Anda di halaman 1dari 67

JURNAL FORUM KESEHATAN

Journal Of Health Forum

ISSN : 2087-9105

Berat Badan Lahir Rendah Sebagai Faktor Risiko Pendek Pada Remaja
Di Kabupaten Gunung Mas
Vissia Didin, Maria Julin Rarome, Heti Ira Ayue ........................................................

Hubungan Penyapihan Dini Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 7-23 Bulan
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES PALANGKA RAYA

Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya


Noordiati, Legawati, Riyanti ..........................................................................................

Dampak Pelatihan Terhadap Kemampuan Kader Jumantik Dalam Melakukan


Penyuluhan PSN DBD Dan Pemeriksaan Jentik Di Wilayah Puskesmas Menteng
Dinkes Kesehatan Kota Palangka Raya
Yongwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati ..............................................................

16

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Taksiran Berat Janin Ibu Hamil Trimester III
Di Palangka Raya
Christine Aden, Natalansyah, Marselinus Heriteluna .................................................

21

Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Pendidikan Dengan Konsumsi Nutrasetika


Di Kota Palangka Raya
Mars Khendra, Mohamad Muchtar, NilaSusanti .........................................................

27

Hubungan Konsumsi Baram Dengan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku


Dayak Di Desa Samba Danum Kecamatan Tumbang Samba Kabupaten Katingan
Volume II
Nomor 4, Agustusi 2011

ISSN : 2087 - 9105

Barto Mansyah, Mars Khendra, Mohamad Muchtar ...................................................

40

Pengaruh Pemberian Regimen Air Susu Ibu Pada Perawatan Tali Pusat Terhadap
Waktu Pelepasan Tali Pusat
Tri Ratna Ariestini, Christine Aden, Ester Inung Sylvia ..............................................

50

ISSN : 2087-9105

Volume II Nomor 4, Agustus 2011

TIM REDAKSI
Penanggung Jawab

: Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes


(Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya)
: Pudir I Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Pelindung

Pudir II Poltekkes Kemenkes Palangka Raya


Pudir III Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Kepala Unit PPM Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.
Ketua Penyunting

: Iis Wahyuningsih, S.Sos.

Penyunting Ahli

: DR.Djenta Saha, S.Kp, MARS


Visia Didin Ardiyani, SKM, MKM
Prof. Diana Brown

Penyunting Pelaksana

: Marselinus Heriteluna, S.Kp, MA


Erma Nurjanah Widiastuti, SKM

Pelaksana TU

: Deddy Eko Heryanto, ST


Daniel, A.Md.Kom
Arizal, A.Md

Alamat Redaksi :
Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah
Telepon/Fax : 0536 - 3230730
Email

: forumkesehatanpky@gmail.com,

Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id
Terbit 2 (dua) kali setahun.

ISSN : 2087-9105

PENGANTAR REDAKSI
Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam
Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian
dan karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan
Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka
diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan.
FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang
menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun
informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya
bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya
berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN
volume kedua nomor keempat ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami
akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan
muncul pada penerbitan penerbitan selanjutnya.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan
kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN volume
kedua nomor keempat ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada
Dewan Redaksi yang telah meluangkan waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah
hasil penelitian/karya ilmiah yang telah disampaikan kepada redaksi.
Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan
naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM
KESEHATAN ini selanjutnya.
Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN volume
kedua nomor keempat ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai
lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya.
Tim Redaksi

ISSN : 2087-9105

DAFTAR ISI
Hal.
Berat Badan Lahir Rendah Sebagai Faktor Risiko Pendek Pada Remaja
Di Kabupaten Gunung Mas
Vissia Didin, Maria Julin Rarome, Heti Ira Ayue ........................................................

Hubungan Penyapihan Dini Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 7-23 Bulan
Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya
Noordiati, Legawati, Riyanti ..........................................................................................

13

Dampak Pelatihan Terhadap Kemampuan Kader Jumantik Dalam Melakukan


Penyuluhan PSN DBD Dan Pemeriksaan Jentik Di Wilayah Puskesmas Menteng
Dinkes Kesehatan Kota Palangka Raya
Yongwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati ..............................................................

23

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Taksiran Berat Janin Ibu Hamil Trimester III
Di Palangka Raya
Christine Aden, Natalansyah, Marselinus Heriteluna ..................................................

32

Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Pendidikan Dengan Konsumsi Nutrasetika


Di Kota Palangka Raya
Mars Khendra, Mohamad Muchtar, NilaSusanti .........................................................

42

Hubungan Konsumsi Baram Dengan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku


Dayak Di Desa Samba Danum Kecamatan Tumbang Samba Kabupaten Katingan
Barto Mansyah, Mars Khendra, Mohamad Muchtar ...................................................

48

Pengaruh Pemberian Regimen Air Susu Ibu Pada Perawatan Tali Pusat Terhadap
Waktu Pelepasan Tali Pusat
Tri Ratna Ariestini, Christine Aden, Ester Inung Sylvia ..............................................

54

Volume II Nomor 4, Agustus 2011

BERAT BADAN LAHIR RENDAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENDEK


PADA REMAJA DI KABUPATEN GUNUNG MAS
LOW BIRTH WEIGHT AS A STUNTED RISK FACTOR IN ADOLESECENT IN
GUNUNG MAS DISTRICT
Vissia Didin*, Maria Julin Rarome**, Heti Ira Ayue**
*

Jurusan Keperawatan, **Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak
Defisit pertumbuhan tinggi badan anak usia kurang dari 5 tahun banyak didapatkan di negara
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. WHO melaporkan di tahun 1992 terdapat kurang lebih lima
puluh persen anak berumur kurang dari 5 tahun diklasifikasikan sebagai pendek (stunted), keadaan ini
masih tetap bertahan sampai dengan tahun 1997. Tahun 2010, di Asia mengalami penurunan drastic
yaitu 28%. Walaupun di Asia telah terjadi penurunan yang drastis, namun di Indonesia (dan beberapa
provinsi) prevalensi stunting masih lebih tinggi (37%) dan masih merupakan masalah di beberapa
provinsi di Indonesia. Jika keadaan ini di Indonesia tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun,
maka dapat membawa dampak terutama pada perkembangan kognitif anak di usia remaja. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi factor penyebab terjadinya stunted di Kabupaten
Gunung Mas. Penelitian ini menggunakan data primer yang diambil dari 3 sekolah yang mewakili.
Data dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistic. Hasil penelitian menunjukan variabel yang
dapat mempengaruhi defisit tinggi badan anak pada usia remaja adalah BBLR, faktor genetik (tinggi
badan bapak), kebiasaan minum susu, dan pemberian ASI. Berdasarkan penelitian tersebut
disarankan perlunya peran orang tua dalam memantau perkembangan anak sejak dini, perbaikan
kondisi sosial ekonomi, edukasi bagi orang tua, revitalisasi fungsi posyandu, dan penyuluhan nutrisi
bagi remaja.
Kata Kunci: Pendek, Remaja, Kabupaten Gunung Mas, BBLR
Abstract
Height growth deficits of children aged less than 5 years found in many Southeast Asian
countries, including Indonesia. WHO report in 1992 there were approximately fifty percent of
children younger than 5 years were classified as short (stunted), this situation persisted until 1997. In
2010, in Asia has decreased drastically at 28% 3. Although in Asia there has been a drastic decline,
but in Indonesia (and some provinces) the prevalence of stunting was higher (37%) and is still a
problem in some provinces in Indonesia. If this situation in Indonesia did not change from year to
year, it could have an impact especially on children's cognitive development in adolescence. This
study aims to determine what the cause of stunted factor in Gunung Mas. This study uses primary
data drawn from three schools are represented. Data were analyzed using logistic regression test. The
results showed a deficit of variables that can affect a child's height in adolescence are genetic factors
(father's height), the habit of drinking milk, breastfeeding, and low birth weight. Based on these
studies suggested the role of parents in monitoring children's development, improvement of
socioeconomic conditions, education for parents, revitalization posyandu function, and nutrition
education for adolescents.
Keywords: Stunted, Adolesecent, Gunung Mas District, LBW
1

masa balita sangat berkaitan erat dengan tingkat


kesehatannya pada masa bayi baru lahir. Bayi
lahir sehat terkait erat dengan tingkat kesehatan
maternal. Derajat kesehatan maternal terkait erat
dengan tingkat kesehatan pada usia sekolah.
Derajat kesehatan pada periode usia sekolah sangat
terkait dengan kondisi kesehatan anak semasa
balita. Dengan demikian, derajat kesehatan anak
perlu diketahui perkembangannya dan tidak hanya
dilihat sesaat, melainkan harus dilihat secara
berkesinambungan selama kehidupan anak. Di
Indonesia masalah pertumbuhan fisik masi tinggi
dibandingkan dengan keadaan gizi di negara
sedang berkembang, gizi kurang pada anak-anak di
Indonesia masih merupakan problem yang serius2.
Prevalensi anak usia sekolah yang pendek (stunted)
pada tahun 1990-2001 tidak mengalami perubahan:
44,5%, 41,4%, 45,9%, dan 45,6% pada tahun
1990, 1992, 1995, dan 2001 secara berurutan2.
Diperoleh data terakhir mengenai pendek
(stunting) pada balita di Indonesia sebanyak 37%
pada tahun 20076.
Informasi mengenai penelitian mengenai
pertumbuhan fisik pada balita sampai dengan usia
sekolah di Kabupaten Gunung Mas belum tersedia.
Sedangkan menurut informasi dari Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Gunung Mas, saat ini
sangat sulit untuk mencari calon peserta paskibraka
yang memenuhi kriteria standard tinggi badan.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang
faktor-faktor
apa
yang
mempengaruhi
pertumbuhan fisik tinggi badan remaja. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan
pertumbuhan fisik tinggi badan remaja di
Kabupaten Gunung Mas.

Pendahuluan
Defisit pertumbuhan tinggi badan anak
usia kurang dari 5 tahun banyak didapatkan di
negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia1,2.
WHO melaporkan di tahun 1992 terdapat kurang
lebih lima puluh persen anak berumur kurang dari
5 tahun diklasifikasikan sebagai pendek (stunted),
keadaan ini masih tetap bertahan sampai dengan
tahun 19971. Defisit pertumbuhan di sebagian
negara berkembang terjadi pada masa balita3,4. Ada
beberapa penyebab terjadinya defisit pertumbuhan
pada masa balita, pada negara berkembang faktor
utamanya adalah tidak cukupnya asupan makanan,
infeksi, dan berat badan pada waktu lahir3,4.
Ditemukan juga bahwa umur dan status gizi dari
ibu dapat mempengaruhi pertumbuhan janin. Ibu
yang kurang gizi berpotensi mempunyai janin yang
kecil. Faktor sosial ekonomi secara tidak langsung
mempengaruhi status gizi anak, tetapi lebih
dikarenakan ketersediaan pangan dan asupan
makanan di keluarga serta meningkatnya kesakitan
pada anak1.
Anak-anak yang mengalami stunting pada
masa balita (early childhood) biasanya akan
menjadi anak yang lebih pendek pada masa dewasa
(adults)5. Lebih lanjut, satu diantara orang dewasa
yang memiliki ukuran pendek berasal dari masa
kanak-kanak yang pendek juga (stunted). Hal
tersebut akan berakibat pada saat mereka
memasuki usia dewasa dan bekerja akan
mengurangi kapasitas atau kemampuan kerja
mereka. Di lain pihak wanita yang bertubuh
pendek berisiko mempunyai bayi yang kecil.
Seperti dilaporkan oleh Klebanoff et al, terjadi efek
antargenerasi, yaitu bayi-bayi dengan berat badan
lahir
rendah
nantinya
akan
mengalami
keterlambatan pertumbuhan. Keadaan yang rentan
(misalnya infeksi dan asupan makanan tidak
cukup) yang kumulatif menyebabkan proses
pertumbuhan kerangka tubuh lambat atau stunting
(defisit pertumbuhan) atau biasa disebut sebagai
pendek, dengan panjang badan yang dicapai tidak
sesuai dengan umur.
Pertumbuhan dan perkembangan anak
merupakan
proses
panjang
yang
berkesinambungan. Derajat kesehatan anak pada

Metodologi
Jenis penelitian ini adalah penelitian cross
sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah
Menengah Umum (SMU) di Kabupaten Gunung
Mas. Waktu penelitian yaitu pada bulan Oktober
Desember 2011. Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh remaja yang bersekolah di sekolah
menengah umum di Kabupaten Gunung Mas.
Sampel, besar sampel pada penelitian ini dihitung
berdasarkan rumus Lameshow dengan dengan
2

menetapkan taraf kepercayaan 95% dan besarnya


power test 90% (untuk uji satu pihak harga Z1-
sesuai dengan 1,645 dan harga Z1- sesuai dengan
1,28), sehingga didapatkan besar sampel miniml
yaitu 50 orang. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara simple random sampling.
Pertama dibuat kerangka sampel semua SMU yang
ada di Kapubaten Gunung Mas, kemudian diambil
sebanyak 3 SMU yang mewakili. Masing-masing
SMU diambil 2 kelas yaitu kelas 1 dan 2. Data
dianalisis dengan analisis univariate, bivariate, dan
multivariate (Regresi Logistic).

(nilai P=0,017), tinggi badan bapak (nilai


P=0,052), penyakit kronis (nilai P=0,000), ASI
(0,044), minum susu (nilai P=0029), dan makan
buah (nilai P=0,042). (Tabel 1, 2, dan 3).
Model akhir multivariate terdapat hubungan
antara BBLR, tinggi badan bapak, ASI, dan
kebiasaan minum susu. Penurunan 1 cm tinggi
badan bapak, akan menurunkan pertumbuhan
tinggi badan anak sebesar 0,054 kali. Anak yang
tidak pernah minum susu berisiko untuk
mengalami defisit pertumbuhan sebesar 2 kali
dibandingkan dengan anak yang minum susu setiap
hari setelah dikontrol oleh variabel lain. Anak yang
minum susu mingguan berisiko mengalami defisit
pertumbuhan sebesar 1,57 kali dibandingkan
dengan anak yang minum susu setiap hari setelah
dikontrol oleh variabel lain. Anak yang diberi ASI
<4 bulan berisiko mengalami defisit pertumbuhan
sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan anak yang
diberi ASI 4 bulan setelah dikontrol oleh variabel
lain. Anak yang berat badan lahir rendah berisiko
mengalami defisit pertumbuhan sebesar 1,5 kali
dibandingkan dengan anak yang berat badan lahir
normal setelah dikontrol oleh variabel lain. (Tabel
4).

Hasil
Penimbangan berat badan saat bayi hanya
dilakukan pada 78,3% responden. Rerata berat
lahir yaitu 3024 659 gram dengan nilai median
3000 gram. Berat lahir terendah yaitu 1000 gram
dan yang terbesar yaitu 5000 gram. Pengukuran
panjang badan bayi dilakukan oleh 69,7%
responden. Rerata panjang badan 46,3 8,9 cm
dengan nilai median 48 cm. panjang badan
terendah 28 cm dan tertinggi 65 cm. Tujuh puluh
persen responden adalah anak ke-1 sampai dengan
anak ke-3. Urutan anak ke-5 atau lebih yaitu
sebesar 19,5%. Jumlah saudara kandung 1-3 orang
sebesar 49,8%, sedangkan jumlah saudara kandung
empat atau lebih dari empat 50%. Jumlah saudara
kandung terbanyak yaitu 11 orang.
Kebiasaan makan anak diukur dengan
menggunakan metoda food frequency sejumlah
bahan makanan atau makanan jadi selama harian
dan minggu. Frekuensi makan responden sebagian
besar yaitu 3 kali sehari (80,9%). Hasil penelitian
menunjukan bahwa konsumsi protein per hari
cukup besar, meliputi telur (32,5%), minum susu
(31,8%), dan makan ikan segar (25,6%). Konsumsi
sayur-sayuran per hari juga besar yaitu sebesar
55,6%. Konsumsi buah-buahan per hari yaitu
21,3% anak yang mengkonsumsi buah-buah setiap
harinya. Konsumsi makan remaja yang paling
digemari (ukuran setiap hari) yaitu mie (40,4%),
gorengan (44%), minum teh (27,4%), dan minum
softdrink (23,1%).
Dari hasil bivariate ditemukan variable yang
memenuhi kriteria kandidat model adalah BBLR

Pembahasan
Defisit Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja
Ukuran badan yang lebih pendek pada umur
tertentu dapat disebut sebagai pendek (shortness)
atau retardasi pertumbuhan (stunting). Pendek
merupakan deskriptif untuk ukuran badan yang
lebih pendek untuk umur tertentu. Definisi ini
sama tidak mencerminkan sebab terjadinya pendek
tersebut dan juga tidak mencerminkan suatu
keadaan baik normal maupun patologis. Stunting
merupakan definisi yang umumnya dipakai untuk
menyatakan bahwa pendek merupakan suatu
keadaan yang patologis. Stunting mencerminkan
suatu proses kegagalan dalam mencapai
pertumbuhan linier yang potensial sebagai akibat
adanya status kesehatan atau status gizi.

Tabel 1. Hasil Analisis Bivariate (Chi Square) Karakteristik Awal Remaja terhadap
Kejadian Pendek di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2011 (n=219)
Variabel
Independent
Jenis
Kelamin

TB/U
Normal Stunted
laki-laki
perempuan

Berat Badan Lahir

Nama Sekolah

24
35,3%
48
32.5%

68
100.0%
151
100.0%

0,609

0,017

132

56

188

BBLR

%
Jumlah
%

70.2%
15
48.4%

29.8%
16
51.6%

100.0%
31
100.0%

Jumlah
%
Jumlah
%

61
70.9%
86
64.7%

25
29.1%
47
35.3%

86
100.0%
133
100.0%

0,930

Jumlah

129

48

177

0,000

72.9%

27.1%

100.0%

18

24

42

42.9%

57.1%

100.0%

57

18

75

76.0%

24.0%

100.0%

90

54

144

62.5%

37.5%

100.0%

Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%

33
67.3%
90
68.7%
24
61.5%

16
32.7%
41
31.3%
15
38.5%

49
100.0%
131
100.0%
39
100.0%

Kurun

Tidak
Ya

Jumlah
%

4 bln

Jumlah
%

< 4bln
Jumlah sdr
Kandung

44
64.7%
103
68,2%

Jumlah

ASI

Nilai P

Normal

Manuhing
Penyakit kronis

Jumlah
%
Jumlah
%

Total

1-2 org
3-5 org
>5 org

Jumlah

0,044

1
0,571
0,404

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate (t-test tidak berpasangan) Faktor Genetik (TB orang tua) terhadap
Kejadian Pendek di Kapubaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2011 (n=219)
n

Rerata

SD

Nilai
P

TB Ibu
Pertumbuhan TB/U
Stunted

72

152,6

7,4

Normal

147

153,6

5,3

0,326

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate (lanjutan)


n

Rerata

Nilai

SD

TB Ibu
Pertumbuhan TB/U
Stunted

72

161,4

7,3

Normal

147

163,5

7,4

0,052

Tabel 3. Hasil Analisis Bivariate (t-test tidak berpasangan) Faktor Kebiasaan Makan Remaja
terhadap Kejadian Pendek, Kapubaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2011 (n=219)
Kebiasaan Makan Remaja

Kejadian Stunted
Stunted

Total

Nilai P

Non Stunted

Tidak pernah

11

50

11

50

22

100

0,996

Mingguan

39

31

87

69

126

100

0,108

Setiap hari

22

31

49

69

71

100

Tidak pernah

37,5

15

62,5

24

100

0,500

Mingguan

46

33,3

92

66,7

138

100

0,634

Setiap hari

17

70,2

17

29,8

57

100

Tidak pernah

27

30,7

61

69,3

88

100

0,291

Mingguan

38

32,8

78

67,2

116

100

0,229

Setiap hari

46,7

53,3

15

100

Tidak pernah

38,1

13

61,9

21

100

0,182

Mingguan

55

35

102

65

157

100

0,115

Setiap hari

22

32

78

41

100

Tidak pernah

16

34,8

30

65,2

46

100

0,029

Mingguan

40

38,8

63

61,2

103

100

0,162

Setiap hari

16

22,9

54

77,1

70

100

Tidak pernah

11

40,7

16

59,3

27

100

0,542

Mingguan

33

30

77

70

110

100

0,536

Setiap hari

28

34,1

54

65,9

82

100

Tidak pernah

22

33,3

44

66,7

66

100

0,744

Mingguan

33

32

70

68

103

100

0,854

Setiap hari

17

34

33

66

50

100

Kebiasaan makan Telur

Kebiasaan makan Ikan

Kebiasaan makan Ikan Asin

Kebiasaan minum Daging

Kebiasaan makan Susu

Kebiasaan makan Mie

Kebiasaan makan Softdrink

Kebiasaan Makan Remaja

Kejadian Stunted
Stunted

Total

Nilai P

Non Stunted

Tidak pernah

22,7

17

77,3

22

100

0,529

Mingguan

35

34,7

66

65,3

101

100

0,144

Setiap hari

32

33,3

64

66,7

96

100

Tidak pernah

14

23,7

45

76,3

59

100

0,584

Mingguan

33

34,7

62

65,3

95

100

0,305

Setiap hari

25

38,5

40

61,5

65

100

Tidak pernah

10

19,6

41

80,4

51

100

0,394

Mingguan

54

38,6

86

61,4

140

100

0,460

Tidak pernah

15

27,8

39

72,2

54

100

Mingguan

47

34,6

89

65,4

136

100

0,350

Setiap hari

10

34,5

19

65,5

29

100

0,726

Tidak pernah

34

30,1

79

69,9

113

100

Mingguan

36

36,7

62

63,3

98

100

0,185

Setiap hari

25

75

100

0,311

Tidak pernah

18,2

18

81,8

22

100

Mingguan

30

39,5

46

60,5

76

100

0,154

Setiap hari

38

31,4

83

68,6

121

100

0,491

Tidak pernah

14

26,4

39

73,6

53

100

Mingguan

48

40,3

71

59,7

119

100

0,042

Setiap hari

10

21,3

37

78,7

47

100

0,162

Setiap hari

28,6

20

71,4

28

100

Kebiasaan makan Gorengan

Kebiasaan makan Gula

Kebiasaan makan Tahu

Kebiasaan makan Tempe

Kebiasaan makan Umbi

Kebiasaan makan Sayur

Kebiasaan minum Buah

Tabel 4. Model Akhir Analisis Regresi Logistik Berganda antara Determinan Stunted
dengan Kejadian Pendek pada Remaja, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, 2011 (n=219)
No.
1

Variabel

OR

95% CI

Nilai P

BBLR

1.6

0,701 3,792

0,256

Normal

1
1,868 8,525

0,000

Kondisi lahir

Penyakit Kronis
Ya
Tidak

3.9
1

Tabel 4. Model Akhir Analisis Regresi Logistik Berganda (Lanjutan)


No.
3

Variabel

OR

95% CI

Nilai P

<4 bulan

1.54

1,377 5,068

0,077

4 bulan

1
0.9

0,907 0,991

0,017

Tidak pernah

2.3

0,996 5,333

0,051

Mingguan

1.2

0,428 3,123

0,775

Setiap hari

ASI

TB Bapak (cm)

Makan buah

R2=0,185 ; -2 log likelihood = 246,236

Pada penelitian ini, remaja yang stunted yaitu


sebesar 33%. Kondisi ini dapat mencerminkan
kondisi gizi remaja di masa lalu. Pada penelitian
ini, remaja yang menjadi responden adalah remaja
berusia 15-16 tahun. Pengukuran antropometri
selama masa remaja merupakan hal yang sangat
penting karena pengukuran tersebut memberikan
pemantauan dan evaluasi terhadap perubahan
hormone, perubahan dalam pertumbuhan, dan
maturasi selama periode ini. Perubahan terjadi
secara cepat selama remaja termasuk peningkatan
dalam ukuran badan, seperti pertumbuhan dan
pencapaian progresif dari status dewasa. Perubahan
fisik dan seksual pada remaja berjalan seirama
dengan perubahan kognitif, emosional, social,
kultural, dan adaptasi. Masa remaja ini merupakan
hampir separuh periode pertumbuhan pada
manusia dan merupakan satu-satunya periode
setelah lahir, pada masa ini kecepatan
pertumbuhan biasanya meningkat.
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa
remaja harus dipertimbangkan secara terpisah
antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki
rata-rata lebih besar daripada anak perempuan
sejak lahir sampai dengan masa pubertas.
Pertumbuhan fisik selama masa remaja hampir
selalu terjadi dengan urutan yang sama tetapi saat
timbulnya kecepatan dan umur selesainya
perubahan itu sangat berbeda-beda. Percepatan
pertumbuhan pada anak laki-laki dimulai antara
umur 13-15,5 tahun. Selama waktu ini
penambahan tinggi badan rata-rata 20 cm. Pada

perumpuan percepatan pertumbuhan dimulai kirakira satu setengah tahun sebelum laki-laki dan
hampir lengkap pada usia 13,5 tahun, dalam tahun
perubahan puncak tinggi badan bertambah kirakira 8 cm. Setelah ini, kecepatan pertumbuhan
tinggi badan berkurang, dan pada umur 18 tahun
pertumbuhan tinggi badan hampir lengkap. Untuk
anak laki-laki masih terjadi pertambahan tinggi
badan kira-kira 2,5cm lagi.
Antropometri remaja bervariasi sangat
signifikan di dunia. Pertumbuhan berbeda antara
kelompok-kelompok dan berhubungan dengan
status nutrisi, tingkat social ekonomi, tingkat
urbanisasi, dan ketinggian tempat. Untuk individu
remaja pertumbuhan mungkin terbatas pada
beberapa factor, diantaranya lamanya kekurangan
nutrisi, infeksi, dan penyakit kronis. Terdapat bukti
bahwa anak yang mempunyai pengalaman pada
masa anak-anak dengan kemiskinan dan kemudian
diadopsi oleh keluarga kaya dapat menunjukkan
kejar tumbuh dan perkembangan pubertas yang
lebih cepat mencapai batas normal8. Indikator
antrometri dalam hal ini stunting untuk remaja
yaitu <-2 Z skor adalah sama dengan yang
digunakan untuk anak-anak. Meskipun prevalensi
yang diharapkan untuk stunting selama remaja
lebih rendah lebih rendah, rekomendasi ini
merupakan kelanjutan dari usia muda. Jika pada
penelitian ini stunting pada remaja 33% itu berarti
kelanjutan stunting di usia kanak-kanak.
Defisit pertumbuhan tinggi badan anak telah
dialami sejak usia 1-2 tahun, baik pada anak
7

perempuan maupun anak laki-laki. Prevalensi anak


yang mengalami defisit tinggi badan lebih banyak
pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan. Anak laki-laki lebih berisiko untuk
mengalami defisit tinggi badan sebesar 1,7 kali
dibandingkan dengan anak perempuan setelah
dikontrol oleh varibale lainnya7. Hal ini
disebabkan karena tingkah laku anak laki-laki
berbeda dengan anak perempuan sehingga
kebutuhan energinya lebih banyak pada anak laklaki8. Pada penelitian ini deficit pertumbuhan
tinggi badan pada anak laki-laki dan perempuan
tidak mengalami perbedaan yang cukup signifikan.
Jika pada usia 1-2 tahun, balita tidak
memperoleh asupan gizi yang seimbang, dan juga
kondisi social ekonominya tidak mengalami
perubahan maka keadaan tersebut akan
mempengaruhi pertumbuhannya di masa remaja.
Menurut penelitian Ardiyani (2009), pada
penelitian ini digunakan 7000 anak usia1-2 tahun
kemudian diikuti sampai usia 7-8 tahun (data IFLS
1993-2000) ditemukan bahwa terdapat hubungan
yang significant antara deficit pertumbuhan yang
terjadi di usia1-2 tahun dengan deficit
pertumbuhan usia 7-8 tahun (OR=1,3; 95%
CI=1,051 1,510). Jika kondisi social ekonomi,
asupan gizi tidak berubah makan kemungkinan
terjadi stunting dimasa remaja tinggi7.

