Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PRAKTIKUM HAMA PENYAKIT PENTING TANAMAN

PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT PADA TANAMAN


NAMA

: M Bari Muwardi

NIM

: 135040201111032

KELAS

:M

KELOMPOK

: M1

Potensi Rhizobakteria sebagai Agen Biofungisida untuk Pengendalian Jamur


Fitopatogen fusarium sp.
Pembangunan pertanian di indonesia saat ini memasuki masa transisi dari orientasi pertanian dengan
pola subsisten kepada pola komersial. Pergeseran tersebut membawa konsekuensi penggunaan
pestisida sebagai salah satu komponen penting dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman
(OPT), salah satu kendala bagi pembangunan pertanian yang berorientasi ekonomi. Sementara itu
pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena
berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak
diperlukan
Salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani saat ini antara lain ditemukannya penyakit layu
fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang tanaman kentang,
pisang, tomat, ubi jalar, strawberry dan bawang daun. Teknologi pertanian, khususnya dalam
pengendalian penyakit tanaman akibat jamur patogen Fusarium sp. di Indonesia pada saat ini masih
banyak mengandalkan penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan keseimbangan ekologis dan residu yang
ditinggalkannya dapat bersifat racun dan karsinogenik. Spesies jamur Fusarium sp. merugikan para
petani, serangan jamur ini menyebabkan tanaman mengalami layu patologis permanen yang berakhir
dengan kematian.
Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi
pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan inilah yang akan
melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Menghadapi kenyataan
tersebut agaknya perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan
mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan,yakni dengan cara pengendalian hayati
menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen hayati biofungisida
untuk mengontrol serangan spesies jamur pengganggu.
Beberapa agen pengendali hayati yang mempunyai kemampuan dalam pengendalian patogen melalui

tanah, salah satunya adalah bakteri yang hidup di sekitar akar (Rhizobakteria). Bakteri dilaporkan bisa
menekan pertumbuhan jamur patogen dalam tanah secara alamiah, terdapat beberapa genus bakteri
yang berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, yaitu Alcaligenes,
Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus,
Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas.
Rhizobakteria ini mampu menjadi agen antagonis untuk mengendalikan pertumbuhan jamur.
Rhizobakteria bersimbiosis mutualisme secara tidak langsung dengan tanaman, karena beberapa bakteri
dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman atau disebut sebagai mikroorganisme PGPR
(Plant growth-promoting rhizobacteria).
Rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas
degradasi kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur Fusarium sp. Rhizobakteri
yang digunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan aman untuk
dikonsumsi. Aplikasi penggunaanya pun cukup praktis, petani bisa menggunakan kultur cair
rhizobakteria secara langsung (dengan pengenceran), menggunakan senyawa aktif biofungisida yang
dihasilkan bakteri atau digunakan sebagai inokulum tambahan pada proses pengomposan.
Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium
sp di Indonesia sendiri masih belum optimal. Penggunaan beberapa rhizobakteria yang dilakukan baru
sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan
rhizobakteria sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam
mengendalikan fitopatogen.
Penggunaan Rhizobakteria sebagai biofungisida untuk mengendalikan jamur Fusarium sp memiliki
beberapa keunggulan, antara lain: mampu membantu revitalisasi tanaman dengan dihasilkannya
hormon pertumbuhan seperti IAA (auksin) dan sitokinin; lebih ramah lingkungan dan biodegradable;
penggunaannya lebih mudah dan murah, bersifat non-patogen dan tidak membahayakan bagi hewan
dan manusia. Aplikasi rhizobakteria sebagai biofungisida juga memiliki beberapa kekurangan yakni
diperlukan adanya analisis resiko rhizobakteria yang digunakan sebelum dipasarkan sebagai agen
biofungisida. Beberapa agen hayati kemungkinan mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang
menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi
peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan
suatu agen hayati.
https://djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/21/Potensi-Rhizobakteria-sebagai-Agen-Biofungisidauntuk-Pengendalian-Jamur--Fitopatogen-fusarium-sp./

POTENSI Corynebacterium SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT HAWAR DAUN


