Anda di halaman 1dari 25

Laporan Praktikum

Pengolahan Limbah

Dosen Pembimbing
Elvie Yenie, ST., M.Eng

PEMBUATAN PUPUK CAIR DARI SAMPAH BUAH

Kelompok

: IV (Empat)

Nama Kelompok

: 1. Fahrul Amry
2. Khairunnisa
3. Mutiqnal Hidayat

(1207021329)
(1207021228)
(1207036504)

LABORATORIUM DASAR-DASAR PROSES KIMIA


PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2014

Abstrak

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Dasar Teori
1.1.1 Sampah
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah
diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak
bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi
lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam
(Amurwarahaja, 2006).
Sedangkan menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah sebagian dari
sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang
umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan
industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya)
dan umumnya bersifat padat.
Sumber sampah yang terbanyak berasal dari pemukiman dan pasar
tradisional. Sampah pasar khususnya, seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau
pasar ikan, jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik
sehingga lebih mudah ditangani. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya
sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari sampah organik dan
sisanya anorganik (Sudradjat, 2006).
1.1.2 Jenis-jenis Sampah
Menurut Purwendro dan Nurhidayati (2006), sampah tergolong dalam tiga
jenis, yaitu:
Sampah Organik
Sampah Organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan,
maupun tumbuhan. Sampah organik sendiri dibagi menjadi sampah
organik basah dan sampah organik kering. Istilah sampah organik basah
dimaksudkan sampah yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi,
contohnya kulit buah dan sisa sayuran. Sedangkan bahan yang termasuk
sampah organik kering adalah sampah yang mempunyai kandungan air
yang rendah, contohnya kayu, ranting kering, dan dedaunan kering.

Sampah anorganik
Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini berasal
dari bahan yang dapat diperbaharui (recycle) dan sampah ini sulit terurai
oleh jasad renik. Jenis sampah ini misalnya bahan yang terbuat dari

plastik dan logam.


Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Sampah B3 yang dikategorikan beracun dan berbahaya bagi manusia.
Umumnya sampah ini mengandung merkuri seperti kaleng bekas cat
semprot atau minyak wangi.

1.1.3

Pupuk
Berdasarkan sumber bahan yang digunakan, pupuk dibedakan menjadi

pupuk anorganik dan pupuk organik.


Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah
diubah melalui proses produksi sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah
diserap tanaman. Sementara itu, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari
bahan organik atau makhluk hidup yang telah mati. Bahan organik ini akan
mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan
berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena
kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro
(Hadisuwito, 2007).
Berdasarkan cara pembuatannya, pupuk organik terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu: pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Jenis pupuk
yang tergolong dalam kelompok pupuk organik alami benar-benar langsung
diambil dari alam, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, tanah, baik dengan atau
tanpa sentuhan teknologi yang berarti. Pupuk yang termasuk dalam kelompok ini
antara lain pupuk kandang, kompos, pupuk hijau, humus, dan pupuk burung.
Pupuk organik buatan dibuat untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman
yang bersifat alami atau non kimia, berkualitas baik, dengan bentuk, ukuran, dan
kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan, dan diaplikasikan, serta
dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan terukur. Berdasarkan bentuknya,
ada dua jenis pupuk organik buatan, yaitu padat dan cair (Marsono dan Paulus,
2001).
Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibagi menjadi dua, yakni pupuk
cair dan padat. Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan

bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang
kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Sedangkan pupuk organik padat
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang
berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan kotoran manusia yang berbentuk
padat (Hadisuwito, 2007).
Menurut Litauditomo (2007), jenis sampah organik yang dapat diolah
menjadi pupuk organik adalah:
1. Sampah sayur baru
2. Sisa sayur basi, tetapi ini harus dicuci terlebih dahulu, diperas, lalu
dibuang airnya.
3. Sisa nasi.
4. Sisa ikan, ayam, kulit telur.
5. Sampah buah (anggur, kulit jeruk, apel, dan lain-lain). Tapi tidak termasuk
kulit buah yang keras seperti kulit salak.
Jenis sampah organik yang tidak bisa diolah adalah:
1. Protein seperti daging, ikan, udang, juga lemak, santan, susu karena
mengundang lalat sehingga tumbuh belatung.
2. Biji-biji utuh atau keras seperti biji salak, asam, lengkeng, alpukat, dan
sejenisnya. Buah utuh yang tidak dimakan karena busuk dan berair seperti
pepaya, melon, jeruk, anggur.
3. Sisa sayur yang berkuah harus dibuang airnya, kalau bersantan harus
dibilas air dan ditiriskan.

