: 11 2013 152.P
ABSTRAK
dialokasikan sebagai TPA semakin terbatas. Hal ini mendorong adanya pemikiran
untuk mengembangkan konsep TPA regional, sehingga TPA yang pada awalnya hanya
mempunyai fungsi ruang secara administrative pada akhirnya perlu dipikirkan untuk
ditingkatkan menjadi fungsi ruang yang bersifat fungsional.
Pemikiran ini membutuhkan adanya perencanaan wilayah partisipatif yang
melibatkan seluruh stakeholder dari masing-masing wilayah sehingga tidak akan
menimbulkan permasalahan di kemudian harinya. Dan perencanaan ini juga harus
dilandasi dengan suatu paradigm pembangunan berkelanjutan, sehingga keberadaan
TPA selain secara lingkungan aman juga tidak mematikan potensi ekonomi bagi
masyarakat yang mendapatkan manfaat dari sampah, sekaligus dapat meminimalkan
potensi konflik sosial diantara anggota masyarakat. Sedangkan untuk mengawal
pelaksanaan dan pengawasan nya, perlu pemberdayaan kelembagaan lokal di
masing- masing wilayah sehingga program TPA regional ini dapat berkelanjutan..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampah merupakan salah satu permasalahan yang di hadapi Kota Tangerang, yang
sampai dengan saat ini belum dapat tertangani secara baik. Berbagai upaya penanganan
yang disertai pengalokasian anggaran yang cukup besar telah dilakukan, namun hasil
yang diharapkan masih kurang optimal. Kondisi ini tercermin dari tingkat pelayanan
sampah yang hanya mencapai 70% dari minimal yang dipersyaratkan sebesar 80%.
2
upaya
Secara geografis Kota Tangerang terletak pada 10636 10642 Bujur Timur (BT)
dan 66 - 6 Lintang Selatan (LS), dengan luas wilayah 183,78 km2 (termasuk luas
Bandara Soekarno-Hatta sebesar 19,69 km2). Jika diperhatikan dari posisi geografis,
Kota Tangerang memiliki letak strategis karena berada diantara DKI Jakarta,
Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden
Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI
Jakarta.
Posisi strategis tersebut menjadikan perkembangan Kota Tangerang
berjalan
dengan pesat. Pada satu sisi, menjadi daerah limpahan dari berbagai kegiatan di
Kota Jakarta, di sisi lainnya Kota Tangerang menjadi daerah kolektor pengembangan
wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang
produktif. Pesatnya
perkembangan
Kota
Tangerang,
didukung
pula
dengan
dengan
Disamping itu, komitmen yang dibangun kadang tidak mendapat dukungan dari
semua stakeholder serta permasalahan tersebut sering kali hanya menjadi tanggung
jawab pengelola di bidang persampahan saja. Kegiatan TPA juga menimbulkan
dampak gangguan yang meliputi; kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan
timbulnya vector vector penyakit. Belum lagi adanya perubahan rona lingkungan
3
yang dapat
berakumulasi dengan timbulnya gas H2S dan CH4 serta partikulat debu yang
sewaktu waktu dapat menimbulkan ledakan akibat sistem pengelolaan yang tidak
benar karena sampah tidak diproses.
Sampah juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang
ada di sekitarnya antara kelompok masyarakat yang hidupnya sebagai pemulung
sampah dengan kelompok masyarakat yang merasa tercemari akibat pengelolaan
sampah yang tidak sempurna dan tidak ramah lingkungan
sehingga dampak
untuk
pendekatan
ini
dapat
tidak
ikut memanfaatkan
disepakati
lahan
oleh Pemerintah
TPA
tersebut.
Tetapi
Kota Tangerang
karena
berbenturan dengan Perda No. 03 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sampah yang
melarang untuk memasukkan sampah dari luar Kota Tangerang.
Perumusan Masalah
Kota
Tangerang
memunculkan penolakan
merasa
mendapatkan manfaat
penolakan
dari
(Kabupaten
Tangerang), berpotensi
keberadaan
TPA
saat
ini
serta
Tujuan
dengan fungsinya yang khusus untuk menampung sampah Kota Tangerang serta
peluang untuk mengembangkan menjadi TPA regional
KERANGKA PEMIKIRAN
(THEORETICAL FRAMEWORK)
Pergeseran Paradigma Pembangunan
Alasan-alasan
utama yang mendasari pandangan tersebut menurut Diana Conyers (1994 : hal. 154)
antara lain :
(1) Partisipasi masyarakat dibutuhkan untuk mensukseskan program dan proyekproyek pembangunan karena merupakan suatu alat dalam memperoleh
informasi akan kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat;
(2) Keterlibatan masyarakat dalam proses persiapan dan perencanaan akan
meningkatkan
proyek
kepercayaan
masyarakat
atau
program
terhadap
setiap
di Indonesia
proses
secara
penyelenggaraan
eksplisit
sudah
pemerintahan
diamanatkan
dan
untuk
pembangunan
mengedepankan
partisipasi masyarakat sejak berdirinya negara ini. Landasan yuridis yang mempertegas
pentingnya partisipasi ini tertuang dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang
menjamin kepastian
Pembangunan
Nasional
dan
Menteri
Dalam
Negeri
(Nomor
dalam
rangka
memecahkan
masalah
yang
dihadapi
yang
bertujuan untuk mencapai kondisi yang diinginkan,. Hal ini seperti yang dikemukakan
oleh Abe (2002 : hal. 81) sebagai berikut :
Perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan
rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan
rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan sulit dipastikan bahwa
rumusan akan berpihak pada rakyat.
