Anda di halaman 1dari 6

Cara Lain Membaca MDGs

Maria Hartiningsih

arget waktu tahun 2015 yang ditentukan untuk mencapai delapan Tujuan
Pembangunan Millenium atau MDGs sudah separuh terlewati. Pemasyarakatan
tentang MDGs kian gencar dilakukan, termasuk melalui iklan pelayanan
masyarakat. Namun, pemahaman tentang MDGs masih terbatas pada
pemahaman literal, dan tujuan-tujuannya dipahami hanya sebagai target riil.
Banyak ahli, termasuk Michael Clements dan Todd Moss dari Centre for Global
Development, mengingatkan, MDGs seharusnya lebih dipandang sebagai tools atau
sarana, bukan semata-mata target praktis. Tujuan-tujuan MDGs diharapkan mendorong
diskusi, perhatian yang lebih terfokus, dan membantu mendorong akuntabilitas.
Dengan demikian, tahun 2015 sebaiknya tidak dilihat sebagai angka mati, dan targettargetnya tak hanya dipahami sebagai angka. Hal itu mengandung banyak bahaya. Di
antaranya seperti yang dikemukakan Wahyu Susilo dari Forum Internasional NGO
mengenai Pembangunan Indonesia (Infid), "Kalau ini terjadi, maka MDGs dipandang tak
lebih dari proyek."
Komitmen negara maju membantu negara berkembang pun tak bisa dibaca sebagai
ketulusan tanpa kepentingan. Pandangan Jeffrey Sachs dalam bukunya, The End of
Poverty (2005), yang terkesan menimpakan penghapusan kemiskinan sebagai tanggung
jawab negara maju, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Chalid Muhammad, dapat dibaca sebaliknya, yakni melegitimasi mazhab
pembangunanisme yang sudah bangkrut itu.
Yang dibutuhkan oleh negara
MDGs seharusnya lebih dipandang
miskin
dan
warga
yang
sebagai tools atau sarana, bukan semataterpinggirkan
di
berbagai
mata target praktis. Tujuan-tujuan MDGs
negara, seperti dikemukakan
diharapkan mendorong diskusi, perhatian
Clements dan Todd (2004),
yang lebih terfokus, dan membantu
bukanlah
tindakan
yang
bersifat emosional dan moralistik, tetapi suatu tindakan yang lebih moderat dan
berkelanjutan. Inovasi seperti Dana Kesehatan Global atau Millenium Challenge Account
merupakan awal yang baik, tetapi dibutuhkan lebih banyak eksperimentasi dan evaluasi.
Upaya untuk memperbaiki situasi kesejahteraan manusia di berbagai penjuru dunia
sebenarnya jauh melintasi bantuan atau utang, melainkan sesuatu yang lebih substansial
akan mengubah keadaan, seperti alih teknologi (untuk pembuatan vaksin, misalnya),
mekanisme perdagangan yang lebih adil untuk negara berkembang dan miskin, serta
pendekatan win-win untuk mobilitas tenaga kerja. Ini artinya, tujuan delapan MDGs
sangat penting dan harus mendapat perhatian.
Di luar itu adalah berbagai cara lain untuk mendukung negara miskin dan negara
berkembang, termasuk kebijakan nasional dan lokal yang mendorong warga yang
terpinggirkan di berbagai negara agar dapat memperbaiki nasibnya sendiri.
Chalid Muhammad menambahkan, "Belakangan ini istilah MDGs banyak dipandang
sebagai obat mujarab untuk menjawab persoalan dunia yang kian ruwet sehingga
seluruh rancangan tahun 2015 tidak disertai perombakan fundamental terhadap praktikpraktik ketidakadilan. Yang kuat tetap saja mendominasi yang lemah, dari tingkat
internasional sampai ke yang paling lokal."

Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin Indonesia terlepas dari kemiskinan kalau


eksploitasi sumber daya alam yang terjadi sebelumnya terus berlangsung sampai
sekarang. "Tidak ada upaya fundamental yang dilakukan untuk mengubah arah
pembangunan," ujarnya.
Maka, laju perusakan hutan di Indonesia, yang ditengarai sebagai yang paling tinggi di
dunia, tidak membutuhkan tanggapan pro atau kontra, tetapi membutuhkan tindakan
untuk mengubahnya.
Tak ada yang baru
Pembangunan merupakan tindakan, tak hanya dalam spirit. Di negara demokrasi, salah
satu cara untuk mengembangkan dukungan jangka panjang adalah menunjukkan hal-hal
yang terbaik untuk kesejahteraan warga dalam arti luas, melintasi sekat-sekat yang
dibuat untuk kepentingan politik sekelompok orang, seperti agama, ras, etnis, jender,
golongan, dan lain-lain.
Tak kurang dari Wakil Sekretaris Jenderal PBB dan Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi
dan Sosial untuk wilayah Asia Pasifik Kim Hak-su dan Duta Besar Khusus Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk MDGs di wilayah Asia-Pasifik Erna Witoelar mengingatkan,
tidak ada yang baru dengan sasaran-sasaran MDGs.
Barangkali perlu diingatkan lagi kesepakatan-kesepakatan internasional pada waktu lalu.
Pada tahun 1960-an, PBB menentukan target pendidikan dasar untuk semua pada tahun
1980. Pada tahun 1980, ada berbagai kesepakatan, di antaranya pertumbuhan ekonomi
6,5 persen di seluruh negara berkembang.
Antara tahun 1980-1990 dibuat kesepakatan untuk pertumbuhan ekonomi, mengurangi
angka kemiskinan, meningkatkan jumlah anak di sekolah, dan banyak lagi target yang
menyasar negara berkembang. Lebih jauh lagi, pada tahun 1992 ditandatangani
Deklarasi Rio untuk Lingkungan dan Pembangunan dengan cetak biru Agenda-21 guna
mencapai Pembangunan Berkelanjutan.
Di Cairo tahun 1994 ditandatangani Deklarasi Cairo untuk Kependudukan dan
Pembangunan. Setahun kemudian dibuat komitmen Copenhagen untuk Pembangunan
Sosial. Tahun yang sama ditandatangani Deklarasi Beijing dengan Beijing Platform for
Action yang dihasilkan dalam Konferensi IV mengenai Perempuan dan Pembangunan.
Laporan dunia lima tahun setelah Rio menyatakan bahwa degradasi lingkungan justru
kian parah. Dalam Konferensi Internasional mengenai Pembangunan Berkelanjutan
(WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan, 10 tahun setelah Rio, situasinya justru
memburuk.
Kenaikan temperatur akibat perubahan iklim yang disebabkan meningkatnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan meruyaknya penyakit infeksi di
dunia dan bencana alam di berbagai negara.
Gelombang pasang pada 17 dan 18 Mei 2007, misalnya, seperti dicatat Walhi,
berdampak pada 38 kabupaten dan kota pesisir dari 11 provinsi di Indonesia, dengan
korban langsung sekurangnya 203.623 kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya
pada kegiatan perikanan.
Berbagai kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia dan berbagai mekanisme
internasional lainnya, seperti program-program yang diprakarsai oleh Dana Moneter
Internasional dan Bank Dunia dalam kurun waktu 10 tahun setelah Rio, justru
memperburuk situasi lingkungan di banyak negara.

Peran PBB pun dipertanyakan karena lemahnya posisi organisasi itu di hadapan
organisasi dan lembaga-lembaga internasional yang didominasi oleh kepentingan negara
maju.
Sepuluh tahun setelah ICPD Cairo, kemiskinan dan konservatisme agama membuat
pencapaian di bidang kependudukan pada akhir tahun 1990-an bergerak ke belakang.
Sepuluh tahun setelah Konferensi Internasional mengenai Pembangunan Sosial di
Copenhagen pada tahun 1995, situasi dunia kian karut-marut akibat perang, bencana
alam, dan berbagai bencana lainnya.
Dana Militer
Dana militer untuk persenjataan yang pada tahun 1995 diharapkan dapat dikurangi dari
900 miliar dollar AS tidak terwujud. Pupus pula harapan menggunakan 125 miliar dollar
AS untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Malah dana persenjataan bertambah.
Perang besar justru terjadi pada awal abad ke-21, khususnya setelah AS memberikan
definisi sepihak tentang terorisme.
Berbagai organisasi pemerhati utang mencatat, utang dunia yang sekitar 1.800 miliar
dollar AS 10-15 tahun lalu saat ini membengkak menjadi sekitar 2.200 miliar dollar,
sekitar 90 persen merupakan utang negara berkembang dan negara miskin.
Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2003, Joseph Stiglitz, mencatat, tidak ada program
penghapusan kemiskinan yang sungguh-sungguh mampu menghapus utang.
Contoh di Afrika adalah yang paling jelas. Zambia, misalnya, setelah program
"penghapusan kemiskinan" yang didukung oleh Bank Dunia dan IMF, angka kematian
bayi yang 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 naik menjadi 90 pada tahun
2002. Di Senegal angka kemiskinan naik dari 60 persen menjadi 80 persen pada tahun
1994-2003.
Semua ini adalah catatan untuk mengingatkan betapa pentingnya jejak di belakang
supaya kita tidak terjebak pada jargon dan target-target. (Kompas, 30 Mei 2007)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : Mempertalikan


Pembangunan Manusia & Pertumbuhan Ekonomi

Praya Arie Indrayana

ape Town, Afrika Selatan, 9 November 2006 : Afrika semakin terpuruk ke titik
terendah kehidupan. Sementara Norwegia, Eslandia, Australia, Irlandia dan
Swedia menjadi 5 negara terbaik untuk dihuni. Akan halnya Indonesia,
menempati urutan 108 dari 177 negara. Itulah antara lain yang digambarkan
dalam laporan tahunan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Program Pembangunan
Dunia Ketiga (United Nation Development Program UNDP) mengenai Indeks
Pembangunan Manusia (IPM).

Dalam laporan yang bertajuk "Lebih dari Sekedar Kelangkaan: Kekuasaan, Kemiskinan
dan Krisis Air di Tingkat Global, menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
tahun 2006 mencapai 0,711. Nilai ini merupakan hasil kalkulasi dari angka harapan
hidup 67,2 tahun (indeks kesehatan 0,70), angka melek huruf 90,4%, gabungan rata-rata
lama sekolah tingkat dasar dan lanjutan 68% (indeks pendidikan 0,83) dan GDP per
kapita US$ 3.609 (indeks daya beli 0,60). Nilai IPM Indonesia 0,711 ini menunjukkan
peningkatan dari 0,697 tahun 2005 (urutan 110 dari 177 negara). Nilai tersebut semakin
mendekatkan Indonesia untuk masuk klasifikasi negara maju (batasan IPM negara maju
adalah nilai di atas 0,800).

Bagi masyarakat awam, tidak mudah memahami angka-angka tersebut. Meski begitu,
persoalan-persoalan mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, sembako dan barangbarang kebutuhan pokok ataupun semakin besarnya pengeluaran dibanding gaji yang
diperoleh terasa sangat dekat. Sesungguhnya, apa makna dari angka-angka IPM
tersebut? Apa pengaruh penetapan IPM bagi orientasi Pembangunan?

Pembangunan berfokus manusia


Wikipedia Indonesia menyebutkan bahwa IPM adalah pengukuran perbandingan dari
harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standard hidup untuk semua negara seluruh
dunia. Indeks ini juga menunjukkan seberapa besar pengaruh kebijakan ekonomi yang
diambil satu pemerintahan terhadap kualitas hidup warga negaranya.
IPM dikembangkan tahun 1990 oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul
Haq, seorang ekonom pakistan, dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord
Meghnad Desai dari London School of Economics. Melalui bukunya Tirai Kemiskinan
Mahbub ul Haq menyampaikan kritiknya yang pedas akan kecenderungan para ahli dan
politikus yang mengukur keberhasilan pembangunan satu negara menurut indikator ratarata GNP (pendapatan nasional bruto) dan anak turunannya seperti tingkat inflasi,
pengangguran, investasi, tingkat pembelanjaan pemerintah, tingkat konsumsi ataupun
posisi neraca perdagangan. Kritik ini diperkuat oleh Amartya Sen dalam bukunya
Inequality Reexamined. Sen menyebut indikator rata-rata GNP sebagai pengukuran
vulgar. Menurut Sen, rata-rata mengandaikan bahwa semua orang sama, padahal
faktanya kehidupan dan pendapatan warga manusia tidak sama atau tidak merata. Para
tokoh ini menyodorkan alat ukur yang lebih manusiawi dengan fokus utama pada
tingkat kesejahteraan manusia.
Pandangan Sen mengilhami indikator kesejahteraan yang tiap tahun diumumkan UNDP:
Indeks Pembangunan Manusia. Sejak tahun 1990, UNDP menerbitkan Laporan
Pembangunan Manusia (Human Development Report). Salah satunya memuat indeks
pembangunan manusia (human development index - HDI) yang mengartikan definisi
kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). Indeks

ini mengurut kedudukan negara-negara sebagai negara maju, negara berkembang atau
negara terbelakang. Pengurutan itu membawa pesan penting Sen: pertumbuhan
pendapatan tahunan tidaklah cukup. Masyarakat harus juga memprioritaskan tujuantujuan sosial, mendahulukan penduduknya yang paling menderita, dan membongkar bias
gender yang berakar dalam agar ada investasi yang adil untuk anak-anak perempuan.
Lebih dari sekedar satu alat ukur, IPM utamanya mendorong orientasi pembangunan
kepada tiga dimensi tentang pembangunan manusia yaitu:
1. panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup);
2. pendidikan (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat
pendaftaran di sekolah dasar dan lanjutan); dan
3. standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/penghasilan (PPP)).
Studi yang dilakukan oleh dan Soelistianingsih (1998) dan Wibisono (2001), hanya
beberapa tahun setelah konsep pembangunan manusia diadaptasi, mengkonfirmasi
bahwa modal manusia (human capital) dalam bentuk pendidikan maupun kesehatan
mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi dan berarti juga berguna
untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan antardaerah. Dari estimasi-estimasi
yang dilakukan Wibisono, diperoleh temuan bahwa variabel yang berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan adalah pendidikan, angka harapan hidup, dan tingkat kematian
bayi. Sedangkan tingkat fertilitas dan laju inflasi memberikan efek negatif terhadap
tingkat pertumbuhan pendapatan.
Meski telah menjadi parameter utama dalam pembangunan dunia, harus disadari bahwa
indeks ini bukanlah satu ukuran yang menyeluruh untuk mengukur tingkat
perkembangan pembangunan manusia. IPM, misalnya, tidak mencakup indikator penting
lainnya seperti tingkat penegakan Hak Asasi Manusia, tingkat demokrasi ataupun ketidak
adilan. Terdapat alat ukur alat ukur alternatif lainnya, seperti Human Poverty Index
yang lebih berfokus kepada kemiskinan, ataupun Gender-related Development Index
yang merefleksikan ketidaksetaraan gender. Meski tidak mengukur aspek-aspek
kebutuhan mendasar lainnya seperti perumahan, lingkungan, ataupun kualitas gizi,
rendahnya pencapaian ketiga dimensi IPM menunjukkan betapa pembangunan manusia
di satu wilayah masih jauh dari memadai.

Makna IPM bagi Manajemen Anggaran Pemerintah


Bagi pemerintah (daerah), orientasi pembangunan - setuju tidak setuju - harus diletakkan
dalam kerangka peningkatan IPM.
Perubahan orientasi ini tidaklah mudah.
Pembangunan infrastruktur fisik, yang menjadi mainstream selama ini, harus tarik
menarik dengan alokasi anggaran sektor pembangunan sosial. Pembangunan
infrastruktur dibutuhkan untuk mendorong invetasi, namun di sisi lain alokasi anggaran
lebih besar harus diarahkan kepada (sekurang-kurangnya) pendidikan dan kesehatan.
Meski begitu, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan terbukti
bukanlah hubungan yang bertolak belakang atau saling menegasikan. Pembangunan
manusia yang berhasil sebetulnya juga memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan
ekonomi melalui tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Dengan kata lain
sesungguhnya terdapat hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan manusia (Ramirez, Ranis, dan Stewart, 1998).
Kebutuhan akan peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk bidang sosial
menjadi kian terasa sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi. Krisis tersebut bukan
hanya menyebabkan melorotnya capaian pembangunan manusia tetapi juga membawa
pengaruh buruk kepada tingkat kemiskinan (Booth, 1999; Fane, 2000). Selain
pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia sangatlah penting dalam upaya
mengurangi tingkat kemiskinan. Hal ini karena pendidikan dan kesehatan yang baik
memungkinkan penduduk miskin untuk meningkatkan nilai aset mereka yang terpenting
yaitu tenaga (Lanjouw, Pradhan, Saadah, Sayed, dan Sparrow, 2001). Sehubungan

