optimal. Penggunaan beberapa rhizobakteria yang dilakukan baru
sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan
rhizobakteria sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam
mengendalikan fitopatogen.
Penggunaan Rhizobakteria sebagai biofungisida untuk mengendalikan jamur Fusarium sp memiliki
beberapa keunggulan, antara lain: mampu membantu revitalisasi tanaman dengan dihasilkannya
hormon pertumbuhan seperti IAA (auksin) dan sitokinin; lebih ramah lingkungan dan biodegradable;
penggunaannya lebih mudah dan murah, bersifat non-patogen dan tidak membahayakan bagi hewan
dan manusia. Aplikasi rhizobakteria sebagai biofungisida juga memiliki beberapa kekurangan yakni
diperlukan adanya analisis resiko rhizobakteria yang digunakan sebelum dipasarkan sebagai agen
biofungisida. Beberapa agen hayati kemungkinan mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang
menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi
peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan
suatu agen hayati.
https://djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/21/Potensi-Rhizobakteria-sebagai-Agen-Biofungisidauntuk-Pengendalian-Jamur--Fitopatogen-fusarium-sp./
Pengendalian penyakit HDB yang diterapkan oleh BBPOPT Jatisari adalah dengan pemanfaatan bakteri
antagonis. Bakteri antagonis tersebut adalah Corynebacterium. Efektifitas Corynebacterium sebagai
bakteri antagonis terhadap penyakit HDB nampaknya cukup baik dan corynebacterium menunjukkan
penghambatan pada pemunculan gejala awal, penyebaran maupun intensitas serangan (BBPOPT 2007).
Bakteri antagonis Corynebacterium yang di eksplorasi dari tanaman padi awalnya diduga mempunyai
pengaruh buruk, bahkan berperan sebagai bakteri patogen pada beberapa jenis sayuran (Tomat, Cabe
Rawit, Sawi, Terong dan Mentimun), akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan suntik, siram dan
semprot ternyata tidak menyebabkan timbulnya penyakit pada tanaman. Hal ini membuktikan bahwa
jenis bakteri ini aman diaplikasikan terhadap penyakit sasaran (Wibowo dalam Banjarnahor 2011).
Pemanfaatan Corynebacterium dalam mengendalikan Hawar Daun Bakteri
Corynebacterium sp. merupakan bakteri antagonis yang ditemukan pada daun padi di daerah Jatisari
Karawang, bakteri ini berhasil diisolasi dan terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit yang
disebabkan oleh cendawan dan bakteri, pada beberapa tanaman pangan serta hortikultura seperti
penyakit kresek pada padi serta penyakit layu dan bercak daun pada tanaman cabai serta kubis-kubisan.
Biopestisida yang berbahan dasar Corynebacterium sp. dibuat formulasinya oleh Balai Besar Peramalan
Organisme Penggangu Tumbuhan (BBPOPT) dan kelompok tani Patih di Subang dalam bentuk cair dan
diberi nama dagang AntiKres (BBPOPT 2007).
Beberapa hasil kajian dan pengalaman para petani di lapangan tentang penggunaan bakteri
corynebacterium sebagai agens hayati dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (HDB) telah
banyak dikemukakan. Penelitian di rumah kaca (MK 1998) diketahui bahwa Cornebacterium dapat
menekan gejala Bacterial Red Stripe (BPS/Pseudomonas sp.) sebesar 52% dan terhadap HDB (BLB /
Xanthomonas campestris pv oryzae sebesar 28%. Corynebacterium efektif menekan laju infeksi HDB di
lapang (Purwakarta MK 1999) sebesar 27%, dan secondary infection (penularan antar rumpun)dapat
ditekan sebesar 84%. Penelitian lapang di Cianjur pada MK 2011, diketahui bahwa aplikasi sebanyak 4
(empat) kali, yaitu perendaman benih, penyemprotan umur 28 hst, 42 dan 56 hst dinilai merupakan
waktu yang tepat untuk tujuan pengendalian penyakit HDB. Dari 4 kali aplikasi Corynebacterium
didapatkan hasil penyebaran penyakit paling rendah berkisar 0-10% dibanding tanpa perlakuan
Corynebacterium, dimana penyebaran penyakit dapai mencapai 100%. Penelitian selanjutnya, 4 kali
penyemprotan Corynebacterium yaitu di pesemaian, umur 14, 28 dan 42 hst menghasilkan penekanan
terhadap hawar daun bakteri (HDB) yang serupa. Penelitian lainnya tentang pemanfaatan
Corynebacterium, penyemprotan Corynebacterium di lokasi Bojong Picung, Cianjur (MH 2001/2002)
menunjukkan penekanan kehilangan hasil yang signifikan.