menderita buta (1,1%); 70 anak menderita juling


(11,4%), 11 anak (1,8%) menderita gangguan
pendengaran dan ketajaman penglihatan (3,6%).
Gangguan neuromotor terdapat pada 82 anak
(13,4%), yang terdiri dari tanda klinis dan
abnormal 35 anak (5,7%), gangguan disertai cacat
berat 23 anak (3,8%), dan cacat sedang 24 anak
(3,9%). Status cacat fisik (disability) 36 anak
menderita cacat berat (5,9%); 67 anak menderita
cacat sedang (11%), dan cacat ringan pada 174
anak (28,5%). Makin rendah berat badan lahir
makin
tinggi
persentase
gangguannya.
Pertumbuhan tinggi badan serta lingkar kepala dan
berat badan dengan membandingkan sentil kurva
standard sesuai dengan umur, mempunyai nilai
rata-rata di bawah standar rata-rata populasi10.
Penelitian di Cebu, Filipina menunjukkan terjadi
peningkatan status tinggi badan mulai usia 2
hingga 12 tahun. Pada usia 2 tahun sekitar 63%
anak menderita stunted dari yang stunted ini pada
usia 8,5 tahun menurun menjadi 30% dan pada
usia 12 tahun yang tetap stunted menjadi 32,5%.
Namun, persentase stunted pada usia 8,5 tahun
adalah 51,2% (Adair, 1999). Ford et al (2000)
melaporkan hasil penelitian kohor di Melbourne,
Australia untuk pertumbuhan berat badan, tinggi
badan, dan lingkar kepala dari anak dengan berat
lahir sangat rendah (<1500 gram) apabila
dibandingkan dengan anak dengan berat badan
normal (>2499 gram), hasilnya didapatkan pada
usia 2,5,8, dan 14 tahun anak dengan berat badan
lahir sangat rendah secara signifikan lebih pendek
dan lebih kurus serta lebih kecil lingkar kepalanya
daripada anak dengan berat lahir normal.Anak
yang berat lahirnya <1000 gram dan berat lahirnya
antara 1000-1499 gram menunjukkan ada
perbedaan yang bermakna untuk Z skor (tinggi
badan) pada usia 2 tahun dan Z skor (lingkar
kepala) pada usia 8 tahun9.
Pada penelitian ini dilaporkan ada perbedaan
pertumbuhan fisik remaja antara berat badan lahir
rendah dan berat badan normal saat lahir. Hasil
pada penelitian ini menunjukan hal yang sama
dengan penelitian Ford (2000)9, Adair (1999)10,
dan kusharisupeni (2003)4. Hal ini tentunya perlu
mendapat perhatian dari orang tua dan juga tenaga

Kondisi Lahir dan Defisit Pertumbuhan Tinggi


Badan Remaja
Bayi berat lahir rendah mengalami kombinasi
dari
berbagai
gangguan
neurosensorik,
perkembangan, dan masalah kesehatan. Beberapa
hasil jadi untuk bayi dengan berat lahir rendah
yang telah dilaporkan adalah a). neurosensorik, b).
kognitif, c). tingkah laku dan kompetensi social,
d). prestasi sekolah dn akademik, dan e).
kesehatan. The Scottish low birthweight Study
Group melakukan penelitian di Skotlandia untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
neuromotor dan sensorik pada anak dengan berat
lahir <1750 gram usia 4,5 tahun. Dari 908 yang
diteliti 71% masih bertahan hidup sampai usia 4,5
tahun. Dari yang hidup ini (611 anak yang dapat
dipantau sebesar 96%). Ditemukan 7 anak
8

kesehatan untuk berupaya menurunkan angka


kejadian BBLR sekecil mungkin. Usaha tersebut
diantaranya adalah dengan melakukan intervensi
perbaikan saat ibu hamil seperti usia kehamilan
tidak boleh kurang dari 18 tahun dan tidak boleh
lebih dari 30 tahun, jarak kelahiran tidak boleh
kurang dari 2 tahun, dan menurunkan kesakitan ibu
hamil seperti anemia, kekurangan yodium dengan
cara memberikan makanan tambahan, pemberian
vitamin dan mineral selama hamil.

sebesar 0,054 kali (penurunannya sangat sedikit).


Namun, tinggi badan ibu tidak memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan fisik anak.
Walaupun konstitusi seseorang ditentukan oleh
bakat, namun faktor lingkungan akan memberi
pengaruh dan sudah berperan sejak konsepsi,
dalam perkembangan embrional intra uterine dan
seterusnya. Perbedaan pertumbuhan pada anakanak di negara berkembang jika dibandingkan
dengan negara maju lebih disebabkan oleh
perbedaan sosial ekonomi dan kondisi tempat
tinggal daripada oleh faktor keturunan.
Kecenderungan sekular (secular trend) pada
tinggi badan menjadi isu yang menarik karena
menimbulkan pertanyaan besar tentang faktor
apakah yang berada dibalik perubahan itu. Yang
dimaksud dengan kecenderungan sekular adalah
fenomena yang menunjukkan bahwa anak-anak
pada saat ini pertumbuhannya lebih cepat
dibandingkan dengan pertumbuhan anak-anak
beberapa puluh tahun yang lalu. Kesenjangan yang
nyata antara status sosial ekonomi antargenerasi
menimbulkan perbedaan tinggi badan, yaitu bahwa
generasi yang lahir dan tumbuh pada situasi sosial
ekonomi yang baik atau makmur memiliki tubuh
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Keadaan ini terjadi di Czech
pada penelitian yang dilakukan selama 100 tahun
menunjukkan bahwa rerata tinggi badan anak lakilaki yang berumur 10 tahun meningkat antara
tahun 1895 dan 2001 sebesar 17,3 cm dan anak
perempuan 18,9 cm. Antara tahun 1991 dan 2001,
rerata pertumbuhan anak laki-laki meningkat 2,1
cm dan pada anak perempuan hanya 1 cm. Oleh
karena itu, pendekatan perbaikan status gizi anak
lebih ditekankan pada perubahan kondisi sosial
ekonomi.

Kondisi
Sosial
Ekonomi,
Kesehatan
Lingkungan, dan Defisit Pertumbuhan Tinggi
Badan Remaja
Pertanyaan mengenai seberapa besar defisit
pertumbuhan dan kesehatan yang buruk pada masa
balita dapat mempengaruhi tinggi badannya diusia
remaja dapat dijawab dengan beberapa pendekatan.
Pada subbab ini dibahas mengenai kondisi sosial
ekonomi dan kesehatan lingkungan Pendekatan
pertama yaitu dengan pendekatan sosial ekonomi
anak. Kondisi sosial ekonomi rendah dan kondisi
lingkungan yang buruk pada anak terus menerus
tanpa suatu perbaikan menyebabkan anak terpapar
pada keadaan yang buruk, sehingga membuat
pertumbuhan anak terhambat.
Pada penelitian ini tidak dapat diukur
perubahan status social ekonomi orang tua remaja
sehingga tidak dapat diketahui apakah remaja yang
dahulu berasal dari keadaan miskin berubah
kondisi menjadi keadaan yang lebih baik
pertumbuhan fisiknya mengalami perubahan yang
lebih baik juga.
Faktor Genetik dan Defisit Pertumbuhan
Tinggi Badan Remaja
Pengaruh
genetik
bersifat
heredokonstitusional yang berarti bahwa bentuk untuk
konstirusi sesorang ditentukan oleh faktor
keturunan. Dengan kata lain, seorang anak akan
besar dan tinggi bila ayah dan ibunya juga besar
dan tinggi. Dilaporkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara tinggi badan bapak dan juga
ibu terhadap defisit pertumbuhan tinggi badan
anak. Setiap kenaikan 1 cm tinggi badan bapak,
akan menurunkan pertumbuhan tinggi badan

Pemberian ASI Eksklusif dan Defisit


Pertumbuhan Tinggi Badan Remaja
Ada keraguan tentang pola pertumbuhan anak
terhadap kecukupan gizi ASI. Jarangnya dilakukan
penelitian longitudinal tentang pertumbuhan dan
pemberian ASI pada bayi yang sehat menjadikan
keraguan tersebut lebih rumit. ASI diyakini
sebagai minuman/makan yang terbaik bagi bayi.
9

Selain zat gizi yang cukup, air susu ibu juga


mengandung zat anti infeksi. Proporsi zat gizi
mikro, kecuali lemak, dalam air susu ibu dengan
gizi kurang dibandingkan dengan air susu ibu gizi
baik hampir tidak berubah, tetapi produksi air susu
ibu berkurang jumlahnya pada ibu dengan gizi
kurang. Beberapa vitamin yang larut dalam air
(asam askorbik, thiamin, dan B12) sangat cepat
terpengaruh oleh diet yang kurang dan produksi
ASI ibu makin menurun.
Meskipun, hasil penelitian berdasarkan
analisis multivariate menunjukan tidak adanya
hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan
terjadinya defisit pertumbuhan tinggi badan hanya
pada kategori pemberian ASI eksklusif < 4 bulan,
namun variable ASI merupakan confounding bagi
kondisi lahir . Anak yang diberi ASI eksklusif < 4
bulan akan mengalami defisit pertumbuhan sebesar
1,5 kali dibandingkan dengan anak yang diberi ASI
eksklusif selama 4 bulan. Meskipun perbedaan
ini hanya terdapat pada anak dengan ASI eksklusif
< 4 bulan, secara substantif hal itu mempunyai arti
besar, yaitu bahwa ASI eksklusif tetap merupakan
minuman/makanan terbaik bagi anak sampai
dengan umur 4 bulan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Ardiyani (2009) yang meneliti 7000
anak usia 1-2 tahun secara longitudinal7.
Umumnya,
di
negara
berkembang,
kemampuan luar biasa ibu-ibu dari semua lapisan
sosial ekonomi untuk menyusukan bayinya sampai
periode tertentu merupakan aset nasional yang
berharga. Perilaku yang bermanfaat ini tampaknya
saat ini mengalami erosi yang progresif, harus
dipertahankan dan dilindungi.
Kebiasaan Makan dan Defisit Pertumbuhan
Tinggi Badan Remaja
Kebiasaan makan adalah perilaku yang
berhubungan dengan makanan, frekuensi makan
seseorang, pola makanan yang dimakan, distribusi
makanan dalam keluarga dan cara memilih
makanan11 Penilaian kebiasaan makan makan
adalah suatu metoda yang digunakan dalam
penentuan status gizi seseorang secara kualitatif.
Penilaian ini tidak secara langsung dapat
menentukan status gizi seseorang atau masyarakat,

akan tetapi hasil penilaian kebiasaan makan dapat


digunakan sebagai bukti awal akan kemungkian
terjadinya kekurangan gizi pada seseorang.
Penelitian ini menggunakan metode frekuensi
makanan (food frekuensi) dimana ditanyakan
tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan
makanan atau minuman jadi selama periode satu
minggu.
Pola makan pada anak akan menentukan
pertumbuhan fisik optimal yang akan dicapai
sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa konsumsi susu
sangat mempengaruhi defisit pertumbuhan tinggi
badan usia remaja. Pada anak yang tidak pernah
minum susu akan mengalami defisit pertumbuhan
tinggi badan sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan
anak yang minum susu tiap hari. Hasil ini juga
ditemukan pada penelitian Ardiyani (2009) yaitu
anak yang tidak pernah minum susu akan
mengalami defisit pertumbuhan tinggi badan
sebesar
2,3 kali (95% CI: 1,752 2,890)
dibandingkan dengan anak yang minum susu tiap
hari7.
Susu sebagaimana bahan pangan hewani
lainnya dikenal kaya dengan kandungan gizi.
Selain mengandung kalsium, susu juga
mengandung hampir seluruh zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Oleh karena itu di
tahun 1950-an, susu dikategorikan sebagai bahan
pangan yang dapat menyempurnakan. Konsumsi
susu secara nyata memacu perbaikan mineral
tulang karena susu adalah sumber kalsium dan
fosfor yang sangat penting untuk pembentukan
tulang. Para pakar kesehatan menyatakan bahwa
susu dan produk olahannya adalah sumber
kalsium terbaik, dan menemukan bahwa anakanak usia > 5 tahun yang mengkonsumsi susu atau
produk olahannya mempunyai tulang lebih kuat
dan status gizi yang lebih baik (National Dairy
Council, 2000). Walaupun konsumsi susu
berpengaruh terhadap tinggi badan namun tidak
semata-mata asupan gizi dari sumber lain tidak
diperlukan. Asupan gizi dari sumber energi,
protein (selain susu), dan lemak juga merupakan
faktor penentu dalam pertumbuhan fisik anak.
Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya

10

energi dan protein, pada tahap awal akan


meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu
tertentu berat badan akan menurun yang disertai
dengan
menurunnya
produktivitas
kerja.
Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan
menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk.
Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan
protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan
mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya
dapat menyebabkan kematian.
Distribusi makanan di area kota dan desa
berpengaruh terhadap pola konsumsi makan anak.
Pola konsumsi makanan di Indonesia pada
dasarnya dibedakan menjadi dua, yakni pola
konsumsi moderen di area kota dan pola konsumsi
tradisional di area desa13. Pola modern, makanan
lengkap meliputi makanan pokok, sayur mayur,
lauk pauk (daging, telur, dan ikan), dan susu. Pola
konsumsi tradisional di area pedesaan sederhana
meliputi makanan pokok, sayur mayur (tani), dan
ikan (nelayan).
Tidak diikutsertakannya faktor budaya dalam
menganalisis kebiasaan makan akan menjadi
keterbatasan dalam penelitian ini. Dan tidak
diukurnya kebiasaan makan anak di usia 1-2 tahun
juga menjadi keterbatasan dalam penelitian ini.
Kesimpulan dan Saran
Sebanyak 33% remaja di Kabupaten Gunung Mas
Stunting. Faktor yang mempengaruhi yaitu tinggi
badan bapak, kebiasaan minum susu, pemberian
ASI, dan kondisi saat lahir. Terkait dengan kondisi
saat lahir, kiranya perlu mendapat perhatian dari
orang tua dan juga tenaga kesehatan untuk
berupaya menurunkan angka kejadian BBLR
sekecil mungkin. Usaha tersebut diantaranya
adalah dengan melakukan intervensi perbaikan saat
ibu hamil seperti usia kehamilan tidak boleh
kurang dari 18 tahun dan tidak boleh lebih dari 30
tahun, jarak kelahiran tidak boleh kurang dari 2
tahun, dan menurunkan kesakitan ibu hamil seperti
anemia, kekurangan yodium dengan cara
memberikan makanan tambahan, pemebrian
vitamin dan mineral selama hamil. Perlunya
promosi ASI secara multilevel, baik dari level

individu (ibu), level keluarga (ayah dan orang tua),


level pemerintahan (Dinkes dan Pemda Kabupaten
Gunung Mas) sehingga semua pihak saling
mendukung para ibu memberikan ASInya secara
eksklusif selama 6 bulan. Memberikan penyuluhan
mengenai program gizi seimbang pada remaja saat
ini.
Daftar Pustaka
1. WHO. 1997. WHO Global Database on Child
Growth and Malnutrition. Geneva: WHO
Press.
2. Schultink, Werner. Past trends in nutritional
status of urban children in southeast asia, and
present changes in indonesia related to the
socio-economic crisis. S A J Clin Nutr 2000
February Vol. 13 No 1.
3. Atmarita. 2005. Article: Nutrition Problems in
Indonesia. Disampaikan pada: An Integrated
International Seminar and Workshop on
Lifestyle-Related Disease Gajah Mada
University, 19-20 March, 2005.
4. Kusharisupenni. 1999. Dissertation: Peran
Berat Lahir dan Masa Gestasi terhadap
Pertumbuhan Linier Bayi di Kecamatan Sliyeg
dan Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat, 1995-1997. Jakarta:
FK-UI Postgraduate Programme.
5. Martorell, 1992. Growth in Early Childhood in
Developing Countries dalam Frank Falkner
(Ed.). Human Growth: A Comprehensive
Treatise. Hlm. 249-251. New York: Plenum
Press.
6. Depkes R.I. 2010. Riset Kesehata Dasar Tahun
2010. Jakarta: Depkes R.I.
7. Vissia 2009. Thesis: Determinan Stunted pada
Anak Usia 7-8 tahun: Study Longitudinal IFLS
1993-2000.
8. Soetjiningsih et al. 2002. Tumbuh Kembang
Anak dan Remaja, Edisi Pertama Tahun 2002.
Jakarta: CV. Sagung Seto.
9. Ford, G.W., Doyle, L.W., Davis, N.M.
Callanan, C. 2000. Very Low Birth Weight and
Growth
into
Adolescent.
Arch.
Pediatr.Adolesc.Med. 154:778-784.

11

10. Weir, W. Et al. 1992. The Scottish Low


http://www.nationaldairycouncil.org/Education
Birthweight study: I, Survival, growth,
Materials/DietaryGuidance/Pages/DietaryGuid
neuromotor and sensory impairment. Arch. Dis
ance.aspx
Child. 67:675-681.
13. Hardjana, A. Andre. 1992. Orientasi Perilaku
11. Suharjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi.
Konsumen tentang Masalah Pangan dan Gizi
Jakarta: Bumi Aksara.
dari Sumber Hayati Kelautan dalam Widya
12. National Dairy Council 2010. Dietary
Karya
Pangan
dan
Gizi.
Jakarta.
Guidelines Materials 2010, [online]. Available:

12

Hubungan Penyapihan Dini Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia


7-23 Bulan Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya
Association Between Early Weaning and Acute Respiratory Infection Among
Children Age 7-23 Months in Pahandut Primary Health Care
Noordiati, Legawati, Riyanti
Jurusan Kebidanan Poltekkes KemenkesPalangka Raya
ABSTRAK
Data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007 menunjukkan angka kematian balita
sebesar 44/1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi sebesar 34/1000 kelahiran hidup
pada tahun 2007. Penyebab utama kematian bayi adalah infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA). Salah satu faktor risiko terjadinya ISPA adalah penyapihan dini. Tujuan penelitian
yaitu mengetahui hubungan antara penyapihan dini dengan kejadian penyakit infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) pada anak usia 7-23 bulan. Jenis penelitian observasional dengan
menggunakan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian adalah anak usia 7-23 bulan,
jumlah sampel 177 responden yang datang berobat di puskesmas. Analisa yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ujistatistik Chi Square serta analisis multivariat dengan
menggunakan regresi logistik. Analisis multivariabel menunjukkan prevalensi ISPA 1,84 kali
lebih banyak pada anak yang disapih dini dibandingkan anak yang tidak disapih dini
(RP=1,84, 95% CI=1,43-2,38). Anak usia 7-23 bulan dengan status gizi kurang 1,48 kali
lebih banyak mengalami ISPA dibandingkan dengan anak yang status gizi baik (RP=1,48,
95% CI=1,20-1,83). Prevalensi ISPA anakusia 6-23 bulan 1,63 kali lebih banyak pada
keluarga yang memiliki kebiasaan merokok dibandingkan dengan keluarga yang tidak
memiliki kebiasaan merokok.Tidak menyapih anak secara dini bermanfaat mengurangi
kejadian ISPA.
Kata kunci: Penyapihan dini, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
ABSTRACT
According to Indonesian Health Profile 2007 indicated that mortality rate of underfives
was 44 per 1000 live births and infant mortality rate was 34 per 1000 live births. The major
cause of infant mortality is acute respiratory tract infection (ARI). One risk factor of ARI was
early weaning..To identify the association between early weaning and the prevalence of ARI
in children age 7 23 months. This observational study with cross sectional design. Subject
of the study were children age7 23 months withas many as 177 samples of respondents that
visited health centers. Data analysis used chi square statistical test and multivariate technique
with logistic regression. The result of multivariate analysis showed that the prevalence of
ARI was 1.84 times higher in children with early weaning than in those with non early
weaning (RP=1.84, 95% CI=1.43 2.38). Children of 7 23 months with undernourished
nutrition status had 1.48 times higher for ARI than those with good nutrition status (RP=1.48,
CI95%=1.20 1.83). The prevalence of ARI in children of 7 23 months was 1.63 times
higher in the smoking exposure that in those that non smoking exposure. Non early weaning
had the advantage of minimizing the prevalence of ARI.
Keywords: early weaning, acute respiratory tract infection.

13

mudah terserang penyakit ISPA dan diare.


Risiko bayi yang tidak mendapat ASI penuh
atau mendapat ASI parsial terhadap kejadian
kematian akibat penyakit ISPA dan diare
sebesar 2,23 kali lebih tinggi dibanding
dengan pemberian ASI eksklusif5.
Rekomendasi
World
Health
Organization (WHO) dan UNICEF bahwa
menyusui
eksklusif
(exclusive
breastfeeding) sejak lahir selama 6 bulan
pertama hidup anak, dan tetap disusui
bersama pemberian makanan pandamping
ASI (MP-ASI) yang cukup sampai usia 2
tahun atau lebih. Namun sebagian besar ibu
di berbagai negara mulai memberi bayi
makanan dan minuman buatan sebelum 6
bulan, dan berhenti menyusui jauh sebelum
anak berusia 2 tahun. Alasan umum adalah
ibu merasa dirinya tidak punya cukup ASI.
Hal ini disebabkan karena ibu bekerja di luar
rumah dan tidak tahu bagaimana menyusui
sambil bekerja 6.
Penyapihan
merupakan
stadium
nutrisional yang kritis pada kehidupan bayi
dan usia optimal untuk ini telah banyak
diperdebatkan. Keputusan kapan untuk
melakukan
penyapihan
harus
dipertimbangkan dengan risiko bahwa
penyapihan yang terlalu dini akan
mengganggu sistim pencernaan, ginjal dan
sistim imun yang bisa mengakibatkan
immaturitas dan menurunnya paparan
pengaruh protektif ASI 7. Penyapihan dini
mengakibatkan bayi kehilangan makanan
terbaiknya dan zat protektif, dimana ASI
melalui antibodi SIgA dapat melindungi
bayi dari kuman Haemophilus influenzae
yang terdapat pada mulut dan hidung, serta
menurunkan
risiko
terkena
infeksi.
Dilaporkan bahwa ASI menurunkan risiko
infeksi saluran pernapasan atas dan bawah 8.
Pemberian ASI dapat menurunkan angka
kejadian diare, infeksi saluran pernapasan
akut, otitis media, meningitis dan infeksi
saluran kemih. Pola pemberian ASI pada
bayi dikaitkan dengan beberapa hal antara
lain kondisi pekerjaan ibu, dukungan dari
keluarga, pengetahuan ibu, dan tersedianya
akses fasilitas pelayanan kesehatan 9.

Pendahuluan.
Penyakit infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) masih merupakan masalah
kesehatan yang utama karena merupakan
penyebab kematian dan kesakitan yang
terbanyak di dunia. Pada tahun 2000
diperkirakan sekitar 1.9 juta anak meninggal
karena penyakit ISPA dan 70% terjadi di
Afrika dan Asia Tenggara1. Berdasarkan
estimasi tahun 2006 tercatat bahwa sekitar
500 sampai 900 juta penyakit ISPA terjadi
dalam setiap tahunnya di negara-negara
berkembang, sehingga penyakit ISPA perlu
mendapat perhatian dan prioritas dalam
penanganan masalah kesehatan2.
Berbagai komitmen global tentang
kesehatan anak telah dicanangkan oleh
masyarakat dunia, antara lain: Convention
on the Rightsof the Child, World Summit for
Children
tahun
1990;
Millennium
Development Goals bidang kesehatan yang
salah satunya ialah menurunkan 2/3
kematian balita pada rentang waktu antara
tahun 1990-2015; review tahun 2002 dalam
pertemuan United Nations Special Session
on Children di New York, yang
menghasilkan dokumen A World Fit for
Children dan ditegaskan kembali tujuan
Millennium Development Goals yang belum
tercapai secara merata khususnya di negara
berkembang termasuk Indonesia. Pada
dokumen itu disebutkan bahwa untuk
mencapai tujuan di atas, salah satu upaya
yang harus dilakukan adalah menurunkan
sepertiga kematian karena infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) (Departemen
Kesehatan3.
Air susu ibu (ASI) terutama kolostrum
mengandung imunoglobulin yaitu IgA
(SIgA), IgE, IgM, dan IgG. Dari semua
imunoglobulin itu yang paling banyak
adalah SIgA (IgA) dan ASI banyak
mengandung vitamin A, C, dan E. Selain itu
ASI banyak mengandung sel-sel berupa
makrofag yang berfungsi membunuh dan
memfagositosis mikroorganisme dengan
membentuk C3 dan C4, lisozim dan
lactoferin4. Bayi yang tidak mendapat ASI
penuh atau mendapat ASI parsial dengan

14

Berdasarkan profil kesehatan kota


Palangka Raya (2009) cakupan pemberian
ASI eksklusif pada tahun 2008 baru
mencapai 12,54%, hal tersebut masih jauh
dari target nasional yaitu 80%, sedangkan
ISPA sampai saat ini masih meempati
urutan tertinggi dalam 10 pola penyakit
terbanyak. Pada tahun 2008 kejadian ISPA
pada balita sebesar (535) 97% dan tahun
2009 sebesar (255) 91%.10,11.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan penyapihan dini
dengan kejadian ISPA pada anak usia 7-23
bulan di wilayah kerja Puskesmas Pahandut.
Hipotesa penelitian ini prevalensi ISPA
berpeluang lebih besar pada kelompok anak
disapih dini dibandingkan pada kelompok
anak yang tidak disapih diri.