Sejalan
dengan
adanya
pergeseran
paradigma
pembangunan,
dimana
masyarakat menjadi sangatlah penting. Seperti yang ditunjukkan pada gambar (2) di
bawah,
pendekatan-
pendekatan
pembangunan
yang
berpusat-pada-rakyat
pada
keterlibatan
yang
masyarakat dan
keswadayaan lokal, yang ditunjukkan dengan proses perencanaan yang lahir dari
bawah (bottom up),
Pembangunan Berkelanjutan
pembangunan.
Menyadari
akan
hal
tersebut
maka
Menurut Michael M. Cernea (1993), kegagalan untuk mengenali peran "aktor sosial"
sebagai salah satu faktor yang menentukan dapat menggagalkan banyak
program pembangunan. Menempatkan aspek manusia sebagai unsur utama dalam
kebijakan- kebijakan
dan
program
investasi
pembangunan
merupakan
suatu
keharusan. Keberlanjutan seharusnya dibangun
dengan mengatur komponen sosial dan ekonomi secara proposional.
Menurut pespektif ahli sosiologi, terdapat dua elemen pendekatan sosial yang
dapat membantu dalam upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan yaitu:
Pertama, adanya seperangkat konsep yang dapat membantu menjelaskan
perilaku sosial, hubungan antar orang, kompleksitas bentuk-bentuk organisasi
sosial, pengaturan kelembagaan serta budaya, motif, dorongan dan nilai-nilai yang
mengatur perilaku antar individu dan terhadap sumber daya alam sehingga
menghasilkan suatu organisasi sosial. Kedua, adanya seperangkat teknik sosial yang
dapat membentuk perilaku sosial yang terkoordinasi, mencegah perilaku yang
merusak, membantu perkembangan suatu hubungan, membentuk pengaturan sosial
alternatif serta mengembangkan modal sosial.
Sedangkan berdasarkan komponen ekonomi, pembangunan berkelanjutan
ini mengandung dua gagasan penting yaitu gagasan kebutuhan yang menjadi
prioritas utama dan kedua adalah gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi
teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan kini dan hari depan. Sebagai prioritas utama, jika dihubungankan
dengan pembangunan berkelanjutan, pemenuhan kebutuhan pokok harus selaras
dengan pertumbuhan ekonomi, mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan serta
bersifat noneksploitasi tanpa
mengabaikan
peningkatan potensi produktif masyarakat
dan pemerataan
kesempatan bagi semua.
Kus Adi Nugroho menjelaskan pola hubungan antar komponen ekonomi, sosial
dan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagaimana gambar
berikut.
10
Berdasarkan pola
hubungan di atas,
suatu
pembangunan dapat
dikatakan
"liveable" atau "nyaman" apabila memenuhi kriteria sosial dan lingkungan sehingga
manusia dan alam dapat berkesinambungan. Suatu pembangunan juga dikatakan
sebagai "viable" atau "dapat berjalan" apabila memenuhi kriteria lingkungan dan
ekonomi. Sedangkan suatu pembangunan dapat disebut
"equitable"
atau "adil"
secara ekonomi dan sosial apabila memenuhi kriteria sosial dan ekonomi. Ketiga pola
hubungan tersebut masih
sustainable
karena
belum
mencapai
kondisi
yang
berkelanjutan
atau
untuk mencapai kondisi tersebut harus memenuhi ketiga kriteria yang dipersyaratkan,
kriteria sosial yaitu persamaan hak antara manusia, kriteria
lingkungan
yaitu
preservasi dan konservasi alam, dan juga ekonomi yaitu efisiensi yang tinggi.
11
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan bertujuan untuk menemukan sistem yang berpihak pada manusia
dan kemanusiaan sebagai alternatif dalam pembangunan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan
pemberdayaan
tersebut
maka
perlu
dikembangkan
suatu
kemandirian kelompok
meniadakan/
mengalahkan
kelompok-kelompok
lainnya
(zero
sum)
kehidupannya
(Deepa
Narayan
et.al,
2002),
ketiga,
depannya
merekadalam
serta
berpartisipasi
adalah
melalui
pemberdayaan
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
masyarakat
12
kemandirian, dengan melakukan kegiatan kerja sama dengan sukarelawan dari LSM
maupun organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke, 1991).
Tetapi perlu diperhatikan bahwa pengertian sikap kemandirian bukan semata-mata
meminimalisasi intervensi dari pihak luar, karena tanpa ada dukungan dari luar
lingkungan/ komunitas
masyarakat
berkembang
dan menimbulkan sikap pasif sehingga cenderung menjadikan mereka lebih tidak
berdaya (Katze, 1987).
seluruhnya masih dikerjakan oleh para profesional (McArdle, 1989) dan menjadikan
masyarakat menjadi tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black, 1983). Kedua
fenomena ini patut menjadi perhatian kita semua pada saat menerapkan konsepkonsep pemberdayaan dalam perencanaan pembangunan, sehingga tidak terjebak
dalam retorika pemberdayaan semata.
13
merubah
perekonomian,
dapat dimaknai
sosial,budaya,
Robinson
sebagai
dan/ atau
suatu
keterkaitan
secara
ekologis, ekonomis dan sosiologis dan berhubungan secara fungsional dalam suatu
sistem kelembagaan lokal.
Menurut Todaro dalam buku Ernan (2011), pembangunan dipandang sebagai
suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar
atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping
tetap
mengejar
akselerasi
pertumbuhan
ekonomi,
penanganan
ketimpangan
berkelanjutan.
Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara
dapat
diterapkan,
mulai
dari konsep
pengembangan
sektoral,
pendekatan
pada pemenuhan kebutuhan pokok, sampai pengaturan ruang secara terpadu melalui
proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan
sumber
berkelanjutan.
dan/ atau
organisasi bersifat lokal, baik formal maupun informal, yang dibalut oleh sistem norma
dan pola- pola hubungan, sedangkan
hubungan sosial, dan institusi sosial yang mempunyai 4 dimensi integrasi, pertalian
(linkage), integritas organisasional dan sinergi, yang menggambarkan keterikatan
dan relasi di dalam kelembagaan, antar kelembagaan maupun dengan institusi negara.
Potensi kapital sosial yang dihasilkan oleh kelembagaan dapat dipakai sesuai
keputusan kelompok dengan pertimbangan tertentu dalam upaya efisiensi/efektivitas
proses produksi (dapat dilihat dari sisi sebagai entitas dan perspektif). Sedangkan
kemampuan anggotakelompok/ masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu
pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan
kuat
tidaknya
kapital
sosial
kelembagaan lokal dan kapital sosial relatif bersifat reciprocity (timbal balik) dan saling
mempengaruhi.
Pengembangan
meningkatnya kapital
saling
kelembagaan
sosial
seiring
yang dibentuk
sejalan
atas
dengan
kepentingan
semakin
yang
komponen
kelembagaan/
penting
yang mampu
masyarakat.
menjadi
perekat
dalam
pengembangan
kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien.
Kriteria dalam mengukur tingkat efektivitas suatu lembaga meliputi kapasitas untuk
membatasi tujuan operasional dan menilai seberapa baik suatu organisasi berjalan
dibanding dengan standarnya sendiri maupun berasal dari luar lembaga tersebut.
Sedangkan konsep efisiensi hanya mengacu pada bagaimana
sumberdaya
yang
tersedia dipakai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mendapatkan
rasio keluaran-masukan yang tinggi, tanpa memperhatikan benar tidaknya tujuan
tersebut.
Pengembangan
meningkatnya kapital
kelembagaan
sosial
seiring
yang dibentuk
sejalan
atas
dengan
kepentingan
semakin
yang
penting
yang mampu
masyarakat.
menjadi
perekat
dalam
pengembangan
kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien.
15
Kriteria dalam mengukur tingkat efektivitas suatu lembaga meliputi kapasitas untuk
membatasi tujuan operasional dan menilai seberapa baik suatu organisasi berjalan
dibanding dengan standarnya sendiri maupun berasal dari luar lembaga tersebut.
Sedangkan konsep efisiensi hanya mengacu pada bagaimana
sumberdaya
yang
tersedia dipakai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mendapatkan
rasio keluaran-masukan yang tinggi, tanpa memperhatikan benar tidaknya tujuan
tersebut.
Dalam membangun kelembagaan lokal yang kuat harus dibangun kapital
sosia yang juga kuat. Keberadaan kelembagaan lokal selalu merupakan unsur
kelembagaan yang efektif.
yang terlibat dan dapat menurunkan biaya. Kapital sosial dan kelembagaan lokal
adalah modal dalam pengembangan
masyarakat
yang
mendukung
pelaksanaan
basis
kelembagaan-kelembagaan
lokal
yang
partisipatif
dalam
rangka
peningkatan
16
ANALISA
Potret Persampahan Kota Tangerang
Sebagai daerah penyangga Ibu kota Negara, Kota Tangerang merupakan daerah
yang cukup padat dimana setiap kilometer persegi (km2) rata-rata dihuni 10.930 jiwa
dan juga memiliki salah satu kecamatan yaitu Kecamatan Larangan yang merupakan
kecamatan terpadat dengan penghuni 17.436 jiwa untuk setiap kilometer perseginya.
Tingkat pelayanan pengangkutan sampah oleh DKP Kota Tangerang dari tahun ke
tahun terus meningkat. Diketahui bahwa persentase tingkat pelayanan sampah tahun
2009, 2010, 2011, 2012
Tabel 1 Jumlah sampah terangkut ke TPA pada tahun 2009 s/d 2012
Tahun
2009
2010
2011
2012
Jumlah Timbulan
3
3 /hari)
Sampah
3458 m(m/hari
3
4027 m /hari
3
4173 m /hari
3
4319 m /hari
3
(m /hari)
2421
m /hari
3
2931 m /hari
3
3049,5 m /hari
3
3201 m /hari
(%)
70%
72.78%
73,1%
74,1
berturut-turut yaitu 70%; 72,78%; 73,1%; 74,1% (dari jumlah timbulan sampah total).
Namun demikian, tingkat pelayanan tersebut masih dibawah Standar Pelayanan
Minimal (SPM) bagi kawasan perkotaan yaitu sebesar 80%.Di samping itu target
MDGs sektor persampahan menurut versi Kementerian PU adalah 86,5% sehingga
masih besar selisih antara SPM serta target MDGs sektor persampahan dengan tingkat
pelayanan real disebabkan karena sarana dan prasarana kebersihan yang dimiliki
Pemerintah Kota Tangerang belum memadai.
17
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume
sampah, dimana untuk produksi sampah dalam kehidupan setiap hari per orang
mencapai 2,25 liter/orng/hari (0,5625 kg/orng/hari). Masalah yang sering muncul dalam
penanganan sampah kota adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan semakin
sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan. Sehingga kebanyakan kota-kota di
Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang 60% dari seluruh produksi
sampahnya. Namun demikian berbeda dengan Kota Tangerang yang mampu
memberikan pelayanan pengangkutan sampai 73,1
%,
hanya
saja
system
penanganannya masih menggunakan cara cara kuno dengan open dumping tidak
ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut saat ini Dinas Kebersihan dan
Pertamanan sudah memulai kegiatan pengelolaan sampah melalui sistem pemanfaatan
sampah menjadi metan yang baru mencapai 10 % saja dari luas yang dimanfaatkan
sebesar 3 Ha.