BAKTERI PADA TANAMAN PADI

Corynebacterium sebagai agens pengendali hayati

Pemanfaatan bakteri Corynebacterium di bidang pertanian yaitu dengan penerapan system


pengendalian hama terpadu (PHT) dengan cara memaksimalkan penerapan berbagai metode
pengendalian hama secara komprihensif dan mengurangi penggunaan pestisida. Salah satu komponen
PHT tersebut adalah pengendalian hayati dengan memanfaatkan bakteri antagonis sebagai pengganti
pestisida, hal ini terbukti efektif pada beberapa jenis bakteri potensial yang digunakan sebagai agensia
hayati. Bakteri bakteri antagonis ini dapat menghasilkan antibiotik dan siderofor juga bisa berperan
sebagai kompetitor terhadap unsur hara bagi patogen tanaman, pemanfaatan bakteri bakteri
antagonis ini dimasa depan akan menjadi salah satu pilihan bijak dalam usaha meningkatkan produksi
pertanian sekaligus menjaga kelestarian hayati untuk menunjang budidaya pertanian berkelanjutan
(Hasanuddin dalam Manik 2011).
Bakteri antagonis adalah jasad renik (mikroorganisme) yang mengintervensi kegiatan patogen penyebab
penyakit pada tumbuhan. Pada dasarnya terdapat 3 mekanisme antagonis dari bakteri yaitu :

1. Hiperparasitisme : terjadi apabila organisme antagonis memparasit organisme parasit (patogen


tumbuhan)
2. Kompetisi ruang dan hara : terjadi persaingan dalam mendapatkan ruang hidup dan hara, seperti
karbohidrat, Nitrogen, ZPT dan vitamin.
3. Antibiosis : terjadi penghambatan atau penghancuran suatu organisme oleh senyawa metabolik yang
diproduksi oleh organisme lain (Anonim 2009).

Pengendalian penyakit HDB yang diterapkan oleh BBPOPT Jatisari adalah dengan pemanfaatan bakteri
antagonis. Bakteri antagonis tersebut adalah Corynebacterium. Efektifitas Corynebacterium sebagai
bakteri antagonis terhadap penyakit HDB nampaknya cukup baik dan corynebacterium menunjukkan
penghambatan pada pemunculan gejala awal, penyebaran maupun intensitas serangan (BBPOPT 2007).
Bakteri antagonis Corynebacterium yang di eksplorasi dari tanaman padi awalnya diduga mempunyai
pengaruh buruk, bahkan berperan sebagai bakteri patogen pada beberapa jenis sayuran (Tomat, Cabe
Rawit, Sawi, Terong dan Mentimun), akan tetapi setelah diuji dengan inokulasi buatan suntik, siram dan
semprot ternyata tidak menyebabkan timbulnya penyakit pada tanaman. Hal ini membuktikan bahwa
jenis bakteri ini aman diaplikasikan terhadap penyakit sasaran (Wibowo dalam Banjarnahor 2011).
Pemanfaatan Corynebacterium dalam mengendalikan Hawar Daun Bakteri
Corynebacterium sp. merupakan bakteri antagonis yang ditemukan pada daun padi di daerah Jatisari
Karawang, bakteri ini berhasil diisolasi dan terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit yang
disebabkan oleh cendawan dan bakteri, pada beberapa tanaman pangan serta hortikultura seperti
penyakit kresek pada padi serta penyakit layu dan bercak daun pada tanaman cabai serta kubis-kubisan.
Biopestisida yang berbahan dasar Corynebacterium sp. dibuat formulasinya oleh Balai Besar Peramalan
Organisme Penggangu Tumbuhan (BBPOPT) dan kelompok tani Patih di Subang dalam bentuk cair dan
diberi nama dagang AntiKres (BBPOPT 2007).

