Anda di halaman 1dari 24

ASMA BRONKIAL

I. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, dikarateristikan dengan inflamasi
kronis saluran pernapasan. Didefinisikan dengan riwayat gejala respiratorik
seperti mengi, sesak napas, dada rasa tertekan dan atau batuk, oleh karna
limitasi aliran udara ekspirasi (GINA, 2014).
Menurut NHLBI (Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis
and Management of Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi kronik
saluran napas dimana banyak sel berperan terutama sel mast, eosinophil,
limfosit T, makrofag, neutrophil, dan sel epitel.
Pada

individu

rentan

proses

inflamasi

tersebut

menyebabkan

wheezing atau mengi yang berulang, sesak napas, dada rasa penuh (chest
tightness) dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi (Wibisono
et al, 2010).
II.

Epidemiologi
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di

berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan


kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di
Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2003).
III. Faktor Risiko
1. Genetik
Secara umum telah diketahui bahwa terdapat kontribusi herediter pada
etiologi asma dimana pola herediter komplek dan asma tidak dapat
diklasifikasikan secara sederhana cara pewarisannya seperti autosomal
dominant, resesif, atau sex-linked. Kadar serum IgE yang tinggi telah
diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q, 11q, dan 12q. Secara kliik
ada

hubungan

kuat

antara

hiperesponsif

saluran

nafas

dengan

peningkatan kadar IgE dan bukti terbaru menunjukkan co-inheritance dari

gen untuk atopi dan airway hypereactivity (AHR) dijumpai pada kromosom
yang sama.
2. Gender dan Ras
Pada anak, asma lebihs sering dijumpai pada anak laki-laki tetapi
menjadi berlawanan pada pubertas dan dewasa. Di Amerika Serikat, ras
kulit hitam diketiahui mempunyai risiko tinggi kematian, tidak terdantung
status sosial ekonomi dan pendidikan. Prevalensi secara keseluruhan
wanita lebih banyak dari pria.
3. Faktor Lingkungan
Penyebab terpenting asma adalah alergen dan occupational factor.
Beberapa studi epidemiologi menunjukan korelasi antara paparan alergen
dan prevalensi asma serta perbaikan asma bila paparan alergen menurun.
Alergen indoor yang penting adalah: tungai debu rumah, alergen hewan
(kucing, anjing, roden), alergen kecoak dan jamur. Debu rumah terutama
beberapa senyawa organic dan inorganic. Outdoor alergen termasuk
didalamnya bahan-bahan dari pohon, weeds dan grasses serta fungi, dan
molds dan yeast.
4. Polusi Udara
Bahan polusi/polutan didalam maupun diluar rumah memiliki kontribusi
perburukan

gejala

asma

dengan

merangsang

bronkokonstriksi,

meningkatkan hiperesponsif saluran napas dan meningkatkan respon


terhadap aeroallergen. Dua polutan outdoor yang oentiung yaitu
industriak smog ( sulfur dioxide, particulate complex) dan photochemical
smog (ozone dan nitrogen oxides).
5. Faktor Lain
Beberapa studi epidemiologi menemukan hubungan antara risiko
terjadinya asma dengan atopi. Pertumbuhan di daerah pertanian
menurunkan

risiko

atopi

dan

rhinitis

alergi

pada

dewasa

dan

mengesankan bahwa faktor lingkungan mempunyai efek protektif pada


timbulnya alergi. Penggunaan bahan bakar modern ada hubungannya
dengan peningkatan angka sensitisasi alergik dan gejala. Di Negara
sedang

berkembang

perpindahan

ke

kota

dihubungkan

dengan

perubahan dari bahan bakar biomassal seperti kayu, batu bara, dan
animal waste ke gas dan listrik (Wibisono et al, 2010).

(sumber: PDPI 2003)

