PENDAHULUAN
Palatoskisis adalah kelainan bawaan yang terjadi oleh karena tidak adanya
penyatuan secara normal dari palatum pada proses embrional, dimana terjadi
kegagalan penutupan penonjolan frontonasal, maksilaris dan mandibularis baik
secara sebagian atau sempurna. Akibat palatoskisis menyebabkan kelainan pada
wajah, gigi tidak teratur, pengunyahan tidak sempurna dan rasa rendah diri karena
suaranya sengau.1-3
Aase (1992), Connor (1993) dan Breemer (1995) menyatakan sekitar 3%
dari bayi lahir mempunyai kelainan kongenital yang serius. Meskipun angka ini
termasuk rendah akan dapat mengakibatkan kematian yang tinggi. Frekuensi
palatoskisis terdapat pada 1 dari 2500 bayi lahir. Pada perempuan dua kali lebih
sering dari laki-laki.1
Faktor genetika dan atau lingkungan mempunyai peran dalam terjadinya
labioskisis dan atau palatoskisis. Selain malnutrisi atau kekurangan gizi, rokok
dan, zat dan obat-obatan teratogen seperti hydantoin sebagai penyebab
palatoskisis. Selain itu diketahui kelainan palatoskisis ini sebagian diikuti oleh
adanya anomaly lainnya dan sering berupa suatu sindrom yang mana
penyebabnya ini dapat dikatakan bersifat multifaktorial dan masih belum begitu
jelas.1
Palatoskisis merupakan kelainan atau cacat bawaan yang dapat terjadi
secara komplit atau tidak komplit, bilateral atau unilateral, disertai atau tidak
disertai labioskisis, serta dapat bervariasi dalam lebar celah. Kelainan ini dapat
mengakibatkan
gangguan
pada
fungsi
bicara,
pengunyahan,
gangguan
pendengaran yang sering berupa kelainan pada telinga tengah dan menelan.
Palatoskisis juga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
rahang, erupsi dan susunan oklusi gigi.1,4,5
Berikut di bawah ini akan dijabarkan mengenai kelainan palatoskisis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi
Pertumbuhan normal wajah dimulai pada akhir minggu ke empat. Pusat
perkembangan wajah dibentuk oleh lekuk ektoderm disebut stomadeum,
dikelilingi sepasang lengkung insang. Pada minggu ke lima pertumbuhan
mesenkim membentuk lima tonjol stomatodeum yaitu tonjol mandibula di kaudal,
tonjol maksila di lateral dan tonjol frontal di sebelah kranial. Di sebelah kanan kiri
tonjol frontal dan di atas stomadeum terjadi penebalan setempat ektoderm terdapat
lempeng hidung. Tonjol hidung lateral dan medial mengelilingi lempeng hidung
membentuk lekuk sehingga terjadi lubang hidung.1
Tonjol hidung medial akan menghasilkan bagian tengah hidung, bagian
tengah bibir atas, bagian tengah rahang atas dan seluruh langitan primer.
Sementara itu tonjol-tonjol maksila mendekati baik tonjol hidung lateral maupun
medial, tetapi tetap dipisahkan daripadanya oleh alur-alur yang jelas. Selama dua
minggu berikutnya bentuk wajah berubah banyak. Tonjol-tonjol maksila terus
tumbuh ke arah medial dan mendesak tonjol-tonjol hidung medial ke arah garis
tengah. Selanjutnya tonjol-tonjol ini bersatu dengan yang lain termasuk juga
tonjol maksila disebelah lateralnya. Oleh karena itu bibir atas dibentuk oleh dua
tonjol hidung medial dan dua tonjol maksila.1
Bagian utama palatum dibentuk oleh dua penonjolan dari tonjol maksila
disebut dengan daun-daun palatum yang akan terus berkembang dengan arah
miring ke bawah pada sisi kanan dan kiri. Perkembangan selanjutnya daun
palatum akan naik hingga mencapai kedudukan horisontal diatas lidah dan bersatu
dengan lainnya membentuk palatum sekunder. Disebelah anterior daun-daun
palatum bersatu dengan palatum primer membentuk segitiga dan sekat hidung
tumbuh ke bawah bersatu dengan permukaan atas palatum.1,6
Gambar 2.1 Skematik sistem klasifikasi dalam anatomi bibir dan palatum7
2.4. Epidemiologi
Kejadian labioskisis dan palatoskisis yang non-sindromik diperkirakan
sekitar 1 per 700 kelahiran yang mana prevalensinya bervariasi tergantung pada
ras/etnik dan asal geografis, jenis kelamin janin dan status sosial ekonomi
keluarga. Prevalensi sebenarnya masih belum diketahui karena janin dengan
malformasi yang lebih banyak mengalami abortus spontan dibandingkan janin
yang lebih sehat dan walaupun risiko labioskisis dan palatoskisis 3 kali lebih
tinggi pada yang lahir mati dibandingkan pada yang lahir hidup.7
Prevalensi yang dilaporkan untuk berbagai kelainan yang berbeda
beragam. Labioskisis dengan palatoskisis merupakan presentasi yang paling
umum terjadi. Prevalensi relatif
Gambar 2.8 Tipe pemisahan (cleft ) yang paling umum terjadi menurut jenis kelamin dan
keterlibatan wajah9
2.5. Patofisiologi
10
11
2.6. Etiologi
Faktor utama yang dianggap sebagai penyebab terjadinya palatoskisis
adalah keturunan meskipun belum dibuktikan secara pasti Menurut Ellis (1998)
12
terjadinya celah oral. Obat yang diketahui memiliki efek teratogenik untuk
perkembangan wajah dari faktor eksogenik termasuk diantaranya asam valproat,
antikonvulsan, derivat asam retinoik, thalidomide dan fenitoin. Faktor-faktor diet
seperti defisisensi vitamin-vitamin dan asam folat dan iritasi intrauterine juga
dapat berpengaruh. Pemberian asam folat juga dapat membantu mencegah
terjadinya CLP.9
13
pasien
14
Database. Beberapa sindrom yang umum ditemukan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.7
Tabel 2.1 Beberapa sindrom yang umum berhubungan dengan labiopalatoskisis7
15
2.7.Klasifikasi
Kondisi kelainan labiopalatoskisis pada setiap orang berbeda-beda. Oleh
karena itu, penting untuk mengelompokkan pasien berdasarkan bentuk
kelainannya untuk manajemen dan penelitian. Sebagian besar klasifikasi
menggunakan embriologi fasial dan prosessus, untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada skema di bawah ini.7
16
17
18
Gambar 2.13 Klasifikasi dari clefts yang tersering (A) Cleft hanya pada soft palate,
(B)Komplit cleft, (C) Unilateral palatal dan prepalatal cleft, (D) Kompit
bilateral cleft 16
2.8. Penanganan
Teknik operasi
Bila pasien dengan palatoskisis dievaluasi untuk adanya suatu sindrom
yang berhubungan
penangan primer perlu dipertimbangkan. Seleksi teknik dan waktu untuk repair di
evaluasi.8
The
American
Cleft
Palate-Craniofacial
Association
(ACPA)
19
Banyak teknik yang dapat digunakan dalam melakukan repair kelainan ini.