Beberapa hasil kajian dan pengalaman para petani di lapangan tentang penggunaan bakteri
corynebacterium sebagai agens hayati dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (HDB) telah
banyak dikemukakan. Penelitian di rumah kaca (MK 1998) diketahui bahwa Cornebacterium dapat
menekan gejala Bacterial Red Stripe (BPS/Pseudomonas sp.) sebesar 52% dan terhadap HDB (BLB /
Xanthomonas campestris pv oryzae sebesar 28%. Corynebacterium efektif menekan laju infeksi HDB di
lapang (Purwakarta MK 1999) sebesar 27%, dan secondary infection (penularan antar rumpun)dapat
ditekan sebesar 84%. Penelitian lapang di Cianjur pada MK 2011, diketahui bahwa aplikasi sebanyak 4
(empat) kali, yaitu perendaman benih, penyemprotan umur 28 hst, 42 dan 56 hst dinilai merupakan
waktu yang tepat untuk tujuan pengendalian penyakit HDB. Dari 4 kali aplikasi Corynebacterium
didapatkan hasil penyebaran penyakit paling rendah berkisar 0-10% dibanding tanpa perlakuan
Corynebacterium, dimana penyebaran penyakit dapai mencapai 100%. Penelitian selanjutnya, 4 kali
penyemprotan Corynebacterium yaitu di pesemaian, umur 14, 28 dan 42 hst menghasilkan penekanan
terhadap hawar daun bakteri (HDB) yang serupa. Penelitian lainnya tentang pemanfaatan
Corynebacterium, penyemprotan Corynebacterium di lokasi Bojong Picung, Cianjur (MH 2001/2002)
menunjukkan penekanan kehilangan hasil yang signifikan.
Hasil penelitian tentang efektivitas Corynebacterium dalam mengendalikan penyakit hawar daun bakteri
yang dilakukan oleh Manik, (2011), menunjukkan bahwa intensitas serangan Xanthomonas campestris
py oryzae tertinggi pada perlakuan B0P0 (kontrol) dengan intensitas serangan sebesar 6,36%, sedang
intensitas serangan terendah yaitu pada perlakuan B2P2 (107 sel bakteri Corynebacterium/ml dengan 60
kg/ha pupuk (100 kg KCl) yaitu sebesar 0,39%. Produksi Padi tertinggi terdapat pada perlakuan B3P3
(108 sel bakteri / ml dengan 90 kg/ha pupuk (150 kg KCl) yaitu sebesar 11,09 ton/ha dan produksi
terendah terdapat pada perlakuan B0P0 (kontrol ) sebesar 6,85 ton/ha. Hasil Penelitian lanjutan yang
diamati pada perlakuan konsentrasi Corynebacterium terhadap intensitas serangan Xanthomonas
campestris pv oryzae ternyata, intesitas serangan paling rendah terlihat pada perlakuan
Corynebacterium dengan konsentrasi 7,5 cc/liter air dengan intensitas serangan yaitu 37,23% dengan
produksi hasil mencapai 8,92 ton/ha, sedangkan pada perlakuan kontrol (tidak menggunakan
Corynebacterium) intensitas serangan mencapai 47,86% (Banjarnahor 2010).
Selain Corybacterium dapat mengendalikan penyakit hawar daun bakteri (HDB) banyak penelitian
lainnya yang menunjukkan Corynebacterium sebagai agens hayati pengendali patogen. Penelitian yang
dilakukan (Dahyar dan Ayu 2010), dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan perendaman benih
bakteri antagonis Corynebacterium 5 cc/l sebelum tanam dan penyemprotan pada 14 hst, 28 hst dan 42
hst mampu menekan perkembangan penyakit blas, hal ini ditunjukkan dengan intensitas serangan yang
rendah sehingga dengan demikian produksi yang diperoleh masih cukup baik (6,15 ton/ha) dibanding
perlakuan kontrol yang hanya menghasilkan prduksi sebanyak 5,50 ton/ha. Penggunaan bakteri
Corynebacterium sebagai agens pengedali hayati juga dilakukan pada tanaman Krisan untuk
mengendalikan penyakit Karat, dari hasil penelitian yang dilakukan (Hanudin et al. 2010) diketahui
bahwa dengan penambahan bakteri Corynebacterium pada konsentrasi 0,3% dapat menekan intensitas
serangan Puccinia horiana sebanyak 38,49%, juga dapat mempertahakan hasil panen bunga Krisan layak
jual sebanyak 14,58%. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dipastikan bahwa bakteri
Corynebacterium memiliki peluang untuk dikembangan sebagai agens pengendali hayati untuk
pengendalian penyakit Hawar Daun Bakteri (Kresek). Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk
menjaga lingkungan sehat, mendorong aplikasi teknologi yang ramah lingkungan bahkan mengarah
pada sistem usaha tani organik. Corynebacterium sangat cocok untuk mencegah penyakit layu yang