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
Pada saat ini pemrosesan akhir sampah Kota Tangerang dilakukan di TPA Rawa
Kucing dengan luas lahan terpakai 20,83 ha dari luas lahan total 35 ha yang sudah
dimiliki Pemerintah Kota Tangerang. TPA ini terletak di Kelurahan Kedaung Wetan,
Kecamatan Neglasari, sekitar 7 km dari Pusat Kota Tangerang. TPA Rawa Kucing telah
beroperasi sejak tahun 1990. Jarak TPA dari pusat kota 7 km, dari DAS (Sungai
Cisadane) 500 m. Batas wilayah TPA Rawa Kucing :
Sebelah Utara
Sebelah Timur
Sampai dengan tahun 2005 TPA Rawa Kucing masih dioperasikan secara
penimbunan terbuka (open dumping), kemudian secara bertahap sistem operasional
18
kondisi
jalan
ke
TPA akan
semakin
lancar
kegiatan
pengangkutan
spesifikasi
jalan, termasuk
jembatan,
sesuai dengan
19
operasi/kerja,
yang
diperlukan
oleh
kendaraan
pengangkut
menuju
maka
dianjurkan
penggunaan
jembatan
timbang
untuk
efisiensi
dan ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos
20
) setebal
+ 50 cm
merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak
dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya
yang relatif tinggi.
e. Fasilitas Pengamanan Gas
Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida (CO2),
dan metan(CH4) dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang
sangat sedikit jumlahnya seperti hidrogen sulfida (H2S),
Kedua gas gas karbon dioksida (CO2), dan metan
besar
dalam
proses pemanasan
(CH4) memiliki
potensi
dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer.
Untuk itu perlu dipasang pipa- pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan
sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi
tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan
menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan
dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan
global.
21
22
bahan
pengontrolan
penutup,
karenanya
timbulan
perlu
dilakukan
porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas
ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat
menurunkan potensinya dalam pemanasan global.
Gas dapat dikontrol dengan memasang pipa ventilasi agar gas dapat keluar ke atmosfir
dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Karena metan bersifat mudah terbakar,
maka gas metan dapat digunakan sebagai energi. Recovery dan pemanfaatan metan
untuk tujuan komersial hanya dapat dilakukan apabila landfill menerima sampah
lebih besar dari pada 200 tons sampah perhari.
23
merupakan
melarutkan banyak
air
yang
terbentuk
dalam
timbunan
sampah
yang
menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu
ditangani dengan baik.
Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul leachate
yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun
pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga leachate secara otomatis begitu
mencapai dasar TPA akan
berdasarkan
Aliran leachate
ke
debit
dan
menguntungkan; namun
leachate
dari
bila
dan
kolam
topografi
kemampuan
pengumpul
TPA
tidak
unit
secara
pengolahannya.
gravitasi
sangat
memungkinkan,
dapat
leachate
penguapan/evaporasi
sirkulasi leachate
dapat
terutama
menerapkan
untuk
daerah
beberapa
dengan
metode
kondisi
diantaranya:
iklim
kering,
maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya pengolahan air
limbah.
g. Bahan Penutup
Salah satu yang membedakan antara sanitary landfill dan open dumping adalah
penggunaaan bahan penutup untuk memisahkan sampah dari lingkungan luar pada
setiap akhir hari kerja
Penutupan setiap hari
24
h. Alat Berat
Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator
dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda
dalam operasionalnya.
Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi kurang
dalam kemampuan
penggalian.
Excavator
sangat
efisien
dalam
operasi
penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien
dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan
pemadatan.
Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara
TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.
i. Penghijauan
Penghijauan
lahan
TPA diperlukan
untuk
beberapa
maksud
diantaranya
adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau
dan lalat yang
berlebihan.
Untuk
itu
perencancaan daerah
lahan
yang
dibutuhkan
untuk
penghijauan serta fasilitas penunjang (kantor, bengkel, garasi, dll) adalah 40%
dari total lahan TPA.
j. Fasilitas Penunjang
Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian
TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, kesehatan/keselamatan kerja,
toilet, dan lain lain.
25
26
TPA terbaik
e.Pembagian zona-zona
zona 1 = zona tidak layak
27
28
9.Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model
TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang bertanggungjawab
dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.
10.Aksesibilitas jalan menuju TPA sampah harus tersedia guna memudahkan kendaraan
pengangkut membuang limbah/sampah sampai ditempatnya, kebutuhan lahan yang
relatifcukup luas disesuaikan dengan konsep pengelolaan TPA sampah misalnya Buffer
zone untuk menghindari dampak dari bau, kebisingan, lalat dan vektor penyakit dengan
ditanami pohon pelindung dengan ketebalan berkisar antara 20m sampai dengan 50m dari
batas luar daerah operasional TPA yang didukung dengan penanaman jenis pohon yang
cepat tumbuh dalam waktu 1 tahun mencapai 4m, dan tidak mudah patah akibat pengaruh
angin misalnya sengon, mahoni, tanjung dan lain-lain dengan kerapatan/jarak antar pohon
2m. Selain itu ditetapkan pula Free Zone yang merupakan zona bebas dimana
kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga harus merupakan Ruang Terbuka
Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan merupakan tanaman pangan, dengan
ketebalan 50 sampai dengan 80m dari batas luar buffer zone, sehinggaTPA sampah dapat
difungsikan secara terpadu dengan pengelolaannya, sistem pengolahan limbah organik
dan non organik dilakukan secara terpisah agar setiap dampak/implikasi limbah dapat
disortir sesuai dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah yang
mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya, pengolahan
limbah juga harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air buangan dari
limbah organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur ulang sehingga
perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai dengan sifat dan
jenis limbah tersebut. Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal dari limbah organik
dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan pendekatan yang perlu pula
menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah, karena dapat memberikan nilai tambah baik
secara ekologis, psikologis dan ekonomis.