IV. Patofisiologi

Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan


dalam saluran napas seperti:
A. Bronkokonstiksi
Pada eksaserbasi asma, bronkospasme akut yang menyebabkan
penyempitan saluran nafas sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti
alergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut akibat alergen terjadi lewat IgEdependent release of mediator dari sel mast. Bronkokonstriksi akut
merupakan konsekuensi dari pelepasan mediator IgE setelah terpapar
aeroallergen dan merupakan komponen primer dari respon awal asma
(Wibisono et al, 2010). Pada reaksi tipe cepat, alergen akan terikat pada IgE
yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut.
Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan
PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi (PDPI, 2003).
B. Edema Saluran Napas
Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi melibatkan
interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Bagaimana peristiwa interaktif
terjadi dan menuju ke asma klinik masih dalam investigasi. Pola inflamasi
saluran napas asma tidak harus bervariasi tergantung pada keparahan,
persistensi, dan durasi penyakit. Salah satu sel inflamasi saluran napas yaitu
limfosit T, memegang peranan penting dalam regulasi inflamasi saluran napas
melalui pelepasan sitokin yang cukup banyal. Komponen sel lainnya seperti
fibriblast, sel ebdotel, dan sel epitel berkontribusi terhadap proses kronik
penyakit asma. Sel mediator yang dilepaskan mempengaruhi tonus otot polos
pada saluran pernapasan, perubahan struktur, serta remodeling dari saluran
napas. Inflamasi kronis berhubungan dengan peningkatan hiperesponsivitas
saluran pernapasan, yang menyebabkan terjadinya bronco spasme, mengi,
sesak napas, dan batuk setelah terpapar alergen, polutan udara, virus, udara
dingin, dan olahraga/latihan (Wibisono, 2010)

Sel inflamasi saluran Sel structural saluran Mediator asma


napas

napas

yang

terlibat

Sel mast
Eosinophil
Sel limfosit T
Sel dendritic
Makrofag
Neutrophil

pathogenesis asma
Sel epitel saluran napas Kemokin
Sel otot polos saluran
Sitokin
napas
Sel endotel
Cysteinyl leukotriene
Sel
fibriblast
dan
Histamine
mioifobroblast
Nitrit okside
Saraf saluran napas
Prostaglandin D2

C. Hipersekresi Mukus
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang bersal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis
(Makmuri et al, 2008). Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme
patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami
metaplasia dan hyperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi
sekresi sel granulasi. Degranulasi diprovokasi oleh mediator inflamasi,
dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel
mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.
V. Diagnosis
Beberapa hal yang khas pada asma, jika terdapat pada pasien, maka
meningkatkan kemungkinan pasien tersebut memiliki penyakit asma:
-

Terdapat lebih dari satu gejala yaitu mengi, sesak napas, batuk, dan
dada rasa tertekan, terutama pada dewasa.

Gejala lebih berat pada malam hari atau pada pagi hari

Intensitas dan gejala bervariasi dari waktu ke waktu/berbeda-beda

Gejala dicetuskan oleh infeksi virus, latihan, terpajan alergen,


perubahan cuaca, tertawa, atau iritan seperti asap knalpot, rokok, atau
bau-bauan yang kuat.

Beberapa hal yang menurunkan kemungkinan gejala berkaitan dengan


penyakit asma:

Batuk merupaka satu-satunya gejala respiratori

Produksi sputum kronis

Nyeri dada

Dyspneu yang diinduksi oleh latihan dengan bising inspirasi

(sumber: GINA, 2014)


VI. Diagnosis Banding
- PPOK
- Bronkitis kronis
- Gagal jantung kongestif
- Batuk kronik akibat lain
- Disfungsi laring
- Obstruksi mekanis (misal tumor)
- Emboli paru, (PPDI, 2003)

(sumber: GINA, 2014)


VII. Klasifikasi
Klasifikasi
pengobatan:

derajat

asma

berdasarkan

gambaran

klinis

sebelum

Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan:

(Sumber: PDPI, 2003)


VIII. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah tercapainya asma yang terkontrol.
Menurut PPDI 2003 tujuan penatalaksaan asma yaitu menghilangkan dan
mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan dan
mempertahankan faal paru seoptimal mungkin, mengupayakan aktivitas
normat

termasuk

olahraga/latihan,

menghindari

efek

samping

obat,

mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel,


dan mencegah kematian karena asma
Asma dikatakan terkontrol bila gejala minimal (sebaiknya tidak ada),
termasuk gejala malam, apabila tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk
latihan, kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya

tidak diperlukan), variasi harian APE kurang dari 20%, nilai APE normal atau
mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada), tidak ada
kunjungan ke unit gawat darurat.
Penatalaksanaan/terapi asma dibagi menjadi non farmakologi dan
farmakologi. Non farmakologi termasuk diantaranya edukasi, menghindari
pencetus, dan olahraga sebagai tambahan. Farmakologi dibagi menjadi
controller atau obat pengendali dan reliever atau obat pelega.
Menurut PDPI 2003, Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen:
1. Edukasi
2. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Farmakologi
1). Obat Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk
mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses
inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah.
Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain:
Corticosteroid inhalasi, corticosteroid sistemik, sodium chromoglicate,
nedochromil sodium, methylxanthine, agonis 2 kerja lama (LABA) inhalasi,
Leukotriene modifiers, antihistamin (antagonis H1) generasi kedua
a. Corticosteroid Inhalasi.
Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa mekanisme
yaitu:
1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi
produksi leukotriene dan prostaglandin.
2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler

3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel


inflamasi
4) Menghambat produksi cytokines
5) Meningkatkan kepekaan reseptor 2 pada otot polos bronkus
Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah:
1) Dosis yang digunakan relatif rendah
2) Efek samping minmal
3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula
kerja obat (onset of action) yang cepat.
4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.
Corticosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan
obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian
menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal
paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi,
frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup . Pada
asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis maksimal yang
dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar,
yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak selamanya sejalan
dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian, peningkatan dosis
inhalasi corticosteroid tidak memberikan efek lebih baik dibandingkan bila
inhalasi corticosteroid dikombinasi dengan agonis 2 kerja lama (LABA)
(GINA, 2014). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik
aman pada dosis yang direkomendasikan.

Beberapa glucorticosteroid yang digunakan di sistem pelayanan


kesehatan memberikan potensi dan bioavaibiliti setelah inhalasi yang
berbeda. Dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glucorticosteroid
berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis respons steroid inhalasi
adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan
banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala,faal paru,
hiperesponsif saluran pernapasan), bahkan meningkatkan risiko timbulnya
efek samping.

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti


kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan
atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer,
higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi
corticostreoid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.
b. Corticosteroid Sistemik
Obat corticosteroid sistemik diberikan pada serangan asma akut bila
pemberian secara inhalasi belum dapat mengontrol serangan asma akut
yang terjadi. Pemberian steroid oral selama 57 hari biasa digunakan
sebagai terapi permulaan pengobatan jangka panjang maupun sebagai
terapi awal pada asma yang tidak terkontrol, atau ketika terjadi perburukan
penyakit. Meskipun tidak dianjurkan, steroid oral jangka panjang terpaksa
diberikan apabila pasien asma persiten sedang-berat tidak mampu membeli
steroid inhalasi. Namun, pemberiannya memerlukan monitoring ketat
terhadap gejala klinis yang ada dan kemungkinan kejadian efek samping
obat yang akan lebih mudah muncul pada pemberian obat secara sistemik.
Dengan demikian, pemberian corticosteroid oral jangka panjang dilakukan
dengan mempertimbangkan hal-hal di bawah ini, untuk mengurangi
kemungkinan efek samping obat yang terjadi:
1) Gunakan prednisone atau methylprednisolone, karena mempunyai
efek mineralo-corticoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae
pada otot minimal.
2) Gunakan bentuk oral, bukan parentral.
3) Penggunaan selang sehari (intermitten therapy) atau sekali sehari
pagi hari.
c. Methylxanthine
Theophylline adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine dan
merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua golongan
bronkodilator lain yaitu agonis 2 dan anticholinergic. Sampai saat ini,
theophylline tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi pemberian
theophylline dilakukan secara oral atau pemberian sistemik (parenteral)
lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat.

Theophylline mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga


mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat
pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti inflamasi
seperti corticosteroid, pada pasien asma persisten berat dan sedang, bila
steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang optimal. Pada
pasien asma dengan gejala asma pada malam hari, pemberiannya pada
sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul pada malam hari.
Theophylline atau aminophylline lepas lambat dapat juga digunakan
sebagai obat pengontrol, meskipun potensinya tidak dapat menyamai
corticosteroid. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
theophylline jangka lama, efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama,
sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gejala asma pada malam hari,
dikombinasi dengan anti inflamasi yang lazim digunakan. Hasil penelitian
lain menunjukkan bahwa methylxanthine sebagai terapi tambahan pada
pemberian glucocorticosteroid inhalasi dalam berbagai tingkat dosis adalah
efektif untuk mengontrol asma. Namun, sebagai terapi tambahan, kombinasi
ini tidak seefektif inhalasi kombinasi corticosteroid dengan agonis kerja
lama, meskipun masih merupakan obat pilihan, karena harganya yang jauh
lebih murah dari sediaan inhalasi.
d. Agonis 2 Kerja Lama Inhalasi
Obat yang termasuk ke dalam kelompok LABA ini adalah salmeterol
dan formoterol. Kedua obat ini adalah bronkodilator dengan lama kerja obat
mencapai 18 jam yang juga mempunyai sifat anti inflamasi, sehingga
pemberian obat cukup 2 kali sehari. Karena durasi efek obat yang lama ini,
maka LABA lebih sesuai berperan sebagai obat pelega pada pengobatan
pemeliharaan (maintenance therapy). Namun, formoterol sebagai salah satu
LABA, mempunyai keistimewaan, yaitu mula kerja yang cepat dan durasi
kerja obat yang relatif lama. Karena mula kerjanya yang lebih cepat
daripada salmaterol, formoterol juga dapat digunakan pada serangan asma
akut (rescue medication), yang memerlukan pelega dengan mula kerja
(onset of action) yang cepat. Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan
corticosteroid,