1.1.4

Pupuk Cair Organik


Menurut Simamora, dkk (2005), pupuk cair organik adalah pupuk yang

bahan dasarnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang sudah mengalami
fermentasi dan bentuk produknya berupa cairan. Kandungan bahan kimia di
dalamnya maksimum 5%. Penggunaan pupuk cair memiliki beberapa keuntungan
sebagai berikut:
1. Pengaplikasiannya lebih mudah jika dibandingkan dengan pengaplikasian
pupuk organik padat.
2. Unsur hara yang terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman.
3. Mengandung mikroorganisme yang jarang terdapat dalam pupuk organik
padat.

4. Pencampuran pupuk organik cair dengan pupuk organik padat


mengaktifkan unsur hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut.
Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pupuk organik cair umumnya
tidak merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin. Selain
itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang
diberikan ke permukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman
(Hadisuwito, 2007).
1.1.5

Kompos
Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan - bahan

hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat
proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa
ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea. Sampah kota bisa juga digunakan
sebagai kompos dengan catatan bahwa sebelum diproses menjadi kompos sampah
kota harus terlebih dahulu dipilah-pilah, kompos yang rubbish harus dipisahkan
terlebih dahulu. Jadi yang nantinya dimanfaatkan sebagi kompos hanyalah
sampah-sampah jenis garbage saja (Wied, 2004).
Pada prinsipnya semua bahan yang berasal dari makhluk hidup atau bahan
organik dapat dikomposkan. Seresah, daun-daunan, pangkasan rumput, ranting,
dan sisa kayu dapat dikomposkan. Kotoran ternak, binatang, bahkan kotoran
manusia bisa dikomposkan. Kompos dari kotoran ternak lebih dikenal dengan
istilah pupuk kandang. Sisa makanan dan bangkai binatang bisa juga menjadi
kompos. Ada bahan yang mudah dikomposkan, ada bahan yang agak mudah, dan
ada yang sulit dikomposkan. Sebagian besar bahan organik mudah dikomposkan.
Bahan yang agak mudah dikomposkan antara lain: kayu keras, batang, dan
bambu. Bahan yang sulit dikomposkan antara lain adalah kayu-kayu yang sangat
keras, tulang, rambut, tanduk, dan bulu binatang (Sriyanto, 2009).
Berbeda dengan proses pengolahan sampah yang lainnya, maka pada
proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat pembuatan maupun cara
pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Kompos dapat
digunakan untuk tanaman hias, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan maupun
tanaman padi disawah. Bahkan hanya dengan ditaburkan diatas permukaan tanah,

maka sifat-sifat tanah tersebut dapat dipertahankan atau dapat ditingkatkan.


Apalagi untuk kondisi tanah yang baru dibuka, biasanya tanah yang baru dibuka
maka kesuburan tanah akan menurun. Oleh karena itu, untuk mengembalikan atau
mempercepat kesuburannya, maka tanah tersebut harus ditambahkan kompos
(Sulistyoroni, 2005).