29
dalam pengelolaannya
tempat
penimbunan
sampah
terbuka
(open
dumping) sehingga
merupakan
sarang
yang
sesuai
bagi
berbagai
vektor
Leachate merupakan air hasil dekomposisi sampah, yang dapat meresap dan
mencemari air tanah.
6. Kebisingan
Gangguan kebisingan ini lebih disebabkan karena adanya kegiatan
operasi kendaraan berat dalam TPA (baik angkutan pengangkut sampah
maupun kendaraan yang digunakan meratakan dan atau memadatkan
sampah).
7. Dampak sosial
Keresahan warga setempat akibat gangguan-gangguan yang disebutkan di
atas.
Pengembangan
dan
controlled
landfill
(kota
sedang/kecil).
menjadi
tempat
pemrosesan
akhir
didefinisikan
sebagai
lokasi pemrosesan akhir tidak hanya ada proses penimbunan sampah tetapi juga
wajib terdapat 4 (empat) aktivitas utama penanganan sampah di lokasi TPA, yaitu
(Litbang PU, 2009):
Pemilahan sampah
31
Pengurugan/penimbunan
sampah
residu
dari
proses
di
atas
di
Pada unit materi ini akan lebih banyak dijelaskan mengenai landfill berserta
inovasi proses dan perancangan landfill. Landfill merupakan suatu kegiatan
penimbunan sampah padat pada tanah. Jika tanah memiliki muka air yang cukup
dalam, tanah bisa digali, dan sampah bisa ditimbun didalamnya. Metode ini
kemudian dikembangkan menjadi sanitary landfill yaitu penimbunan sampah dengan
cara yang sehat dan tidak mencemari lingkungan. Sanitary landfill didefinisikan
sebagai sistem penimbunan sampah secara sehat dimana sampah dibuang di tempat
yang rendah atau parit yang digali untuk menampung sampah, lalu sampah ditimbun
dengan tanah yang dilakukan lapis demi lapis sedemikian rupa sehingga sampah
tidak berada di alam terbuka (Tchobanoglous, et al., 1993). Pada prinsipnya landfill
dibutuhkan karena:
Pengurangan limbah di sumber, daur ulang atau minimasi limbah
tidak dapat menyingkirkan seluruh limbah
Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani
lebih lanjut
Kadangkala limbah sulit diuraikan secara biologis, sulit diolah secara
kimia, atau sulit untuk dibakar
Beberapa hal yang sangat diperhatikan dalam operasional sanitary landfill
adalah adanya pengendalian pencemaran yang mungkin timbul selama operasional
dari landfill seperti adanya pengendalian gas, pengolahan leachate dan tanah
penutup yang berfungsi mencegah hidupnya vector penyakit.
Berdasarkan peletakkan sampah di dalam sanitary landfill, maka klasifikasi dari
landfill dapat dibedakan menjadi (Gambar1) :
a. Mengisi Lembah atau cekungan.
Metode ini biasa digunakan untuk penimbunan sampah yang dilakukan
pada daerah lembah, seperti tebing, jurang, cekungan kering, dan bekas
galian. Metode ini dikenal dengan depression method. Teknik peletakan dan
pemadatan sampah tergantung pada jenis material penutup yang tersedia,
kondisi geologi dan hidrologi lokasi, tipe fasilitas pengontrolan leachate
dan gas yang digunakan, dan sarana menuju lokasi.
b. Mengupas Lahan secara bertahap
Pengupasan
membentuk
parit-parit tempat penimbunan sampah
dikenal sebagai metode trench. Metode ini digunakan pada area yang
memiliki muka air tanah yang dalam. Area yang digunakan digali dan
dilapisi dengan bahan yang biasanya terbuat dari membran sintetis, tanah
32
penelitian
dan
perencanaan
sanitary
landfill
melakukan
berbagai
sistem
pengolahan
sampah
yang
berkesinambungan
dengan
digunakan dalam revitalisasi TPA, dimana material yang dapat digali dari TPA
yang lama akan dimanfaatkan. Bekas galian TPA akan dirancang untuk menerima
sampah kembali
dengan konsep sanitary landfill.
Aerobic landfill
Landfill mining
34
Metode Pengurugan
Metode
pengurugan
sampah
berdasarkan
kondisi
topografi,
sumber
materi
penutup dan kedalaman air tanah dibedakan metode trench dan area.
1.
ditch
Metode ini diterapkan ditanah yang datar. Dilakukan penggalian tanah secara berkala
untuk membuat parit sedalam dua sampai 3 meter. Tanah disimpan untuk
dipakai sabagai bahan penutup. Sampah diletakan di di dalam parit, disebarkan,
dipadatkan dan ditutup dengan tanah.
2. Metode Area
Untuk area yang datar dimana parit tidak bisa dibuat, sampah disimpan
langsung diatas tanah asli smapai ketinggian beberapa meter. Tanah penutup bisa
diambil dari luar TPA atau diambil dari bagian atas tanah.
35
dikombinasikan agar pemanfaatan tanah dan bahan penutup yang baik serta
meningkatkan kinerja operasi.
asam
asam
organik
akibat
adanya
aktivitas
dari
mikroorgansime acidogen.
c. Methanogenesis, adalah tahap degradasi yang menghasilkan gas methan dan gas
36
gas.