Populasi penelitian adalah semua


anak yang berusia 7-23 bulan di wilayah
kerja Puskesmas Pahandut.
Subjek
penelitian ini adalah anak yang berusia 7-23
bulan yang berkunjung ke wilayah kerja
Puskesmas Pahandut, menderita ISPA yang
memenuhi
kriteria
inklusi
dan
eksklusi.Kriteria Inklusi anak yang berumur
7-23 bulan yang datang berkunjung ke
Puskesmas, bertempat tinggal di wilayah
kerja PKM Pahandut dan bersedia mengikuti
penelitian.Kriteria Eksklusi: Anak dengan
riwayat prematur, BBLR (<2500 gram), dan
mempunyai riwayat TBC.
Pengolahan
data
menggunakan
perangkat lunak komputer Stata Intercooled
Versi 9.0, analisis yang dilakukan meliputi
univariabel dilakukan untuk mengetahui
gambaran karakteristik data masing-masing
variabel yang diteliti dan disajikan secara
deskriptif dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi, Analisis bivariabel
dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan
antara variabel bebas dengan variabel
terikat, variabel luar dengan variabel terikat
dan variabel luar dengan variabel bebas, uji
statistik yang digunakan adalah chi-square,
dinilai dari RP dengan tingkat kemaknaan
p<0,05 dan 95 %CI,
dan analisis
multivariabel dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel, uji statistik yang
akan digunakan adalah regresi logistik
dengan tingkat kemaknaan sebesar p<0.05
dan CI 95%.

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan
adalah
observasional
menggunakan
rancangan cross- sectional study. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
daftar pertanyaan, dan cacatan rekaman
medik, adapun pengukuran masing-masing
variabel antara lain:Variabel ISPA dengan
melihat rekam medik anak di Puskesmas,
variabel penyapihan dini dengan kuesioner
dan pedoman wawancara yang berisikan
kebiasaan
ibu
memberikan
ASI.
Pengumpulan data dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada ibu dengan
berpedoman pada kuesioner penelitian.
Variabel status gizi dengan menggunakan
pengukuran berat badan dengan timbangan
dan melihat KMS anak. Variabel status
imunisasi dengan melihat kohort anak dan
KMS.Variabel kepadatan penghuni rumah
adalah mengukur dengan menggunakan roll
meter. Cara mengukur : luas lantai dibagi
jumlah penghuni tetap.Variabel pendidikan
ibu, pekerjaan dan kebiasaan merokok
anggota keluarga dengan menggunakan
kuesioner. Cara pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai
dengan panduan yang ada di kuesioner
penelitian.

Hasil Penelitian
Analisis Univariabel
Jumlah responden pada penelitian ini
sebanyak 177 orang. Responden diambil
dari ibu anak yang berkunjung ke
puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar subjek
penelitian mengalami ISPA yaitu 62,71%.
Anak yang tidak disapih dini hanya 38,42%
sedangkan anak yang disapih dini sebanyak
61,58%. Alasan penyapihan dini antara lain
karena ASI tidak banyak dan anak malas
menyusu. Sebagian besar anak mendapat

15

imunisasi lengkap namun ada 37,85% yang


masih belum mendapat imunisasi lengkap.
Tingkat pendidikan tertinggi yang
dicapai oleh sebagian besar responden
adalah tamat SLTA dan tamat SLTP
masing-masing sebesar 51,98% dan 25,42%,
yang mencapai ke Perguruan Tinggi hanya
sebesar 11,30% sedangkan sisa yang lain
hanya tamat SD dan tidak tamat SD.
Selanjutnya pendidikan dikelompokkan
menjadi 2 kategori yaitu pendidikan rendah
dan pendidikan tinggi. Untuk status
pekerjaan responden dominan responden
tidak bekerja yaitu sebanyak 85,31%.
Terdapat 36,72% subjek yang tinggal di
rumah padat huni, sedangkan kebiasaan
merokok dalam keluarga sebanyak 40,68%.
Status gizi anak pada penelitian ini
dikategorikan menjadi empat kategori yaitu
status gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan
gizi buruk yang di ukur/dinilai secara
antropometri berdasarkan berat badan
terhadap umur (BB/U) dibandingkan
menurut standar WHO-NCHS (National
Centre for Health Statistic). Hasil penelitian
terlihat bahwa proporsi terbesar pada anak
dengan gizi baik yaitu sebanyak 74,58% dan
anak dengan gizi kurang sebanyak 25,42%
dan tidak ada anak dengan status gizi lebih
maupun gizi buruk.

bermakna dengan kejadian ISPA pada anak


umur 6-23 bulan karena nilai p value>0,05
dan nilai 95% CI melewati nilai 1. Namun
jika dilihat dari nilai RP masing-masing
variabel secara praktis memberi peluang
terjadi ISPA pada anak sebesar 1,20; 1,21
dan 1,10.
Analisis kepadatan penghuni rumah dan
kejadian ISPA secara statistik menunjukkan
hubungan yang signifikan. Nilai RP sebesar
1,36 (95%CI; 1,10-1,69) didapatkan pada
rumah yang padat huni. Artinya anak usia
kurang dari 2 tahun yang tinggal dirumah
yang huniannya padat mempunyai peluang
1,36 kali untuk terjadi ISPA dibandingkan
dengan anak yang tinggal dirumah yang
tidak padat huni.
Subjek penelitian yang tinggal dirumah
dengan anggota keluarga yang perokok lebih
banyak mengalami ISPA yaitu sebesar
(76,61%). Sedangkan di dalam anggota
keluarga tidak ada yang merokok, terdapat
58 (55,24%) terjadi ISPA. Hasil uji statistik
diperoleh nilai RP=1,33 (95% CI =1,071,70)diperoleh pada keluarga yang perokok,
artinya ada hubungan yang signifikan antara
anggota keluarga yang merokok dengan
kejadian ISPA pada anak umur 6-23 bulan.
Anak yang tinggal dirumah dengan perokok
mempunyai peluang 1,33 kali untuk terjadi
ISPA dibandingkan dengan anak yang
tinggal dirumah dengan keluarga tidak
perokok.
Hasil analisis hubungan antara status
gizi dengan kejadian ISPA diperoleh
sebanyak 34 (75,56%) status gizi anak
kurang terjadi ISPA. Sedangkan diantara
anak yang status gizi baik terdapat 77
(58,33%) terjadi ISPA. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,039 maka dapat
disimpulkan ada perbedaan proporsi
kejadian ISPA antara anak yang status gizi
kurang dengan anak yang status gizi baik,
artinya ada hubungan yang signifikan antara
status gizi dengan kejadian ISPA pada anak
umur 6-23 bulan. Dari hasil analisis
diperoleh nilai RP=1,29 (95% CI=1,031,61), artinya status gizi kurang mempunyai
peluang 1,29 kali untuk terjadi ISPA pada

Analisis Bivariable
Hasil analisis bivariable pada tabel 2
menunjukkan bahwa penyapihan dini dan
kejadian ISPA terdapat hubungan yang
signifikan. Nilai RP sebesar 1,47 (95%
CI=1,12-1,93) didapatkan pada anak yang
disapih dini, dapat diartikan bahwa kejadian
ISPA lebih tinggi pada yang disapih dini
yaitu 1,47 kali dibandingkan dengan anak
yang tidak disapih dini. Dengan demikian
hipotesis penelitian ini yang menyebutkan
bahwa kejadian ISPA berpeluang lebih besar
pada kelompok anak yang disapih dini
dibandingkan pada kelompok anak yang
tidak disapih dini dapat diterima.
Hasil uji statistik variabel status
imunisasi, pendidikan ibu dan pekerjaan ibu
menunjukkan tidak ada hubungan yang

16

anak usia 6-23 bulan dibanding anak yang

status

gizinya

Tabel 1. Hasil analisis bivariabel hubungan antara variabel bebas,


dan variabel luar dengan variabel terikat (n=177)
Kejadian ISPA
Variabel
ISPA
Tidak ISPA
p
RP

n
%
n
%
Penyapihan Dini
Disapih Dini
78
71,56
31
28,44
9,50
0,002
1,47
Tidak Disapih Dini
33
48,53
35
51,47
Status Imunisasi
Tidak Lengkap
47
70,15
20
29,85
2,55
0,110
1,20
Lengkap
64
58,18
46
41,82
Pendidikan Ibu
Rendah
46
70,77
19
29,23
2,85
0,091
1,21
Tinggi
65
58,04
47
41,96
Status Pekerjaan
Ibu
Bekerja
15
57,69
11
42,31
0,33
0,566
1,10
Tidak Bekerja
96
63,58
55
36,42
Kepadatan
Penghuni Rumah
Padat
49
75,38
16
24,62
7,05
0,007
1,36
Tidak Padat
62
55,36
50
44,64
Kebiasaan Merokok
Merokok
Tidak Merokok
53
76,61
19
26,39
6,17
0,013
1,33
58
55,24
47
44,76
Status Gizi Anak
Gizi Kurang
34
75,56
11
24,44
4,26
0,039
1,29
Gizi Baik
77
58,33
55
41,67

baik.

95% CI

1,12-1,93*

0,96-1,51

0,97-1,52

0,77-1,56

1,10-1,69*

1,07-1,70*

1,03-1,61*

*Signifikan secara statistic (nilai P<0,05)

Analisis Multivariabel
Berdasarkan hasil analisis model pada
multiple logistic regression, dipilihlah
model 4 sebagai model yang secara statistik
dan praktis lebih efektif dan efisien dalam
memberikan kontribusi terhadap hubungan
penyapihan dini dengan kejadian ISPA pada
anak. Penyapihan dini dengan kejadian

ISPA pada anak umur 7-23 bulan


menunjukkan nilai RP=1,84(95% CI=1,432,38), artinya prevalensi ISPA sebesar 1,84
kali lebih besar pada anak yang disapih dini
dibandingkan dengan anak yang tidak
disapih dini dengan mengontrol variabel
status gizi anak dan variabel kebiasaan
merokok.

Tabel 2. Hasil analisis multiple logistic regression hubungan antara penyapihan dini dan kejadian ISPA
dengan mengontrol variabel status gizi anak, kepadatan rumah dan kebiasaan merokok (n=1177)
Variabel

Penyapihan Dini
Disapih dini
Tidak Disapih Dini
Status Gizi Anak
Gizi Kurang
Gizi Baik

Model 1
RP
(95% CI)

Model 2
RP
(95% CI)

Model 3
RP
(95% CI)

Model 4
RP
(95% CI)

Model 5
RP
(95% CI)

1,47
(1,12-1,94)
1

1,55
(1,18-2,02)
1

1,78
(1,38-2,29)
1

1,84
(1,43-2,38)
1

1,82
(1,42-2,35)
1

1,39
(1,11-1,74)
1

1,52
(1,23-1,89)
1

1,48
(1,20-1,83)
1

1,51
(1,21-1,88)
1

17

Tabel 2. Hasil analisis multiple logistic regression hubungan antara penyapihan dini dan kejadian ISPA
dengan mengontrol variabel status gizi anak, kepadatan rumah dan kebiasaan merokok (n=1177)
Variabel

Model 1
RP
(95% CI)

Model 2
RP
(95% CI)

Kepadatan Rumah
Padat

Model 4
RP
(95% CI)

1,63
(1,31-2,03)
1

Tidak Padat
Kebiasaan Merokok
Merokok
Tidak Merokok
-2 log likelihood
R2
N

Model 3
RP
(95% CI)

321,92
0,011
177

319,53
0,019
177

313,66
0,036
177

Model 5
RP
(95% CI)
1,30
(0,77-2,18)
1

1,63
(1,31-2,03)
1
313,72
1,037
177

1,28
(0,76-2,16)
1
313,46
0,037
177

risiko terkena ISPA 11.17 dibandingkan


dengan bayi yang mendapat ASI ekslusif
selama 4 bulan14. Hasil penelitian lain
diperoleh data bahwa bayi yang tidak
mendapat ASI penuh atau mendapat ASI
parsial dengan mudah terserang penyakit
ISPA dandiare. Risiko bayi yang tidak
mendapat ASI penuh atau mendapat ASI
parsial terhadap kejadian kematian akibat
penyakit ISPA dan diaresebesar 2.23 kali
lebih tinggi dibanding dengan pemberian
ASI eksklusif5.
Hasil
analisis
deskriptif
memperlihatkan bahwa status imunisasi
anak sebagian besar mempunyai status
imunisasi lengkap. Analisis bivariabel pada
status imunisasi dengan kejadian ISPA
secara statistik tidak menunjukkan hubungan
yang bermakna, namun secara praktis dapat
dilihat bahwa status imunisasi yang tidak
lengkap mempunyai hubungan yang
bermakna terhadap kejadian ISPA pada anak
umur 7-23 bulan dibandingkan dengan anak
yang imunisasinya lengkap. Hasil penelitian
ini
sesuai
dengan
penelitian
lain
menyimpulkan bahwa status imunisasi tidak
memberikan efekprotektif terhadap kejadian
ISPA15.
Diperoleh hasil bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pendidikan
ibu dengan kejadian ISPA pada anak usia 723 bulan. Hal ini menggambarkan bahwa
penyakit ISPA lebih cenderung di sebabkan
oleh faktor lain. Selain itu dapat

Pembahasan
ISPA pada anak. Proporsi penyapihan
dini lebih besar ditemukan pada kelompok
ISPA dibanding kelompok tidak ISPA.
Variabel kepadatan penghuni rumuah,
kebiasaan merokok dalam keluarga dan
status gizi anak mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian ISPA. Hasil
penelitian ini memberi gambaran akan
dampak/risiko penyapihan dini pada anak.
Penyapihan dini yang dilakukan oleh ibu
terhadap anaknya berdampak pada asupan
nutrisi yang ada pada ASI tidak dapat
dikonsumsi lagi oleh anak sehingga jika
konsumsi ASI yang seharusnya diperoleh si
anak tidak digantikan dengan nutrisi yang
lain maka keadaan ini berdampak pada
status kesehatan anak. Salah satu kandungan
yang ada di ASI adalah SIgA (IgA).
Bayiyang mengalami penyapihan dini secara
otomatis asupan salah satu kandungan ASI
yaitu SIgA (IgA) tidak diperoleh lagi oleh
bayi. Keadaan iniyang merupakan penyebab
kejadian ISPA karena tubuh bayi tidak
mampu melindungi dari serangan penyakit.
Hasil penelitian lain menemukan data
bahwa bayi yang masuk rumah sakit 4,9 kali
lebih tinggi pada bayi yang tidak menerima
ASI dan2,45 kali lebih tinggi pada bayi yang
menerima ASI < 4 bulan13. Hasil penelitian
ini sesuai juga dengan penelitian lain yang
dilakukan terhadap 170 subjek diperoleh
hasilbahwa bayi yang mendapat ASI tidak
penuh dan diberikan susu formula memiliki
18

disebabkanjuga oleh keberhasilan program


dinas kesehatan dimana aksesin formasi
mengenai kesehatan dapat dengan mudah
diperoleh masyarakat sehingga baik ibu
yang berpendidikan tinggi maupun ibu yang
berpendidikan rendah memiliki wawasan
tentang kesehatan yang hampir sama. Hasil
ini di dukung oleh penelitian sebelumnya
yang mendapatkan bahwa pendidikan ibu
tidak berhubungan dengan kejadian ISPA
bawah(RR=0,62; 95% CI =0,14-2,93)16.
Hasil penelitian lain menyatakan tidak ada
hubungan antara pendidikan ibu yang
tidaksekolah dengan
kejadian
ISPA
(RR=1,30; 95% CI =0,81-2,07)17.
Hasil penelitian analisis bivariabel
memperlihatkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pekerjaan
ibu dengan kejadian ISPA, namun secara
praktis
mempunyai
hubungan
yangbermakna hal tersebut dapat dilihat dari
nilai p=0,566 (95% CI =0,77-1,56). Hasil
penelitian lain tahun 2005 mendapatkan
hubungan ini di dua tempat penelitian
(Tamil Nadu dan Andhra Pradesh) dengan
hasil yang berbeda. Di daerah Tamil Nadu
secara statistik ibu-ibu yang bekerja
berhubungan dengan kejadian batuk pada
anaknya (OR=1,4; pvalue<0,10). Sedangkan
di daerah Andhra Pradesh didapat ibu-ibu
yang bekerja tidak berhubungan dengan
kejadian batuk pada anaknya(OR=1,1; p
value>0,10)18.
Hasil analisis multivariat menunjukkan
konsistensi
bahwa
kejadian
ISPA
berhubungan dengan kepadatan rumah.
Kepadatan rumah mempunyai prevalensi
kejadian ISPA sebesar 1,36, artinya anak
yang tinggaldirumah yang padat huni
mempunyai prevalensi ISPA 1,36 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang
tinggal dirumah yang tidak padat huni.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain
yang menyatakan anak balita yang tinggal di
rumah padat huni berpeluang untuk
mengalami batuk dengan nafas cepat 1,43
kali dibandingkan dengan anak yang tinggal
di rumah tidak padat huni19.

Penelitian lain menyatakan bahwa


kepadatan penghuni rumah merupakan
faktor risiko kejadian ISPA pada anak balita.
Kepadatan penghuni berperan terhadap
kejadian ISPA karena jumlah penghuni
rumah sangat berpengaruh terhadap jumlah
koloni kuman penyebab penyakit menular20.
Rumah yang padat penghuni akan
mempermudah penularan penyakit diantara
penghuninya terutama penyakit-penyakit
menular yang penularannya secara direct
contact dan droplet spread 12.
Hasil analisis statistik regresi logistik
menunjukkan ada hubungan signifikan
antara kebiasaan merokok dalam keluarga
dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara
didalam ruangan selain berasal dari
penetrasi polutan dari luar ruangan dapat
pula berasal dari sumber polutan didalam
ruangan , seperti asap rokok, asap yang
berasaldari dari dapur atau pemakaian obat
nyamuk bakar. Bahan partikel yang terdapat
dalam ruangan dapat saja sama dengan yang
diluar ruangan,hanya saja kadarnya yang
berbeda, partikel dalam ruangan dapat terdiri
dari partikel debu, partikel asap rokok, aero
allergen dan bahan kecantikan. Perbedaan
bahan polutan ini tergantung dari beberapa
faktor seperti gaya hidup individu, keadaan
sosial ekonomi, struktur bangunan,kondisi
bahan polutan diluar dan didalam ruangan,
ventilasi, geografi dan meteorologi, lokasi
sumber polutan didalam ruangan. Efek
pencemaran udara menyebabkan iritasi pada
saluran pernafasan yang dapat menyebabkan
gerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan
jalan nafas, meningkatkan produksi lendir,
rusaknya
sel
pembunuh
bakteri,
pembengkakkan
saluran
pernafasan,
lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir
hal ini menyebabkan kesulitan bernafas,
sehingga benda asing/mikroorganisme lain
tidak dapat dikeluarkan dari saluran
pernafasan dan hal ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernafasan21.
Penelitian ini mendukung penelitian
yang lain yang menyatakan lingkungan
penderita ISPA menunjukkan bahwa faktor

19

polusiudara yang berperan adalah jumlah


orang yang merokok dirumah, dan jumlah
rokok yang dihisap, serta masuknya asap
dapur kedalam ruangan keluarga (karena
ventilasi tidak baik) dan jarak rumah dari
bengkel las/tempat sampah22.
Hasil penelitian diperoleh bahwa
sebagian besar anak dengan status gizi baik
sebesar 74,58% dan terdapat 25,42% yang
status gizianak kurang. Berdasarkan analisis
bivariabel dan multivariabel status gizi anak
kurang dengan kejadian ISPA menunjukkan
hubungan yang signifikan. Prevalensi ISPA
pada anak umur 6-23 bulan dengan status
gizi kurang sebesar 1,48 kali dibandingkan
dengan anak yang status gizinya baik.
Keadaan ini berkaitan dengan sebagian
besar anak yang mengalami ISPA diikuti
dengan status gizi yang kurang. Pada
keadaan status gizi yang kurang cenderung
akan menganggu sistem imunitas tubuh
sehingga penyakit akan mudah masuk ke
dalam tubuh.Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang menyatakan bahwa balita
dengan gizi yang baik akan lebih
tahanterhadap penyakit infeksi seperti
ISPA23. Keadaan malnutrisi mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kejadian
ISPA bagian bawah atauacute lower
respiratory infection (ALRI) 2.
Gizi merupakan faktor yang dapat
meningkatkan daya tahan tubuh dari
serangan penyakit. Keadaan gizi merupakan
refleksi persediaan zat gizi dalam tubuh.
Tingkat pertumbuhan fisik dan imunologik
seseorang sangat dipengaruhi oleh adanya
persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan
zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan
beratnya infeksi suatu penyakit. Hal ini
disebabkan infeksi akan mengganggu proses
pencernaan dan ketika asupan makanan
berkurang zat gizi yang diperlukan juga
akan
berkurang,
sehingga
akan
memperburuk kondisi dan berakibat tubuh
menjadi rentan.Leukosit merupakan sel yang
melawan agen infeksi terbentuk dari zatgizi
yang ada dalam tubuh yaitu vitamin dan
asam amino, oleh karenaitu dengan keadaan

gizi yang baik akan lebih tahan terhadap


penyakit infeksi termasuk ISPA 24.
Kesimpulan
Riwayat penyapihan dini berhubungan
dengan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23
bulan. Prevalensi ISPA 1,8 kali lebih tinggi
pada anak yang disapih dini dibandingkan
dengan anak yang tidak disapih dini.Status
gizi kurang pada anak umur 6-23 bulan
mempunyai hubungan yang bermakna baik
secara statistik maupun praktis dengan
prevalensi ISPA.Rumah yang padat huni dan
kebiasaan
merokok
dalam
keluarga
berhubungan dengan prevalensi ISPA baik
secara praktis maupun secara statistik
Saran
Untuk menurunkan angka penyapihan
dini diperlukan kegiatan yang proaktif
dengan sistem jemput bola seperti kegiatan
surveilans dengan melibatkan kelompok
dasa wisma dan posyandu untuk menjaring
ibu hamil dan ibu-ibu yang baru melahirkan
dan untuk meningkatkan pengetahuan ibu
perlu adanya kegiatan penyuluhan yang
berkesinambungan tentang cara menyusui
yang benar, pentingnya pemberian ASI pada
bayi, dan perawatan payudara melalui
pembentukan kelas ibu di Puskesmas.Perlu
monitoring di level rumah tangga oleh
petugas
kesehatan,
dimana
perlu
pengontrolan apakah ibu sudah melakukan
cara menyusui yang baik dan benar sehingga
penyapihan dini tidak terjadi.
Dinas
Kesehatan
harus
lebih
memperhatikan faktor-faktor risiko penyakit
ISPA seperti status gizi, dan lingkungan
tempat tinggal dengan cara pemberian
makanan tambahan pada anak yang kurang
gizi dan perbaikan lingkungan dengan cara
meningkatkan promosi perilaku hidup bersih
dan hidup sehat melalui kegiatan kunjungan
rumah.
Daftar Pustaka
1.

20

William, B.W., Gouws, E., Boschi,


C.P., Bryce, J. & Dye, C. Estimates of

world-wide distribution of child deaths


from acute respiratory infections.
Lancet Infect Dis. 2002: 2(1): 25-32.
2. Savitha, M.R., Nandeeshwara, S.B.,
Kumar, M.J.P., Haque, F. & Raju,C.K.
Modifiable risk factor for acute lower
respiratori tractinfections. Indian J
Pediatr. 2007;27(5): 447-481.
3. Depkes. Rencana Kerja Jangka
Menengah Nasional Penanggulangan
Pnemonia Balita Tahun 2005-2009.
Jakarta: Depkes. 2005
4. Perkumpulan Perinatologi Indonesia
(2004) Manajemen laktasi. Edisi
2,Jakarta. 2002
5. Arifeen, S., Black, R.E., Antelman, G.,
Baqui, A., Caufield, L. & Becker,
S.Exlusive breastfeeding reduce acute
respiratory infectionand diarrhea deaths
among
infants
in
dhaka
slums.Pediatrics,2001;108(4): E67
6. Depkes.Pedoman
Tata
Laksana
Pnemonia Balita, Dirjen P2PL: Jakarta.
2007.
7. Wright, C.M., Parkinson, K.N. &
Drewett, R.F. Why are babiesweaned
early ? Data from a prospective
population based cohortstudy. Arch Dis
Child. 2004;89(9): 813-816.
8. Hanson, L.A. Breast-feeding and
protection against infection. ScanJ
Nutr. 2006;50, 32-34.
9. Fauzie, R., Suradi, R., Rezeki, S. &
Hadinegoro Pattern and influencing
factor of breastfeeding of working
mothers in several areas in Jakarta.
Paediatr Indones, 2007;47(1).
10. Dinkes Kota Palangka Raya. Profil
Kesehatan Kotak Palangka Raya.
Dinkes Kota Palangka Raya: Palangka
Raya. 2009.
11. Dinkes Kota Palangka Raya. Profil
Kesehatan Kotak Palangka Raya.
Dinkes Kota Palangka Raya: Palangka
Raya. 20120.
12. Gordis, L. Epidemiology: (3rd ed).
W.B. Saunder Company: Philadelpia.
2004.

13. Talayero, J.M.P., Lizan-Garcia, M.,


Puime, A.O., Muncharaz, M.J.B.,
Soto,B.B., Sanchez-Palomares, M.,
Serrano, L.S. & Rivera, L.L. Full
breastfeeding and hospitalization as a
result of infection in thefirst year of life.
Pediatrics. 2006;118(1): e92-e99.
14. Lopes-Alarcon, M., Villalpando, S. &
Fajardo, A. Breast-fedding lowers the
frequency and duration of acute
respiratory infections and diarrhea in
infants under six months of age. J Nutr,
1997;127(3): 436-443.
15. Bruce, N., Padilla, R.P., Albalak, R.
Indoor air pollution in developing
countries: a major environmental and
public health challenge. Bulletin of
World
Health
Organization,
2000;79(9):1078-1091.
16. Bachrach, V.R.G., Schwarz, E., &
Bachrach, L.L. Breastfeedingand the
risk of hospitalization for respiratory
disease in infancy.Arch Pediatr Adolesc
Med.2003;157:237-243.
17. Koch, A., Molbak, K., Homoe, P.,
Sorensen, P., Hjuler, T., Olesen,
M.E.,Peji, J., Pedersen, F.K., Olsen,
O.R. & Melbye, M. RiskFactors for
Acute Respiratory tract infections in
youngGreenlandic children. Am J
Epidemiol, 2003;158 (4):374-384.
18. Audinarayana, N. Housing environment
and child morbidity in rural Andhra
Pradesh and Tamil Nadu States: an
analysis of the NFHS-2 Data. Paper
presented at: National Seminar on
Population Environment and Nexus,
Mumbai, India. 2005.
19. Sukar. Risiko Relatif lingkungan sosial
dan kimia terhadap kejadianpenyakit
ISPA pneumonia di Indramayu Jawa
Barat.
Cermin
Dunia
Kedokteran,1997;114: 41-44.
20. Smith, K.R., Samet, J.M., Romieu, I.
Bruce, N. Indoor air pollution in
developing countries and acute lower
respiratory infections in children.
Thorax. 2000;55: 518-532.