1.1.6

Prinsip Pengomposan
Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh

tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak
sama dengan C/N tanah. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik
mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan
tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Namun, umumnya bahan organik
yang segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70, daun-daunan >
50 (tergantung jenisnya), kayu yang telah tua dapat mencapai 400.
Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik
sehingga sama dengan tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N bahan maka
proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Di dalam
perendaman bahan-bahan organik pada pembuatan kompos cair terjadi aneka
perubahan hayati yang dilakukan jasad renik. Perubahan hayati yang penting yaitu
sebagai berikut:
1. Penguraian hidrat arang, selulosa, dan hemiselulosa.
2. Penguraian zat lemak dan lilin menjadi CO2 dan air.
3. Terjadi peningkatan beberapa jenis unsur di dalam tubuh jasad renik
terutama nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur-unsur tersebut
akan terlepas kembali bila jasad-jasad renik tersebut mati.
4. Pembebasan unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi
senyawa anorganik yang berguna bagi tanaman.
Akibat perubahan tersebut, berat, isi bahan kompos tersebut menjadi
sangat berkurang. Sebagian senyawa arang hilang, menguap ke udara. Kadar
senyawa N yang larut (amoniak) akan meningkat. Peningkatan ini tergantung pada
perbandingan C/N bahan asal. Perbandingan C/N akan semakin kecil berarti
bahan tersebut mendekati C/N tanah. Idealnya C/N bahan sedikit lebih rendah
dibanding C/N tanah (Murbondo, 2004).

Kecepatan suatu bahan menjadi kompos dipengaruhi oleh kandungan C/N


semakin mendekati C/N tanah maka bahan tersebut akan semakin lebih cepat
menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik mengandung unsur C dan N yang
seimbang. Setiap bahan organik mempunyai kandungan C/N yang berbeda.
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat,
selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin, menjadi CO2 dan air. 2) zat putih telur
menjadi amonia, CO2 dan air. 3) penguraian senyawa organik menjadi senyawa
yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan
hilang atau turun. Dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan
demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Indriani,
2004).

Tabel 1.1. Kandungan C/N dari berbagai sumber bahan organik


No

Jenis Bahan Organik

Kandungan C/N

1.

Urine Ternak

0,8

2.

Kotoran Ayam

5,6

3.

Kotoran Sapi

15,8

4.

Kotoran Babi

11,4

5.

Kotoran Manusia

6.

Darah

7.

Tepung Tulang

8.

Urine Manusia

0,8

9.

Eceng Gondok

17,6

6 10

10. Jerami Gandum

80 130

11. Jerami Padi

80 130

12. Ampas Tebu

110 120

13. Jerami Jagung

50 60

14. Sesbania sp.

17,9

15. Serbuk Gergaji

500

16. Sisa Sayuran

11 27

(Simamora dan Sulundik, 2006)


1.1.7

Pengomposan Anaerobik
Proses pengomposan anaerobik berjalan tanpa adanya oksigen. Biasanya,

proses ini dilakukan dalam wadah tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk
(hampa udara). Proses pengomposan ini melibatkan mikroorganisme anaerob
untuk membantu mendekomposisikan bahan yang dikomposkan. Bahan baku
yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang yang
berkadar air tinggi.
Pengomposan

anaerobik

akan

menghasilkan

gas

metan

(CH4),

karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah
seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat.
Gas metan dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar alternatif (biogas). Sisanya
berupa lumpur yang mengandung padatan dan cairan. Bagian padat ini yang
disebut kompos padat dan yang cair disebut kompos cair (Simamora dan
Sulundik, 2006).
1.1.8

Faktor faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Pupuk Organik


Pembuatan pupuk organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Perbandingan Karbon-Nitrogen (C/N) bahan baku pupuk organik
Nitrogen adalah zat yang dibutuhkan bakteri penghancur untuk tumbuh
dan berkembangbiak. Timbunan bahan kompos yang kandungan nitrogennya
terlalu sedikit (rendah) tidak menghasilkan panas sehingga pembusukan bahanbahan menjadi amat terlambat. Oleh karenanya, semua bahan dengan kadar C/N
yang tinggi, misalnya kayu, biji-bijian yang keras, dan tanaman menjalar, harus
dicampur dengan bahan yang berair. Pangkasan daun dari kebun dan sampahsampah lunak dari dapur amat tepat digunakan sebagai bahan pencampur
(Murbandono, 2000).

Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N)
dalam satu bahan. Semua makhluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan
karbon (C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan
organik (dalam bentuk karbohidrat) dan nitrogen (dalam bentuk protein, asam
nitrat, amoniak, dan lain-lain) merupakan makanan pokok bagi bakteri
anaerobik.Unsur Karbon (C) digunakan untuk energi dan unsur nitrogen (N)
digunakan untuk struktur sel dan bakteri. Bakteri memakan habis unsur C 30 kali
lebih cepat daripada memakan unsur N. Pembuatan kompos yang optimal
membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai 30/1 (Yuwono, 2006).
Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber
energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk
pertumbuhan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan
yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan berat kering), sedang C/N diakhir proses
adalah 12-15. Harga C/N tanah < 20 sehingga bahan-bahan yang mempunyai
harga C/N mendekati C/N tanah dapat langsung digunakan (Damanhuri dan
Padmi, 2007).
2. Ukuran Bahan
Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih cepat dan
lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas pada bahan yang
lembut daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran bahan yang
dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Sedangkan pada
pengomposan anaerobik, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumatlumatnya sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini untuk mempercepat
proses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan (Yuwono,
2006).
3. Komposisi Bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.
Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan
kotoran hewan.
4. Jumlah mikroorganisme
Dengan semakin banyaknya jumlah mikroorganisme, maka proses
pengomposan diharapkan akan semakin cepat.

5. Kadar air Bahan


Kadar air bahan yang dianjurkan dalam pengomposan aerobik adalah 4050%. Kondisi ini harus dijaga agar mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat
bekerja dengan baik dan tidak mati. Terlalu banyak kadar air akan berakibat bahan
semakin padat, melumerkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroba dan
memblokir oksigen yang masuk. Namun, apabila air terlalu sedikit maka bahan
kering dan tidak mendukung mikroba.
Pengomposan secara anaerobik membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu
50% ke atas. Kadar air yang banyak pada proses anaerobik diperlukan bakteri
untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan beraneka macam asam organik
sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air juga akan
memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau (Yuwono,
2006).
6. Suhu
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan karena
berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum yang
bagi pengomposan adalah 40-60oC. Bila suhu terlalu tinggi mikroorganisme akan
mati. Bila suhu relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam
keadaan dorman.
7. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu,
dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk
menaikkan pH.
Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami
penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam proses
pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses
selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik
yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan
mendekati normal (Djuarnani, dkk, 2005).
Kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian
kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat waktu dan
benar suudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral tanpa
pemberian kapur (Yuwono, 2006).

1.1.9

Mikroorganisme Lokal (MOL)


Mikroorganisme lokal (MOL) adalah aktivator atau starter kompos yang

diperlukan untuk mempercepat pengomposan namun dibuat sendiri dan berasal


dari sampah organik rumah tangga. Keunggulanan penggunaan MOL tentu saja
karena murah meriah tanpa biaya. MOL merupakan kumpulan mikroorganisme
yang bisa diternakkan, fungsinya dalam konsep zero waste adalah untuk starter
pembuatan kompos organik. Dengan MOL ini maka konsep pengomposan bisa
selesai dalam waktu 3 mingguan (Wulandari dkk, 2009). Selain untuk starter
kompos, MOL bisa juga dipakai untuk pupuk cair dengan cara diencerkan terlebih
dahulu, 1 bagian MOL dicampur 15 bagian air (Vidi Januardani, 2009).
Menurut Wulandari, dkk (2009), ada tiga bahan utama yang menyusun
MOL, yaitu:
1. Karbohidrat: Bisa dari air cucian beras (tajin), nasi bekas (basi), singkong,
kentang, gandum. Bahan yang paling sering digunakan adalah air tajin.
2. Glukosa: bisa dari gula merah bata diencerkan dengan air (diulek sampai
halus), bisa dari cairan gula pasir, bisa dari gula batu dicairkan, bisa dari
air gula, air kelapa.
3. Sumber Bakteri: Bisa dari keong, kulit buah-buahan misalnya tomat,
pepaya, dan lain - lain, lalu bisa juga dari air kencing, atau apapun yang
mengandung sumber bakterinya.
Pada prinsipnya MOL tidak berbeda dengan prinsip pembuatan kompos,
hanya saja prinsip pembuatan MOL membutuhkan lebih banyak air dan sedikit
udara. Untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme, ditambahkan gula atau
bahan-bahan organik yang manis, seperti air kelapa, air tebu, air nira, dan buahbuahan yang manis. Bahan-bahan membuat MOL juga tidak berbeda dengan
bahan-bahan kompos, hanya saja volume bahan organiknya lebih sedikit dan lebih
banyak air, ditambah dengan gula atau bahan organik yang manis.
1.1.10 Rendemen
Rendemen adalah perbandingan berat kering terhadap berat basah dan
dinyatakan dalam persen. Menurut Taib, dkk (1989), rendemen dapat ditentukan