dengan itulah maka investasi pada pendidikan dan kesehatan sangat penting artinya
bagi pengurangan kemiskinan.
Persoalan pentingnya investasi sektor publik untuk pembangunan sosial tersebut juga
berlaku untuk pemerintah daerah, terlebih setelah berlakunya otonomi daerah. Selama
ini pengeluaran pembangunan pemerintah provinsi masih terkonsentrasi pada bidang
infrastruktur ekonomi dan belum memberikan perhatian yang memadai bagi bidang
pembangunan manusia serta efisiensi investasi sektor publik tersebut pun masih rendah
(Brata dan Arifin, 2003).

Beban berat pada pemerintah daerah ini juga harus disikapi obyektif dan rasional.
Pemerintah daerah harus mampu memahami dinamika pembangunan berorientasi IPM.
Untuk meningkatkan umur harapan hidup, yang paling mungkin dilakukan adalah
meminimalkan resiko kematian terutama pada kelompok bayi dan ibu melahirkan.
Tantangannya adalah angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tertinggi di Asia
Tengara, yakni 307 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2006). Begitupun, kasus malnutrisi
dan kematian bayi tak jarang kita dengar dari media massa.

Dalam hal pendidikan, suatu daerah yang telah mencapai angka melek huruf di atas 90%
akan kian sulit diharapkan bisa memberi kontribusi besar terhadap peningkatan
pendidikan. Sedangkan untuk mempertahankan anak tetap bersekolah, menghadapi
tantangan dengan kecenderungan membesarnya biaya sekolah dan transportasi.
Sedangkan untuk peningkatan daya beli, tantangan datang dari pertumbuhan ekonomi
makro yang cenderung stagnan di kisaran 5-6 %, dengan distribusi pendapatan yang
sangat timpang. Berdasarkan pendekatan pengeluaran, pengeluaran 20% penduduk
ekonomi atas menurut indikator Bank Dunia tahun 2005 merupakan 40,43% dari total
seluruh pengeluaran rumah tangga di Indonesia. Angka ini naik dari sebelumnya 38,98%
tahun 2002. Sebaliknya, 40% penduduk terendah, pengeluarannya memburuk dari 22,83
persen tahun 2002 menjadi 21,84 persen tahun 2005 (BPS, 2005).

Secara ringkas, pembangunan berfokus manusia (IPM) merupakan rambu bahwa alokasi
anggaran pemerintah untuk pelayanan publik, terutama pendidikan dan kesehatan,
harus menjadi lebih besar. Sementara pengeluaran warga untuk kesehatan dan
pendidikan harus menjadi lebih sedikit. Seyogianya, amanat Konstitusi untuk
mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan sudah tak boleh ditawar-tawar lagi
pemenuhannya.
Referensi
1. Brata, A. G. dan Z. Arifin, Alokasi Investasi Sektor Publik dan Pengaruhnya Terhadap
Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia, Media Ekonomi 13 (20), 2003.
2. Garcia, J.G. dan L. Soelistianingsih, Why Do Differences in Provincial Income Persist in
Indonesia?, Bulletin of Indonesian Economic Studies 34 (1), 1998.
3. Human Development Report 2006, Beyond scarcity: Power, poverty and the global
water crisis, UNDP.
4. Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart, Economic Growth and Human Capital, QEH
Working Paper No. 18, 1998.
5. Ritonga, Razali, Indeks Pembangunan Manusia, Kompas, 20 Desember 2006.
6. Wibisono, Y., Determinan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Empiris Antar
Propinsi di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol 1 No 2, 2001.
7. Wahono, Francis, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2004, Siapa Takut?,
Kompas, 6 November 2004.

Anda mungkin juga menyukai