21

21. Mukono, H.J. Prinsip Dasar Kesehatan


Lingkungan.
Airlangga University
Press: Surabaya. 2000.
22. Lubis, I. Pengaruh Lingkungan
Terhadap Penyakit ISPA. Cermin
Dunia Kedokteran: 1991;70. 15-17.
23. Yoon, P.W., Black, R.E., Moulton,
L.H., Becker, Stan. Effect of not

breastfeeding on the risk of diarrheal


and respiratory mortality in children
under 2 years of age in Metro Cebu,
The Philippines. American Journal of
Epidemiology, 1996; 143:1142-1148.
24. Soekirman.Ilmu gizi Dan Aplikasinya :
Untuk Keluarga Dan Masyarakat,
EGC:
Jakarta.2000.

22

DAMPAK PELATIHAN TERHADAP KEMAMPUAN KADER JUMANTIK


DALAM MELAKUKAN PENYULUHAN PSN DBD DAN PEMERIKSAAN
JENTIK DI WILAYAH PUSKESMAS MENTENG DINKES KESEHATAN
KOTA PALANGKA RAYA
Yonwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati
Jurusan Keperawatan Politeknik Kemenkes Palangka Raya
Abstract
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat endemik di
Puskesmas Menteng Palangkaraya sehingga perlu dilakukan dalam komunitas gerakan
pemberdayaan nyamuk pemberantasan sarang DBD dapat diimplementasikan untuk benar dan
optimal, maka jumantik diperlukan mengingat kemampuan perluasan pemberantasan sarang
nyamuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak pelatihan pada konseling
keterampilan dalam menerapkan PSND jumantik DBD dan larva pemeriksaan. Penelitian ini
menggunakan desain satu pra kelompok eksperimen dan desain postes dengan intervensi
pelatihan. Pra-tes yang dilakukan pada bulan November 2011 terhadap 25 kader di Posyandu
Menteng Kesehatan Pusat dan post-test pada bulan Desember 2011. Data dikumpulkan dengan
wawancara linatih terus evaluasi kemampuan untuk menggunakan daftar observasi (Periksa
daftar). Data dianalisis dengan univariat dan bivariat yaitu Chi square test, Mann Whitney dan
korelasi Peason. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh intervensi pada pengetahuan dan
perilaku ada perbedaan (p = <0,050), ada hubungan skor pengetahuan tentang aeradication
Konseling dari sarang nyamuk dan larva dan pelaksanaan pemeriksaan (P = <0,050). Saran
tersebut merekomendasikan bahwa Departemen Kesehatan Palangkaraya setiap tahun
dianggarkan biaya pelatihan dan jumantik insentif di beberapa desa dengan stratifikasi dengue
endemik, dan untuk pusat kesehatan akan dapat memanfaatkan jari ahli Watcher sekejap Menteng
pada kader yang telah dilatih dalam jentik berkala pemeriksaan kegiatan (SPA)
Kata kunci: Aedes aegypti, , pemberantasan nyamuk demam berdarah.
Abstacts
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an endemic public health problem in the area Primary
Health Center Menteng Palangkaraya so it needs to be done in the community empowerment
movement mosquito eradication nest DHF can be implemented in order to properly and
optimally, then jumantik necessary given the ability of the extension of the eradication of
mosquito den. The purpose of this study was to evaluate the impact of training on counseling
skills in implementing PSND jumantik DBD and examination larva. This study uses an
experimental design one group pre and posttest design with a training intervention. Pre-test
conducted in November 2011 against 25 cadres in the IHC Health Center Menteng and post-test
in December 2011. Data were collected by interviews linatih continued evaluation of the ability to
use a list of observations (Check list). Data were analyzed with univariate and bivariate ie Chi
square test, Mann Whitney test and Peason correlation. The results showed that the effect of
intervention on knowledge and behavior there is a difference (p = <0.050), there is a relationship
score of knowledge on Counseling aeradication of mosquito den and larvae and the
implementation of the examination (P = <0.050). The advice recommended that the Health
Department Palangkaraya annually budgeted cost of training and incentives jumantik in some
villages with endemic dengue stratification, and for the health center would be able to utilize
Menteng Watcher expert snap fingers at the cadres who have been trained in the wiggler periodic
inspection activities (SPA)
Keywords : Aedes aegypti, eradication of mosquito dengue.
23

juru pemantau jentik (Jumantik)


dalam
melakukan pemeriksaan jentik secara berkala
dan
terus-menerus
serta
menggerakan
masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.3
Selanjutnya untuk memaksimal kegiatan
penyuluhan
tentang
PSN
DBD
dan
pemantauian jentik berkala yang melibatkan
peran serta aktif masyarakat, maka diperlukan
pelatihan kader jumantik yang dipilih dan
diambil dari
masyarakat setempat. Dengan
adanya kader jumantik mampu melakukan
pemeriksaan jentik nyamuk penular demam
berdarah dengue termasuk
memotivasi
keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN
DBD. Dengan kunjungan yang berulang-ulang
disertai penyuluhan diharapkan masyarakat
dapat melaksanakan PSN DBD secara teratur
dan terus-menerus. Kader juru pemantau jentik
(Jumantik) yang aktif
diharapkan
akan
mempunyai nilai ungkit dalam membantu
penurunkan angka kasus DBD, oleh karena itu
diperlukan pelatihan dan penyegaran kader
jumantik tentang pemeriksaan jentik dan
penyuluhan kesehatan (PSN DBD).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui
tentang Dampak pelatihan
terhadap kemampuan (pengetahuan, sikap dan
ketrampilan) kader Jumantik dalam melakukan
penyuluhan PSN DBD dan pemeriksaan jentik
di wilayah kerja Puskesmas Menteng Dinkes
Kota Palangka Raya.

Pendahuluan
Demam Berdarah
Dengue (DBD)
merupakan salah satu penyakit yang endemis
dan hingga saat ini angka kesakitan DBD
cenderung meningkat dan Kejadian Luar Biasa
(KLB) masih sering terjadi diberbagai daerah
di Indonesia (Depkes 2005).
Permasalah
utama dalam upaya menekan angka kesakitan
adalah
masih belum
berhasilnya upaya
penggerakan masyarakat dalam PSN DBD
melalui gerakan 3M yang dintersipkan sejak
1992. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di
wilayah Kota Palangka Raya terjadi pada
bulan Desember 2009 dengan jumlah kasus 56
kasus, meninggal 3 orang dan puncaknya pada
minggu kedua bulan januari 2010 jumlah
kasus 123. kelompok umur yang banyak
terserang DBD : 1) 5 14 tahun & 14 44
tahun, 2) 1- 4 tahun, 3) 45 tahun. 4) 1
tahun . Selanjutnya dilihat dari penyebaran
jumlah penderita relative banyak di kelurahan
Menteng dan Palangka kecamatan Jekanraya.1
Penanggulangan
fokus
di beberapa
kelurahan Kota Palangka Raya dilakukan
melalui kegiatan pemberantasan nyamuk
penular DBD
yang dilaksanakan dengan
pemberantasan
sarang
nyamuk
(PSN),
penyuluhan , abatetisasi
dan pengasapan
(Fogging) menggunakan insektisida dengan
criteria. Keberhasilan PSN DBD menurut
Depkes (2005) antara lain dapat diukur dengan
seberapa besar angka bebas jentik (ABJ),
apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%
diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau
dikurangi. Sedangkan hasil
Pemeriksaan
jentik berkala dilaksanakan oleh Puskesmas
Menteng pada tahun 2010 ditemukan angka
bebas jentik (ABJ) rerata : 86,6, pemeriksaan
Jentik Berkala (PJK) , dan penyuluhan PSN
DBD di Puskesmas selama ini dilakukan oleh
petugas di masing-masing
Puskesmas
Pembantu.
Hal ini
dirasakan belum
maksimal karena seyogianya
pemeriksaan
jentik berkala (PJB) dapat dilakukan oleh
kader, PKK, Jumantik atau tenaga pemeriksa
jentik lainya.2
Dalam rangka untuk meningkatkan upaya
pemberantasan penyakit DBD pada tahun
2004, baik selama dan sesudah KLB dan
untuk tahun yang akan datang diperlukan

Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian eksperimen
dengan jenis desain Pretest Postest only
design atau one group pre and posttest Design
ialah rancangan penelitian yang hanya
menggunakan satu kelompok subyek serta
melakukan pengukuran sebelum dan sesudah
perlakuan pada subyek. Perbedaan kedua hasil
dianggap sebagai efek perlakukan.4
Populasi penelitian ini adalah semua
Kader yang terdapat pada 8 Posyandu di
wilayah Kerja Puskkesmas Menteng Dinas
Kesehatan Kota Palangka Raya. Pada
penelitian ini sampel ditarik dari populasi
dengan jenis Purposive Sampling yaitu
sampel dipilih berdasarkan pertimbangan
24

pertimbangan
tertentu
,
sedangkan
pertimbangan yang itu berdasarkan tujuan
penelitian.5 sehingga diperoleh sampe l25
responden.
Pengumpulan
data
dengan
menggunakan kuesioner dimana sebelumnya
dilakukan uji coba intrument pada 20
responden kemudian diuji tingkat realibilitas
dan validitasnya dan observasi dengan
lembaran daftar tilik (chek list)oleh enomerator
yang sudah dilatih. Data yang diperoleh diolah
dan dianalisa menggunakan SPSS versi 17.6.
Teknik analisa data yang dilakukan adalah
analisa univarian
yang
menjelaskan
karakteristik masing-masing dengan persentase
(distribusi
frekuensi
masing-masing
variabel).Analisa bivariant untuk menampilkan
hubungan antara satu variabel dengan variabel
lainnya dengan uji chi square (X2). Uji Mann
Whiney dan Uji korelasi Pearson.

yang termuda yaitu berumur 31 tahun dan yang


tertua berumur 70 tahun. Range umur
responden sebesar 39 tahun. Jarak yang cukup
jauh. Rata-rata umur responden yaitu 42 tahun.
Umur yang paling banyak yaitu umur 33 tahun
dan 48 tahun. Distribusi pendidikan responden
yang terbanyak yaitu berpendidikan sekolah
menengah umum (SMU) dan perguruan tinggi
(PT) masing-masing sebesar 44%. Dua belas
persen responden berpendidikan sekolah
menengah tingkat pertama. Sebagian besar
responden (60%) bekerja sebagai pegawai
negeri sipil (PNS). Tiga puluh enam persen
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Dan empat
persen pensiunan
PerilakuMasyarakat dalam pencegahan
DBD sebelum Intervensi
Gambaran
Perilaku
Masyarakat
dalam
Pencegahan DBD sebelum IntervensiPerilaku
Responden sebelum Intervensi, seperti terdapat
pada tabel 1, dibawah ini.

Hasil Penelitian
Karakteristik responden
Berdasarkan umur dari 25 responden yang
menjadi sampel penelitian ini umur responden

Tabel.1
Perilaku Masyarakat dalam pencegahan DBD
Perilaku
Frekuensi
Pencegahan
Memakai kelambu
Semprotan nyamuk
Mengolesi autan
Membakar obat nyamuk
Tidak ada
PSN yang dilakukan
Menguras bak mandi
Menutup tempat penampungan air
Menyimpan ban bekas
Membersihkan saluran air
Mengumpulkan sampah
Mengganti vas bunga
Memelihara ikan
Memeriksa TPA
Ya
Tidak
Pengelolaan TPA
Membiarkan begitu saja
Mengeringkan air
Mengubur
Memberikan bubuk abate
Menguras

25

Persen

13
5
2
2
3

52
20
8
8
12

2
4
6
4
4
1
1

8
16
24
16
16
4
4

22
3

44
6

9
5
8
2
1

36
20
32
8
4

Tabel.1
Perilaku Masyarakat dalam pencegahan DBD
Perilaku
Frekuensi Pembersihan
Setiap hari
Kurang dari 1 minggu
Tidak setiap hari
Setiap bulan
Tidak ada jawaban
Tempat menyebar abate
Tidak dilakukan
Bak mandi
Ember/tempayan
Drum
Kolam ikan
Perkumpulan
Ya
Tidak
Perkumpulan pernah menyuluh ttg PSN
Ya
Tidak
Pernah dilakukan penyuluhan
Ya
Tidak
Orang yang melakukan penyuluhan
Tenaga kesehatan
PKK
Toma

Frekuensi

Persen

7
7
7
2
2

28
28
28
8
8

2
15
3
3
2

8
60
12
12
8

17
8

68
32

8
17

32
68

13
12

52
48

11
1
1

84,6
7,6
7,6

Rata-rata skor perilaku sebelum penyuluhan


yaitu 7,8, median 8, dan modus 8 dengan SD
1,44. Range skor perilaku 6 dengan nilai
minimum 4 dan maksimum 10 (Tabel .2.).

Pengaruh Intervensi terhadap Pengetahuan,


Sikap, dan Perilaku Responden
Berdasarkan Hasil analisis bivariat bahwa
ukuran nilai tengah terdapat perbedaan skor
pengetahuan, skor sikap, dan skor perilaku
antara sebelum dan sesudah dilakukan
penyuluhan. Rata-rata skor pengetahuan
sebelum dilakukan penyuluhan yaitu 23,28,
median 22, dan modus 19 dengan standar
deviasi (SD) yaitu 8,08. Range skor
pengetahuan cukup besar yaitu 28 dengan nilai
minimum 9 dan maksimum 37. Rata-rata skor
sikap sebelum dilakukan penyuluhan yaitu
34,36, median 36, dan modus yaitu 35 dan 36
dengan SD 8,8. Range skor sikap yaitu 44
dengan nilai minumum 0 dan maksimum 44.

Rata-rata skor perilaku sesudah dilakukan


penyuluhan yaitu 8,6, median 9, modus 8
dengan SD 0,8. Range skor perilaku 3 dengan
nilai minimum 7 dan maksimum 10. Rata-rata
skor
pengetahuan
sesudah
dilakukan
penyuluhuan 36,16, median 36, modus 44
dengan SD 5,9. Range skor pengetahuan 22
dengan nilai minimum 22 dan maksimum 44.
Rata-rata skor sikap 35,84, median 37, modus
35 dan 38. Range skor sikap 43 dengan nilai
minimum 0 dan maksimum 43 (Tabel 2.).

26

Tabel.2.
Rata-rata, Median, Modus, Standar Deviasi Skor Pengetahuan, Sikap,
dan Perilaku sebelum dan sesudah dilakukan Pelatihan
Pengetahuan
Sikap
Perilaku
Pre
Post
Pre
Post
Pre
Post
Mean
23,28
36,16
34,36
35,84
7,8
8,64
Media
22
36
36
37
8
9
Modus 19
44
35 & 36 35 & 38 8
8
SD
8,08
5,97
8,8
8,09
1,44
0,81
Range
28
22
44
43
6
3
Min
9
22
0
0
4
7
Maks
37
44
44
43
10
10
Tabel.3.
Pengaruh Intervensi terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden
Variabel
Pre
Post
Beda
Mann Whitney Test
(I)
(II)
(I II)
Pengetahuan
23,28
36,16
12
0,000
Sikap
34,36
35,84
1,48
0,392
Perilaku
7.8
8,6
0,84
0,029

Skor pengetahuan, sikap, dan perilaku


dianalisis dengan menggunakan Uji Mann
Whitney. Hal ini dikarenakan data tidak
berdistribusi
normal
(berdasarkan
uji
Kolmogorov Smirnov p>0,05). Hasil analisis
menunjukkan terdapat perbedaan rerata skor
pengetahuan yang signifikan antara sebelum
dan sesudah intervensi (p<0,000). Nilai
perbedaannya yaitu 12.
Berdasarkan analisis didapatkan tidak ada
perbedaan yang signifikan rerata skor sikap
antara sebelum dan sesudah intervensi.
Perbedaannya yaitu 1,48. Sedangkan skor
perilaku dengan perbedaan 0,84 berdasarkan
hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang siginifikan rerata skor perilaku
antara sebelum dan sesudah penyuluhan
(p<0,05). (Tabel 3.)
Penilaian Kemampuan Penyuluhan dan
Pemeriksaan Jentik
Penilaian persiapan peserta saat akan
penyuluhan rerata skor nilai 3. Semua peserta
melakukan
dengan baik. Sementara itu
penilaian saat melakukan kunjungan rumah
nilai tertinggi yaitu 4 dan nilai terendah yaitu 2
(nilai yang seharusnya didapat yaitu 5). Range
nilai untuk kunjungan rumah tidak besar yaitu
2 demikian pula dengan standar deviasi tidak

besar yaitu 0,748. Rerata nilai kunjungan


rumah 4,68 dengan nilai terbanyak yaitu 5.
Rerata nilai pemeriksaan jentik yaitu
3,760,597 dengan nilai terbanyak 4 . Range
nilai 2 dengan nilai terendah 2 dan tertinggi 4.
Sedangkan nilai pencatatan cukup tinggi dari
nilai yang seharusnya didapat yaitu 6, peserta
mendapatkan rerata nilai 5,60,7 dan nilai yang
terbanyak yaitu 6. Range nilai 2 dengan nilai
terendah 4 dan tertinggi 6. Selanjutnya
gambaran penilaian kemampuan penyuluhan
dan pemeriksaan jentik
Hubungan Skor Pengetahuan Pemeriksaan
Jentik dan Pelaksanaan Pemeriksaan Jentik
Berdasarkan hasil uji pearson didapatkan
bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan
tentang
pemeriksaan jentik dengan
pelaksanaan pemeriksaan jentik (p<0,05).
Semakin tinggi nilai pengetahuan tentang
pemeriksaan jentik semakin tinggi nilai
pelaksanannya.
Hubungan Skor Pengetahuan tentang
penyuluhan dan Pelaksanaan penyuluhan
Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa
ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang
penyuluhan dengan pelaksanaan kunjungan
rumah/penyuluhan (p<0,05). Semakin tinggi
nilai pengetahuan tentang kunjungan rumah
semakin tinggi nilai pelaksanannya.
28
27

Menurut hasil uji pearson didapatkan


bahwa tidak ada hubungan antara nilai sikap
tentang
pemeriksaanjentik
dengan
pelaksanaan pemeriksaanjentik (p>0,05).(Tabel
8).
Hubungan Skor Sikap tentang penyuluhan
dan Pelaksanaan penyuluhan.
Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa
tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang
kunjunganrumah/penyuluhan
dengan
pelaksanaan kunjunganrumah (p>0,05).(Tabel
9).

Hubungan Skor Pengetahuan tentang


Pencatatan dan Pelaksanaan Pencatatan
Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa
ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang
pencatatan
dengan
pelaksanaan
pencatatan(p<0,05). Semakin tinggi nilai
pengetahuan tentang pencatatan semakin tinggi
nilai pelaksanannya.
Hubungan Skor Sikap tentang Pemeriksaan
dan pencatatan Jentik dan Pelaksanaan
Pemeriksaan dan penecatatam Jentik

Tabel 4.
Penilaian Kemampuan Penyuluhan dan Pemeriksaan Jentik
Persiapan Kunjungan Pemeriksaan Pencatatan
Rumah
Jentik
Mean
3
4,68
3,76
5,6
Median
3
5
4
6
Modus
3
5
4
6
SD
0
0,748
0,597
0,7
Range
0
2
2
2
Min
3
2
2
4
Max
3
4
4
6
Tabel.5
Hubungan Variabel Pengetahuan dan Sikap dengan Variabel Pelaksanaan
Variabel
Jentik
Korelasi Person
Nilai P
Periksa jentik
2,157
0,043
Pelaksanaan Penyuluhan
Penyuluhan
3,186
0,037
Pencatatan
Pencatatan
5,025
0,009
Pemeriksaan Jentik
Skor sikap sesudah pelatihan
0,323
0,115
Pelaksanaan Penyuluhan
Skor sikap tentang penyuluhan
-0,065
0,756

relatif kurang dari rata-rata sebelum intervensi


34,38 menjadi 35,84 setelah intervensi dengan
P-value 0,392 (P>0,050). Hasil penelitian ini
sesuai Peningkatan perilaku dari nilai rat-rata
sebelum dan sesudah intervensi 7,8 menjadi
8,6 setelah intervensi dengan p-value : 0,029
(P<0,050). Secara teori bahwa level kedua
dari evaluasi pelatihan merupakan Jenis
evaluasi yang
termasuk relatif mudah,
biasanya menggunakan pre dan post test.
Peningkatan nilai yang diperoleh dari pre dan
post test merupakan penambahan pengetahuan
dan ketrampilan yang diperoleh dari proses

Pembahasan
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan PSN
DBD dan pemeriksaan jentik diawali dengan
pelatihan Juru pemantau Jentik (Jumantik).
Hasil analisis menunjukkan
terdapat
perbedaan rerata skor pengetahuan, perilaku
yang signifikan antara sebelum dan sesudah
intervensi, terkecuali rerata skor sikap tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara
sebelum dan sesudah intervensi. Perbedaan
berupa peningkatan dari nilai rerata sebelum
intervensi 23,28 menjadi 36,16 setelah dengan
P.value : 0,000 (p<0,050). Peningkatan sikap
vii
28

pembelanjaran.7 Gillies (1994) menyatakan


bahwa aktivitas pengembangan staf meliputi
pendidikan dan pelatihan untuk meningkatan
pengetahuan, sikap, ketrampilan/perilaku.
Marquis dan Huston (2000) menyatakan
pelatihan sebagai metode untuk menjamin
bahwa seseorang mempunyai pengetahuan dan
ktrampilan khusus yang diperlukan untuk
melakukan tugas. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Siti Rochmani (2003)
yang membuktikan bahwa adanya peningkatan
ketrampilan perawat dalam melakukan
hubungan terapeutik dengan klien dari nilai
rata-rata sebelum intervensi 90,1 menjadi 94,7
setelah intervensi dengan(p-value 0,002) di
RSUD Tarakan Jakarta.8
Hubungan Skor pengetahuan tentang
kunjungan
rumah / penyuluhan
dan
pelaksanaan kunjungan rumah/penyuluhan
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan
bahwa ada hubungan antara nilai pengetahuan
tentang kunjungan rumah dengan pelaksanaan
kunjungan rumah (p<0,05). Semakin tinggi
nilai pengetahuan tentang kunjungan rumah
semakin tinggi nilai pelaksanannya.
Menurut Roger yang dalam Djamaludin
Ancok (1985) bahwa pengetahuan tentang
suatu obyek tertentu sangat penting bagi
terjadinya perubahan perilaku yang merupakan
proses yang sangat kompleks.9 Selanjutnya
dikatakan bahwa seseorang akan memutuskan
untuk menerima atau menolak perilaku baru
maupun ide baru tersebut . Penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fathi, dkk (2005). Fathi juga menemukan
bahwa pengetahuan responden berpengaruh
terhadap kejadian DBD di Kota Mataram Nusa
tenggara Barat.10
Hubungan Skor Pengetahuan Pemeriksaan
dan pencatatan Jentik dan Pelaksanaan
Pemeriksaan dan pencatatan Jentik
Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa
ada hubungan antara nilai pengetahuan tentang
pemeriksaan dan pencatatan jentik dengan
pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan
jentik (p<0,05). Semakin tinggi nilai
pengetahuan
tentang
pemeriksaan
dan
pencatatan
jentik semakin tinggi nilai
pelaksanannya.
Menurut Bloom dalam
Soekidjo.S. (2005) mengatakan bahwa

Pengetahuan (knowledge)
adalah kesan
didalam
pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan
pancainderanya
Tingkat
pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai beberapa tingkatan yaitu :
tahu, memahami, aplikasi, analisis, sistesis.11
Donal Kirkpatrick (2000) mengatakan bahwa
jenis evaluasi pembelajaran level kedua adalah
jenis evaluasi yang relatif mudah biasanya
menggunakan pre dan post test.7 Peningkatan
nilai yang diperoleh dari pre dan post test
merupakan penambahan pengetahuan dan
ketrampilan/perilaku
yang diperoleh dari
proses pembelanjaran. Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri baik yang dapat diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar. Pada dasarnya perilaku
merupakan perwujudan dari pengetahuan dan
sikap. Pada penelitian
ini
perilaku
diasumsikan sebagai kemampuan
kader
jumantik dalam melakukan penyuluhan PSN
DBD dan pemeriksaan jentik. Hasil penelitian
ini sesuai dengan hasil penelitian Benthem et
al
dalam Saleha Sungkar, dkk,
dalam
meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di
Thailan mengenai pemberantasan dan dan
pencegahan
DBD. Hasilnya menunjukan
masyarakat yang memiliki pengetahuan yang
lebih baik mengenai DBD memiliki upaya
pencegahan yang jauh lebih baik. Konraads et
al dan kittgul et al juga melaporkan bahwa
terdapat
hubungan
langsung
antara
pengetahuan mengenai pencegahan DBD
dengan upaya melakukan PSN DBD.12
Hubungan Skor Sikap tentang penyuluhan
dan Pelaksanaan penyuluhan PSN DBD
Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa
tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang
kunjungan
rumah
dengan
pelaksanaan
kunjunganrumah (p>0,05). Menurut Fishbein
dan Ajzen dalam Jamaludin Ancok bahwa
sikap positif dan negatif yang terbentuk dalam
diri seseorang tergantung dari segi manfaat
atau tidaknya komponen pengetahuan, makin
banyak manfaat yang diketahui semakin positif
pula sikap yang terbentuk.9 Perilaku
digambarkan
dalam hubungan antara
pengetahuan sikap, niat dan tindakan/praktek.
Niat untuk melakukan tindakan x secara teoritis
vii
29

terbentuk oleh interaksi antara komponen


yang mendahuluinya yaitu sikap terhadap
tindakan x ketidak serasian antara kedua
komponen mungkin saja terjadi, apakah niat
selanjutnya menjadi tindakan tergantung pula
pada
beberapa
faktor
lain
misalnya
ketersediaan dan keterjankauan sarana.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian
Yudhastuti dalam Anton Sitio
(2008) yang menemukan tidak ada hubungan
yang bermakna
(P= 0,11) antara sikap
responden dengan keberadan jentik di
kelurahan Wonokusumo, kota Surabaya.13
Penelitian ini tidak sesuai
dengan hasil
penelitian Fatti,dkk yang menyebutkan bahwa
ada hubungan yang bermakna (p<0,005) dan
RR = 2,24) antara sikap responden dengan
kejadian DBD dimana semakin hati-hati sikap
responden terhadap DBD, maka semakin
berkurang resiko terjadi DBD.10

pelaksanaan pemeriksaan dan pencatatan


jentik (p>0,05). Hal ini berarti antara
responden tidak konsisten dengan prakteknya
atau perilakunya. Ada beberapa argumentasi
mengapa
sikap tidak berhubungan atau
konsiten dengan perilakunya yaitu : Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek.
Menurut
Kontjaraningrat
dalam
Heri.D.J.Maulana (2009) sikap merupakan
kecendrungan yang berasal dari dalam diri
individu untuk berkelakuan dengan pola-pola
tertentu, terhadap suatu obyek akibat pendirian
dan perasaan terhadap obyek tersebut. Sikap
tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak
selalu
mencerminkan
sikap seseorang.
Individu sering kali memperlihatkan tindakan
bertentangan dengan sikapnya
Sarwono.14
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian
Yongwan
Nyamin, (1984)
menemukan tidak ada tidak ada perbedaan
yang bermakna (P=0,689) variabel sikap Siswa
SMA Kesatrian I terhadap perilaku donor
darah sukarela di UTD PMI.15

Hubungan Skor Sikap tentang Pemeriksaan


dan pencatatan Jentik dan Pelaksanaan
PemeriksaanJentik
Dari hasil uji pearson didapatkan bahwa
tidak ada hubungan antara nilai sikap tentang
pemeriksaan dan pencatatan jentik dengan
KESIMPULAN DAN SARAN
Koordinasi lintas sektor antara pihak
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan Puskesmas Menteng dan Kelurahan Menteng
terdapat perbedaan rerata skor pengetahuan, kiranya dapat diwujutkan melalui revitalisasi
perilaku
antara sebelum dan sesudah kemitraan dengan wadah POKJANAL DBD di
intervensi, ada hubungan antara nilai tingkat RW/RT.
pengetahuan penyuluhan dan pemeriksaan Hendaknya
Pukesmas Menteng
dapat
jentik dan pelaksanaannya. Selanjuknya tidak memberdayakan kader Jumantik yang telah
terdapat perbedaan rerata sikap antara sebelum mrndapatkan pelatihan sebagai penyuluh PSN
dan sesudah intervensi, tidak ada hubungan DBD dan pemeriksaan jentik berkala (PJK).
antara nilai sikap tentang penyuluhan dan Hendaknya
Pukesmas Menteng
dapat
pemeriksaan jentik dan pelaksanaannya.
meningkatkan prekwensi kegiatan penyuluhan
baik dalam gedung maupun luar gedung.
Saran-Saran :
Kiranya Dinkes Kota Palangka Raya dapat Penelitian ini dapat dilanjutkan
dengan
menganggarkan biaya pelatihan dan insentif menambah variabel lain
seperti : foging,
bagi kader Jumantik pada beberapa kelurahan abatetisasi,) dan sampel pembanding (group
yang menjadi daerah endemis Demam berdarah control)
Dengue (DBD)
Daftar Rujukan :
1.