dengan cara bahan ditimbang sebelum diolah yang dinyatakan sebagai berat
basah. Kemudian setelah selesai diolah bahan ditimbang kembali dan dinyatakan
sebagai berat kering. Kemudian rendemen dapat dihitung dengan rumus:

(Taib dkk, 1989).

1.1.11 Air Cucian Beras (Air Tajin)


Beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara
digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta
penyosoh (Chamsyah dan Adesca, 2011).
Kandungan nutrisi beras yang tertinggi terdapat pada bagian kulit ari.
Sayangnya sebagian besar nutrisi pada kulit ari telah hilang selama proses
penggilingan dan penyosohan beras. Sekitar 80% vitamin B1, 70% vitamin B3,
90% vitamin B6, 50% mangan (Mn), 50% fosfor (P), 60% zat besi (Fe), 100%
serat, dan asam lemak esensial hilang dalam proses membuat beras. Saat mencuci
beras, biasanya air cucian pertama akan berwarna keruh. Warna keruh bekas
cucian itu menunjukkan bahwa lapisan terluar dari beras ikut terkikis. Meskipun
banyak nutrisi yang telah hilang, namun pada bagian kulit ari masih terdapat sisasisa nutrisi yang sangat bermanfaat tersebut. Misalkan fosfor (P), salah satu unsur
utama yang dibutuhkan tanaman dan selalu ada dalam pupuk majemuk tanaman
semisal NPK. Fosfor berperan dalam memacu pertumbuhan akar dan
pembentukan sistem perakaran yang baik dari benih dan tanaman muda. Nutrisi
lainnya adalah zat besi yang penting bagi pembentukan hijau daun (klorofil) juga
berperan penting dalam pembentukan karbohidrat, lemak dan protein. Selain itu
kulit ari juga mengandung vitamin, mineral, dan fitonutrien yang tinggi. Vitamin
sangat berperan dalam proses pembentukan hormon dan berfungsi sebagai
koenzim yang merupakan komponen non-protein untuk mengaktifkan enzim
(Anonim, 2011).
Air cucian beras dapat dimanfaatkan sebagai penyubur tanaman.Air cucian
beras mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi. Karbohidrat bisa jadi
perantara terbentuknya hormon auksin dan giberelin. Dua jenis bahan yang
banyak digunakan dalam zat perangsang tumbuh (ZPT) buatan. Auksi bermanfaat
untuk merangsang pertumbuhan pucuk dan kemunculan tunas baru sedangkan

giberelin berguna untuk merangsang pertumbuhan akar. Aplikasi air cucian beras
cukup dengan menyiramnya ke media tanam misal tanah. Air cucian beras banyak
mengandung vitamin B1 yang berasal dari kulit ari beras yang ikut hanyut dalam
proses pencuciannya, dimana vitamin B1 merupakan unsur horman (fitohormon)
dan hormone tersebut dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman. Maka dari itu,
vitamin B1 ini berguna dalam mobilisasi karbohidrat hingga bagus untuk tanaman
yang baru replanting (Chamsyah dan Adesca, 2011).
Formulasi air cucian beras merupakan media alternatif pembawa bakteri
Pseudomonas fluorescens yang berperan dalam pengendalian patogen penyebab
penyakit karat dan pemicu pertumbuhan tanaman. Bakteri Pseudomonas
fluorescens adalah bakteri yang mampu mengklon dan beradaptasi dengan baik
pada akar tanaman serta mampu untuk mensintesis metabolit yang mampu
menghambat pertumbuhan dan aktivitas patogen atau memicu ketahanan sistemik
dari tanaman terhadap penyakit tanaman (Rezafauzi, 2011).