memberikan

hasil

yang

lebih

baik

daripada

terapi

corticosteroid tunggal, meskipun dosisnya ditingkatkan. Onset (mula kerja)


dan durasi (lama kerja) berbagai agonis 2 inhalasi dapat dilihat pada.
Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan fluticasone
serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi yang
menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap ini
mempunyai beberapa keuntungan antara lain:
- Dosis corticosteroid dan agonis 2 kerja lama (LABA) yang
digunakan pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat
ini dipakai secara terpisah.
- Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali
-

lipat.

Pemberian corticosteroid dapat meningkatkan sintesis reseptor agoni 2


dan menurunkan desensitisasi terhadap agonis 2.

- Pemberian agonis 2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebihsiap,


sehingga lebih sedikit corticosteroid yang dibutuhkan untuk menghasilkan
aktivitas yang diharapkan.
Dengan demikian kombinasi kedua obat ini menghasilkan on and on
phenomena(GINA, 2014). Bentuk kombinasi tetap ini dapat digunakan pada
penyakit asma persisten ringan, sedang dan berat.

2). Obat Pelega (Reliever)


Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui
relaksasi

otot

polos,

untuk

memperbaiki

dan

atau

menghambat

bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperi mengi,


rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau
menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu,
penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan
menyelesaikan masalah asma secara tuntas.
Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah:
a) Agonis 2 kerja singkat dan kerja lama
b) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan

lain-lain)
c)

Xanthine (Aminophylline)

d) Simpatomimetik lainnya seperti adrenaline, ephedrine, dan lainlain.


a. Agonis 2 Kerja Singkat
Obat yang termasuk golongan agonis 2 kerja singkat antara lain:
salbutamol, terbutaline, phenoterol, dan procaterol, mempunyai mula kerja
(onset of action) yang cepat. Lazimnya golongan obat ini mempunyai mula
kerja yang cepat dengan durasi kerja obat yang singkat dan dapat diberikan
secara inhalasi atau oral. Pemberian inhalasi memberikan mula kerja obat
yang lebih cepat dengan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme
kerjanya seperti agonis 2 lainnya, yaitu relaksasi otot polos saluran
pernapasan, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Bentuk aerosol atau inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang
sama atau bahkan lebih baik dari bentuk oral. Sedang efek samping
kardiovaskuler, tremor dan hipokalemianya lebih sedikit. Peningkatan
frekuensi penggunaan agonis 2 mencerminkan perburukan asmanya dan
merupakan indikasi untuk pemberian atau peningkatan dosis steroid
inhalasi. Obat golongan agonis 2 kerja singkat juga merupakan pilihan
pada serangan asma akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
Exercise Induced Asthma.
b. Methylxanthine
Merupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis 2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang lebih
lama daripada agonis 2 kerja singkat. Manfaat aminophylline adalah untuk
respiratory

drive

dan

memperkuat

otot-otot

pernapasan

dan

mempertahankan respon terhadap agonis 2 kerja singkat. Timbulnya efek


samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai dan
melaksanakan pemantauan

c. Anticholinergic
Anticholinergic

inhalasi

(ipratropium

bromide)

menghambat

perangsangan nervus vagus di post ganglion. Obat ini bekerja dengan cara
menurunkan tonus nervus vagus intrinsik saluran pernapasan. Selainitu,
obat ini juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang ditimbulkan oleh
inhalasi iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis 2 kerja singkat.
Mula kerjanya lama dan membutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek
maksimal.
Beberapa

penelitian

menunjukkan

bahwa

ipratropium

bromide

mempunyai efek bronkodilatasi yang setara dengan agonis 2 kerja singkat


pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko
perawatan rumah sakit secara bermakna.
d. Adrenaline
Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis 2, atau tidak respons dengan agonis 2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia
lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian intravena dapat diberikan
bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan sangat ketat (bedside
monitoring).