Dinkes Kota Palangka Raya, 2010, Profil


Kesehatan Kota Palangka Raya

2.

viii
30

Depkes RI., 2005. Pemberantasan dan


Pencegahan Demam Berdarah di
Indonesia. Diejend. P2M & LP Jakarta

3.

Depkes RI, 2006, Pemberantasan Sarang


Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN
DBD) oleh Jumantik
4. A.Watik Pratiknya, 2003. Dasar-dasar
Metodelogi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, RajaGarapindo Persada Jakarta
5. Singarimbun, M dan Effendi, S. (1995)
Metode Penelitian Survey, Cetakan
Pertama LP3ES, Jakarta.
6. C.Trihendradi, 2009. 7 Langkah Mudah
melakukan Analisis Statistik menggunakan
SPSS 17.Andi Jogjakarta.
7. Donald Kirktrick, 2006. Evaluating
Training Program, Barett-Keckler ISBN.
8. Siti Rochmani (2003), Pengaruh
hubungan terapeutik perawat-klien
terhadap kemampuan perawat dalam
melakukan hubungan terapeutik dengan
klien dan kepuasan kerja perawat di RSUD
Tarakan dan RSUD Koja Jakarta.
9. Djamaludin Ancok, 1989. Teknik
Pengukuran da Skala Pengukuran seri
Metologi N
10. Pathi. Dkk. Peran Faktor Lingkungan dan
Perilaku terhadap Penularan DBD di Kota

vii
31

Mataram , Jurnal Kesehatan Lingkungan,


Vol.2, No.1 Juli 2005.
11. Notoatmodjo, Soekidjo. N. 2005, Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasi, Rineka
Cipta Jakarta
12. Saleha Sungkar, dkk, Pengaruh
Penyuluhan terhadap tingkat
pengetahauan masyarakat dan kepadatan
Aedes aegypti di Kecmatan Bayah,
Propinsi Banten, Maraka Kesehatan,
Vol14. NO.2. Desember 2010 : 81-85.
13. Anton Sitio.2008. Hubungan perilaku
tentang pemberantasan sarang nyamuk
dan kebiasaan keluarga dengan kejadian
DBD di Kec.Medan Perjuangan Kota
medan .
14. Heri
D.J.Maulana,
2009,
Promosi
Kesehatan, EGC Jakarta.
15. Yongwan Nyamin (1984) Perilaku (
Pengetahuan, sikap dan praktek)siswa
SMA Kesatrian I mengenai Donor Darah
Sukarela pada UTD PMI Kotamadya
Semarang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


TAKSIRAN BERAT JANIN IBU HAMIL TRIMESTER III DI
PALANGKA RAYA
Christine Aden, Natalansyah, Marselinus Heriteluna
Jurusan Keperawatan Politeknik Kemenkes Palangka Raya

Abstrak
Selama hamil diharapkan pertumbuhan dan perkembangan janin meningkat serta lahir dengan
berat badan minimal 2500gr. Banyak faktor yang berperan dalam pertumbuhan janin
menjelang akhir kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi taksiran berat janin (TBJ) dan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh
faktor-faktor tersebut dengan TBJ. Penelitian ini menggunakan 330 ibu hamil trimester III.
Data dianalisis uji Pearson Correlation, Uji T tidak berpasangan serta Uji ANOVA dan uji
Regresi Linear. Hasil penelitian tidak ada korelasi antara umur ibu dan TBJ ( p>0,05.), ada
korelasi antara usia kehamilan dengan TBJ ( p=0,000) , tidak ada perbedaan antara TBJ ibu
dengan jarak kehamilan (p>0,058), ada perbedaan antara TBJ dengan paritas (p=0,018), ada
korelasi antara TBJ dengan gizi ibu (p=0,000), tidak ada perbedaan antara TBJ dengan ante
natal care ( p=0,05,), ada korelasi antara TBJ dengan pendidikan (p = 0,001), tidak ada
perbedaan TBJ dengan anggota rumah tangga (p=0,146), ada perbedaan TBJ dengan
pengetahuan (p=0,021). Analisis regresi linear dapat menjelaskan 39,3% variasi variabel
dependen berat badan bayi TBJ sisanya 60,7% dijelaskan oleh faktor lain. Diharapkan
penelitian ini dapat memberi manfaat bagi peningkatan pelayanan dan pendidikan serta
perkembangan ilmu dan bagi pengambil kebijakan untuk meningkatkan TBJ pada ibu hamil.
Kata kunci: Taksiran Berat Janin, Faktor-faktor ibu, Hamil Trimester III
Abstract
During pregnancy, fetal growth and development is expected to increase in order to avoid low
birth weight or less than 2500 grams. Many factors play a role in fetal growth in late
pregnancy. This study aimed to identify factors in pregnant women which are to know the
relation and the influence of factors with estimated fetal weight in the third trimester pregnant
women in Palangka Raya. The data were analyzed by Pearson Correlation test, unpaired T
test, ANOVA test and linear regression test. There was no correlation between the estimated
fetal weight with maternal age (p>0,05), with a range of pregnancy (p>0,058), with ante natal
care (p=0,05), with family (p=0,146), There was a correlation between the estimated fetal
weight with gestational age (p=0,000), with parity (p=0,018), with the mother's nutrition
(p=0,000), education (p=0,001), the knowledge of the mother (p=0,021). Gestational age,
maternal nutritional status, and education level are able to explain 39,3 % estimated fetal
weight and the rest 60,7%, be explained by other factors. This research is expected to provide
benefits for service improvement and education also the development of science and the
decision maker to increase estimated fetal weight in pregnant women.
Key words: estimated fetal weight, maternal factors, pregnancy in the third semester

32

Pendahuluan
Selama hamil diharapkan pertumbuhan
dan perkembangan janin meningkat agar
terhindar dari gangguan pertumbuhan dan
perkembangan selama kehamilan serta lahir
dengan berat badan rendah atau kurang dari
2500gr. Faktor penentu utama pertumbuhan
janin menjelang akhir kehamilan sebagian
besar yang dipengaruhi oleh faktor status
sosioekonomi ibu, diet, merokok, atau
penyalahgunaan obat terlarang . Status nutrisi
ibu dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu usia
ibu, paritas, ras, konsumsi rokok, pendidikan,
keluarga, nutrisi, pendapatan, kesehatan, dan
motivasi.-8
Bayi lahir dengan berat badan rendah di
Indonesia sebesar 11%, sedangkan di Nusa
Tenggara Timur 19,2% sebagai propinsi
tertinggi pertama dengan berat badan bayi
lahir rendah < 2500gr 9. Kalimantan Tengah
pada urutan ke dua yaitu 18,5% dan Papua
pada urutan ke tiga yaitu 17,9%. Karakteristik
bayi lahir dengan berat badan rendah adalah
15,1% tidak tamat SD, memiliki pekerjaan
sebagai petani/ nelayan/buruh adalah 12,9%.
Sumber informasi bayi lahir dengan berat
badan rendah 34% dari catatan KMS/KIA
sedang selebihnya adalah pengakuan ibu9
Berdasarkan penelitian di Boyolali
ditemukan 14,29% bayi lahir dengan berat
badan rendah dengan riwayat kenaikan berat
badan ibu selama hamil < 7 kg adalah
17,14%10 sedangkan bayi lahir dengan berat
badan rendah di Kota Palangkaraya ditemukan
sebanyak 15,4% 9. Peningkatan berat badan
ini selama hamil akan mempengaruhi berat
janin dalam kandungan dan wanita yang
berisiko paling besar melahirkan bayi berat
lahir rendah (<<2500g) adalah
yang
pertambahan beratnya selama hamil kurang
dari 7 kg selain faktor-faktor seperti
dikemukakan di atas 1. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengidentifikasi pengaruh
faktor-faktor yang berhubungan dengan

33

taksiran berat janin pada ibu hamil trimester


III.
Metode Penelitian
Rancangan ini merupakan penelitian
deskriptif kuantitatif dengan pendekatan
crossectional. Rancangan ini dibuat untuk
mengukur banyak faktor yang ingin diteliti
dengan satu kali pengamatan pada saat yang
bersamaan. Analisa univariat dilakukan untuk
menganalisa
karakteristik
ibu
hamil
berdasarkan usia, pendidikan, jumlah anggota
keluarga, paritas, jumlah kunjungan ANC dan
pemahaman terhadap buku KMS ibu hamil.
Analisa Bivariat menggunakan uji Pearson
Correlation
dan
analisa
multivariat
menggunakan regresi linear dan uji Anova.
Pengambilan data pada minggu ke dua
Oktober sampai dengan Desember 2011.
Sampel dalam penelitian didapat dari
Puskesmas Pahandut, Puskesmas Panarung,
Puskesmas Bukit Hindu dan Puskesmas
Kayon sebanyak ini adalah 330 ibu hamil
Hasil Penelitian
Analisis Univariate
Tabel 1 memperlihatkan Umur ibu hamil
paling banyak pada kelompok umur 20-35
tahun (81,8%). Ibu hamil dengan umur <20
tahun sebanyak 10,6% dan yang >35 tahun
sebanyak 7,6%. Tingkat pendidikan ibu hamil
paling banyak SMA (37%) dan SMP (33,6%).
Ibu yang berpendidikan SD dan perguruan
tinggi masing-masing 16,1% dan 13,3%.
Jumlah anggota dalam rumah tangga rata-rata
adalah 3 orang . Jumlah anggota rumah tangga
terkecil adalah 2 orang dan terbanyak 5 orang.
Jumah anggota rumah tangga paling banyak 24 orang (87,9%).
Ibu hamil yang terbanyak yaitu ibu yang
lebih dari satu kali hamil (multigravida)
sebanyak 56,4%, kemudian ibu yang baru
pertama kali hamil (primigravida) sebanyak
43,3%, dan paling sedikit adalah grande
(0,3%). Bila dilihat dari kunjungan ANC ibu
hamil ke puskesmas paling banyak adalah

kunjungan 1-3 kali (59,1%), kunjungan 4 kali


10,9%, dan lebih dari 4 kali 30%. Jarak
kehamilan ibu yang sudah pernah hamil yaitu
paling banyak >2 kali (96,4%). Gizi ibu hamil
lebih banyak yang bergizi baik (70,9%).
Sebagian besar ibu (69,1%) mengaku
memahami isi buku KIA.
Tabel 1.Distribusi Karakteristik Ibu Hamil,
Palangka Raya, 2011 (n=330)
Variabel
Frekuensi Persentase (%)
Umur
< 20 tahun
35
10,6
20-35 tahun
270
81,8
>35 tahun
25
7,6
Jumlah
330
100
Pendidikan
SD
53
16,1
SMP
111
33,6
SMA
122
37,0
PT
44
13,3
Jumlah
330
100
Jumlah ART
2-4 org
290
87,9
>4 org
40
12,1
Jumlah
330
100
Paritas
Primigravida
143
43,3
Multipara
186
56,4
Grande
1
0,3
Jumlah
330
100
ANC
1-3 kali
195
59,1
4 kali
36
10,9
>4 kali
99
30
Jumlah
330
100
JarakKehamilan
< 2 tahun
12
3,6
>2 tahun
318
96,4
Jumlah
330
100
GiziIbuHamil
Baik
234
70,9
Kurang
96
29,1
Jumlah
330
100
Pengetahuan KIA
Memahami
228
69,1
Tidak memahami
102
30,9
Jumlah
330
100
Pengetahuan gizi
Baik
224
67,9
Buruk
106
32,1
Jumlah
330
100

janin rata-ratanya yaitu 2635 gram 470,8


gram dengan nilai terrendah 1085 gram dan
tertinggi 4030 gram. (Tabel 2.).
Tabel 2. Rerata, Min-Max, Standar Deviasi Variabel Usia
Kehamilan, TFU, TBJ Ibu Hamil,
Palangka Raya, 2011 (n=330)

Variabel
Usia hamil
(mg)
TFU
TBJ

Rerata
30

Min-Max
28-41

SD
3,5

28
2635

18-37
1085-4030

3
470,8

Analisis Bivariate
Usia Ibu dan TBJ
Berdasarkan uji Pearson Correlation di
dapatkan nilai P>0,05. Artinya tidak ada
korelasi antara umur ibu dan TBJ (Tabel 3).
Usia Kehamilan dan TBJ
Dari hasil uji Pearson Correlation
didapatkan bahwa ada korelasi antara usia
kehamilan dengan taksiran berat janin (nilai
P=0,000). Korelasi variable ini adalah searah.
Artinya semakin tinggi usia kehamilan
semakin besar taksiran berat janin. (Tabel 3)
Status Gizi Ibu Hamil dan TBJ
Berdasarkan hasil uji pearson correlation
didapatkan bahwa ada korelasi antara TBJ
dengan status gizi ibu. Arah korelasi yatu
searah, artinya semakin tinggi TBJ semakin
tinggi status gizi ibu.(Tabel 3.).
Tabel 3. Hasil Uji Pearson Correlation Faktor faktor Ibu
Dan TBJ (n=330)

FaktorFaktor Ibu
Umur

Usia
Kehamilan

Gizi

Rata-rata usia kehamilan ibu 30 3,5


minggu dengan usia kehamilan terkecil 28
minggu dan terpanjang 41 minggu. Tinggi
fundus uteri rata-ratanyaadalah 28 3, nilai
terkecil 18 dan terbesar 37.Taksiran berat
34

TBJ
Pearson Correlation -.015
Sig. (2-tailed)

.784

330

Pearson Correlation

.556**

Sig. (2-tailed)

.000

330

Pearson Correlation .381**


Sig. (2-tailed)

.000

330

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).

Jarak Kehamilan dan TBJ


Rerata TBJ menurut jarak kehamilan yaitu
rerata TBJ ibu dengan jarak kehamilan > 2
tahun 2605 gr dan yang < 2 tahun 2867 gr.
Berdasarkan hasil uji T tidak berpasangan
didapatkan nilai P=0,058 (p>0,05). Artinya
tidak ada perbedaan TBJ antara ibu dengan
jarak kehamilan > 2 tahun dan< 2 tahun.
(Tabel 4).
Tabel 4.Hasil Uji T Tidak Berpasangan
RerataTaksiran Berat Janin Berdasarkan Faktor
Fantor Ibu Hamil (n=330)
Faktor Ibu
t
P
95% CI
-1,902 0,058
-533,5 9,010
Jarak
-2,370 0,018
-218,2 - -20,3
Paritas
-2,323 0,001
94,614 - 369,5
Pendidikan

Keluarga
Pengetahuan

-1,478
-2,312

0,146
0,021

-54,041 351,946
18,9 235,9

Paritas dan TBJ


Rerata TBJ menurut paritas, ibu primipara
rerata TBJ 2547 gram dan ibu dengan
multipara rerata TBJ 2666 gram dengan mean
difference -199,2. Dari hasil uji T tidak
berpasangan didapatkan nilai P=0,018
(<0,05). Artinya ada perbedaan rerata TBJ
antara
ibu
primipara
dengan
ibu
multipara(Tabel 4.).
Pendidikan Ibu Hamil danTBJ
Berdasarkan table 4. didapatkan rerata
TBJ pada ibu berpendidikan tinggi 2638,9
gram dan pada ibu yang berpendidikan dasar
rerata TBJ 2406,9 gram dengan mean
difference 232,2 gram. Hasil uji T tidak
berpasangan didapatkan nilai P = 0,001.
Keluarga (jumlah anggota keluarga) dan
TBJ
Rerata TBJ menurut jumlah anggota
rumahtangga 2-4 orang 2632,8 gr dan yang >
4 orang 2483,9 gr dengan mean difference
148,9 gr. Hasil uji T tidak berpasangan
didapatkan nilai p=0,146. Artinya tidak ada
perbedaan rerata TBJ antara ibu dengan
jumlah ART 2-4 orang dan yang jumlah ARTnya> 4 orang. (Tabel 4).
35

Pengetahuan Gizi dan TBJ


Rerata TBJ menurut skor pengetahuan gizi
baik dengan TBJ 2655,7 gram dan skor
pengetahuan gizi kurang baik 2528 gram
(mean doffrence=127,5). Berdasarkan hasil t
test tidak berpasangan di dapatkan nilai
P=0,021. Artinya ada perbedaan rerata TBJ
antara ibu yang pengetahuannya baik dengan
ibu yang pengetahuannya buruk.(Tabel 4.).
Pemeriksaan Kehamilan dan TBJ
Rerata TBJ menurut kunjungan ANC
didapatkan hasil yang berbeda-beda. Seiring
dengan seringnya ibu hamil melakukan ANC
semakin meningkat TBJ-nya. Ibu dengan
kunjungan ANC 1-3 rerata TBJnya 2569,77
gr, ANC 4 kali 2768,7 gr, ANC >4 kali 2647,5
gr. Berdasarkan uji ANOVA tidak ditemukan
adanya
perbedaan rerata TBJ menurut
kunjungan ANC (nilai p=0,05). (Tabel 5)
Analisis Multivariate
Pada tabel 4, Model 1 didapatkan nilai Rsquare sebesar 0,401, artinya ke-5 variabel
independen dapat menjelaskan variabel TBJ
sebesar 40,1% sedangkan sisanya dijelaskan
oleh variabel lain. Dari hasil uji statistik
didapatkan (lihat prob>F) didapatkan p
value=0,000 berarti persamaan garis regresi
secara keseluruhan sudah signifikan
Dari Model 2, didapatkan nilai R-square
sebesar, artinya ke-4 variabel independen
dapat menjelaskan variabel TBJ sebesar
sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel
lain. Dari hasil uji statistik didapatkan (lihat
prob>F) didapatkan p value=0,000 berarti
persamaan garis regresi secara keseluruhan
sudah signifikan
Model 3 final, Setelah dilakukan analisis
multivariat, ternyata variabel independen yang
masuk model regresi adalah usia hamil, status
gizi ibu, dan tingkat pendidi kan. Pada tabel 3
regresi akhir terlihat koefisien determinasi (Rsquare) menunjukkan nilai 0,393 artinya
bahwa model regresi yang diperoleh dapat
menjelaskan 39,3% variasi variabel dependen
berat badan bayi. Kemudian pada uji

ANOVA, hasil uji F menunjukan nilai


=0,0000, berarti pada 5% kita dapat
menyatakan bahwa model regresi cocok (fit)
dengan data yang ada.
Tabel 4 Model Persamaan Regresi Linier

Model 1

TBJ (n=330)
B
Sig

Usia hamil
Paritas
Gizi

66.663
58.265
-259.975

9.953
1.316
-5.301

.000
.189
.000

Edu

-134.647

-2.394

.017

Skortahu

-54.292

-1.180

.239

R=0, 393
Model 2

Sig

Usia hamil
Paritas
Gizi

67.549
64.248
-255.994

.000
.146
.000

10.143
1.459
-5.228

Edu

-137.317

.015

-2.442

Skortahu

R=0,409
Model 3
Usia hamil
Gizi
Edu
Paritas
Skortahu

Sig

69.000
-257.412
-131.711

.000
.000
.020

10.457
-5.248
-2.343

R= 0,409

Persamaan regresi yang diperoleh adalah:


TBJ = 528.667 + 69 usia hamil 257,4
gizi 131,7pendidikan

Interpretasi:
1. R-square = 0,409 artinya model persamaan
ini dapat menjelaskan 40,9% variasi TBJ
sisanya 60,7% dijelaskan oleh faktor lain.
2. Setiap kenaikan 1 bulan usia kehamilan
ibu, maka TBJ akan naik sebesar 69 gram
setelah dikontrol variabel status gizi dan
pendidikan.
3. Setiap penurunan 1kg status gizi ibu,
maka TBJ akan turun sebesar 69 gram
setelah dikontrol variabel status gizi dan
pendidikan.

36

4. Pada ibu yang tingkat pendidikannya dasar


TBJ akan lebih rendah sebesar 131,7 gram
dibandingkan
dengan
ibu
yang
pendidikannya tinggi setelah dikontrol
status gizi dan pendidikan.

Pembahasan
Ibu hamil sebagai Responden sebanyak
330 orang dari Puskesmas Pahandut,
Puskesmas Kayon dan Puskesmas Bukit
Hindu jumlah responden yang diperoleh dari
tiap-tiap puskesmas berbeda-beda Perbedaan
memperoleh responden pada penelitian ini
tidak mempengaruhi hasil penelitian karena
pengambilan responden didasarkan pada
kriteria inklusi dan pada semua puskesmas
induk (tipe setara).
Penelitian ini menghubungkan Taksiran
Berat Janin dengan usia ibu, usia kehamilan,
jarak kehamilan, paritas, status gizi ibu hamil,
pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu hamil,
keluarga dan pengetahuan gizi. Pemahaman
ibu hamil terhadap buku KMS yang
dimilikinya akan dijelaskan , tetapi variabel
ini tidak dihubungkan dengan taksiran berat
janin yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Usia Ibu Hamil
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
usia ibu hamil paling banyak (81%) pada
kelompok 20-35 tahun. Pada kelompok usia
ini sangat dianjurkan untuk hamil karena pada
usia kurang dari 20 tahun perkembangan
organ-organ reproduksi terutama ossifikasi
panggul belum sempurna dan fungsi uterus
fisiologisnya
belum
matang
sehingga
diragukan bagi pertumbuhan janin. Sedangkan
untuk hamil diatas usia 35 tahun risiko yang
dapat muncul terutama abortus, cacat
kongenital, hipertensi, berat badan lahir
rendah1,17. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara usia ibu
hamil dengan taksiran berat janin (P> 0,05) .
Nahum dkk yang menyatakan bahwa usia ibu
bukan prediktor independen dari berat badan
janin11. Berbeda dengan pernyataan tersebut
Bobak dan Rochjati menyebutkan bahwa

bayi
berat badan lahir rendah (BBLR)
berkorelasi dengan usia ibu3,17. Penyataan
tersebut didukung oleh Nobile dkk bahwa
berat badan lahir rendah berkorelasi dengan
usia ibu yaitu pada usia remaja dan usia ibu
yang sudah tua 15. Dalam penelitian ini, hasil
univariat menunjukkkan kelompok usia
dibawah 21 tahun hanya sebanyak 10% dan
>35 tahun sebanyak 7.6%.
Usia Kehamilan
Responden antara usia kehamilan 28
minggu sampai 42 minggu yang pada usia
kehamilan trimester III. Ditemukan korelasi
usia kehamilan dengan taksiran berat janin
(P=
0,000)
.Aanalisis
multivariat
menunjukkan bahwa kenaikan usia kehamilan
akan meningkatkan taksiran berat janin .
Bahwa setiap peningkatan usia kehamilan 1
bulan, maka taksiran berat janin akan naik
sebesar 69 gram setelah dikontrol variabel
status gizi dan pendidikan demikian
sebaliknya. Anitha dkk pada penelitian serupa
di Kerala India menyebutkan bahwa salah satu
prediktor berat badan bayi adalah usia
kehamilan
(P<0.001)15.
Nahum
dkk
menyebutkan bahwa berdasarkan jenis
kelamin fetus peningkatan berat badan antara
12.7 1,4 gram/ hari dengan perbedaan 0.3
gram/ hari antara fetus berjenis kelamin lakilaki dan perempuan ( fetus laki-laki berat
badan meningkat lebih cepat dari fetus
perempuan)11 dan bayi laki-laki lebih berat
100 gram dari bayi perempuan 1.
Jarak Kehamilan
Jarak Kehamilan atau kelahiran menurut
BKKBN yang ideal adalah 2 tahun atau lebih.
Dengan jarak kehamilan yang cukup, ibu
memiliki waktu yang cukup untuk pemulihan
kondisi18. Sejalan dengan pernyataan tersebut
Rochjati
menyebutkan bahwa jarak
kehamilan yang kurang dari 2 tahun dapat
menyebabkan bayi lahir prematur atau bayi
dengan berat badan lahir rendah18. Dari
analisis univariat ditemukan bahwa 96,4 % ibu
hamil dengan jarak kehamilan >2 tahun dan
ditemukan tidak ada perbedaan TBJ antara ibu
dengan jarak kehamilan > 2 ( P = 0.058).
37

Hasil ini dapat dihubungkan dengan


pernyataan sebagian besar (69%) responden
yang menyatakan memahami Buku KMS
yang diberisi informasi tentang perawatan
kehamilan dan persalinan.