disebabkan oleh bakteri pada daun/ tanaman hortikutura, palawija maupun tanaman Padi Sawah
(Anonim 2009).

Pengendalian Penyakit Bakteri Pustul Xanthomonas axonopodis pada Kedelai


dengan Agens Hayati Pseudomonas fluorescens dan Ekstrak Daun Sirih

Pseudomonas fluorescens (Pf) merupakan salah satu bakteri yang mampu menekan beberapa jenis
patogen penyebab penyakit tanaman. Potensi Pf sebagai agens pengendali hayati yang mampu
menghambat perkembangan patogen dan mengendalikan penyakit tanaman telah banyak dilakukan,
sebagai contoh adalah interaksi P. fluorescens dengan jamur tular tanah Sclerotium rolfsii,
menyebabkan pertumbuhan jamur tular tanah ini terhambat (Grahan & Mitcel 1998). Isolat Pf hasil
eksplorasi dari rizosfer tanaman kacang-kacangan di beberapa daerah di Jawa Timur memiliki daya
antagonis cukup baik terhadap Sclerotium rolfsii. Penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa aplikasi
isolat Pf tersebut dapat menekan penyakit rebah S. rolfsii berkisar antara 6,67% hingga 17,03%. Selain
menekan kejadian penyakit, Pf juga dapat menekan jumlah struktur pembiakan patogen yan berupa
propagul sklerosia dan menekan perkecambahannya (Rahayu 2008).
Daun sirih (Piper betel sp.) merupakan salah satu dari 13 jenis tumbuhan yang mengandung senyawa
antibakteri (Soewondo et al. 1991). Hasil penelitian Poeloengan et al. (2006) menunjukkan bahwa
minyak atsiri dan esktrak etanol daun sirih pada konsentrasi ekstrak 2550% dapat menghambat
perkembangan bakteri Staphylococcus aureus penyebab penyakit mastitis pada sapi. Senyawa yang
terkandung dalam sirih adalah senyawa fenol yaitu hidroksikavikol yang mempunyai aktivitas
antioksidan (Amonkar et al. 1989) dan asam klorogenat, yaitu suatu senyawa yang dilaporkan dapat
membunuh sel kanker (TNN 2004).
Berdasarkan daya antibakteri yang dimiliki sirih dan keefektifan isolat Pf sebagai agens hayati, maka
kedua jenis pestisida ramah lingkungan tersebut diteliti efikasinya untuk mengendalikan X. axonopodis
bakteri penyebab penyakit pustul pada kedelai.
Tujuh isolat Pf yang diuji secara in vitro (Pf-Bwa, Pf-Bwb, Pf-Bwc, Pf-Kpja, Pf-Kpjb, Pf-Mlg, dan Pf-Blg)
asal rizosfer kedelai dan kacang-kacangan lain di Jawa Timur menunjukkan bahwa isolat Pf-Blg memiliki
daya hambat lebih tinggi dibanding dengan isolat lainnya. Hal itu nampak pada ukuran zona hambatan
yang terlebar mencapai 15 mm pada pengamatan 14 hari setelah inokulasi. Isolat tersebut selanjutnya
digunakan untuk bahan aplikasi pada tanaman kedelai di lapangan.
Hasil penelitian pengendalian bakteri pustul secara in-vitro menggunakan beberapa tingkat konsentrasi
esktrak sirih (0%, 1%, 3%, dan 5%) menunjukkan adanya penghambatan bakteri pustul yang dinyatakan
sebagai lebar zona hambatan, berkisar antara 12,4 mm pada umur kultur 14 hari. Nilai penghambatan
tertinggi sebesar 2,4 mm dicapai pada perlakuan kultur bakteri pustul pada media mengandung