Hasil penelitian tentang efektivitas Corynebacterium dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri
yang dilakukan oleh Manik, (2011), menunjukkan bahwa intensitas serangan Xanthomonas campestris
py oryzae tertinggi pada perlakuan B0P0 (kontrol) dengan intensitas serangan sebesar 6,36%, sedang
intensitas serangan terendah yaitu pada perlakuan B2P2 (107 sel bakteri Corynebacterium/ml dengan 60
kg/ha pupuk (100 kg KCl) yaitu sebesar 0,39%. Produksi Padi tertinggi terdapat pada perlakuan B3P3
(108 sel bakteri / ml dengan 90 kg/ha pupuk (150 kg KCl) yaitu sebesar 11,09 ton/ha dan produksi
terendah terdapat pada perlakuan B0P0 (kontrol ) sebesar 6,85 ton/ha. Hasil Penelitian lanjutan yang
diamati pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium terhadap intensitas serangan Xanthomonas
campestris pv oryzae ternyata, intesitas serangan paling rendah terlihat pada perlakuan
Corynebacterium dengan konsentrasi 7,5 cc/liter air dengan intensitas serangan yaitu 37,23% dengan
produksi hasil mencapai 8,92 ton/ha, sedangkan pada perlakuan kontrol (tidak menggunakan
Corynebacterium) intensitas serangan mencapai 47,86% (Banjarnahor 2010).
Selain Corybacterium dapat mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (HDB) banyak penelitian
lainnya yang menunjukkan Corynebacterium sebagai agens hayati pengendali patogen. Penelitian yang
dilakukan (Dahyar dan Ayu 2010), dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan perendaman benih
bakteri antagonis Corynebacterium 5 cc/l sebelum tanam dan penyemprotan pada 14 hst, 28 hst dan 42
hst mampu menekan perkembangan penyakit blas, hal ini ditunjukkan dengan intensitas serangan yang
rendah sehingga dengan demikian produksi yang diperoleh masih cukup baik (6,15 ton/ha) dibanding
perlakuan kontrol yang hanya menghasilkan prduksi sebanyak 5,50 ton/ha. Penggunaan bakteri
Corynebacterium sebagai agens pengedali hayati juga dilakukan pada tanaman Krisan untuk
mengendalikan penyakit Karat, dari hasil penelitian yang dilakukan (Hanudin et al. 2010) diketahui
bahwa dengan penambahan bakteri Corynebacterium pada konsentrasi 0,3% dapat menekan intensitas
serangan Puccinia horiana sebanyak 38,49%, juga dapat mempertahakan hasil panen bunga Krisan layak
jual sebanyak 14,58%. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dipastikan bahwa bakteri
Corynebacterium memiliki peluang untuk dikembangan sebagai agens pengendali hayati untuk
pengendalian penyakit Hawar Daun Bakteri (Kresek). Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk
menjaga lingkungan sehat, mendorong aplikasi teknologi yang ramah lingkungan bahkan mengarah
pada sistem usaha tani organik. Corynebacterium sangat cocok untuk mencegah penyakit layu yang
disebabkan oleh bakteri pada daun/ tanaman hortikutura, palawija maupun tanaman Padi Sawah
(Anonim 2009).