4.Paritas
Ibu dengan grande memiliki risiko tinggi
dengan kehamilan dan persalinan. Pada ibu
hamil dapat terjadi kelainan letak, persalinan
lama dan perdarahan post partum1-4,18.
Pertumbuhan janin berlangsung dengan baik
jika determinan berat badan lahir seperti
paritas, berat badan ibu, dan tinggi badan
dipertimbangkan1..
Rerata TBJ menurut paritas, ibu primipara
rerata TBJ 2547 gram dan ibu dengan
multipara rerata TBJ 2666 gram dengan mean
difference -199,2. Dari hasil uji T tidak
berpasangan didapatkan nilai P=0,018
(<0,05). Artinya ada perbedaan rerata TBJ
antara ibu primipara dengan ibu multipara.
Status Gizi Ibu
Didapatkan korelasi antara TBJ dengan
status gizi ibu. Arah korelasi yatu searah,
artinya semakin tinggi TBJ semakin tinggi
status gizi ibu.(Tabel 4.7.).
Ditetapkan nilai minimal peningkatan berat
badan ibu hamil selama trimester III adalah 7
kg, yang merujuk ketetapan Depkes RI27,
Peningkatan berat badan selama kehamilan
menunjukan bahwa terjadi penambahan intake
kalori oleh ibu dan banyaknya kalori yang ini
konsumsi ibu membantu pertumbuhan janin.
Penelitian ini sejalan dengan pernyataan
Cunningham bahwa diantara kehamilan 27- 28
minggu terjadi peningkatan berat badan janin
sebesar 1000gr dengan penambahan berat
badan rata-rata ibu adalah 7,2 kg1.
Pemeriksaan Kehamilan
Nobile dkk
dalam penelitiannya
menemukan
adanya
hubungan
antara
frekwensi antenatal care dengan kejadian berat
badan lahir rendah15. Frekwensi kunjungan
ANC yang meningkat menurunkan risiko
berat badan lahir rendah. Depkes menetapkan

minimal kunjungan ibu selama hamil adalah 4


kali yaitu 1kali di timester pertama, 1 kali di
trimester kedua dan 2 kali di trimester ketiga.
Diketahui bahwa tidak ditemukan adanya
perbedaan rerata TBJ menurut kunjungan
semua (nilai p=0,05). Ibu dengan kunjungan
ANC 1-3 rerata TBJnya 2569,77 gr, ANC 4
kali 2768,7 gr, ANC >4 kali 2647,5 gr.
Pendidikan
Tingkat pendidikan responden bervariasi
SD, SMP, SMA , dan PT. Hasil uji statistik
pada bivariat dengan uji T tidak berpasangan
ditemukan adanya hubungan antara tingkat
pendidikan
dengan
taksiran
berat
janin.Pendidikan yang dimiliki ibu hamil
membantunya mengambil keputusan terhadap
sebuah informasi kesehatan. Disebutkan juga
bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh
pada ibu hamil, dengan tingkat pendidikan
yang tinggi ibu hamil akan mengetahui
tentang asupan gizi yang baik untuk ibu
selama kehamilan. Gangguan pertumbuhan
intrauteri pada janin berhubungan dengan
rendahnya pendidikan6.
Anggota Keluarga
Hampir semua responden penelitian ini
memiliki jumlah anggota keluarga yang ideal.
Keluarga yang ideal menurut Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
menyebutkan bahwa anggota keluarga ideal
adalah empat orang18. Tetapi penelitian ini
menemukan bahwa tidak ada perbedaan rerata
taksiran berat janin pada kelurga ideal dan
keluarga tidak ideal. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa besarnya keluarga tidak
mempengaruhi taksiran berat janin. Hasil
penelitian berbeda dengan pendapat para ahli
yang menyatakan bahwa jumlah anggota
keluarga akan mempengaruhi kesejahteraan
dan status gizi ibu hamil3,19. Penelitian ini
tidak menggali lebih dalam tentang insentif
yang diterima keluarga serta komposisi dalam
keluarga. Bayi-bayi yang dilahirkan dari
keluarga dengan status sosialekonomi tinggi
menunjukkan
sedikit
masalah
pada
perkembangan janin, berbeda dengan bayi
yang dilahirkan dari keluarga tidak mampu
38

akan mengalami gangguan yang berarti1..


dengan kata lain semakin rendah keadaan
sosioekonomi,
semakin
lambat
laju
pertumbuhan janin pada akhir kehamilan.
Demikian juga pekerjaan suami dan
rendahnya pendidikan suami menyebabkan
rendahnya berat badan lahir janin11.
Bobak menghubungkan jaringan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi hasil akhir
kehamilan pada penghasilan keluarga untuk
anggaran belanja makanan, sebagai jaminan
ketersediaan makanan bagi anggota keluarga
terutama ibu hamil3
Pengetahuan Gizi
Salah satu faktor yang mempengaruhi
asupan gizi ibu hamil antara lain faktor
pengetahuan. Pengetahuan gizi dalam
penelitian ini menanyakan tentang pengertian
gizi, akibat kekurangan gizi bagi ibu dan
janin, penambahan berat badan selama hamil,
pemantauan pemenuhan gizi, makanan dan
suplemen yang baik selama kehamilan. Hasil
penelitian menemukan bahwa ada perbedaan
rerata TBJ antara ibu yang pengetahuannya
baik dengan ibu yang pengetahuannya
buruk.(Tabel 4.12.).
Pemahaman Ibu Hamil terhadap Buku
KIA.
Hasil analisis univariat diketahui bahwa
69,1% ibu hamil memahami buku KIA yang
dimilikinya dan 32,1% ibu hamil mengaku
tidak memahami buku KIA.
Interpretasi Hasil Penelitian Multivariate
Berdasarkan analisis pada umur, usia
kehamilan,paritas, pendidikan, jumlah ANC,
keluarga, jarak kehamilan, jumlah anggota
keluarga, peningkatan gizi ibu hamil, dan
pengetahuan terhadap gizi ibu hamil.
Ditemukan hanya lima karakteristik ibu hamil
yang berhubungan dengan taksiran berat janin
yaitu usia kehamilan ibu, paritas, pendidikan,
status gizi ibu hamil, dan pengetahuan
terhadap gizi ibu hamil.
Dalam Analisis Regresi Linier ditemukan
usia hamil, status gizi ibu, dan tingkat
pendidikan mampu mempengaruhi 39,3%

variabel dependent taksiran berat janin pada


ibu hamil trimester III di kota Palangka Raya
sedangkan 60,7% dijelaskan oleh faktor lain.
Pengaruh tersebut
menjelaskan setiap
kenaikan 1 bulan usia kehamilan ibu, maka
TBJ akan naik sebesar 69 gram setelah
dikontrol variabel status gizi dan pendidikan.
Setiap penurunan 1kg status gizi ibu, maka
TBJ akan turun sebesar 69 gram setelah
dikontrol variabel status gizi dan pendidikan.
Pada ibu yang tingkat pendidikannya dasar
TBJ akan lebih rendah sebesar 131,7 gram
dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya
tinggi setelah dikontrol status gizi dan
pendidikan.
Berbeda dengan Anitha (2009) yang
menyebutkan bahwa faktor independen
terhadap berat badan lahir selain paritas dan
usia gestasi, tinggi badan, pregnancy induced
hypertensi (PIH) dan riwayat bayi dengan
berat badan lahir rendah juga merupakan
faktor independen terhadap berat badan lahir.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya mencapai jumlah
minimal yaitu 330 orang karena keterbatasan
waktu penelitian. Kunjungan ibu hamil
disetiap Puskesmas tidak dapat diduga. Pada
waktu tertentu kunjungan ibu hamil banyak di
awal
bulan atau hari pertama sampai hari
ketiga tiap minggunya. Kelemahan berikutnya
adalah peluang anggota populasi tidak
diketahui karena pengambilan sampel tidak
dilakukan acak. Kolektor data tidak selalu ada
di Puskesmas, tugas mencapai target program
yang
dilaksanakan
di
luar
gedung
menuntutnya untuk tugas luar. Sehingga
dalam penelitian ini ada kemungkinan sampel
yang representatif tidak terpilih.
Implikasi Terhadap Pelayanan Ibu Hamil
Hasil
penelitian
ini
merupakan
kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa
hanya usia kehamilan, pendidikan dan status
gizi yang mampu menjelaskan 39,3% taksiran
berat badan janin pada usia kehamilan
trimester III di Palangka Raya.

Penting bagi pemberi layanan untuk


mengetahui latar belakang pendidikan ibu
hamil dan karakteristik klien (klien usia
remaja) sebelum memberikan informasi
tentang peningkatan gizi selama kehamilan.
Perlu bagi untuk selalu membicarakan
indikator peningkatan gizi yang dapat
dirasakan ibu dengan bertambahnya berat
badan ibu serta meningkatnya ukuran tinggi
fundus setiap bertambahnya usia kehamilan.
Perlu di pertimbangkan pernyataan 102
responden (32.1%) yang mengatakan tidak
memahami isi buku KIA Ibu Hamil yang
mereka miliki. Masukan tersebut memperjelas
bahwa selama kehamilannya buku KIA yang
dimiliki tidak maksimal membantu mereka
dalam perawatan kehamilan. Perlu untuk
menyediakan waktu memberikan informasi
tentang buku KMS tersebut.
Penanganan khusus seperti homecare atau
homevisit bagi bagi ibu hamil dengan
indikator pemenuhan gizi yang kurang dapat
dipertimbangkan.
Penutup
Kesimpulan
Usia hamil, status gizi ibu, dan tingkat
pendidikan yang mampu menjelaskan TBJ
pada ibu hamil trimester III di kota
Palangkaraya. Dari hasil analis tersebut ; Usia
hamil, status gizi ibu, dan tingkat pendidikan
yang mampu menjelaskan 39,3% taksiran
berat janin dan sisanya 60,7% dijelaskan oleh
faktor lain. Setiap kenaikan 1 bulan usia
kehamilan ibu, maka TBJ akan naik sebesar
69 gram setelah dikontrol variabel status gizi
dan pendidikan. Setiap penurunan 1kg status
gizi ibu, maka TBJ akan turun sebesar 69
gram setelah dikontrol variabel status gizi dan
pendidikan.
Pada
ibu
yang
tingkat
pendidikannya dasar TBJ akan lebih rendah
sebesar 131,7 gram dibandingkan dengan ibu
yang pendidikannya tinggi setelah dikontrol
status gizi dan pendidikan.

39

Saran
Bagi penyedia dan pemberi layanan
kesehatan hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan
dan
bahan
pertimbangan
perencanaan program bagi ibu hamil untuk
peningkatan taksiran berat janin.
Memberikan perhatian khusus pada ibu
hamil yang berusia remaja dan ibu hamil
yang berusia diatas 35 tahun saat melakukan
pemeriksaan kehamilan, terutama hasil
pemeriksaan pengukuran tinggi fundus uteri
untuk
dijelaskan
sebagai
indikator
peningkatan taksiran berat janin selama hamil.
Memberikan perhatian khusus bagi ibu
hamil dengan jarak kehamilan kurang dari
dua tahun dari kehamilan sebelumnya.
Memperhatikan jumlah kunjungan ibu dan
menjelaskan agar melakukan pemeriksaan
kehamilan minimal 4 kali selama kehamilan
atau setiap bulan selama kehamilan serta
mendokumentasikan jumlah kunjungan yang
dilakukan di Puskesmas atau praktik swasta.
Memberikan penjelasan khusus kepada ibu
hamil dengan jumlah anggota rumah tangga
lebih dari empat orang untuk memperhatikan
kecukupan nutrisi selama kehamilan.
Menyediakan waktu untuk menjelaskan
tentang buku KIA kepada setiap ibu hamil
atau sekelompok ibu hamil .
Perlu
dilakukan
penelitian
dengan
karakteristik yang berbeda serta jumlah
responden yang lebih banyak untuk sehingga
hasilnya lebih representatif.

Daftar Pustaka
1.Cunningham, F.G.; McDonald, P.C.; Gant,
th

N.F. 1993. Williams Obstetrics, 19 ed.


Prentice-Hall Int., Norwalk, CT, USA.
William
2.Reeder, S.J., Martin, L.L,. & Griffin, D.K.
(1997). Maternity nursing: Family, newborn
and womens health care.
Lippincott:
Philadelphia.
3.Bobak, M.I., Lodermik, L.D., & Jensen,
D.M. (2005). Buku ajar keperawatan
40

maternitas. Alih bahasa Maria A.Wijayarini


& Peter I.Anugerah. Jakarta :EGC.
4.Gorrie, Mc Kinney & Murray.(1998).
Foundations of maternal newborn nursing.(2
nd
ed). Philadelphia : W.B.Saunders.
5. Elisabeth ,DK.,dkk (1998). Does passive
smoking in early pregnancy increase the risk
of small-for-gestational-age infants?
American Journal of Public Health.
Washington: Oct 1998. Vol. 88, Iss. 10; pg.
1523, 5 pgs
6. Nordentoft , dkk (1996). Intrauterine
growth retardation and premature delivery:
The influence of maternal smoking and
psychosocial factors .American Journal of
Public Health. Washington: Mar 1996. Vol.
86, Iss. 3; pg. 347, 8 pgs7.
7. Seppo Heinonen, Markku Ryynanen &
Pertti Kirkinen (1999).The effects of fetal
development of high alpha-fetoprotein and
maternal smoking. American Journal of
Public Health. Washington: Apr 1999. Vol.
89, Iss. 4; pg. 561, 3 pgs
8. Sven Cnattingius & Bengt Haglund. (1997).
Decreasing smoking prevalence during
pregnancy in Sweden: The effect on smallfor-gestational-age births. American Journal
of Public Health. Washington: Mar 1997.
Vol. 87, Iss. 3; pg. 410, 4 pgs
9.Riskesdas
(2007).Propinsi
kalimantan
Tengah.Departemen Kesehatan RI
10.Setianingrum (2005). Hubungan Antara
Kenaikan Berat Badan, Lingkar Lengan
Atas, dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil
Trimester III dengan Berat Bayi Lahir di
Puskesmas Ampel I Boyolali .Skripsi.
UNNES
11. Nahum,GE. Estimation of Fetal Weight .
Nebraska Medical Association, and Society
for Maternal-Fetal Medicine
12. Sjahmien Moehji. (2003). Ilmu Gizi II.
Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta: Papas
13.Sarwono, Prawiroharjo (2009).Ilmu
Kebidanan.Jakarta.Bina Pustaka
14.Notoatmodjo, S. (2002). Pendidikan dan
perilaku kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.

15.Anitha, CJ. Dkk (2009). Predictors of


Birthweight A Cross Sectional Study.
Indian Pediatrics vol 46, Januari 2009
16. Nobile GA., dkk (2007). Influence of
Maternal and Social Factors As Predictors
of Low Birth Weight in Italy. BMC Public
Health. 7, Agustus 2007
17.C Philipps & NE Johnson (2007). The
impact of quality of diet and other factors
on birth weight of infants. BMC Public
Health. 2007; 7: 192.
18.Rochjati,P.(2003).Skrining Antenatal Pada
Ibu Hamil.FK Unair.Surabaya
19.Suryadarma, dkk (2005). Ukuran Objektif
Kesejahteraan Keluarga untuk Penargetan
Kemiskinan. Lembaga Penelitian
SMERU.Jakarta
20.Johansson K. dkk, Maternal predictors of
birthweight: The importance of weight gain
during pregnancy. Obesity Research &
Clinical Practice, Volume 1
21. Solihin Pudjiadi. 2003. Ilmu Gizi Klinis
pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
22. Arikunto. (2002). Prosedur penelitian.
(5th ed). Jakarta : Rineka Cipta.
23 .Aziz, A. (2002). Riset keperawatan &
tehnik penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.
24.Dempsey, & Dempsey .(2002).Nursing
Research: Riset keperawatan . Alih bahasa
Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC.
25.Sugiyono.(2001).Statistik untuk penelitian.
Bandung: Alpabeta.
26.Depkes RI.(2009). Buku Kesehatan Ibu
dan Anak. Jakarta.Depkes
27.Depkes RI. 2000. Pedoman Umum Gizi
Seimbang (Panduan Untuk Petugas).
Jakarta;Departemen Kesehatan
28. ___. 2002. Gizi Seimbang Menuju Hidup
Sehat Bagi Bayi Ibu Hamil Dan Ibu
Menyusui (Pedoman Petugas Puskesmas).
Jakarta: DKKS RI

41

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN DENGAN


KONSUMSI NUTRASETIKA DI KOTA PALANGKA RAYA
Mars Khendra, Mohamad Muchtar, Nila Susanti
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Indonesian people who get medicinal treatment with him self about 57,7 % and the others had
traditional therapy (31,7%)1. The result was reported to socioeconomic survey on 2001. The people
can use a herbal medicine allowed openly without consultation. It was made a tendency to be a
doctors for him self. They were also consume a herbal medicine together with convensional
medicine. They suggest that herbal medicine was safely than conventional medicine. That fenomena
had been feeling concerned about because it was a wrong perception. The objective of this research
was got to know correlation between a level of knowledge and the degree of education level in
nutraceutical consume on Kota Palangka Raya. Focus to ever and never consume, how long to
consume and the reason to consume nutraceutical. The research was design a cross sectional study in
municipality of Palangka Raya on october 2011. The population was identified and with systematic
random sampling we got 100 people who give him/his signature on informed consence to be a
responden. To get information how deep their knowledge about nutraceutical, we made a list of
questions with scoring of each others of the question. Chi square test has used to know relationship
between a level of knowledge and the degree of education level in nutraceutical consume. Eighty
two percen (82 %) of responden had a high level of education and only 11 % had well a level of
knowledge (nutraceutical). Seventy six percent (76 %) of responden had recognized to got
nutraceutical as supplement and 65% as herbal product. Long of consume nutraceutical between
responden known above to 3 month. Great advertisement (herbal and supplement product) was
influence consume. Level of knowledge had significanly be engaged in nutraceutical (herbal and
supplement product) consume (p valeu < 0,05) but not significanly related to long of nutraceutical
consume and the reason of nutraceutical consume (p value > 0,05). The degree of education level
had not correlated in nutraceutical consume but the level of knowledge had corerelated.
Key words. Nutraceutical, herbal, supplement, level of knowledge, the degree of education level.

42

Meskipun demikian, produk nutrasetika


(herba) bermunculan semakin banyak dengan
berbagai klaim diantaranya adalah menurunkan
risiko
penyakit
degeneratif
(kolesterol,
hipertensi, diabetes, dll) dan merangsang nafsu
makan. Dengan teknik pemasaran yang
melibatkan metode multi level marketing
(MLM) serta perubahan pola pikir masyarakat,
produk herba pun semakin banyak dikonsumsi.
Namun ketertarikan iklan dengan klaim tertentu
tersebut seringkali membuat konsumen tidak
menghiraukan keamanan produk tersebut.
Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti ingin
mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan
tingkat pendidikan
dengan konsumsi
nutrasetika (suplemen dan herbal) di Kota
Palangka Raya.

Pendahuluan
Saat ini konsumsi produk nutrasetika
khususnya herba di Indonesia telah meningkat
tajam. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 65% dari penduduk negara-negara
maju menggunakan obat-obatan herba. Selain
karena trend back to nature, juga karena ia
merupakan sumber layanan kesehatan yang
mudah diperoleh dan terjangkau.
Proporsi penduduk Indonesia melakukan
pengobatan sendiri adalah 57.7% dan 31,7 %
menggunakan obat tradisional1. Masyarakat
dapat menggunakan herba secara bebas tanpa
harus
berkonsultasi
dengan
dokter.
Kecenderungan yang ada adalah masyarakat
telah bertindak menjadi dokter untuk dirinya
sendiri dalam konsumsi herba. Bahkan tidak
jarang mereka mengkonsumsinya bersamaan
dengan obat konvensional. Hal ini terjadi karena
mayoritas dari mereka menganggap herba aman
dikonsumsi karena sudah digunakan secara
turun temurun. Fenomena ini tentu saja sangat
mengkhawatirkan karena paradigma herba pasti
aman merupakan hal yang salah. Faktanya
adalah banyak jenis herba yang dalam
konsumsinya perlu pengawasan ketat dari
tenaga medis profesional, bahkan ada beberapa
jenis herba yang sudah dilarang konsumsinya
oleh Badan POM karena efek sampingnya
sangat besar. Selain itu, konsumsi herba
seringkali memiliki interaksi negatif bila
dikonsumsi
bersamaan
dengan
obat
konvensional. Dari penelitian diungkap bahwa
sekitar 63% tanaman obat tradisional Indonesia
dapat menyebabkan interaksi farmakokinetik
dengan obat-obat konvensional bila dikonsumsi
secara bersamaan.
Berbeda dengan obat, produk herba tidak
diwajibkan melalui proses uji klinis untuk
membuktikan seberapa besar kebenaran
manfaatnya. Padahal kebanyakan efeknya kecil
sekali, cuma membonceng efek plasebo yaitu
efek yang terkait dengan proses penyembuhan
tubuh secara alami. Selain manfaatnya yang
diragukan, mengkonsumsi suplemen apalagi
terus menerus dalam jangka waktu lama juga
diduga dapat menimbulkan efek negatif.

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian observasional dengan rancangan
cross sectional atau potong lintang. Penelitian
ini dilaksanakan di Kota Palangka Raya pada
bulan Desember 2011. Populasi dari peneltian
ini adalah penduduk di Kota Palangka Raya.
Jumlah sampel dalam penelitian ini terpenuhi
bahkan melebihi dari kuota berdasarkan
perhitungan sampel2. Jumlah sampel yang
bersedia memberikan informed consent-nya
adalah
sebanyak
100
orang.
Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan cara
random sampling. Variabel bebas
dalam
penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dan
tingkat pendidikan. Sedangkan variabel
terikatnya
adalah
konsumsi
nutrasetika
(suplemen dan herbal). Data dikumpulkan
melalui wawancara dengan menggunakan
panduan kuesioner. Data dianalisis secara
univariat dan bivariat.
Analisis univariat
dilakukan dengan menggunakan tabulasi dan
persentase,
sedangkan
analisis
bivariat
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat
pendidikan dengan konsumsi nutrasetika
(suplemen dan herba) dengan menggunakan uji
chi square.

43

Distribusi tingkat pendidikan responden dapat


dilihat pada Tabel 2.

Hasil Penelitian
Karakteristik responden dalam penelitian
ini meliputi : umur, status dalam keluarga,
pendidikan formal , pekerjaan dan pendapatan.
Distibusi frekuensi dari karakteristik responden
tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden


(n=100)
Tingkat
N
%
Pendidikan
Rendah
18
18,0
Tinggi
82
82,0

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik


Responden (n=100)
Karakteristik Responden
Persentase (%)
Umur
< 40 tahun
70
40 tahun
30
Status keluarga
Ayah
22
Ibu
35
Anak
41
Saudara ayah/ibu
1
Kakek/Nenek
1
Pendidikan Formal
SD
7,0
SLTP
11,0
SLTA
59,0
PT
23,0
Pekerjaan
tidak bekerja/IRT
20,0
PNS
19,0
Swasta
26,0
Petani
2,0
Buruh
4,0
Pensiunan
2,0
TNI/POLRI
27,0
Pendapatan
500.000
0
500.000 - 999.999
12,0
1.000.000 - 1.499.999
13,0
1.500.000 - 1.999.999
16,0
2.000.000,59,0

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa 82 %


dari seluruh responden memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi. Hal ini menggambarkan
bahwa rata-rata responden berijazah SLTA dan
Perguruan Tinggi.
Tingkat Pengetahuan
Berdasarkan data yang diperoleh melalui
proses wawancara langsung dengan panduan
kuesioner
yang
berisi
20
pertanyaan
pengetahuan tentang konsumsi nutrasetika
(suplemen dan herbal), diketahui bahwa
sebagian besar responden memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah. Distribusi tingkat
pengetahuan yang sudah dikategorikan dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Distribusi Tingkat Pengetahun Responden
Tingkat
N
%
Pengetahuan
Baik
11
11,0
Kurang
89
89,0
Total
100
100

Tingkat pendidikan yang tinggi ternyata


tidak diiringi oleh tingkat pengetahuan yang
baik tentang produk nutrasetika dari responden.
Terlihat dari Tabel 3 diketahui bahwa tingkat
pengetahuan responden mengenai konsumsi
nutrasetika 89% nya tergolong kurang.

Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 1


di atas diketahui bahwa 70 % responden berusia
di bawah 40 tahun dengan status dalam keluarga
yang menyebar cukup merata antara ayah, ibu
dan anak (berturut-turut 22%, 35% dan 41%).
Lima puluh sembilan persen (59%) responden
berpendidikan tamat sekolah lanjutan tingkat
atas (SLTA). Kebanyakan responden bekerja
sebagai TNI/POLRI (27%), swasta (26%) dan
20% ibu rumah tangga. Separuh (59%) dari
responden memiliki rata-rata pendapatan lebih
dari 2 juta perbulan.

Konsumsi Nutrasetika
Gambaran
konsumsi nutrasetika dalam
penelitian ini bukan hanya terbatas pada
konsumsi produk herbal saja, namun lebih luas
terhadap konsumsi suplemen. Hal ini didasarkan
bahwa pengelompokkan nutrasetika oleh
konsumen beragam. Selain itu alasan mengenai
kemudahan dalam pemahman responden
mengenai produk yang dimaksud dapat tercapai.
Beberapa pertanyaan yang terkait dengan
konsumsi nutrasetika diantaranya adalah
pertanyaan
tentang
pernah
tidaknya

Tingkat Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam penelitian ini
dikategorikan ke dalam 2 kategori jenjang
pendidikan yaitu pendidikan tinggi dan
pendidikan rendah (dasar) sesuai dengan
undang-undang sistem pendidikan nasional.
44

mengkonsumsi, jenis produk yang pernah


dikonsumsi, lamanya mengkonsumsi produk
tersebut serta alasan mengkonsumsi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
keempat item tersebut di tabulasikan seperti
pada Tabel 4 berikut.

herbal yang diproduksi secara pabrikan


(modern) dengan lama konsumsi rata-rata diatas
3 bulan. Alasan mengkonsumsi produk
nutrsetika sebagai besar responden menyatakan
terpengaruh dari klaim manfaat produk untuk
kesehatan tubuh (65%).

Tabel 4. Konsumsi Nutrasetika


Item Pertanyaan

Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan


Konsumsi Nutrasetika

Persentase
(%)

1. Pernahkah mengkonsumsi produk


suplemen
Ya
Tidak
2. Pernahkah mengkonsumsi produk
herbal
Ya
Tidak
3. Jenis Produk
Pabrikan
Non Pabrikan
4. Lamanya konsumsi
< 3bulan
3 bulan
5. Alasan mengkonsumsi
Atas perintah/saran dokter/tenaga
kesehatan/teman/saudara
manfaatnya untuk kesehatan tubuh

Jenjang pendidikan formal responden


dikategorikan menjadi kategori pendidikan
tinggi dan rendah. Kategori pendidikan rendah
dimaksudkan apabila yang bersangkutan hanya
menempuh pendidikan formal sampai lulus
SLTP dan jika lebih dari itu maka dikategorikan
menjadi pendidikan tinggi (> SLTA).
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa tingkat
pendidikan tidak berhubungan dengan konsumsi
nutrasetika. Namun terlihat bahwa rata-rata
responden
yang
mengkonsumsi
produk
nutrsetika (suplemen dan herbal) adalah mereka
yang berpendidikan tinggi.