antibiotik streptomisin sulfat. Kultur X. axonopodis tumbuh secara normal pada media PPGA (potato
peptone glucose agar) murni tanpa perlakuan pengendalian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ekstrak sirih pada konsentrasi 15% mampu menekan bakteri pustul, walaupun penekannya tidak
terlalu besar. Efikasi ekstrak sirih dan P. fluorescens di lapangan menunjukkan bahwa penyemprotan
ektrak sirih diikuti penyemprotan Pf masng-masing tiga kali aplikasi (ES/Pf @ 3 x), serta perlakuan
penymrotan Pf dengn enam kali aplikasi (Pf 6 x) dapat menekan penyakit pustule hingga 15%
dibandingkan cek tanpa pengendalian dengan intensitas penyakit mencapai 25% (Rahayu, 2011).

Potensi Bakteri Streptomyces sp.


Sebagai Agens Pengendali Hayati (APH)
Streptomyces merupakan salah satu genus dari kelas Actinomycetes yang biasanya terdapat di tanah.
Actinomycetes adalah prokariot yang menghasilkan substansi penting untuk kesehatan seperti
antibiotik, enzim, dan immunomodulator (Moncheva et al., 2000 dalam Puryatiningsih, 2009) dan salah
satu organisme tanah yang memiliki sifat-sifat umum yang dimiliki oleh bakteri dan jamur tetapi juga
memiliki ciri khas yang cukup berbeda yang membatasinya menjadi satu kelompok yang jelas berbeda
(Rao, 1994 dalam Puryatiningsih, 2009). Banyak anggota dari Actinomycetes tumbuh seperti filamenfilamen yang tipis seperti kapang daripada sel tunggal sehingga Actinomycetes dianggap sebagai fungi
atau cendawan.
Meskipun ada persamaan dalam hal pola pertumbuhannya, fungi itu eukariota sedangkan
Actinomycetes adalah prokariota (Kimball, 1999 dalam Puryatiningsih, 2009). Pada lempeng agar
Actinomycetes dapat dibedakan dengan mudah dari bakteri yang sebenarnya tidak seperti koloni bakteri
yang jelas berlendir dan tumbuh dengan cepat. Koloni Actinomycetes muncul perlahan, menunjukkan
konsistensi berbubuk dan melekat erat pada permukaan agar (Rao, 1994 dalam Puryatiningsih, 2009).
Streptomyces menghasilkan antibiotik di mana lebih dari setengahnya merupakan antibiotik yang efektif
melawan bakteri, misalnya streptomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.
Isolasi Streptomyces menghasilkan koloni-koloni kecil (berdiameter 1-10 mm), terpisah-pisah seperti
liken, dan seperti kulit atau butirus (mempunyai konsistensi seperti mentega), mula-mula
permukaannya relatif licin tetapi kemudian membentuk semacam tenunan miselium udara yang dapat
menampakkan granularnya, seperti bubuk, seperti beludru, atau flokos, menghasilkan berbagai macam
pigmen yang menimbulkan warna pada miselium vegetatif, miselium udara, dan substrat (Pelczar dan
Chan, 1988 dalam Puryatiningsih, 2009). Streptomyces mempunyai misel yang baunya sangat kuat,
berkembang dan mengandung hifa udara (sporofor), dari bentuk ini terjadi konstruksi lurus,
bergelombang, mirip spiral, dapat mengurai selulosa, khitin dan zat-zat lain sukar dipecah. Streptomyces
umumnya memproduksi antibiotik yang dipakai manusia dalam bidang kedokteran dan pertanian, juga
sebagai agen antiparasit, herbisida, metabolisme aktif, farmakologi, dan beberapa enzim penting dalam
makanan dan industri lain (Schlegel, 1994 dalam Puryatiningsih, 2009).