Komposisi
gas
yang
dihasilkan
Pada tahap awal disebut dengan fase aerobik, dimana terjadi saat awal penimbunan
sampah di TPA dan oksigen masih ada di dalam tumpukan sampah. Fase kedua
dan ketiga disebut dengan fase transisi asam yang terkait erat dengan proses
37
acidogenesis dan mulai terbentuk gas CO2. Gas mulai terbentuk pada tahap
metagonesis yaitu fase ke-4 yang menghasilkan CH 4 dan CO2. Fase ke-5 adalah
fase pematangan dimana sampah sudah menjadi produk yang lebih stabil.
38
100 120
1.02
1.06
saturated
400 550
Sumber : Tchobanoglous et al., 1993
39
Perbandingan Potensi gas methan dari landfill di beberapa kota (termasuk Tangerang).
Terkait dengan hal ini Rencana Aksi Nasional (RAN) Perubahan Iklim
dalam skala nasional memasukkan upaya pengelolaan gas di landfill sebagai salah
satu upaya mitigasi untuk mengurangi pemanasan global. Gas methan yang
dihasilkan harus dikelola dengan baik dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Secara teoritis berdasarkan reaksi kimia ini maka gas CH4 dan CO2 merupakan
gas yang paling dominan dihasilkan dari proses degradasi sampah secara
anerobik ini. Jumlah atau produksi gas yang dihasilkan sangat tergantung dari
beberapa faktor yaitu:
a. Unsur-unsur pembentukan sampah seperti karbon, hidrogen dan nitrogen serta
oksigen yang diperoleh dari analysis karakteristik sampah yaitu ultimate analysis.
b. Tergantung dari kecepatan degradasi sampah yang dibedakan atas sampah yang
cepat terurai dan lambat terurai. Waktu untuk penguraian bahan organik yg
mudah terurai adalah 5 tahun, sedangkan waktu penguraian bahan organik yang
lambat terurai adalah 15 tahun.
Ketika gas mulai dihasilkan maka tekanan di dalam landfill akan meningkat sehingga
memungkinkan adanya pergerakan gas di dalam landfill. Pergerakan gas bisa
terjadi secara vertikal dan horisontal, jika tekanan diluar (barometrik) lebih kecil
dibandingkan tekanan di dalam maka gas akan cenderung bergerak ke arah
vertikal dan keluar, sedangkan jika tekanan diluar lebih besar maka gas
cenderung bertahan di dalam landfill, sampai mencapai keseimbangan tekanan.
Pergerakan gas sangat sulit untuk diprediksikan dari beberapa penelitian diketahui
pergerakan gas methan ke arah horisontal dapat mencapai jarak lebih dari 1500
40
feet.
Gas yang dihasilkan selama proses dekomposisi tidak boleh lepas begitu saja ke
udara karena gas methan yang dihasilkan jika kontak dengan udara > 5% akan
menimbulkan ledakan, sehingga diperlukan kontol dan monitoring terhadap Landfill
gas. Kontrol gas secara umum dapat dilakukan dengan pembakaran gas atau
memanfaatkan sebagai sumber energi.
Pembentukan Leachate
Sampah yang dibuang ke landfill mengalami beberapa perubahan fisik, kimia
dan biologis secara simultan yang diantaranya menghasilkan cairan yang disebut
leachate. Leachate bisa didefinisikan sebagai cairan yang telah melewati sampah
yang telah mengekstrasi
(Tchobanoglous,1993).
dengan
sampah
material
terlarut/tersuspensi
Leachate diproduksi
ketika
dari
cairan
sampah
tersebut
melakukan
kontak
tersebut tidak dapat dihindari pada lahan pembuangan akhir. Leachate dihasilkan
dari infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah di TPA dan dari cairan yang
terdapat di dalam sampah itu sendiri. Apabila tidak terkontrol, landfill yang dipenuhi
air leachate dapat mencemari air bawah tanah dan air permukaan
Pada umumnya leachate terdiri dari cairan yang merupakan hasil dekomposisi
buangan dan cairan yang masuk ke landfill dari luar, misalnya air permukaan, air
tanah, air hujan, dll. Masuknya cairan tersebut dapat menambah volume leachate
yang kemudian disimpan
dalam rongga
umumnya
karakteristik
mempunyai kandungan
organik
leachate
adalah
(BOD,COD)
tinggi,
cairan
berwarna
kandungan
coklat,
logam berat
biasanya juga tinggi dan berbau septik. Komposisi zat kimia dari leachate berubah41
(Pfeffer,
1992).
Keberadaan
leachate tanpa
pengolahan
yang
baik
pada akhirnya akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk sekitarnya. Kandungan
logam berat yang tinggi juga akan sangat berbahaya, yang bisa menyebabkan cacat
bahkan kematian. Seperti contoh, selain mencemari air tanah, sumur penduduk,
juga bisa mencemari tambak, dimana leachate tersebut bersifat toksik terhadap
42
ikan
pengelolaan leachate.
Gambar Sistem penyaluran leachate. Pada gambar di bawah lapisan dasar landfill
dibagi atas beberapa seri yang berbentuk rectangular yang dipisahkan oleh lapisan
tanah liat. Pipa penyaluran leachate ditempatkan diatas lapisan geomembran.
Landfill
baru
(kurang
dari
2
Range
Tipikal
Landfill
lama
( 10 th)
43
Berdasarkan
karakteristik
dari
leachate,
2000
30000
1500
20000
3000
60000
200
2000
10 800
10 800
5 40
5 100
4 80
1000
10000
4.5 7.5
300
10000
200 3000
50
pengolahan
1000
6000
1800
0
500
200
200
25
30
20
3000
6
3500
1000
250
300
500
500
300
60
sangat
100
200
80 160
100
500
100
400
80 120
20 40
5 10
5 10
48
200
1000
6.6 7.5
200
500
100
400
50 200
50 - 400
diperlukan
leachate. Pengolahan
pengolahan fisik, kimia dan biologis. Pengolahan leachate merupakan salah satu
dari penanganan effluen leachate yang dapat dilakukan. Alternatif lainnya yang dapat
dilakukan antara lain:
Memanfaatkan sifat-sifat hidrolis dengan pengaturan air tanah sehingga aliran
leachate tidak menuju air tanah.