Pseudomonas fluorescens (Pf) merupakan salah satu bakteri yang mampu menekan beberapa jenis
patogen penyebab penyakit tanaman. Potensi Pf sebagai agens pengendali hayati yang mampu
menghambat perkembangan patogen dan mengendalikan penyakit tanaman telah banyak dilakukan,
sebagai contoh adalah interaksi P. fluorescens dengan jamur tular tanah Sclerotium rolfsii,
menyebabkan pertumbuhan jamur tular tanah ini terhambat (Grahan & Mitcel 1998). Isolat Pf hasil
eksplorasi dari rizosfer tanaman kacang-kacangan di beberapa daerah di Jawa Timur memiliki daya
antagonis cukup baik terhadap Sclerotium rolfsii. Penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa aplikasi
isolat Pf tersebut dapat menekan penyakit rebah S. rolfsii berkisar antara 6,67% hingga 17,03%. Selain
menekan kejadian penyakit, Pf juga dapat menekan jumlah struktur pembiakan patogen yan berupa
propagul sklerosia dan menekan perkecambahannya (Rahayu 2008).
Daun sirih (Piper betel sp.) merupakan salah satu dari 13 jenis tumbuhan yang mengandung senyawa
antibakteri (Soewondo et al. 1991). Hasil penelitian Poeloengan et al. (2006) menunjukkan bahwa
minyak atsiri dan esktrak etanol daun sirih pada konsentrasi ekstrak 2550% dapat menghambat
perkembangan bakteri Staphylococcus aureus penyebab penyakit mastitis pada sapi. Senyawa yang
terkandung dalam sirih adalah senyawa fenol yaitu hidroksikavikol yang mempunyai aktivitas
antioksidan (Amonkar et al. 1989) dan asam klorogenat, yaitu suatu senyawa yang dilaporkan dapat
membunuh sel kanker (TNN 2004).
Berdasarkan daya antibakteri yang dimiliki sirih dan keefektifan isolat Pf sebagai agens hayati, maka
kedua jenis pestisida ramah lingkungan tersebut diteliti efikasinya untuk mengendalikan X. axonopodis
bakteri penyebab penyakit pustul pada kedelai.
Tujuh isolat Pf yang diuji secara in vitro (Pf-Bwa, Pf-Bwb, Pf-Bwc, Pf-Kpja, Pf-Kpjb, Pf-Mlg, dan Pf-Blg)
asal rizosfer kedelai dan kacang-kacangan lain di Jawa Timur menunjukkan bahwa isolat Pf-Blg memiliki
daya hambat lebih tinggi dibanding dengan isolat lainnya. Hal itu nampak pada ukuran zona hambatan
yang terlebar mencapai 15 mm pada pengamatan 14 hari setelah inokulasi. Isolat tersebut selanjutnya
digunakan untuk bahan aplikasi pada tanaman kedelai di lapangan.
Hasil penelitian pengendalian bakteri pustul secara in-vitro menggunakan beberapa tingkat konsentrasi
esktrak sirih (0%, 1%, 3%, dan 5%) menunjukkan adanya penghambatan bakteri pustul yang dinyatakan
sebagai lebar zona hambatan, berkisar antara 12,4 mm pada umur kultur 14 hari. Nilai penghambatan
tertinggi sebesar 2,4 mm dicapai pada perlakuan kultur bakteri pustul pada media mengandung
antibiotik streptomisin sulfat. Kultur X. axonopodis tumbuh secara normal pada media PPGA (potato
peptone glucose agar) murni tanpa perlakuan pengendalian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ekstrak sirih pada konsentrasi 15% mampu menekan bakteri pustul, walaupun penekannya tidak
terlalu besar. Efikasi ekstrak sirih dan P. fluorescens di lapangan menunjukkan bahwa penyemprotan
ektrak sirih diikuti penyemprotan Pf masng-masing tiga kali aplikasi (ES/Pf @ 3 x), serta perlakuan
penymrotan Pf dengn enam kali aplikasi (Pf 6 x) dapat menekan penyakit pustule hingga 15%
dibandingkan cek tanpa pengendalian dengan intensitas penyakit mencapai 25% (Rahayu, 2011).