Streptomyces spp. termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif. Ditinjau dari segi
morfologinya, Streptomyces sp. memiliki hifa ramping yang bercabang tanpa sekat melintang, dengan
diameter antara 0,5-2 m. Ciri inilah yang membuat Streptomyces sp. mudah dibedakan dari genus
bakteri lain karena miseliumnya bercabang banyak dan berkembang dengan baik dalam rangkaian
konidia yang menggulung (Agrios, 2005).
Menurut Agrios (2005), Streptomyces sp. diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Prokaryotae
Divisi

: Firmicutes

Kelas

: Thallobacteria

Genus

: Streptomyces

Spesies

: Streptomyces spp.

Genus Streptomyces terdapat dalam jumlah spesies yang sangat besar dan beragam diantara famili
Actinomycetaceae lainnya. Genus tersebut memiliki keragaman dalam morfologi, fisiologi, dan aktivitas
biokimia yang menghasilkan berbagai antibiotik (Taddei, 2005). Streptomyces sp, telah dikenal memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan berbagai senyawa bioaktif yang potential untuk
menghambat pertumbuhan mikroba patogen tular tanah (Lestari, 2007). Antibiotik dari jenis
Streptomyces yaitu bleomisin, eritromisin, josamisin, kanamisin, neomisin, tetrasiklin, dan lain-lain
(Hasim, 2003 dalam Listari, 2009 dalam Anonim, 2012).
Streptomyces sp. merupakan salah satu mikroorganisme pendegradasi khitin terbanyak dari ordo
actinomycetes. Kemampuan khitinolitik Streptomyces sp. banyak mendapat perhatian peneliti, karena
Streptomyces sp. adalah ordo actinomycetes dengan jumlah terbanyak di tanah yang mampu
memanfaatkan khitin sebagai sumber karbon dan nitrogennya (Yurnaliza, 2002). Streptomyces sp. non
patogen sangat potensial dalam menghambat mikroba patogen tular tanah karena Streptomyces sp.
merupakan agens hayati yang mampu bekerja efektif baik secara tunggal maupun dikombinasikan
dengan mikroorganisme prokariotik lainnya (Cook dan Baker, 1983 dalam Anonim, 2012).
III. Streptomyces sp. Sebagai Agens Pengendali Hayati (APH)
1. Streptomyces sp. berpotensi membentuk senyawa anti mikroba
Streptomyces diketahui mampu menghasilkan lebih dari 500 senyawa anti mikroba yang telah
diketahui senyawa penyusunnya. Senyawa anti mikroba ini dalam bidang pertanian dimanfaatkan
sebagai pestisida hayati. Mekanisme penghambatan Streptomyces sp. terhadap fungi dapat terjadi
karena kemampuannya dalam menghasilkan antibiotik dan senyawa Hidrolitik seperti Glukanase,
kitinase yang mampu mendegradasi dinding sel fungi (Prapagdee et al, 2008 dalam J. Ulya, 2009)
Aktivitas penghambatan senyawa anti mikroba secara umum dapat dilakukan dengan berbagai
mekanisme, diantaranya adalah :
1. Merusak dinding sel dengan cara menghambat pembentukan maupun merubah setelah
terbentuk.

2. Perubahan permeabilitas sel, kerusakan pada membran ini berakibat terhambatnya


pertumbuhan sel atau matinya sel, karena membran bertujuan untuk memelihara
integritas komponen-komponen seluler.
3. Perubahan molekul protein dan asam nukleat
4. Penghambatan kerja enzim yang mengakibatkan terganggunya metabolisme sel atau
matinya sel.
5. Penghambatan sintesa asam nukleat dan protein yang berakibat terganggunya
Aktivitas metabolisme karena DNA, RNA dan protein memegang peranan penting
dalam mekanisme sel secara normal (Pelczar dan Chan, 2005 dalam J. Ulya, 2009).

2. Potensi Streptomyces sp. Sebagai Agen Biokontrol Mikroba Patogen Tular Tanah
Streptomyces sp. dapat bersifat saprofit, mampu mendekomposisi bahan organik seperti
lignoselulosa, patin dan kitin. Streptomyces sp. Di-994 dapat mengendalikan bakteri Rhizoctonia solani,
Hwang et al, (2001), meyatakan bahwa senyaw bioaktif asam fenil asetat dan sodium fenil asetat yang
dihasilkan oleh Streptomyces humidus mampu melawan P. capsici, R. solanacearum, F. oxysporum, F.
moniliforme, B. subtilis, R. solani.
Menurut Lestari (2007) dalam Anonim, (2012), Streptomyces sp. yang berperan sebagai bakteri
antagonis memiliki kemampuan menghasilkan senyawa anti mikroba. Soesanto (2008) menyatakan
bahwa mekanisme penghambatan agens pengendali hayati adalah cara kerja agens pengendali hayati di
dalam mengendalikan patogen tanaman. Cara kerja yang dilakukan oleh agens tersebut biasanya
menggunakan hasil metabolisme sekunder, baik berupa antibiotika, toksin, enzim, atau hormon, serta
tanpa melibatkan hasil metabolisme tersebut.
Menurut Shimizu et al. (2000) dalam Anonim, (2012), beberapa antibiotika yang
dihasilkan Streptomyces sp. adalah metabolit sekunder (alnumisin, Phythoxazolin A dan BD), antibiotika polyene, vinilamisin, dan geldamisin. Selain menghasilkan antibiotika
tersebut, Streptomyces sp. juga mampu memproduksi auksin indole-3-acetid acid (IAA) yang berperan
menstimulasi pertumbuhan tanaman (Tuomi et al., 1994 dalam Aryantha et al., 2004). IAA merupakan
auksin yang dihasilkan mikroba berguna dalam tanah yang diperkirakan menjadi salah satu mekanisme
dalam Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Soesanto, 2008 dalam Anonim, (2012).
Streptomyces sp. S4 adalah bakteri dari rizosfer terung yang memiliki kemampuan
antagonis cukup baik terhadap R. solanacearum secara in vitro dengan cara antibiosis dan mekanisme
penghambatan secara bakteriostatik. Bakteri ini mempunyai kemampuan yang baik dalam
memanfaatkan beberapa senyawa karbon (glukosa, fruktosa, maltosa, selobiosa, sukrosa, dan
trehalosa), nitrogen (histidin, prolin, dan sistein), mendegradasi makromolekul (gelatin, pati, tween 80,
eskulin, dan reaksi kuning telur), mampu tumbuh pada berbagai suhu (4-45 oC) dan kandungan garam,
serta dapat tumbuh pada medium yang mengandung kitin dan pektin (Djatmiko et al., 2007) (Anonim,
2012).

PENGHAMBATAN ACTINOMYCETES TERHADAP ERWINIA CAROTOVORA SUBSP.