Mengisolasi lahan urug landfill sehingga air eksternal tidak masuk dan
leachatenya tidak keluar.
Mencari lahan yang mempunyai tanah dasar dengan kemampuan yang baik
untuk menetralisir cemaran
Mengembalikan (resirkulasi) leachate ke arah timbunan sampah
Mengalirkan leachate menuju pengolahan air buangan domestik
Mengolah leachate dengan unit pengolahan sendiri.
44
Sistem Penyaluran Leachate dengan Pipa (Atas) dan Gambar Detail Pipa (Bawah)
Pemilihan proses pengolahan leachate sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yang
terpenting adalah; baku mutu (standar) efluent leachate, ketersediaan lahan,
kemampuan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi.
Pengolahan leachate merupakan pengolahan kombinasi antara fisik-kimia dan
biologi. Pengolahan fisik bertujuan mengurangi zat padat baik tersuspensi maupun
terlarut di dalam leachate. Pengolahan ini biasanya digabungkan dengan pengolahan
kimia dan biologis. Pengolahan secara kimiawi bertujuan mengurangi kandungan ionion di dalam leachate dan
45
pembersihan peralatan dalam lokasi TPA atau dibuang ke badan air Kelas II (PP
No. 82 Tahun 2001). Kombinasi sistem pengolahan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Proses Koagulasi - Flokulasi, Sedimentasi, Kolam Anaerobik atau ABR
(alternatif 4)
Proses Koagulasi - Flokulasi, Sedimentasi I, Aerated Lagoon, Sedimentasi
II (alternatif 5)
Dalam area TPA harus direncanakan sistem drainase yang memadai. Sistem
drainase ini mencegah air hujan yang jatuh di atas daerah TPA non-landfill masuk
ke dalam lanfill. Hal ini penting dilakukan karena air hujan yang mengalir sebagai
air pemukaan, jika mengalir ke daerah landfill akan menambah volume leachate
yag dihasilkan di landfill tersebut. Daerah yang harus dilayani oleh sistem drainase
meliputi jalan fasilitas TPA, kantor, halaman, taman, dan daerah fasilitas penunjang
lainnya.
Luas daerah pelayanan tiap saluran merupakan daerah dimana semua air hujan
di daerah tersebut mengalir masuk ke dalam saluran tertentu/ yang diinginkan.
Untuk menentukan daerah ini serta arah aliran setiap saluran, mulai dari saluran
46
terkecil sampai saluran terbesar, diperlukan data topografi dengan skala minimal 1 :
20.000. Peta topografi dengan skala 1 : 5.000 lebih diinginkan.
penutupan
lahan di daerah
C
0,05 0,10
0,10 0,15
0,15 0,20
0,13 0,17
0,18 0,22
0,25 0,35
0,10 0,40
0,6 0,75
0,70 0,95
0,80 0,95
0,6 0,85
beberapa zona kelayakan; kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk
menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari
zona-zona kelayakan pada tahap regional; ketiga tahap penetapan yang merupakan
tahap penentuan lokasi terpilih olehInstansi yang berwenang. Dalam hal suatu wilayah
belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA Sampah ditentukan
berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan criteria pemilihan lokasi
TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian. Disamping itu penempatan dan pembuatan
TPA juga harus memperhatikan aspek demografi penduduk sekitar, dan ekologi
lingkungan yang ada di sekitarnya, sehingga berbagai dampak dapat dikurangi.
Dengan keterbatasan lahan dan tingkat timbulan sampah yang semakin
meningkat, pada saat ini perencanaan pengelolaan sampah di TPA masih
berbasis perencanaan
wilayah
secara
struktural,
dimana
sampah
yang
diperbolehkan untuk ditimbun di TPA Kota Tangerang hanya sampah yang berasal
dari Kota Tangerang dan diangkut oleh armada truk sampah Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Tangerang, sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2009.
Walaupun demikian, berdasarkan hasil Master Plan Persampahan Kota
Tangerang tahun 2012 - 2031 didapatkan bahwa kondisi pengelolaan sampah saat
ini, dengan tingkat pertumbuhan penduduk
Tangerang sebagai penyangga Ibu Kota, menghadapi tantangan yang cukup berat
dalam teknis operasional pengelolaan
persampahan
Kota Tangerang
yaitu
mempertahankan masa layan TPA Rawa Kucing hingga 20 tahun mendatang (2033).
Hal tersebut menuntut upaya yang sangat besar dan kuat dalam menekan jumlah
sampah yang ditimbun di TPA.
Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan
Persampahan (KSNP-SPP) disajikan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.21/PRT/M/2006 merupakan salah satu acuan bagi penyusunan Master Plan
Pengelolaan
Sampah
suatu
kota.
Kebijakan
dan
Strategi
Nasional
semaksimal
mungkin dimulai
dari
sumbernya
Kebijakan (2) : Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha/swasta
sebagai mitra pengelolaan
Kebijakan (3) : Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan
48
peningkatan
kualitas
pengelolaan
TPA
menjadi
Sanitary
Bojong,
Klapanunggal,
Kabupaten
pengolahan
sampah
2003).
Keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk yang pesat, mobilitas lintas wilayah
(komuter) yang tinggi, serta tuntutan standar lingkungan yang makin ketat
membutuhkan adanya pemanfaatan teknologi untuk pengelolaan sampah yang ramah
lingkungan. Berkaitan dengan alasan tersebut, dalam Perda Kota Tangerang
49
No.23
Tahun 2000 tentang RTRW disebutkan bahwa lokasi TPA diusulkan untuk
dipindahkan
ke wilayah Kabupaten Tangerang, tetapi hal tersebut mendapat banyak penentangan
baik dari masyarakat sekitar TPA eksisting yang mendapat manfaat dari keberadaan
TPA saat ini dan dari masyarakat Kabupaten Tangerang yang khawatir wilayahnya
akan tercemari dengan keberadaan TPA. Penentangan tersebut
terjadi
karena
tidak dilibatkannya masyarakat dan para stakeholder lainnya dalam penyusunan Perda
RT RW tersebut.
Dalam hal perencanaan lokasi TPA selain pertimbangan kondisi lingkungan
juga perlu pertimbangan sosial-ekonomi masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri
TPA juga mempunyai potensi ekonomi yang cukup menarik bagi masyarakat
sekitar. Sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, untuk keberlanjutan
keberadaan TPA tersebut perlu dipertimbangkan aspek lingkungan,
sosial, dan
ekonomi. Sehingga dari sisi lingkungan diharapkan keberadaaan TPA tidak akan
menimbulkan
pencemaran, tanpa
mengabaikan
potensi
ekonomi
yang
bisa
dimanfaatkan dari sampah, serta dapat meminimalkan potensi konflik sosial antar
masyarakat yang mendapat manfaat dengan masyarakat yang merasa tercemari oleh
keberadaan TPA.
Berkaitan dengan aspek lingkungan, saat ini di TPA Kota Tangerang sudah mulai
dikembangkan sarana penangkap gas methane dari sampah organik dan peningkatan
kualitas sistem operasional pengelolaan sampah menuju sistem sanitary landfill.
Dan pada pertengahan tahun 2012 kemarin, Departemen Pekerjaan Umum telah
melakukan studi kelayakan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF),
yaitu sistem pengolahan sampah antara sebelum dibuang ke TPA di Kota Tangerang.
Sedangkan untuk aspek sosial dan ekonomi, direncanakan mulai tahun 2013 ini
pemulung yang ada di dalam dan di luar TPA dapat ditempatkan dalam satu area
khusus untuk menampung aktivitas mereka, sehingga diharapkan potensi ekonomi
yang selama ini dimanfaatkan oleh para pemulung tidak sampai menimbulkan konflik
sosial dengan masyarakat umum di luar pemulung. Selain itu diharapkan dengan
pengembangan sarana penangkap gas methane, suatu saat gas tersebut dapat dialirkan
ke rumah-rumah penduduk sekitar TPA sebagai bahan bakar alternatif.
Sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah
50
untuk
dan Pertamanan Kota Tangerang mulai dari tahun 2004 telah mengikutsertakan
masyarakat untuk mengolah sampah rumah tangga mereka sendiri di lingkungan
masing-masing. Saat
sampah,
muncul
ini
sudah
mulai terbentuk
kader-kader
pengelola
51
kelola TPA terhadap sampah Kota Tangerang sampai 20 tahun ke depan diperlukan
penambahan
105 TPST dan 140.896 komposter, optimalisasi kapasitas pengolahan ITF 500
ton/hari
serta
penambahan
lahan
seluas 7
hektar.
Apabila orientasi pengelolaannya dikembangkan menjadi TPA
regional
diperlukan adanya penambahan beberapa sarana ITF dan TPST yang ditempatkan di
perbatasan antara Kota Tangerang dengan wilayah-wilayah lain, dimana masingmasing ITF tersebut diharapkan akan mampu mengolah sebagian sampah dari tiap
wilayah sebelum diarahkan ke TPA Kota Tangerang.
Keberhasilan program TPA regional tersebut membutuhkan dukungan yang
kuat dari para stakeholder baik dari Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang maupun
Kota Tangerang Selatan. Selain itu perlu penguatan kelembagaan lokal dari masingmasing wilayah untuk
mengawal pelaksanaan
pengurangan sampah,
sehingga
sampah yang harus ditimbun di TPA dapat diminimalkan untuk memperpanjang usia
pelayanan dari TPA tersebut. Selain itu, pengelolaan TPA berbasis wilayah regional
membutuhkan sinkronisasi
peningkatan
peran
RTRW
dari
ketiga
daerah
tersebut
sekaligus
52
SIMPULAN
Selama ini konsep pengelolaan TPA masih berbasis perencanaan wilayah secara
struktural karena adanya isu masalah lingkungan akibat potensi pencemaran
dari operasional TPA tersebut,
mempunyai lahan TPA seringkali membatasi operasi penimbunan hanya bagi sampah
yang berasal dari Kota/ Kabupaten yang bersangkutan.
Berdasarkan Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem
Pengelolaan
Persampahan
Menteri Pekerjaan
bahwa
(KSNP-SPP),
yang
disajikan
dalam
Peraturan
Umum
No.21/PRT/M/2006,
diamanatkan
isu
sudah harus mulai beralih ke dalam perencanaan wilayah berbasis fungsional yaitu
dengan
mengembangkan
pola
kerjasama
regional
keterbatasan lahan.
Perlu
adanya
dan pemberdayaan
sinergitas
program
masyarakat
untuk
Pemerintah
dapat
Pusat,
Pemerintah
mengoptimalkan
kapasitas
Kota
dan
53
DAFTAR PUSTAKA
1993.
Empowerment: The
Politics of
Ife, Jim
2008.
Barori.
Perencanaan
Pembangunan
Dan
Partisipatif
Masyarakat.
Kus
Adi.
http://konversi.wordpress.com/2010/04/30/pembangunan-
55
56
57