ASMA EKSASERBASI
Definisi asma eksaserbasi adalah episode peningkatan sesak napas,
batuk, mengi (wheezing),dada terasa berat, atau kombinasi gejala-gejala
tersebut secara cepat dan progresif, Ditandai dengan penurunan aliran udara
ekspirasi, dinilai dari arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP-1) (GINA, 2012)
Eksaserbasi asma adalah perburukan progresif dari sesak, batuk,
wheezing, dada terasa berat atau kombinasi dari beberapa gejala ini.
Eksaserbasi khas ditandai oleh penurunan aliran nafas ekspirasi yang dapat
diukur dengan pemeriksaan faal paru. Eksaserbasi biasanya mencerminkan
kegagalan penatalaksanaan jangka panjang atau terjadi paparan dengan
triger. Derajad berat eksaserbasi asma bervariasi dari ringan sampai yang
mengancam jiwa (PDPI, 2003)
Derajat berat ringannya serangan asma:
Gejala Klinis
Sesak nafas

Serangan Ringan
Sesak bila berjalan.
Masih dapat
berbaring.

Berbicara

Dapat

menyelesaika
n

kalimat

Serangan
Sedang
Sesak bila
bicara.
Lebih enak
duduk,
berbaring sesak

Berbicara
terputus-putus

Serangan Berat

Sesak
walau
istirahat.
Duduk
Membungkuk
kedepan
Sukar
Bicara
karena sesak.

Kadang-kadang
gelisah

Selalu gelisah

Selalu gelisah

Frekuensi
nafas

Meningkat

Meningkat

> 30x/menit

Otot
otot
bantu nafas

Biasanya
tidak
Digunakan

Biasanya
digunakan

Biasanya
digunakan

Kesadaran

Sedang,
hanya akhir
ekspirasi

Bising mengi

Nadi/menit

< 100

Pulsus
paradoksus

Tidak ada
<10mmHg

APE Sesudah
pemberian
bronkodilator

> 80%

PO2(tanpa O2)
PCO2
SaO2%

Normal
< 45 mmHg
> 95%

Keras

100-120

Biasanya keras

> 120

Bisa ada 10-25 Sering ada > 25


mmHg
mmHg
60-80%

<60%
Dari perkiraan
Atau nilai terbaik

> 60 mmHg
< 45 mmHg
91-95%

< 60 mmHg
> 45 mmHg
< 90%

* Tidak semua gejala diperlukan untuk mengklasifikasikan serangan akut

PENGOBATAN SERANGAN RINGAN DAN SEDANG


Bronkodilator :
Untuk serangan ringan dan sedang :
-

Inhalasi agonis beta 2 aksi singkat 2 4 semprot t iap 20 menit dalam

satu

jam pertama. Dosis agonis beta 2 aksi singkat dapat ditingkatkan

sampai 4

10 semprot (GINA, 2012)

Sebagai alternatif :
-

Inhalasi antikolinergik ( Ipratropium Bromida ) , agonis beta 2 oral atau

teofilin aksi singkat . Teofilin jangan dipakai sebagai pelega , jika penderita
sudah memakai teofilin lepas lambat sebagai pengontrol .
Kortikosteroid :
Jika respon terhadap agonis beta 2 tidak segera terlihat atau tidak
bertahan ( umpamanya APE lebih dari 80 % perkiraan / nilai terbaik pribadi )
setelah 1 jam, tambahkan kortikosteroid oral a.l prednisolon 0,5 1 mg/ kg
BB. Dibutuhkan beberapa hari sampai keluhan menghilang dan fungsi paru
kembali mendekati normal . Untuk itu pengobatan serangan ini tetap
dipertahankan di rumah . Penderita jangan menunda nunda untuk datang
ke ru mah sakit bila :
-

Penderita termasuk golongan resiko tinggi

Serangan berat ( APE kurang 60 % perkiraan )

Respon terhadap bronkodilator tidak cepat dan tidak bertahan sampai

3jam
-

Tidak ada perbaikan dalam 2 6 jam setelah pemberi an kortikosteroid

Keadaan makin memburuk .

Penatalaksanaan eksaserbasi akut menurut algoritma:

DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan

Dokter

Paru

Indonesia.

Pedoman

Diagnosis

&

Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. h 73-5


2. Global Initiative For Asthma (GINA)., 2012. Pocket Guide for Asthma
Management and Prevention.
3. Global Initiative For Asthma (GINA)., 2014. The Report of Global
Strategy for Asthma Management and Prevention.
4. Wibisono, M., Winariani., Hariadi, S., 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo;
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai