Anda di halaman 1dari 3

Goresan tinta dalam dekapan Ramadhan

Oleh : Luthfi Asshidiqi Politeknik Negeri Bandung


luthfi.asshidiqi94@gmail.com (085624400982)
Ramadhan pun datang dengan kehangatannya bagai sorotan sang fajar yang menghangatkan
bumi dengan segala keupayaannya, hangat, cepat dan menusuk. Hangat dengan milyaran
keberkahan didalamnya, kedatangannya yang cepat layaknya roket yang menembus atmosfer
tanpa kesanggupan diri untuk mempersiapkannya dan menusuk bak gigitan singa yang kelaparan
karena tiada amalan yang maksimal dan handal untuk diupayakan. Diluar sana euphoria begitu
terasa ketika Ramadhan ini datang, orang tua dengan kesibukan menyiapkan tabungan untuk
kehidupan keduanya, remaja asyik dengan kerlipan warna lampu pelangi yang senatiasa berotasi
dan anak-anak yang meriah dengan kembang apinya, begitulah hidangan selamat datang yang
diberikan untuk tamu yang nampaknya cukup istimewa ini. Entahlah, mungkin apapun yang
dibenak mereka itu adalah konsumsi dalam setiap menjamu tamu yang satu ini. Dengan kondisi
haus dalam perbekalan, miskin dalam penghidangan dan kepasrahan dalam menerima,
Ramadhan tidak akan menunda kedatangannya, layaknya Izrail yang mencabut nyawa dalam
sekali tarikan, dan begitu tidak bisa terelakkan. Ramadhan ini nampaknya cukup berbeda dalam
memfasilitasi majikannya dibanding bulan-bulan lainnya, Ramadhan memberikan pemaknaan
yang dalam dimana tamu ini tidak bosan-bosannya untuk memberikan kecupan manis dalam
mensyukuri perekonomian yang rasanya akan berhenti karena kurangnya pasokan bahan bakar,
seolah-olah memberikan training gratis untuk menjadikan umat ini menjadi manager yang sangat
ulung dalam mengelola kesabaran dan ketakwaan dengan fasilitas lingkungan AC bada subuh
tanpa ada jeda untuk memberikan rasa hangat pada setiap tubuh sehingga peserta training
menyerah dalam keadaan dengan selimut nan hangat untuk menutupi setiap sudut-sudut yang
akan diterpa kebekuan udara subuh. Namun itulah tantangan-tantangan yang disuguhkan kepada
manusia ini untuk mendapatkan gelar laalakum tattaquun. Sebuah gelar yang tidak pernah
didapati dibangku univeritas manapun dan di institusi manapun. Sebuah gelar yang selalu
diperebutkan setiap insan tanpa takut kehabisan stok. Keindahan itulah yang dijadikan cindera
mata oleh Ramadhan untuk setiap manusia yang berdiri pada umat ini yang senantiasa siap
dalam terpaan ujian ataupun keberkahan. Namun rasanya kurang proporsional ketika hidangan
Ramadhan ini kita sandingkan dengan hidangan yang ala kadarnya. Padahal ketika bertanya pada

setiap diri, hakekat Ramadhan adalah penuh dengan keberkahan layaknya air terjun yang
senantiasa mengalir jatuh tanpa menentang gravitasi dan dapat menghidupi kehidupan yang
ditimpanya. Cobalah langkahkan kaki kebelakang sembari melihat beberapa episode-episode
kemenangan umat ini yang begitu eksotik dan mampu memberikan pencitraan yang begitu
gemilang. Perang Badar adalah salah satu contoh dari lembaran-lembaran episode yang
mengantarkan umat ini dengan kejayaannya bertepatan dengan hari Jumat yang penuh dengan
kemuliaan ditambah dengan sentuhan strategi Rasulullah dibawah langit keberkahan Ramadhan
juga tentunya atas berkat dan rahmat Allah-lah semua bermula. Episode lain yang indah juga
berulang pada kemerdekaan Indonesia yang dilakukan dengan tetesan perjuangan yang
diselimuti dengan keberkahan Ramadhan didalamnya, tentu actor yang sangat berperan adalah
Allah azza wa jala. Ibrah yang akan diangkat adalah begitu megahnya keberkahan di bulan
Ramadhan, namun seakan penduduk bumi ini begitu mudah untuk menyia-nyiakan kesempatan
dalam mendapatkan multi-level pahala ini. Seakan-akan kemenangan besar sudah didepan mata
namun beranjak kabur karena keberkahan ini tidak diselaraskan dengan melakukan pendekatan
dengan Sang Maha Pengampun. Syukurlah, pada saat ini Allah dengan keMahaCintaanya masih
membimbing dengan kenikmatan terbesarnya yaitu hidayah yang senantiasa menggiring ke jalan
pilihan yang menjadi sumber dari keridhaan, rahmat dan kecintaan. Sehingga teringat jelas
bahwa sang uswatun hasanah pernah melantunkan kata-kata yang sangat menyentuh untuk
seluruh umatnya, Cinta kepada Allah ialah puncaknya cinta. Lembahnya cinta ialah cinta
kepada sesama. Kata-kata tersebut sangatlah penuh makna ketika diseiramakan dengan
aktualisasi amal. Ibarat dalam menaiki sebuah bukit yang sangat tinggi, sehingga ketika sampai
dipuncak bukit tampaklah hamparan kaki bukit yang sangat jelas, hal tersebut sesuai dengan
ungkapan lembut itu, amalan-amalan untuk mencintai manusia dalam segala totalitas maka suatu
saat akan menghantarkan kepada amal yang sempurna yaitu dalam kekhusyuan mencintai Allah
dengan segala kepasrahan. Sehingga sudah menjadi kelayakan ketika hablumminanaas
ditonjolkan lebih dahulu untuk sarana menuju habluminaallah. Ditambah lagi dengan hadirnya
tamu besar ini, melakukan amalan-amalan hebat musti dimunculkan untuk caper kepada sang
Rabb, menarik kecintaan dari Sang Maha Cinta, sehingga mampu memaknai Ramadhan yang
penuh akan berkah yang bersitem integral ini menjadi goresan amal yang nantinya dapat dituai
di hari yang penuh perhitungan dan pertanggungjawaban. Wallahualam.

Lampiran (Biodata)
~kenalilah saudaramu untuk menambah benih-benih perekat dalam persaudaraan~

Judul essay Goresan tinta dalam dekapan Ramadhan

LUTHFI ASSHIDIQI adalah mahasiswa Jurusan Teknik


Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung angkatan 2013.
Ia terlahir pada tanggal 03 Desember 1994 di kota kecil
Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia memaksakan diri untuk
menempa diri di tanah perantauan di Bandung setelah lama
terkurung di sebuah kota cantik yang kaya akan hamparan
hijau membentang. Ia terkadang melakukan ekspedisi
keindahan alam ketika merasa mencapai kegalauan yang
klimaks, begitulah sejauh ini untuk melampiaskan kegalauan.
Ia memiliki mimpi untuk menjadi menteri ESDM disuatu hari nanti (2049). Ia kini baru
menyiapkan beberapa perangkat-perangkat untuk meroket menuju mimpinya tersebut, merakit
parasut agar ketika jatuh tidak terlalu sakit dan terlalu jauh.

Anda mungkin juga menyukai