Anda di halaman 1dari 2

Cici Sintamaya

5V/09
Kabudayaan, Sosial, dan Agama dalam pandangan Durkheim dan Berger
1. Emile Durkheim
Dalam pandangan Durkheim, objek sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial
berada di level kehidupan bersama dan pada dasarnya merupakan sesuatu yang
bersifat massal. Individeu terpengaruh oleh fakta sosial karena individu merupakan
bagian dari massa. Solidaritas sosial, suatu bentuk hubungan sosial diantra individu
yang didasarkan pada setntimen moral dan kepercayaan bersama, diperkuat oleh
perasaan senasib yang sama.
Solidaritas sosial memiliku hunbungan erat dengan konsep agama. Landasan
moral masyarakat memiliki kaitan dengan fungsi-fungsi agama yang bersifat sosial
dan adanya hubungan timbal-balik antara agama dan masyarakat. Agama hadir dalam
kesadaraan masyarakat sebagai fakta sosial.Analisa agama dimulai dengan adanya
pengakuan ketergantungan anatara masyarakat dan agama.
Dasar moral dalam masyarakat memiliki asal-usul yang berkaitan dengan
pengalaman religious kolektif. Kepercayaan dan segala ritual merupakan cerminan
struktur sosial masyarakat dan dapat memperkuat struktur masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya Durkheim menjelaskan konteks agama melaui suatu budaya dan
struktur sosial yang berangkat dari kepercayaan dan ritual agama totemic orang
Arunta, suku bangsa primitive di Australia. Pendapat Durkheim , corak utama dari
suatu agama sesungguhnya berhubungan dengan dunia suci. Asumsi agama memiliki
tiga komponen dasar, sistem kepercayaan, ritus ,dan komunitas religious. Sehingga
agama didefinisikan suau sistem kepercyaan dan praktik yang berhubungan dengan
benda suci. Bagi Durkheim, konsep suci seharusnya mencerminkan/berhubungan
dengan suatu dunia rill. Oleh kerena itu, konsep suci muncul dari kehidupan
kelompok dan mewakili kenyataan kelompok.
Suatu kekuasaan didasarkan dari perilaku individu yang saling beriteraksi.
Interaksi ini didasarkan kepada berkumpulnya individu dalam suatu ritual dan
memusatkan perhatian pada satu objek yang sama. Hal ini meningkatkan sisi
emosional secara bertahap menjadi semakinkuat. Hasil akhir dari proses ini
menciptakan situasi dimana invidu lepas control dan masuk kedalan keadaan
emosional yang tinggi. Interaksi individu secara intensif yang tidak ada dalam
keadaan biasa (profane) sangat berperan penting dalam menciptakan keadaan
emosional tinggi. ILalu, individu merasakan ada didalam suasana kekuasaan yang luar
biasa. Kekuasaan ini adalah suci , para individu mengakui suatu kebutuhan atas
kekuasaan ini dan mewujudkannya melalui suatu cara/proses untuk diri mereka
sendiri. Inilah yang dinamakan totem.
Totem merupakan simbol kehidupan kolektif dan kekuasaan kelompok dilihat
oleh anggota kelompok/klan sebagai suatu semuber kekuasaan luar biasa yang mereka
alami.

2. Peter L Berger
Agama menurut Berger adalah suatu bentuk proyeksi manusia melalui
eksternalitas. Man construsts his own nature, or more simply,that man produces
himself. Manusia melakukan proyeksi karena sadar akan eksistensi kehidupan
bahkan kematiannya. Dalam konteks ini agama berperan sebagai universum simbolik ,
yang artinya agama memberikan legitimasi atas tatanan dunia sosial, melindungi diri
dari chaos atau dari anomi (Merton).
Adanya berbagai masalah , kondisi insecure ,berbahaya ,dan rawan
menyebabkan manusia membutuhkan suatu legitimasi nilai yang berfungsi sebagai
checking and balancing atas segala masalah yang timbul. Sumber legitimasi berasal
dari nilai-nilai luhur yang telah dianut oleh suatu masyarakat. Berger menyatakan
nilai agama merupakan bentuk legitimasi paling efektif kaena agama menghubungkan
konstruksi realitas yang sulit dari masyarakat empiris dengan realitas akhir. Agama
juga mampu memberikan solusi atas permasalaha/persoalan sosial dan arah nilai dan
norma berjalan di masyarakat.
Agama berperan membentuk perilaku masyarakat untuk berlaku seperti
dinamika yang berlaku di masyarakat. Agama yang beritikan iman memberi arah serta
membentuk perilaku masyarakat.Konsep masyarakat merupakan buatan manusia, di
sisi masyarakat adalah realitas bagi manusia. Manusia merupakan suatu objek, objek
beragama. Berger menggambarkannya sebagai agama mendeterminasi pranata sosial
yang lahir dan menetap di masyarakat. Agama yang telah berubah sebagai norma
dan perilaku di satu sisi menjadi gejala budaya ,namun di sisi lain menjadi sistem
budaya.
Berger menolak menolak implikasi agama hanya dilihat melalui efek dan
refleksi dari proses-proses sosial karena bagi Berger aktivitas yang memproduksi
masyarakat yang juga memproduksi agama berhubungan secara dialektis. Agama
bukan merupakan subjek yang memiliki ketergantungan, sebaliknya memperoleh
realitas objektif dan subjektif dari manusia. Berger juga mengungkapkan realitas
agama dapat mengatasi fenomena manusiawi. Melalui kata sacral,agama tidak hanya
dipahami sebagai produk dari bahan manusiawi tetapi juga non manusiawi.
Berger memiliki perbedaan pendapat dengan Durkheim ketika menyinggung
sacral dan profane. Berger menyatakan sacral tidak hanya berkaitan dengan gambran
sosial, tetapi juga adanya kepercayaan pada supranatural.
Oleh karena itu, Berger tidak hanya melihat sisi empiris agama, tetapi juga
memiliki sisi metafisik.

Anda mungkin juga menyukai