76,0
24,0
65,0
35,0

100,0
0,0
30,0
50,0
15,0

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan


Konsumsi Nutasetika

65,0

Pada penelitian ini konsumsi produk


nutrasetika difokuskan pada produk suplemen
dan herbal saja. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan dalam mengumpulkan informasi
dan menyamakan persepsi dengan responden.
Tujuh puluh enam persen responden mengakui
pernah mengkonsumsi nutrasetika dalam bentuk
suplemen. Untuk konsumsi produk herbal, 65 %
respondennya
menyatakan
pernah
mengkonsumsi
produk
herbal.
Seluruh
responden mengkonsumsi produk suplemen dan

Seperti yang telah dijelaskan pada item


sebelumnya bahwa 89% tingkat pengetahuan
rensponden tentang produk nutrasetika masih
tergolong kurang. Untuk mengetahui hubungan
tingkat
pengetahuan
dengan
konsumsi
nutrasetika dilakukan analisis berdasarkan uji
chi square. Berdasarkan Tabel 6 diketahui
bahwa tingkat pengetahuan berhubungan
dengan
konsumsi
nutrasetika
dengan
signifikansi < 0.05 (p value 0,035).

Tabel 5. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Konsumsi Nutrasetika


Tingkat
Pendidikan
Tinggi
Rendah
Total
Tingkat
Pendidikan

Tinggi
Rendah
Total

Konsumsi Nutrasetika
Ya
Tidak
66
16
13
5
79
21
Jenis Produk
Nutrasetika
Pabrikan
Non
Pabrikan
11
0
63
0
74
0

45

p-value
0.436

p-value

0.174

Tabel 5. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Konsumsi Nutrasetika


Tingkat
Pendidikan

Lama Konsumsi
< 3bulan
3 bulan

Tinggi
Rendah
Total
Tingkat
Pendidikan

24
43
6
7
30
50
Alasan Konsumsi
Atas
Klaim
perintah
manfaat
dokter/nak
es
11
56
4
9
15
65

Tinggi
Rendah

p-value

0.525

p-value

0.225

Tabel 6. Hubungan tingkat pengetahuan dengan konsumsi nutrasetika


Tingkat
Pengetahuan
Baik
Kurang
Total
Tingkat
Pengetahuan
Baik
Kurang
Total
Tingkat
Pengetahuan
Baik
Kurang
Total
Tingkat
Pengetahuan
Baik
Kurang
Total

Konsumsi nutrasetika
Ya
Tidak
6
5
73
16
79
21
Jenis Produk
Nutrasetika
Pabrikan
Non
Pabrikan
6
0
68
0
74
0
Lama Konsumsi
< 3bulan
3 bulan
2
4
28
46
30
50
Alasan Konsumsi
Atas
Manfaat
perintah
nutrasetika
2
4
13
61
15
65

p-value
0.035*

p-value

0.792

p-value
0.08

p-value
0.341

Keterangan : * ada berhubungan (p < 0.05)

Pengetahuan responden terhadap nutrasetika


terbatas hanya pada klaim manfaat kesehatan
terhadap suatu produk (65 %). Hal ini tentu saja
perlu diwaspadai karena produk tersebut belum
tentu sudah melalui suatu proses percobaan
secara klinis dan tidak menimbulkan efek yang
merugikan bagi konsumen. Tujuh puluh tiga
persen responden yang memiliki tingkat
pengetahuan tentang nutrasetika yang kurang
mengkonsumsi nutrasetika dengan lama
konsumsi 3 bulan (46 %) dan 61% responden

Pembahasan
Berdasarkan data, tingkat pendidikan responden
dalam penelitian ini rata-rata termasuk dalam
kategori tingkat pendidikan tinggi atau berada
pada level SLTA hingg Perguruan Tinggi (82
%), namun tingkat pendidikan yang tinggi
tersebut ternyata tidaklah dibarengi dengan
tingkat pengetahuan tentang nutrasetika yang
baik. Penelitian ini membuktikan bahwa 89%
responden memiliki pengetahuan yang kurang.
46

mengkonsumsi
dengan
alasan
manfaat
kesehatan. Terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pengetahuan dengan konsumsi
nutrasetika (p value < 0,05). Namun sebaliknya
tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan
lama konsumsi, jenis produk dan alasan
mengkonsumsi nutrasetika (p value > 0,05).
Hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan
beberapa hasil penelitian yang lainnya.
Penelitian serupa terkait nutrasetika (soft drink)
juga memberikan hasil yang sama seperti yang
telah dipublikasikan yaitu ada hubungan tingkat
pengetahuan dengan konsumsi soft drink3.
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara tingkat pengetahuan dengan konsumsi
makanan dan minuman instan4. Sedangkan
penelitian lainnya menyatakan bahwa konsumsi
makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pengetahuan gizi, lingkungan sosial, tingkat
ekonomi, pola makan, besar keluarga dan faktor
pribadi5.
Seorang dewasa baik pria maupun wanita akan
cenderung memprioritaskan kebugaran, stamina,
penampilan awet muda dan tubuh langsing.
Usaha menjaga kondisi tubuh ini memerlukan
pengetahuan yang cukup tentang makanan
bergisi serta pola hidup sehat dan komitmen
yang kuat untuk dapat melakukannya setiap
hari. Semakin bagus manfaat sebuah produk
nutrasetika dapat meningkatkan konsumsi
produk tersebut meskipun tingkat pengetahuan
tentang produk tersebut kurang6.

SMA Sutomo 1. Universitas Sumatra Utara


Press.2010.
4. Lastariwati dan Ratnaningsih, Hubungan
antara Pengetahuan dan Konsumsi Makanan
dan Minuman Instan dengan Status Gizi
Remaja
Puteri.
Berita
Kedokteran
Masyarakat. Vol 22. No.1. Jogjakarta. 2006.
5. Suharjo. Survei Konsumsi Pangan. PAU.
IPB. Bogor. 1989.
6. Wiryono. P. Nutrasetika Sebuah Tinjauan
Pengembangan Produk Pangan. Yogyakarta.
Penerbit USD. 2009.

Kesimpulan
Terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan seseorang dengan konsumsi
nutrasetika (produk herbal dan suplemen).
Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan
konsumsi nutrasetika (produk herbal dan
suplemen).
Daftar Pustaka
1. Rizal, dkk.Survei Sosial Ekonomi Indonesia.
2001
2. Lemeshow. Besar Sampel dalam Penelitian
Kesehatan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.1997.
3. Lubis.H dan Nenni. D. Hubungan Antara
Tingkat Pengetahuan Dengan Konsumsi
Terhadap Soft Drink Pada Siswa Kelas XI
47

HUBUNGAN KONSUMSI BARAM DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI


PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI DESA SAMBA DANUM
KECAMATAN TUMBANG SAMBA KABUPATEN KATINGAN
Barto Mansyah*, Mars Khendra**, Mohamad Muchtar**
*Jurusan Keperawatan, **Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palangka raya

Abstrak
Berdasarkan data riskesdas (2007) yang dikaitkan dengan prevalensi minum alkohol selama 12
bulan terakhir, Kalimantan Tengah bersama 15 provinsi lainnya termasuk dalam kategori di atas
angka prevalensi nasional. Mengkonsumsi ALKOHOL pada masyarakat Dayak telah menjadi
kebiasaan. Mereka selalu minum minuman disebut "Baram". Baram adalah minuman fermentasi
tradisional dengan isi ALKOHOL sebagai 5 banyak - 20%. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui korelasi antara Baram mengkonsumsi dengan kasus hipertensi di Desa Samba
Danum Katingan kabupaten. Desain penelitian ini yaitu Cross sectional. Rata-rata tekanan darah
masyarakat Dayak adalah 142 mmHg. Enam puluh satu persen (61,5%) memiliki hipertensi,
34,6% pra-hipertensi dan sisanya normal (3,8%). Masyarakat Dayak di Desa Samba Danum telah
meminum Baram sejak remaja. Ini berarti lebih dari 5 tahun (82,7%) dengan frekuensi 2 - 4 kali
minggu (55,8%). Berdasarkan analisis bivariat (fisher exact) mengkonsumsi Baram (frekuensi
dan dosis) yang secara signifikan berkorelasi dengan hipertensi (p value <0,05) pada Desa Samba
Danum.
Kata Kunci: Baram, Alkohol, Masyarakat Dayak , Hipertensi,

Abstract
Fifteen province with prevalence alkohol consume at least 12 month ago including central borneo
province1. That prevalence has known above from national number1. Alkohol consume between
dayak community had been habbit for the last time ago. They always drink some beverage are
called baram. Baram is a traditional fermented beverage with content of alkohol as many 5
20%. The objective of the research was to knew the correlation between baram consume with
case of hypertensi in samba danum village katingan district. Cross sectional was establised to
design the research. Blood pressure everage from dayak community were 142 mmHg. Sixty one
percent (61,5%) had hypertensi, 34,6% pre-hypertensi and the rest normal (3,8 %). Dayak
community in samba danum village had been consuming baram since adolescent. It means more
than 5 years (82,7 %) with the frequency 2 4 times a weeks (55,8%). Building on analysis of
bivariate (fisher exact) of baram consume (frequency and dose) were significanly correlated with
hypertensi (p value < 0,05) in samba danum village.
Keywords: Baram, alcohol, dayak community, hypertensi

48

Pendahuluan
Terjadinya
transisi
epidemiologi,
mengakibatkan Indonesia menghadapi beban
ganda pada waktu yang bersamaan, yang
ditandai dengan adanya penyakit infeksi
menular yang diderita oleh masyarakat.
Namun pada waktu yang bersamaan terjadi
peningkatan
penyakit
tidak
menular
diantaranya penyakit jantung dan pembuluh
darah2. Faktor resiko utama penyakit jantung
dan pembuluh darah adalah hipertensi. Saat
ini hipertensiadalah faktor risiko ketiga
terbesar yang menyebabkan kematian dini3.
Komplikasi pembuluh darah yang disebabkan
hipertensi dapat menyebabkan penyakit
jantung koroner, infark jantung, stroke, dan
gagal ginjal. Selain itu hipertensi juga
berdampak pada penurunan kualitas hidup4.
Sembilan
puluh
persen
kejadian
hipertensi merupakan hipertensi primer
(esensial), yaitu yang tidak diketahui
penyebabnya sehingga sangat penting untuk
mempelajari faktor risiko yang dapat
menyebabkan hipertensi, baik sebagai faktor
risiko yang dapat dikontrol maupun yang
tidak dapat dikontrol.
Kenaikan
tekanan
darah
ada
hubungannya dengan konsumsi alkohol5 .
Fakta ini didukung oleh hasil penelitian yang
menyatakan bahwa konsumsi alkohol setiap
hari mampu meningkatkan tekanan darah
sebesar 1,21 mmHg (sistolik) dan 0,55
mmHg (diastolik) untuk rata-rata satu kali
minum per hari6. Disamping itu peneliti lain
juga mengemukakan bahwa kejadian
hipertensi juga dipengaruhi oleh pola makan
yang salah7.
Berdasarkan
data
riskesdas
yang
dikaitkan dengan prevalensi minum alkohol
selama 12 bulan terakhir, Kalimantan Tengah
bersama 15 provinsi lainnya termasuk dalam
kategori di atas angka prevalensi nasional1.
Salah satu minuman tradisional yang
dibuat dan dikonsumsi secara turun temurun
oleh masyarakat suku dayak di Provinsi
Kalimantan Tengah (Baram) ditengarai
mempunyai
andil
terhadap tingginya
prevalensi tersebut.
Masyarakat suku dayak memiliki ragam
atau variasi cara pembuatan minuman
49

tradisional yang diketahui berkadar alkohol


tinggi (5 20%) dengan nama Baram.
Keberadaan baram sendiri dalam adat budaya
suku dayak merupakan minuman khas
tradisional yang selalu ada dalam setiap
kegiatan khususnya dalam acara ritual seperti
tiwah, sambut pengantin, basarah, balian,
patahu lewu dan acara penyambutan tamu
yang datang ke daerah tersebut seperti
pejabat tinggi pemerintah daerah. Ada juga
tradisi besomok yaitu tradisi bertarung
minum baram. Berbagai kegiatan tradisi ini
terkadang
menjadi
alasan
dalam
mengkonsumsi baram secara berlebihan dan
tentu saja sangat merugikan kesehatan.
Dengan demikian menjadi menarik untuk
dilakukan penelitian mengenai pola makan
dan perilaku mengkonsumsi baram pada
masyarakat suku dayak katingan di
Kabupaten Katingan.
Metologi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di desa
Samba Danum Kecamatan Tumbang Samba
Kabupaten Katingan. Lokasinya berjarak
kurang lebih 120 km dari Kota Palangka
Raya. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Oktober 2011.
Penelitian ini didesain dengan rancangan
cross sectional dimana seluruh data atau
variabel penelitian diambil dalam satu waktu.
Berdasarkan
jenis
data
yang
akan
dikumpulkan, maka instrumen penelitian
terdiri dari tensi meter (mmHg) dan
kuesioner. Tensi meter digunakan untuk
mengukur
tekanan
darah
responden.
Sedangkan kuesioner merupakan kumpulan
pertanyaan yang berisi tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Populasi dari penelitian ini adalah
seluruh masyarakat di desa samba danum
kecamatan tumbang samba kabupaten
katingan. Sedangkan sampel diambil secara
purposive sampling dengan kriteria suku
dayak asli dan telah menetap di lokasi
penelitian selama minimal 10 tahun.
Berdasarkan hal tersebut diperoleh sampel
sebanyak 52 orang.

Data tekanan darah diukur dengan tensi


meter dengan satuan mmHg. Tekanan darah
sistolik dan diastolik merupakan indikator
pada level mana tekanan darah seseorang.
Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan. Sedangkan data karakteristik
responden diketahui melalui kuesioner
sebagai panduan wawancara yang dilakukan
interviewer.
Data dianalisis secara univariat dan
bivariat. Analisis univariat dilakukan dengan
menggunakan tabulasi dan persentase,
sedangkan analisis bivariat yang digunakan
adalah fisher exact untuk mengetahui
hubungan diantara variabel penelitian.

dalam seminggu dapat dilihat pada Tabel


berikut.
Kejadian Hipertensi
Berdasarkan data yang diperoleh dari
hasil pengukuran tekanan darah responden,
diketahui bahwa hampir seluruhnya memiliki
tekanan darah sistolik dan diastolik di atas
normal.
Banyak
diantaranya
dapat
digolongkan ke dalam kategori prehipertensi.
Tabel di bawah ini dapat menjelaskan lebih
rinci tentang prevalensi prehipertensi dan
hipertensi dari responden.
Hampir 100 % penduduk di desa
samba danum memiliki tekanan darah
melebihi nilai normal. Tiga puluh empat
koma enam persen dapat dikategorikan ke
dalam pre-hipertensi dan 61,5% sudah dalam
kondisi hipertensi.

Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
Jumlah sampel yang bersedia menjadi
responden dan masuk dalam kriteria inklusi
sampel dalam penelitian ini berjumlah 52
orang. Pengambilan data dilakukan secara
individual dengan di awali pengukuran
tekanan darah dan kemudian diwawancara
dengan panduan kuesioner. Berdasarkan data
hasil penelitian yang telah dilakukan
diketahui distribusi frekuensi karakteristik
responden yang meliputi umur, jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan, tekanan darah sistolik
dan tekanan darah diastolik. Tabel 1
menjelaskan karakteriktik responden tersebut.
Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah dilakukan
oleh tenaga profesional sebelum wawancara.
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut ratarata tekanan darah responden 142 mmHg / 99
mmHg. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Konsumsi Baram
Konsumsi baram dapat dideteksi dari
informasi yang diberikan oleh responden
pada
saat
wawancara.
Kuesioner
memberikan informasi tentang konsumsi
baram, lama konsumsi,
jumlah yang
dikonsumsi serta frekuensi konsumsi baram

50

Perlu bakat dan keterampilan khusus serta


ketelatenan untuk menghasilkan baram yang
nikmat, karena pembuatannya melalui banyak
proses peracikan berbagai macam bahan dan
penakaran yang pas. Resep dan keterampilan
membuat baram ini diwariskan secara turun
temurun, kebanyakan dilakukan oleh kaum
perempuan.
Semakin lama disimpan, maka kadar
alkohol baram akan semakin tinggi dan
memabukkan. Baram pada umumnya
memiliki kadar alkohol di atas 10% - 20%,
hasil dipendam selama seminggu lebih, dan
rasa baram akan manis. Kadar alkohol baram
dapat diukur dari bau dan kejernihannya.
Baram yang berbau keras artinya memiliki
kadar alkohol yang tinggi. Baram juga,
semakin bening dan jernih, maka semakin
tinggilah kadar alkoholnya, bisa mencapai
80% jika dipendam selama berbulan-bulan
hingga setahun. Baram yang terlihat agak
keruh kadar alkoholnya rendah dan rasanya
agak masam.
Di Kalimantan Tengah dan sekitarnya,
selain dalam ritual adat, umumnya baram
dapat ditemukan di pasar tradisional dan toko

Hubungan Konsumsi Baram Dengan


Kejadian Hipertensi
Keterpaparan
seseorang
dengan
minuman beralkohol secara teoritis berkaitan
erat dengan kejadian hipertensi. Baram
merupakan minuman khas suku dayak
dengan kadar alkohol 5 20 % sudah
sepatutnya
dicurigai
sebagai
pemicu
terjadinya hipertensi. Tabel di bawah ini
menunjukkan hubungan konsumsi baram
dengan kejadian hipertensi di desa samba
danum.
Berdasarkan hasil analisis bivariat
diketahui bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara konsumsi baram, frekuensi
minum dan takaran minum dengan kejadian
hipertensi (p value < 0,05).
Pembahasan
Tidak diketahui dengan pasti mulai dari
kapan orang Dayak mengenal teknik
fermentasi dan penyulingan baram ini, yang
jelas itu telah menjadi tradisi selama beratusratus tahun karena baram digunakan dalam
ritual sebagai sesaji untuk para roh leluhur.
51

minuman keras. Namun biasanya untuk


mendapatkan baram yang enak dan murah,
dapat dicari di rumah-rumah warga yang
memang memproduksi baram secara industri
rumahtangga9.
Tingginya kejadian hipertensi pada
masyarakat suku dayak memiliki beberapa
dugaan jawaban atas kejadian tersebut. Selai
faktor mungkin karena faktor keturunan,
faktor
lingkungan
seperti
kebiasan
mengkonsumsi baram (minuman khas dayak
dengan kandungan alkohol yang tinggi)
merupakan salah satu alasan yang dapat
menjawab pertanyaan di atas. Teori
menjelaskan bahwa pada beberapa populasi,
konsumsi alkohol selalu berkaitan dengan
hipertensi. Efek akut dan kronis dari alkohol
dapat meningkatkan tekanan darah. Peminum
harian ternyata mempunyai tingkat tekanan
darah lebih tinggi dibandingkan dengan
peminum sekali seminggu, berapapun jumlah
total yang diminum setiap minggunya2.
Penggunaan alkohol secara kronis
meningkatkan tekanan darah. Pengaruhnya
lebih banyak pada sistolik. Secara akut
maupun
kronis
alkohol
menurunkan
kontraktilitas miokardium. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa pengaruh alkohol
terhadap pembuluh darah bisa vasokonstriktif
maupun bisa vasodilatatif, tergantung pada
pembuluh darah yang mana, tetapi pada
pembuluh darah otot polos bersifat dilatatif.
Pengguna alkohol yang sedang dan berat,
dapat meningkatkan sistolik maupun diastolik

sebanyak 5-10 mmHg. Secara akut, alkohol


tidak konsisten pengaruhnya terhadap
tekanan darah. Pada putus alkohol, tekanan
darah meningkat, lalu turun kembali sampai
pada keadaan semula. Renin, aldosteron, dan
katekolamin meningkat
sesudah minum
alkohol dan pada waktu putus alkohol. Pada
penelitian epidemiologi, naiknya tekanan
darah tampaknya disebabkan oleh aktivasi
susunan saraf simpatis dan sistem reninangiotensin-aldosteron pada waktu putus
alkohol8.
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan
tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme
peningkatan tekanan darah akibat alkohol
masih belum jelas. Namun, diduga
peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan
volume sel darah merah serta kekentalan
darah berperan dalam menaikan tekanan
darah7.
Hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan
beberapa hasil penelitian serupa. Secara
kuantitatif minuman keras yang diminum
sedikitnya dua kali per hari meningkatkan
tekanan darah sistolik kira-kira 1,0 mmHg
dan tekanan darah diastolik sebesar 0,5
mmHg per satu kali minum10. Peminum
harian ternyata mempunyai tekanan darah
sistolik lebih tinggi 6,6 mmH dan tekanan
darah diastolik 4,7 mmHg dibandingkan
dengan peminum sekali seminggu tanpa
memperhatikan jumlah total yang diminum
setiap minggunya10.

52

Kesimpulan
Terdapat hubungan yang signifikan
antara konsumsi baram, frekuensi minum dan
takaran minum dengan kejadian hipertensi di
desa samba danum kecamatan tumbang
samba kabupaten katingan.

Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Laporan Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010.
2. Kaplan, N.M. Clinical Hypertension. Sixth
edition. Baltimore: Wiliam &Wilkins.
1994.
3. Chen,L., Smith,G.D., Harbord, R.M. &
Lewis, S.J. Alcohol Intake and Blood
Pressure: A Systematic Review
Implementing a Mendelian Randomization
Approach.JplosMedicine. 5(3):461471.2008
4. Russel,M.L., Frone, M.R., & Welte,J.W.
Alcohol Drinking Patterns and Blood
Pressure. American Journal Public Health.
81(4):457-457. 1991.
5. Saraswati, S. Diet bagi Penderita Penyakit
Hipertensi. Dalam Diet Sehat untuk
Penyakit Asam Urat, Diabetes, Hipertensi,
dan Stroke. Jogyakarta: A-plus Books.Hal
87-129. 2009.
6. Bustan,M.N. Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular. Jakarta : Rineka Cipta. 2007.
7. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Teknis Penemuan dan Tatalaksana
Penyakit Hipertensi. Jakarta: Dep.Kes RI.
2006.
8. Joewana, S. Gangguan Mental dan
Perilaku
Akibat
Penggunaan
Zat
Psikoaktif.Jakarta:EGC. 2005.
9. Gunawan. Cara Pembuatan Tuak Khas
Dayak. 2007.
10.Padmawinata, K. Pengendalian Hipertensi.
Laporan Komisi Pakar WHO. Bandung:
Penerbit ITB. 2001.

53

PENGARUH PEMBERIAN REGIMEN AIR SUSU IBU


PADA PERAWATAN TALI PUSAT TERHADAP
WAKTU PELEPASAN TALI PUSAT
Tri Ratna Ariestini, Christine Aden, Ester Inung Sylvia
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak
Puskesmas Pahandut Palangka Raya, menggunakan perawatan tali pusat kering tanpa
antimikrobial, tanpa alkohol dan belum menggunakan ASI. Penelitian mengetahui
perbedaan rerata waktu pelepasan tali pusat antara perawatan tali pusat dengan
menggunakan regimen ASI dan perawatan kering. Penelitian ini menggunakan desain
eksperimen. Populasi penelitian ini bayi baru lahir normal. Rerata waktu lepas tali pusat
dengan menggunakan regimen ASI 90,06 jam, tanpa menggunakan regimen 121,16 jam
(p = 0,000). Diameter tali pusat berpengaruh terhadap waktu lepas tali pusat.
Kata kunci: tali pusat, perawatan, air susu ibu, perawatan kering, waktu pelepasan.

Abstract
Puskesmas Pahandut of Palangka Raya used dry umbical cord care without
antimicrobials, no alcohol and not using the breast milk yet. Purpose of the study was to
know the average time difference of the umbilical cord separation between umbilical
cord care with breast milk and dry care. The experimntal design used in this study. The
population was normal newborn. The average time of umbilical cord separation using
breast milk regimen was 90.06 h, without regimen was 121.16 h (p = 0.000). Diameter
of umbilical cord effected the time of umbilical cord separation.
Keywords: umbilical cord, care, breast milk, dry care, time of separation.

54

Pendahuluan
Tali pusat adalah tali penghubung yang
memanjang dari umbilikus sampai ke
permukaan fetal plasenta. Umumnya tali
pusat lepas saat bayi berumur antara 6-7 hari,
tetapi lepasnya tali pusat dapat pula terjadi
dalam 2 minggu setelah lahir.(1) Sisa
pemotongan tali pusat akan membentuk luka
dan memungkinkan segala bentuk bakteri dan
kuman berkoloni dan hidup didalamnya.(2)
Bakteri yang berada dalam tali pusat dapat
menyebabkan infeksi lokal pada tali pusat,
maupun infeksi sistemik atau sepsis
neonatorum.(3) Perempuan di KwaZulu-Natal,
Kenya telah menggunakan ASI (kolostrum)
untuk perawatan tali pusat bayi baru lahir.(4)
Perawatan tali pusat di Rumah Bersalin
Sakina Idaman Yogyakarta melakukan
perawatan tali pusat dengan alkohol dan
pemberian
ASI.(5)
Berdasarkan
hasil
penelitian di Amerika Serikat diketahui
bahwa kelompok bayi yang mendapat
perawatan tali pusat dengan cara kering
terbuka mempunyai waktu pelepasan tali
pusat lebih pendek dibanding kelompok yang
mendapat perawatan tali pusat dengan
menggunakan
alkohol.(6)
Penggunaan
povidone-iodine dapat menimbulkan efek
samping karena diabsorpsi oleh kulit dan
berkaitan
dengan
terjadinya
transien
hipotiroidisme yang berbahaya untuk fungsi
hormon tiroid. Alkohol juga tidak lagi
dianjurkan untuk merawat tali pusat karena
dapat mengiritasi kulit dan menghambat
pelepasan tali pusat. WHO menyarankan agar
penelitian diarahkan pada penggunaan zat
pengering tradisional seperti air susu ibu atau
kolostrum.(4)
Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian yang sudah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan regimen
untuk perawatan tali pusat masih menjadi
perdebatan.Di Rumah Sakit Dosis dan
Puskesmas Palangka Raya, menggunakan
perawatan tali pusat secara kering tanpa
antimikrobial dan tanpa alkohol dan belum
ada yang menggunakan ASI. Penelitian ini
dilakukan
untuk
melihat
efektifitas
penggunaan pengering tradisional air susu ibu

terhadap waktu pelepasan tali pusat.