BAB II
METODELOGI PERCOBAAN

2.1. Bahan dan Alat


2.1.1. Bahan-bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sampah sayuran, air
sumur, tapai, gula pasir, gula merah, air bekas cucian beras (cucian pertama).
2.1.2. Alat-alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ember ukuran 25 liter
sebanyak 3 buah, karung beras ukuran 20 kg, botol air mineral 1,5 liter, panci,
kompor, gelas ukur 10 ml, kertas indikator pH dan timbangan.
2.2. Prosedur Percobaan
2.2.1 Prosedur Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL):
Mikroorganisme Lokal (MOL) dari tapai dibuat dengan mencampurkan
tapai yang terbuat dari singkong sebanyak 100 gram dengan 1,125 liter air sumur
serta 150 gram gula pasir. Campuran tersebut dimasukkan dalam botol, kemudian
diaduk hingga merata dan disimpan selama 5 hari tanpa ditutup. Setelah 5 hari,
jika dicium telah berbau wangi alkohol, maka MOL telah bisa dipakai.
2.2.2

Prosedur Pembuatan Cairan Molase


Cairan molase dibuat dengan cara memasukkan air sebanyak 500 ml ke

dalam panci dan diletakkan di atas kompor. Lalu air dipanaskan. Setelah
mendidih, gula merah dimasukkan ke dalam panci sebanyak 500 gram, diaduk
hingga terlarut merata, kemudian didinginkan.
2.2.3 Proses Pengomposan
Sampah sayuran dirajang dengan ukuran 1-3 cm. Sampah yang telah
dirajang kemudian dimasukkan ke dalam karung 20 kg sebanyak 2,5 kg dan
ditekan sampai padat. Karung diikat dengan tali. Larutan media dibuat dengan
cara mencampurkan air sumur 1 liter, cairan molase 500 ml, air bekas cucian
beras (air tajin) 1 liter, dan larutan MOL dengan dosis 20 ml dan 30 ml, lalu
dimasukkan ke dalam ember. Karung yang berisi sampah sayuran dimasukkan ke
dalam larutan media sampai terendam. Beban diletakkan di atas karung agar

karung tidak mengapung. Ember ditutup rapat dengan plastik dengan cara
mengikat erat dengan tali pada bagian atas ember. Lalu disimpan di tempat yang
teduh dan terhindar dari sinar matahari langsung selama 7 hari. Setelah fermentasi
selesai, tutup ember dibuka dan karung dikeluarkan dari ember. Kompos cair siap
untuk dianalisis.
2.2.4 Diagram Alir Pembuatan Pupuk Kompos Cair
Proses pembuatan pupuk kompos cair dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Larutan media dengan


mencampurkan MOL
(dosis 20 ml dan 30 ml),
air sumur, cairan molase,
dan air cucian beras

Gambar 2.1. Diagram Alir Pembuatan Pupuk Kompos Cair dari Sampah Sayuran
dengan Menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL) sebagai Bioaktivator

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Amurwarahaja, I. P., (2006), Analisis Teknologi Pengolahan Sampah Dengan
Proses Hirarki Analitik dan Metode Valuasi Kontingensi Studi Kasus di
Jakarta Timur, Makalah Falsafah Sains, Institut Pertanian Bogor, Ilmu
Pengolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana,
Bogor.
Damanhuri, E., (1988), Optimasi Lahan Sanitary Landfill, Suatu Konsep, Jurnal
Tehnik Penyehatan Edisi Mei.
Depkes, RI., (1987), Pedoman Bidang Studi Pembuangan Sampah, Akademi
Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APKTS), Proyek Pengembangan
Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Departemen Kesehatan, Jakarta.
Djuarnani, N., Kristian, B.S., Setiawan, (2005), Cara Tepat Membuat Kompos,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Fitria, Yulya., (2008), Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Limbah Cair Industri
Perikanan