Veau di awal abad ke-20 ini melakukan perbaikan cleft dengan menyatukan
pinggir cleft dengan otot-otot intravelar diarahkan secara anterior dan
menempel pada bagian tepi posterior pada palatum durum. Ini berarti
dilakukan penjahitan bundle otot bersamanan dari sisi ke sisi. Insisi lateral
untuk merelaksasi atau flaps mukoperiosteal pada palatum durum digunakan
untuk mengurangi tekanan dan meningkatkan mobilitas yang diperlukan pada
tepi celah. Metode praktik yang sekarang ini banyak dilakukan
untuk
palatoplasti palatum molle adalah veloplasty intravelar dan Furlow doubleop-posing Z-plasty.8
Gambar 2.14 Operasi double Z plasty (A) Insisi, (B) Anterior palate ditutup
dengan vomer flap, (C) Mukosa hidung ditutup, (D) Penjahitan16
Dalam perkembangan penanganan celah palatum molle, juga dapat
dilakukan
mendorong
21
Gambar 2.15 Teknik palatoplasti von Langenbeck (A) Insisi, (B) Mukosa
dari hard palate di naikan antara tulang dan periosteum, (C) Mukosa hidung
ditutup dan otot dijahit dari sisi ke sisi, (D) Ditutup
22
23
Gambar 2.17 Pasien dengan palatoskisis yang lebar komplet. Defek ini
memerlukan palatoplasty 2 flap dengan flap vomer8
Walaupun palatoplasti 2 flap dan 4 flap
Palatoskisis submukosa
Diagnosis
palatoskisis
submukosa
dilakukan
berdasarkan
temuan
24
pada
Waktu Repair
Waktu untuk dilakukannya repair tergantung pada tipe palatoskisis yang
terlibat, gejala-gejala yang timbul pada pasien, dan kapabilitas tim dalam
menangani kelainan ini. Telah diargumentasikan bahwa keuntungan repair yang
lebih dini dalam perkembangan bicara karena proses berbicara pada anak-anak
dimulai pada usia 1 tahun; sebaliknya, repair yang ditunda secara teori dapat
25
palatoskisis
26
outcome yang lebih baik. Selain itu, fungsi tuba esutachi tidak mebaik dengan
realignment otot-otot palatum molle pada posisi anatomisnya (dengan repair
27
Suatu
frees
dapat
digunakan
untuk
meninggikan
flap
mukoperiosteal.8
Penutupan repair dimulai dari mukosa nasal anterior, dikerjakan secara
posterior menggunakan jahitan Vicryl 4-0. Otot-otot palatum molle, khususnya
pada selubung levator dilakukan penjahitan dengan Vicryl 4-0 secara interuptus
end-to-end pada midline. Mukosa oral ditutup terakhir dimulai secara posterior
pada uvula dan berjalan ke anterior mrenggunakan jahit matras interuptus dengan
benang Vicryl 4-0. Dalam pemasangan dengan menggunakan flap mukoperiosteal,
jahitan penggantung (fiksasi) dapat ditempatkan di anterior untuk menmfiksasi
flap pada daerah alveolar. Untuk perlindungan post operatif, benang silk 0
dijahitkan melalui sepertiga anterior lidah dan ditempelkan pada dagu, ini dapat
dilepas sebelum keluar RS. Tambahan pula, splint ekstensi siku ditempatkan di
28
ruang operasi dan dibiarkan pada pasien hingga follow-up pertama ini untuk
mencegah anak dari memainkan jarinya pada kavitas oral dan merusak repair
yang telah dilakukan. Untuk penanganan post-operatifnya dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.8
Tabel 2.4 Manajemen post operatif pada celah palatum8
29
2.9. Komplikasi
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media,
tuli, gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat
menyebabkan gangguan psikososial.
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:
a. Obstruksi jalan nafas
Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan
komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi.
Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien
masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura
lidah membantu dalam menangani kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga
menjadi masalah yang berlarut-larut karena perubahan pada dinamika jalan
nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil. Pada beberapa
instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan
palatum telah sempurna.
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena
kayanya darah yang diberikan pada palatum, perdarahan yang berarti
mengharuskan untuk dilakukannya transfusi. Hal ini bisa berbahaya pada bayi,
yakni pada meraka yang total volume darahnya rendah. Penilaian preoperatif
30
dari jumlah hemoglobin dan hitung trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin
sebelum di lakukan insisi dan penggunaa intraoperatif dari oxymetazoline
hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa terjadi. Untuk
menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung
mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah
dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda.
Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang sisi cleft.
Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%, dan beratringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan dengan
resiko timbulnya fistula. Fistel palatoskisis post operatif bisa ditangani dengan
dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa
digunakan untuk menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien
dengan gejala diharuskan untuk terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah,
terutama supply ke anterior merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari
fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun posterior yang
persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika
supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini,
banyak center menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10
tahun) sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan
31
sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk
melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan palatoskisis pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi
pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari
pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki
pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi anterior dan
posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya yang abnormal.
Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab dari
hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft
tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas.
Sebanyak 25% pasien dengan palatoskisis unilateral yang telah dilakukan
perbaikan bisa membutuhkan bedah orthognathic. LeFort I osteotomies dapat
digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface yang menghasilkan suatu
maloklusi dan deformitas dagu.
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila
hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi
langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan
tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
32
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah
memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat
kontaminasi paskaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif
dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi
lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi
setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan
dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan
penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak
anatomis yang penting lengkung.
2.9. Prognosis
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita
gangguan bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah,
33
tetapi jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak
normal.
BAB III
PENUTUP
Palatoskisis adalah kelainan bawaan yang terjadi oleh karena tidak adanya
penyatuan secara normal dari palatum pada proses embrional, dimana terjadi
kegagalan penutupan penonjolan frontonasal, maksilaris dan mandibularis baik
34
repair tergantung
pada tipe palatoskisis yang terlibat, gejala-gejala yang timbul pada pasien, dan
kapabilitas tim dalam menangani kelainan ini.
Anak dengan palatoskisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan
gangguan psikososial.
35
36
DAFTAR PUSTAKA
37
38
12. Johar A, RAvichandran K, Subanhi SH. Cleft lip/ palate anomalies.King facial
specialist hospital and research center. Saudi Arabia: 2006; 20: 201-2
13. Khan et al. 2013. A revised classification of the cleft lip and palate. Can J Plast
Surg 21(1): 48-50.
14. Krumova V. Clinical and genetic peculiarities of isolated cleft palates. Journal
of IMAB. 2008; 2
15. Laija J. Cleft lip and palete surgery. Scandinavian journal of surgery. 2003;
92: 269-273
16. Little J, Cardy A, Munger. Tobacco smoking and oral cleft: a meta analysis.
Bulletin of the world healt organization. 2004; 82 (3)
17. Lopez AM, Rodriguez AR, Solis LC. Nasalveolar bone graft integration range
in patiens with cleft lip and palate sequel. Odontologica mexica. 2012; 16(1)
18. Murray JC, Daack-Hirsch S, Buetow KH,et al. Clinical and epidemiologic
studies ofcleft lip and palate in the Philippines. Cleft Palate Craniofac J
2007;34:7-10
19. Manyama M, Rolian C, Gilyoma JMagon C,KImwaga E. An assessment of
orofacial cleft in Tanzania. BMC oral health. 2011; 11(5)
39
repair.
Hindawi
Publishing
Corporation
Plastic
Surgery
International.
25. Stainer P. Moore G. Genetics of cleft and palete: syndromic genes contribute
to the incident of non- syndromic cleft. Human molecular genetic. 2004:13 (1)
26. Siversten A, Wilcox A, Skjerven R, Frank A, Harvile E.FAmillial risk of oral
cleft by morphological type and severity: population based cohort study of
first degree relatives. BMJ. 2007
40
27. Surgeon general report. For evaluation and treatment of the pations with cleft
lip/palete or other craniofacial anomalies. American cleft palete- cranofaciaol
assocatin. Edisi 2009
28. Suzuki S, Marazita ML, Cooper ME, et al. Mutations in BMP4 are associated
with subepithelial, microform, and overt cleft lip. Am J Hum Genet. Mar
2009;84(3):406-11.
29. Taiwo et al. 2013. Sugical outcome and complications following cleft lip and
palate repair in a teaching hospital in Nigeria. African Journal of Pediatric
Surgery 10 (4): 344-356
30. Tighe D, Petrick L, Martyn T. Cleft lip and palete: Effects of neonatal care.
American academy of pediatric. 2011;12
31. Vieira AR, Romitti PA, Orioli IM, Castilla EE. Complex segregation analysis
of 1,792 cleft lip and palate families in South America: 1967-1997. Pesqui
Odontol Bras. Apr-Jun 2003;17(2):161-5.
32. Zucchero TM, Cooper ME, Maher BS, et al. Interferon regulatory factor 6
(IRF6) gene variants and the risk of isolated cleft lip or palate. N Engl J Med.
Aug 19 2004;351(8):769-80
41