Streptomyces spp. termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif. Ditinjau dari segi
morfologinya, Streptomyces sp. memiliki hifa ramping yang bercabang tanpa sekat melintang, dengan
diameter antara 0,5-2 m. Ciri inilah yang membuat Streptomyces sp. mudah dibedakan dari genus
bakteri lain karena miseliumnya bercabang banyak dan berkembang dengan baik dalam rangkaian
konidia yang menggulung (Agrios, 2005).
Menurut Agrios (2005), Streptomyces sp. diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Prokaryotae
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Thallobacteria
Genus
: Streptomyces
Spesies
: Streptomyces spp.
Genus Streptomyces terdapat dalam jumlah spesies yang sangat besar dan beragam diantara famili
Actinomycetaceae lainnya. Genus tersebut memiliki keragaman dalam morfologi, fisiologi, dan aktivitas
biokimia yang menghasilkan berbagai antibiotik (Taddei, 2005). Streptomyces sp, telah dikenal memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan berbagai senyawa bioaktif yang potential untuk
menghambat pertumbuhan mikroba patogen tular tanah (Lestari, 2007). Antibiotik dari jenis
Streptomyces yaitu bleomisin, eritromisin, josamisin, kanamisin, neomisin, tetrasiklin, dan lain-lain
(Hasim, 2003 dalam Listari, 2009 dalam Anonim, 2012).
Streptomyces sp. merupakan salah satu mikroorganisme pendegradasi khitin terbanyak dari ordo
actinomycetes. Kemampuan khitinolitik Streptomyces sp. banyak mendapat perhatian peneliti, karena
Streptomyces sp. adalah ordo actinomycetes dengan jumlah terbanyak di tanah yang mampu
memanfaatkan khitin sebagai sumber karbon dan nitrogennya (Yurnaliza, 2002). Streptomyces sp. non
patogen sangat potensial dalam menghambat mikroba patogen tular tanah karena Streptomyces sp.
merupakan agens hayati yang mampu bekerja efektif baik secara tunggal maupun dikombinasikan
dengan mikroorganisme prokariotik lainnya (Cook dan Baker, 1983 dalam Anonim, 2012).
III. Streptomyces sp. Sebagai Agens Pengendali Hayati (APH)
1. Streptomyces sp. berpotensi membentuk senyawa anti mikroba
Streptomyces diketahui mampu menghasilkan lebih dari 500 senyawa anti mikroba yang telah
diketahui senyawa penyusunnya. Senyawa anti mikroba ini dalam bidang pertanian dimanfaatkan
sebagai pestisida hayati. Mekanisme penghambatan Streptomyces sp. terhadap fungi dapat terjadi
karena kemampuannya dalam menghasilkan antibiotik dan senyawa Hidrolitik seperti Glukanase,
kitinase yang mampu mendegradasi dinding sel fungi (Prapagdee et al, 2008 dalam J. Ulya, 2009)
Aktivitas penghambatan senyawa anti mikroba secara umum dapat dilakukan dengan berbagai
mekanisme, diantaranya adalah :
1. Merusak dinding sel dengan cara menghambat pembentukan maupun merubah setelah
terbentuk.
2. Potensi Streptomyces sp. Sebagai Agen Biokontrol Mikroba Patogen Tular Tanah
Streptomyces sp. dapat bersifat saprofit, mampu mendekomposisi bahan organik seperti
lignoselulosa, patin dan kitin. Streptomyces sp. Di-994 dapat mengendalikan bakteri Rhizoctonia solani,
Hwang et al, (2001), meyatakan bahwa senyaw bioaktif asam fenil asetat dan sodium fenil asetat yang
dihasilkan oleh Streptomyces humidus mampu melawan P. capsici, R. solanacearum, F. oxysporum, F.
moniliforme, B. subtilis, R. solani.
Menurut Lestari (2007) dalam Anonim, (2012), Streptomyces sp. yang berperan sebagai bakteri
antagonis memiliki kemampuan menghasilkan senyawa anti mikroba. Soesanto (2008) menyatakan
bahwa mekanisme penghambatan agens pengendali hayati adalah cara kerja agens pengendali hayati di
dalam mengendalikan patogen tanaman. Cara kerja yang dilakukan oleh agens tersebut biasanya
menggunakan hasil metabolisme sekunder, baik berupa antibiotika, toksin, enzim, atau hormon, serta
tanpa melibatkan hasil metabolisme tersebut.