Penggunaan ASI sebagai perawatan tali pusat
di
Indonesia masih belum banyak
digunakan, padahal ASI memiliki keunggulan
digunakan sebagai pengering tali pusat karena
steril, mengandung antimikroba, tidak ada
efek samping pada bayi, murah dan mudah
didapat.
Metode Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini yaitu Kecamatan
Pahandut di kota Palangka Raya. Adapun
dasar pemilihan tempat ini karena jumlah
persalinannya
cukup
banyak. Jumlah
persalinan tahun 2010 di Kecamatan
Pahandut 1.456, rata-rata perbulan 122
orang.(7, 8) Desain penelitian yang digunakan
adalah penelitian eksperimen, dimana
penelitian ini ada perlakuan pemberian air
susu ibu saat perwatan tali pusat pada
kelompok intervensi dan pada kelompok
kontrol perawatan tali pusat dilakukan tanpa
menggunakan regimen. Adapun rancangan
penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut.
Kelompok
Intervensi

Perawatan tali
pusat dengan
regimen ASI

Kelompok
Kontrol

Perawatan tali
pusat tanpa
regimen

Waktu
pelepa
san tali
pusat

Gambar 1. Rancangan Penelitian

Alat pengumpulan data pada penelitian


ini menggunakan instrumen penelitian yang
terdiri dari:Kuesioner penelitian digunakan
untuk mengumpulkan data perawatan tali
pusat termasuk data variabel bebas yaitu
menggunakan ASI atau tidak menggunakan
ASI, pengumpulan data demografi, identitas
ibu, dan identitas bayi. Lembar Obervasi
untuk mengetahui pemantauan perawatan tali
pusat, kepatuhan pada ketentuan penelitian
dan waktu pelepasan tali pusat. Populasi
dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir di
Puskesmas Pahandut yang memerlukan

55

perawatan tali pusat dan memenuhi kriteria


inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini yaitu: Bayi baru lahir cukup
bulan ( 37 minggu kehamilan), lahir
spontan, berat lahir antara 2500-4000 gram,
Ibu imunisasi TT 2 kali, dan mendapat
persetujuan orang tua. Kriteria eksklusi
penelitian ini yaitu terjadi infeksi pada tali
pusat, tidak merawat tali pusat sesuai

petunjuk, bayi menderita penyakit lain,


perawatan tali pusat diberikan obat-obatan
yang lain. Besar sampel menggunakan rumus
beda rerata dari Lemeshow et al. Dengan
power 80 %, = 0,05, uji satu arah, maka
jumlah sampel yang dibutuhkan n1= 31 dan
n2= 31,(9). Bagan penempatan subjek
penelitian dapat dilihat sebagai berikut

Kriteria Inklusi
Informed consent ( N = 62)
Kriteria Eksklusi
Menolak
berpartisipasi
Kelompok Perlakuan
(n = 31)

Kelompok Kontrol
(n = 31)
Berhenti (n =0 )
Pindah alamat (n =0 )
Drop out (n =0 )

Berhenti (n =0 )
Pindah alamat (n =0 )
Drop out (n =0 )
Follow up
(n =31 )

Follow up
(n = 31)

Gambar 2. Bagan Penempatan Subjek Penelitian

Pengumpulan data dibantu oleh bidanbidan yang bertugas di wilayah kerja


Puskesmas Pahandut baik di Puskesmas
Induk maupun di Puskesmas Pembantu.
Sebelum pengambilan data, dilakukan
sosialisai terlebih dahulu bagi bidan-bidan di
wilayah kerja Puskesmas Pahandut untuk
menyamakan persepsi dan mengajarkan
bagaimana cara pengumpukan data dan
perlakuan bagi kelompok intervensi dan
kelompok kontrol serta bagaimana menilai
perkembangan
perawatan
tali
pusat,
kepatuhan terhadap intervensi dan waktu
pelepasan tali pusat. Setiap ibu yang anaknya
diikutkan dalam penelitian diberikan
penjelasan dan diberikan kesempatan untuk
bertanya. Apabila ibu bersedia anaknya
diikutkan dalam penelitian, ibu menandatangi
persetujan atau inform consent. Semua
responden yang memenuhi kriteria inklusi

diikutkan dalam penelitian. Ibu diminta


memilih sebuah amplop yang berisi
kuesioner
penelitian
sekaligus
untuk
menentukan apakah masuk dalam kelompok
intervensi atau dalam kelompok kontrol.
Pengumpulan data dilakukan saat hari
pertama postpartum, diobservasi setiap hari
oleh bidan Puskesmas sampai tali pusat lepas.
Perawatan tali pusat dapat dilakukan oleh
orang tua bayi setelah diajarkan cara
perawatan tali pusat atau dilakukan petugas
kesehatan di Puskesmas Pahandut.
Metoda analisa data ini menggunakan
fasilitas komputer dengan program Stata.
Analisis univariabel dilakukan untuk
mengetahui homogenitas data. berdasarkan
Analisis
bivaribel
dilakukan
untuk
mengetahui hubungan antara variabel bebas
yaitu regimen air susu ibu dan variabel luar
yaitu imunisasi TT dan diameter tali pusat

56

terhadap variabel terikat yaitu waktu


lepasnya tali pusat. Uji statistk yang
digunakan untuk melihat hubungan antara
variabel bebas dan variabel terikat adalah uji
independent t test. Uji statistik untuk melihat
hubungan antara variabel luar dan variabel
terikat digunakan uji dan uji independent t
test. Analisis multivariabel dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara variabel bebas
yaitu pemberian regimen air susu ibu dan
variabel terikat waktu pelepasan tali pusat
yang dilihat berdasarkan perubahan variabelvariabel luar yang bermakna pada saat
analisis bivariabel. Uji statistik yang
digunakan adalah regresi linier.

semua reponden mengeluarkan ASI pada hari


postpartum hanya sebesar 19%, kebanyakan
keluar ASI pada hari pertama sebanyak 62%,
tetapi semua responden sudah mengeluarkan
kolostrum pada hari postpartum. Paling lama
ASI keluar hari kedua sebanyak 19%. Pada
kelompok intervensi, apabila ASI belum
keluar maka tali pusat diolesi dengan
kolostrum. Semua ibu postpartum sudah
mendapat imunisasi TT sewaktu hamil. Tidak
ada tanda-tanda infeksi tali pusat pada semua
kelompok penelitian.
Hasil analisis univariabel yang dilihat
dari beberapa variabel didapatkan gambaran
karakteristik subjek penelitian baik pada
kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol. Tabel 1 menunjukkan karakteristik
subjek penelitian pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol.

Hasil Penelitian
Semua sampel telah mengikuti penelitian
sampai selesai sesuai aturan yang ditentukan.
Berdasarkan pendataan kuesioner, tidak

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian


Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Kelompok
Karakteristik
n

Intervensi
%
Rerata

Pendidikan Ibu:
SD/ Sederajat
6
19,25
SMP/ Sederajat
8
24,19
SMA/Sederajat
10 32,26
PT/Sederajat
7
22,58
Pekerjaan Ibu
Swasta
7
22,58
PNS
8
25,51
Ibu Raumah Tangga
16 51,61
Jenis Kelamin
Laki-laki
12 28,71
Perempuan
19 61,29
Perawat Tali Pusat
Petugas Kesehatan
25 80,65
Bukan Petugas
6
19,25
Kesehatan
Usia Ibu
Hari Keluarnya ASI
Berat Bayi Lahir
Panjang Bayi Lahir
Diameter Tali Pusat
Keterangan: n = jumlah sampel, p = p value,

SD

25,45
5,09
0,98
0,55
3138,71 309,49
49,58
1,52
1,51
0,28
SD = Standar deviasi

Berdasarkan data variabel katagori yang


disajikan dalam frekuensi dan persentasi pada
kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol dikelahui memiliki nilai p > 0,05.
Nilai tersebut menunjukan bahwa vaarian

Kontrol
Rerata

SD

7
7
11
6

22,58
22,58
35,48
19,35

0,966

5
9
17

16,12
29,02
54,84

0,810

17
14

54,64
45,16

0,202

25
6

80,65
19,25

1,000
28,68
1,02
3404,83
49,52
1,52

5,19
0,71
265,00
1,46
0,29

0,991
0,121
0,248
0,757
0,645

data antara kelompok intervensi dan


kelompok kontrol sama. Gambaran data
variabel numerik yang disajikan dalam rerata
dan standar deviasi memperlihatkan niai p >
0,05. Nilai ini juga berarti bahwa kelompok

57

keduanya berkisar antara interval 0,20


0,399 yang berarti keduanya mempunyai
kekuatan hubungan yang lemah.
Variabel Perawat tali pusat dan hari
keluarnya ASI mempunyai nilai P>0,05 yang
berarti tidak terdapat perbedaan yang
bermakna terhadap waktu lepas tali pusat.
Semua variabel yang tidak bermakna tidak
diikutkan
kembali
dalam
analisis
multivariabel.
Analisis multivariabel digunakan untuk
melihat hubungan antara variabel bebas yaitu
pemberian regimen ASI terhadap waktu lepas
tali pusat dilihat berdasarkan variabel luar
yang bermakna pada uji bivariabel yaitu
diameter tali pusat. Analisis multivariabel ini
menggunakan uji regresi linier karena
variabel terikatnya berskala numerik.
Analisis
multivariabel
menggunakan
permodelan. Model pertama dibuat dengan
memasukkan variabel perlakuan pemberian
regimen ASI dan tanpa regimen. Model
kedua dibuat dengan memasukkan variabel
luar
diameter
tali
pusat.

kontrol dan kelompok intervensi memiliki


karakteristik yang sama atau homogen
Tabel 2. memperlihatkan hasil uji
analisis independent t test equal variances.
Hasil uji memperlihatkan nilai p < 0,05 dan
nilai interval kepercayaan tidak terdapat
angka 0. Kesimpulan hasil berarti terdapat
perbedaan rerata waktu pelepasan tali pusat
yang bermakna antara kelompok kontrol dan
intervensi dengan selisih perbedaan sebesar
31,07 jam. Waktu pelepasan tali pusat lebih
cepat pada kelompok intervensi sebesar
25,64% dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
Tabel 3. memperlihatkan hasil uji
bivariabel antara variabel luar dengan waktu
lepas tali pusat. Hasil uji diameter tali pusat
terhadap
waktu
lepas
tali
pusat
memperlihatkan nilai p < 0,05. Kesimpulan
hasil berarti korelasi antara diameter tali
pusat dan waktu pelepasan tali pusat
bermakna.
Arah
korelasi
keduanya
mempunyai arah korelasi positif berarti
semakin besar diameter tali pusat semakin
lama waktu lepas tali pusatnya. Nilai r

Tabel 2 Analisis independent t test equal variances


Beda Perubahan Waktu Lapas Tali Pusat pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

Kelompok

Rerata

Standar
Deviasi
(SD)

Beda Rerata
CI

Tanpa Regimen
(Kontrol)
121,16
3,28
31,07
(22,42 39,77)
Regimen ASI
(Intervensi)
90,06
2,84
Keterangan : SD = standar deviasi, CI = Confidence Interval

Statistik
t

7,17

0,0000

Tabel 3 Pengaruh Variabel Luar Terhadap Waktu Lepas Tali Pusat


Variabel
Perawat tali pusat
Hari keluarnya ASI
Diameter tali pusat
r = kekuatan korelasi t = t hitng

Waktu Lepas Tali Pusat


r
T
-0,5213
-0,0861
0,2832
-

Tabel 4. memperlihatkan hasil analisis


dua macam permodelan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa semua permodelan

p
0,6041
0,5059
0,0257

memiliki nilai p < 0,05, artinya ada hubungan


yang bermakna antara perlakuan pemberian
regimen ASI dengan waktu pelepasan tali

58

pusat baik sebelum maupun sesudah


dikontrol dengan variabel luar yaitu diameter
tali pusat. Berdasarkan nilai koefisien regresi
diketahui bahwa pemberian regimen ASI
selama perawatan tali pusat dapat
mempercepat watku pelepasan tali pusat
dengan beda waktu sebesar 31,097 jam lebih
cepat pada kelompok intervensi apabila
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Berdasarkan nilai adjusted r square yang
mempunyai arti berapa besaar nilai persen
yang diperoleh mampu menjelaskan besaran
prosuksi ASI. Pada dua model diatas, model
kedua adalah model terbaik yang dipilih
karena mampu menjelaskan waktu pelepasan
tali pusat sebesar 53%, sisanya sebesar 47%

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak


diteliti.
Model kedua yang dipilih yaitu
pengaruh pemberian ASI pada perawatan tali
pusat terhadap waktu pelepasan tali pusat
dengan dikontrol variabel luar yaitu diameter
tali pusat bayi. Nilai p = 0,0000
menindikasikan poin dimana garis dapat
melewati sumbu y (intercept point waktu
pelepasan tali pusat). Sedangkan nilai 30,668 dan 21,117 adalah koefisien regresi
atau slope pada garis regresi, untuk
menjelaskan waktu pelepasan tali pusat.
Aplikasi dari persamaan yang diperoleh
untuk mempresiksi waktu pelepasan tali
pusat diformulasikan dalam persamaan
regresi linier.

Tabel 4. Analisis Regresi Linier Pengaruh Pemberian ASI pada Perawatan Tali Pusat
Terhadap Waktu Lepas Tali Pusat dengan dikontrol Variabel Luar
Model.1
Model.2
Koefisien
Koefisien
Variabel
CI
CI
value
value
-31,097
-30,688
Kelompok Perlakuan
(-39,772) - (-22,421)
(-38,877) (-22,499)
0,000
0,000
21,117
Diameter tali pusat
6,597 35,638
0,000
Adjusted R
0,453
0,529
Constanta
121,161
89,008
N
62
62

Waktu lepas tali pusat = 89,008 + (-30,668)(pemberian ASI) +


21,117 ( diameter tali pusat)

Dengan model persamaan tersebut


maka dapat diperkirakan waktu lepas tali
pusat
dengan
menggunakan
variabel
pemberian ASI dan diameter tali pusat.
Untuk melihat kualitas persamaan hasil
analisis regresi linier adalah dengan melihat
nilai uji ANOVA (nilai F). Suatu persamaan
layak digunakan bila nilai F pada uji
ANOVA 0,05. Pada uji ANOVA hasil
penelitian ini, nilai F adalah sebesar 0,0000

(< 0,05). Dengan demikian, rumus ya;ng


diformulsikan layak untuk digunakan.
Pembahasan
Penggunaan ASI kolostrum atau ASI
matur sebagai regimen yang tepat untuk
mempercepat pelepasan tali pusat karena
memeliliki keunggulan, yang pertama adalah
berkhasiat menyembuhkan luka, mencegah
infeksi dan menyembuhkan infeksi, kedua
merupakan regimen yang sangat cocok bagi

59

bayi, dan tidak menyebabkan efek samping


bagi bayi.
ASI kolostrum mempunyai lima
macam immunoglobulin yaitu IgA, IgM,
IgO, IgE dan IgD. IgA memiliki konsentrasi
paling tinggi dan memiliki peran penting
dalam fungsi biologis. ASI kolostrum
mengandung kadar protein yang tinggi
terutama gama globulin sehingga dapat
memberikan daya perlindungan tubuh
terhadap infeksi, mengandung faktor bioaktif
dan mengandung zat antibodi lebih banyak
dari ASI matur karena mengandung trypsin
inhibitor sehingga mampu melindungi tubuh
bayi dari penyakit infeksi.(10) Protein
berfungsi sebagai pembentuk ikatan essensial
tubuh, mengatur keseimbangan cairan tubuh,
memeliharan netralisasi tubuh dengan
bereaksi terhadap asam basa agar PH tubuh
seimbang, membentuk antibodi, serta
memegang
peranan
penting
dalam
mengangkut zat gizi kedalam jaringan.
Protein yang terdapat dalam ASI akan
berikatan dengan protein dalam tali pusat
sehingga membentuk raksi imun dan terjadi
proses apoptosis (proses kematian).(10) Peran
protein ASI yang bereaksi dengan protein tali
pusat sehingga terjadi proses apoptosis akan
mempercepat pengeringan jaringan potongan
tali pusat dan tali pusat cepat mengerut dan
menjadi hitam atau mumifikasi tali pusat.
Pembentukan reaksi imun akan menjaga agar
tidak terjadi infeksi yang menyebabkan tali
pusat basah dan akan memperlambat
lepasnya tali pusat. Zat gizi yang ada pada
ASI terutama protein ASI kolostrum sebesar
4,1g% dan ASI matur 1,6 g% sebagai
pembentuk ikatan esensial tubuh
akan
mempercepat proses penyembuhan luka pada
dasar tali pusat sehingga mempercepat
pelepasan tali pusat.(11)
Keunggulan lain dari ASI adalah
mengandung leukosit yang berperan dalam
melindungi tubuh dari infeksi dan membantu
proses penyembuhan. Sel darah putih yang
termasuk sebagai antiinfeksi meliputi:
neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan
makrofag, sedangkan limposit berfungsi

sebagai
respon
imun.
Leukosit
polymorphonukklear mengandung substansi
biologik aktif yang berperan dalam reaksi
peradangan
dan
alergi.
Leukosit
polimorfonuklear (PMN) akan menembus
dinding kapiler sehingga terjadi fagositosis.
Leukosit dalam ASI terdiri atas 90%
makrofag dan 10% limposit (T dan B).
Makrofag
berfungsi
membunuh
dan
memfagositosis mikroorganisme, komplemen
(C3 dan C4), laktoferin dan lisosim. Limfosit
T dan B sebagai sintesis antibodi. Angka
leukosit pada kolostrum kira-kira 5000/ml,
setara dengan angka leukosit darah tepi.(12)
Netrofil adalah sel darah putih yang
pertama kali berada di daerah yang
mengalami peradangan Eosinofil befungsi
protektif
dengan
mengakhiri
respon
peradangan. Basofil bersirkulasi dalam aliran
darah. Tubuh yang terdapat luka maupun
infeksi
akan
menyebabkan
basofil
mengeluarkan histamine, bradiknin, dan
serotonin. Sel ini terlibat dalam pembentukan
respon alergik.(13)
Limfosit terdiri dari dua sel yaitu sel
B dan sel T. Sel B berfungsi sebagai imunitas
humoral, respon immunoglobulin yang dapat
mengenali antigen asing dan dapat
berkembang sebagai plasma sel pembentuk
antibodi. Sel T befungsi sebagai penolong sel
B dalam membentuk antibodi, memiliki
reseptor khusus terhadap antigen dan
berperan dalam menekan respon imun.
Secara fisiologis saat terdapat benda asing
dalam tubuh maka sel B atau sel T akan
diaktifkan dan membuat respon terhadap
makrofag untuk melawan benda asing,
akibatnya sel B dan T akan berproliferasi
dengan makrofag dan terjadi pembelahan
secara mitosis. Peristiwa ini membuat sel
plasma
memproduksi
antibodi
dan
merangsang limfosit T untuk berinteraksi
dengan benda asing. Antibodi ini akan
membentuk immunoglobulin spesifik yang
berespon terhadap antigen.(13)
Bahan-bahan yang terdapat pada ASI
yang
berperan
sebagai
faktor
anti
microbaketrial yaitu antibodi terhadap

60

bakteri dan virus, cell (phagocyle,


granulocyle, macrophag, lymhocycle type T,
lactobacillus, Bifidus), Enzim (lysozime,
lactoperoxidase), protein (lactoferin, B12
ginding protein), Faktor resisten terhadap
staphylococcus, dan complecement ( C3 dan
C4). Laktosa ASI akan dipermentasi menjadi
asam laktat yang bermanfaat untuk
menghambat pertumbuhan bakteri yang
bersifat patogen, merangsang pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menghasilkan
asam organik dan mensintesa beberapa jenis
vitamin.(12)
Penggunaan
regimen
antiseptik
povidone-iodine dapat diabsorbsi oleh kulit
bayi
dan
menyebabkan
transien
hipotiroidisme yang berbahaya untuk fungsi
hormon tiroid. Penggunaan regimen alkohol
untuk perawatan tali pusat dapat mengiritasi
kulit dan alkohol mudah menguap sehingga
tinggallah kain kasa yang basah yang
memperlambat pengeringan dan pelepasan
plasenta.(4)
ASI
sangat
dianjurkan
untuk
diberikan kepada bayi sejak lahir sampai
usia enam bulan dan dianjurkan sampai anak
usia dua tahun. ASI adalah makanan terbaik
bagi bayi karena mengandung zat gizi paling
sesuai
utnuk
pertumbuhan
dan
perkembangan.
Semua ibu melahirkan
dianjurkan
untuk
memberikan
ASI
eksklusive dengan mengacu pada 10 langkah
keberhasilan menyusui.(14) Alasan pemberian
ASI karena banyak manfaatnya yaitu
merupakan makanan alamiah yang baik
untuk bayi, praktis, ekonomis. Mudah
dicerna dan memiliki komposisi zat gizi yang
ideal sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan pencernaan bayi. ASI tidak
mengandung beta-lactoglobulin yang dapat
menyebabkan alergi pada bayi.(11)
Penggunaan ASI sebagai obat topikal
pada perawatan tali pusat tentu dapat
menimbulkan reaksi dapat diabsorbsi oleh
tubuh bayi. Karena ASI sangat dibutuhkan
oleh bayi dan sangat besar manfaatnya bagi
bayi sehingga hal ini tidak menjadi masalah
bagi bayi bahkan menjadi sangat berguna.

ASI tidak mengandung beta-lactoglobulin


yang dapat menyebabkan alergi, selain itu
ASI tidak menyebabkan iritasi kulit sehingga
tidak mengganggu proses percepatan
penyembuhan luka. ASI merupakan bahan
alamiah pembentuk ikatan essensial tubuh,
mengatur keseimbangan cairan tubuh,
memeliharan netralisasi tubuh dengan
bereaksi terhadap asam basa agar PH tubuh
seimbang, serta memegang peranan penting
dalam mengangkut zat gizi kedalam jaringan
sehingga
membantu
mempercepat
penyembuhan luka pada dasar tali pusat dan
mempercepat pelepasan tali pusat.
Kesimpulan Dan Saran
Penelitian yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa waktu pelepasan
tali pusat lebih cepat pada perawatan tali
pusat
dengan
menggunakan
ASI
dibandingkan dengan perawatan tali pusat
dengan cara kering tanpa menggunakan apaapa. Diameter tali pusat berkorelasi terhadap
waktu pelepasan tali pusat, arah korelasi
positif yang berarti semakin besar diameter
tali pusat semakin lama waktu pelepasan tali
pusat.
Penelitian ini perlu dikembangkan
tidak hanya pada bayi normal tetapi juga
pada bayi dengan berat lahir rendah, bayi
tidak cukup bulan maupun bayi lain yang
bermasalah/ berisiko. Perlu dipertimbangkan
penggunaan regimen ASI pada perawatan tali
pusat. Perlu sosialisasi hasil penelitian agar
bisa dipergunakan masyarakat di Kalimantan
tengah.Perlu dukungan dari instansi yang
terkait seperti rumah sakit umum, rumah
sakit bersalin, puskesmas maupun praktik
bidan swasta untuk menerapkan perawatan
tali pusat dengan menggunakan ASI.

Kepustakaan
1.

61

Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NP.


The Umbilical Cord in Neonates Pediatr
Infect Dis J. 2001;444(17):129-30.

2.

3.
4.

5.

6.

7.

8.

Page LA, Percival P, Kitzinger S. The


New Midwifery Science and Sensitivity
in Practice. London: Churchill Living
Stone; 2000.
Gallagher PG, Shah SS. Omphalitis.
Pediatr Surg Int. 2002;18(8):413-16.
WHO. Maternal and Newborn Health
Safe Matherhood-care of the Umbilical
Cord:
a
review
of
evidence:
http://www.who.int; 1998.
Sumaryani
S.
Perbedaan
Waktu
Pelepasan Tali Pusat dan Kejadian
Omphalitis pada Waktu Perawatan Tali
Pusat dengan ASI dan Alkohol 70%
2006.
Evens K, George J, Angst D, Schweig L.
Does Umbilical Cord Care in Preterm
Infant
Influence
Cord
Bacterial
Colonization of Detachment. JPerinatol.
2004;24(2):100-4.
BPS. Kalimantan Tengah Dalam Angka.
Palangka Raya: BPS Kalimantan
Tengah; 2008.
Dinkes. Kota Palangka Raya Dalam
Angka 2009. Palangka Raya: Dinas
Kesehatan Kota Palangka Raya; 2009.

9.

10.

11.
12.

13.

14.

62

Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J,


Lwanga SK, editors. Besar Sampel
Dalam Penelitian Kesehatan. Pertama
ed.
Yogyakarta:
Gadjah
Mada
University Press; 1997.
Lawrence RA, Lawrence RM. Nutrition
in Pediatrics; Approach to Breastfeeding. 4 ed. 4, editor. Canada: BC
Decker Inc; 2008.
Roesli U. ASI Eksklusif. 6 ed. 1, editor.
Jakarta: Wisma Hijau; 2009.
Suradi R, Kristina H, Sidi LPS, Masuara
S. Bahan Bacaan Manajemen Laktasi. 2
ed. Jakarta: Program Manajeman Laktasi
Perkumpulan Perinatologi Indonesia.;
2004.
Blacburn ST, Loper DL. Maternal, Fetal
and Neonatal Physiology, a Clinical
Prospective. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2002.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor
450/Menkes/Sk/Iv/2004
Tentang
Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Secara
Eksklusif Pada Bayi Di Indonesia
[database on the Internet]2004.

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan.


2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang
ditujukan
kepada
Forum
Kesehatan,
belum
dipublikasikan di tempat lain.
3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan
publikasi dan ditandatangani oleh penulisa.
4. Komponen naskah:
Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf
dan spasi.
Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman
pertama.
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup
masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang,
sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian.
Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi,
sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul
data, prosedur analisa data.
Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif
hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan,
bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir.
Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian
tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas.
Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada.
5. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai
dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi
25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun
terakhir.
Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama
depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti dkk (et
al).
Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar,
selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan
orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris
bawah dan ditebalkan hurufnya.
Artikel Jurnal Penulis Individu:
Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T,
Villalpando S. Impact of the Mexican Program for
Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth
and Anemia in infants and young children a
randomized effectiveness study. JAMA. 2004;
291(21):2463-70.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi
Diabetes Prevention Program Research Group.
Hypertension, insulin, and prosulin in participants with
impaired
glucose
tolerance.
Hypertension.
2002;40(5):679-86.

Buku yang ditulis Individu:


Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource
Management: Present and Future Challenges. St. Louis:
Mosby;1998.
Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide,
Departement of Clinical Nursing. Compendium of
nursing research and practice dvelopment, 1999-2000.
Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.
Bab dalam Buku:
Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor
Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor.
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.
Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262.
Artikel Koran:
Tynan T. Medical improvements lower homicide rate:
study sees drop in assault rate. The Washington Post.
2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4).
CD-ROM:
Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual
Health [CD ROM], London: Reproductive Health
Matters;2005.
Artikel Jurnal di Internet:
Griffith, AI. Cordinating Family and School:
Mothering for Schooling, Education Policy Analysis
Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ;
102 (3): [about 3 p.]. Available from:
http://olam.ed.asu.edu/epaa/.
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative
care for cancer [monograph on the internet].
Washington: National Academy Press; 2001 [cited
2002
Jul
9].
Available
from:
http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.
Situs Internet:
Canadian Cancer Society [homepage on the internet].
Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12;
cited
2006
Oct
17].
Available
from:
http://www.cancer.ca/.
6. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda,
ditulis dengan program komputer Microsoft Word,
dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen
tertulis.
7. Naskah harus disertai surat pengantar yang
ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada
permintaan tertulis.
8. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal Forum
Kesehatan, Perpusatakaan Gedung B Lantai 2
Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George
Obos No.32 Palangka Raya. Telp/Fax: 0536-3230730
Atau email : forumkesehatan@gmail.com.

UNIT PPM

Anda mungkin juga menyukai