Menggunakan

Asam

Asetat

dan

EM4

(Effective

Microorganisme 4), Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


Kusnadi, dkk., (2009), Pemanfaatan Sampah Organik Sebagai Bahan Baku
Produksi Bioetanol Sebagai Energi Alternatif, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Murbondo, L., (2004), Pupuk Organik Padat, Pembuatan Aplikasi, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Simamora, S., dan Sulundik, (2006), Meningkatkan Kualitas Kompos,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Taib, G., G. Said, S. Wiraatmaja., (1989), Operasi Pengeringan dan Pengolahan
Hasil Pertanian, Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Tim Penyusun. 2013. Penuntun Praktikum Pengolahan Limbah. Pekanbaru :


Program Studi D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
Wied, Hary Apriaji., (2004). Memproses Sampah, Penebar Swadaya, Jakarta.
Yuwono, D., (2006), Kompos dengan Cara Aerob Maupun Anaerob untuk
Menghasilkan Kompos yang Berkualitas, Penebar Swadaya, Jakarta.

LAMPIRAN A
ANALISIS DATA
1. Analisis pH Akhir
Pengukuran pH menggunakan kertas indikator pH universal, yaitu dengan
mencelupkan kertas indikator ke dalam pupuk cair dan membaca serta
membandingkan pH pupuk cair pada range pH yang tersedia di kemasan
belakang kertas indikator pH universal.
2. Analisis Rendemen
Semua bahan dimasukkan ke dalam ember, kemudian ditimbang sebagai
berat awal. Setelah fermentasi selesai, maka kompos cair yang di dalam ember
ditimbang kembali sebagai berat akhir. Kemudian rendemen dapat dihitung
dengan rumus:

LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
Data Perhitungan Rendemen :
Berat ember kosong + karung
= 1.125 gr
Berat ember + karung + bahan awal
Dosis MOL 20 ml
= 3700 gr
Dosis MOL 30 ml
= 3675 gr
Maka berat bahan :
Dosis MOL 20 ml
Dosis MOL 30 ml

= 2.575 gr
= 2.550 gr

Berat ember + karung + kompos cair

Dosis MOL 20 ml
Dosis MOL 30 ml

= 2.750 gr
= 3.100 gr

Maka berat kompos cair :

Dosis MOL 20 ml
Dosis MOL 30 ml

1.

Kompos Cair dengan MOL 20 ml

2.

Kompos Cair dengan MOL 30 ml

= 1.625 gr
= 1.975 gr

LAMPIRAN C
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum

: Pembuatan Pupuk Cairan dari Sampah Sayuran

Hari/Tanggal Praktikum

: Kamis/21 November 2013

Pembimbing

: Elvie Yenie, ST., M.Eng

Asisten Laboratorium

: Sukamin

Kelompok

: II

Anggota

: Rita Puryani Mendrova

Hasil Percobaan

(1107035609)

Ryan Tito

(1107021186)

Yakub Jeffery Silaen

(1107036648)

Hasil percobaan disajikan pada Tabel C.1


Tabel C.1 Data Hasil Percobaan
No Sampel Kompos Cair

Lama Fermentasi 7 Hari


pH akhir

Rendemen

Dosis MOL 20 ml

63%

Dosis MOL 30 ml

77,45%

Berat ember kosong + karung


= 1.125 gr
Berat ember + karung + bahan awal
Dosis MOL 20 ml
= 3700 gr
Dosis MOL 30 ml
= 3675 gr
Maka berat bahan :
Dosis MOL 20 ml
Dosis MOL 30 ml

= 2.575 gr
= 2.550 gr

Berat ember + karung + kompos cair

Dosis MOL 20 ml
Dosis MOL 30 ml

= 2.750 gr
= 3.100 gr

Maka berat kompos cair :

1.

Dosis MOL 20 ml
Dosis MOL 30 ml

Kompos Cair dengan MOL 20 ml

= 1.625 gr
= 1.975 gr

2.

Kompos Cair dengan MOL 30 ml

Pekanbaru, 21 November 2013


Asisten Laboratorium,

Sukamin

LAMPIRAN D
DOKUMENTASI

Gambar D.1 Pupuk caair hasil percobaan

Gambar D.2 Penentuan pH akhir pupuk cair

Anda mungkin juga menyukai