Menurut Shimizu et al. (2000) dalam Anonim, (2012), beberapa antibiotika yang
dihasilkan Streptomyces sp. adalah metabolit sekunder (alnumisin, Phythoxazolin A dan BD), antibiotika polyene, vinilamisin, dan geldamisin. Selain menghasilkan antibiotika
tersebut, Streptomyces sp. juga mampu memproduksi auksin indole-3-acetid acid (IAA) yang berperan
menstimulasi pertumbuhan tanaman (Tuomi et al., 1994 dalam Aryantha et al., 2004). IAA merupakan
auksin yang dihasilkan mikroba berguna dalam tanah yang diperkirakan menjadi salah satu mekanisme
dalam Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Soesanto, 2008 dalam Anonim, (2012).
Streptomyces sp. S4 adalah bakteri dari rizosfer terung yang memiliki kemampuan
antagonis cukup baik terhadap R. solanacearum secara in vitro dengan cara antibiosis dan mekanisme
penghambatan secara bakteriostatik. Bakteri ini mempunyai kemampuan yang baik dalam
memanfaatkan beberapa senyawa karbon (glukosa, fruktosa, maltosa, selobiosa, sukrosa, dan
trehalosa), nitrogen (histidin, prolin, dan sistein), mendegradasi makromolekul (gelatin, pati, tween 80,
eskulin, dan reaksi kuning telur), mampu tumbuh pada berbagai suhu (4-45 oC) dan kandungan garam,
serta dapat tumbuh pada medium yang mengandung kitin dan pektin (Djatmiko et al., 2007) (Anonim,
2012).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Bakteri Antagonis Corynebacterium. www.thl-tbpp.blogspot.com. Akses 15 November
2011.
Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tumbuhan, 2007. Efektivitas Bakteri Antagonis
Corynebacterium terhadap HDB/KRESEK.
Hanudin, W.N., Silvia, E., Djatnika, I., Marwoto, B., 2010. Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bacillus
subtilis, Pseudomonas fluorescens, dan Corynebacterium Non Patogenik Untuk Mengendalikan
Penyakit Karat Pada Krisan.
J. Ulya, 2009, Kemampuan Penghambatan Streptomyces spp. terhadap Mikroba Patogen Tular Tanah
Pada Beberapa Kondisi Pertumbuhan : Jenis media, Waktu Produksi, pH dan Suhu, dikutip dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/4626/Tinjauan%20Pustaka_2009j ul3.pdf?sequence=9, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
Muhibuddin A. 2010. Antagonisme Streptomyces Terhadap Sclerotium rolfsii Saac. Penyebab Penyakit
Rebah Semai Pada Tanaman Kedelai. Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya
Sudarma MI. 2010. Seleksi Dan Pemanfaatan Actinomycetes Sebagai Mikroba Antagonis Yang Ramah
Lingkungan Terhadap Fusarium oxysporum f.sp cubense Secara In Vitro. Fakultas Pertanian.
Universitas Udayana
Suwandi U. 1993. Skrining mikroorganisme penghasil antibiotika. Cermin Dunia Kedokteran 89(48):46-48
Puryatiningsih, R. A., 2009, Isolasi Streptomyces Dari Rizosfer Familia Poaceae Yang Berpotensi
Menghasilkan Antibiotik Terhadap Escherichia Coli, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.
Rahayu, M. 2011. Keefetifan agens Pseudomonas fluorescens dan ekstrak daun sirih terhadap penyakit
bakter pustul Xanthomonas axonopodis pada kedelai. Disampaikan pada Seminar Nasional Hasil
Penelitian KABI.
https://djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/21/Potensi-Rhizobakteria-sebagai-Agen-Biofungisidauntuk-Pengendalian-Jamur--Fitopatogen-fusarium-sp./