CAROTOVORA SECARA IN VITRO
Salah satu faktor pembatas di lapangan dalam peningkatan produksi kualitas dan kuantitas tembakau
yaitu adanya serangan hama dan penyakit (Hartana, 1987). Salah satunya adalah penyakit busuk batang
berlubang yang disebabkan oleh Erwinia carotovora subsp. carotovora (Semangun, 2001). Tetapi
penyakit ini belum efektif dikendalikan menggunakan pestisida kimiawi maka alternatif pengendalian
perlu dikembangkan yaitu pengendalian menggunakan agen hayati. Salah satu mikroba yang memiliki
potensi sebagai agen pengendali hayati adalah Actinomycetes yang diketahui memiliki kemampuan
dalam menghasilkan berbagai antibiotik seperti streptomycin, aureomisin, oleandomisin, spiramycin dan
eritromisin (Suwandi, 1993). Actinomycetes juga dapat mengendalikan beberapa patogen seperti
Sclerotium rolfsii Saac. penyebab penyakit rebah semai pada tanaman kedelai dan F. oxysporum f.sp.
cubense penyebab penyakit layu fusarium pada pisang (Muhibuddin, 2010; Sudarma, 2010).
A. Eksplorasi dan Isolasi Actinomycetes
Isolasi dilakukan dari sampel tanah rhizosfer tanaman tembakau pada tanah dengan cara Hot Treatment
pada sampel tanah dengan suhu 121C, satu atm menggunakan autoklaf selama satu jam kemudian
dibuat seri pengenceran 10-1 sampai dengan 10-10. Sebanyak 50l suspensi pada pengenceran 10-9 dan
10-10 ditumbuhkan pada YPGA. Untuk identifikasi sampai tingkat genus dilakukan dengan pengamatan
karakteristisasi secara morfologi menggunakan metode culture slide, pengujian Gram dan pengujian
Hipersensitif (HR) pada daun tembakau.
B. Kultur E. carotovora subsp. carotovora
Bakteri E.carotovora subsp. carotovora diperbanyak dengan cara digoreskan pada medium YPGA dalam
cawan Petri dengan menggunakan jarum ose yang kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 24
jam
C. Pengujian Daya Hambat dan Mekanisme secara In Vitro
Pengujian antibiosis dilakukan dengan cara menumbuhkan tiga titik biakan isolat Actinomycetes pada
medium YPGA, diinkubasikan 24 jam. Cawan Petri dibalik dan pada tutupnya ditetesi dengan satu ml
kloroform kemudian dibiarkan sampai menguap (2 jam). Menuangkan empat ml agar air 0,6% suhu 50C
yang sudah dicampuri dengan suspensi 0,2 ml E. carotovora ke dalam biakan Actinomycetes, kemudian
inkubasikan selama 24 jam dan dan diamati zona hambatan yang terbentuk. Untuk mekanisme
mekanisme penghambatan, media agar dalam zona hambatan diambil secara aseptis dengan scalpel
steril kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi berisi lima ml air pepton 1% dan dihancurkan dengan
jarum preparat. Air pepton berisi agar kemudian dishaker menggunakan rotary shaker selama 24 jam
pada suhu ruang. Air pepton yang menjadi keruh setelah 24 jam menunjukan mekanisme
penghambatan Actinomycetes bersifat bakteristatik. Air pepton yang tetap bening maka mekanisme
penghambatan bersifat bakterisidal.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Bakteri Antagonis Corynebacterium. www.thl-tbpp.blogspot.com. Akses 15 November
2011.
Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tumbuhan, 2007. Efektivitas Bakteri Antagonis
Corynebacterium terhadap HDB/KRESEK.
Hanudin, W.N., Silvia, E., Djatnika, I., Marwoto, B., 2010. Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bacillus
subtilis, Pseudomonas fluorescens, dan Corynebacterium Non Patogenik Untuk Mengendalikan
Penyakit Karat Pada Krisan.
J. Ulya, 2009, Kemampuan Penghambatan Streptomyces spp. terhadap Mikroba Patogen Tular Tanah
Pada Beberapa Kondisi Pertumbuhan : Jenis media, Waktu Produksi, pH dan Suhu, dikutip dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/4626/Tinjauan%20Pustaka_2009j ul3.pdf?sequence=9, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
Muhibuddin A. 2010. Antagonisme Streptomyces Terhadap Sclerotium rolfsii Saac. Penyebab Penyakit
Rebah Semai Pada Tanaman Kedelai. Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya
Sudarma MI. 2010. Seleksi Dan Pemanfaatan Actinomycetes Sebagai Mikroba Antagonis Yang Ramah
Lingkungan Terhadap Fusarium oxysporum f.sp cubense Secara In Vitro. Fakultas Pertanian.
Universitas Udayana
Suwandi U. 1993. Skrining mikroorganisme penghasil antibiotika. Cermin Dunia Kedokteran 89(48):46-48
Puryatiningsih, R. A., 2009, Isolasi Streptomyces Dari Rizosfer Familia Poaceae Yang Berpotensi
Menghasilkan Antibiotik Terhadap Escherichia Coli, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.
Rahayu, M. 2011. Keefetifan agens Pseudomonas fluorescens dan ekstrak daun sirih terhadap penyakit
bakter pustul Xanthomonas axonopodis pada kedelai. Disampaikan pada Seminar Nasional Hasil
Penelitian KABI.
https://djarumbeasiswaplus.org/artikel/content/21/Potensi-Rhizobakteria-sebagai-Agen-Biofungisidauntuk-Pengendalian-Jamur--Fitopatogen-fusarium-sp./

Anda mungkin juga menyukai