Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan
berkembang. Disamping kekayaan ikan di kawasan Indonesia yang berlimpah serta
usaha untuk meningkatkan hasil tangkapnya yang terus menerus dilaksanakan,
ternyata baru mencapai nilai 35% saja yang dapat di capai (Ditjen Perikanan, 2007).
Dari data yang dapat dikumpulkan, setiap musim masih terdapat antara 25 - 30%
hasil tangkapan ikan laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan
yang disebabkan karena berbagai hal, diantaranya :
1. Keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan didalam cara pengolahan
ikan. Misalnya, hasil tangkapan tersebut masih terbatas sebagai produk untuk
dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin, pindang,
terasi serta hasil-hasil olahannya.
2. Tertangkapnya jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama sekali
belum mempunyai nilai dipasaran, yang akibatnya ikan tersebut harus
dibuang kembali (Ditjen Perikanan, 2007).
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food). Karenanya
begitu ikan tertangkap, maka proses pengolahan dalam bentuk pengawetan dan
pengolahan harus segera dilakukan. Selama pengolahan ikan, masih banyak bagianbagian dari ikan, baik kepala, ekor maupun bagian-bagian yang tidak termanfaatkan
akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan
bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan
jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi dan
hanya menjadi tumpukan limbah (Resmawati, 2012).
Limbah perikanan yang dihasilkan dari kepala, ekor, dan jenis ikan yang tidak
dimanfaatkan lagi ternyata masih mengandung unsur mikro yang terdiri dari protein
dan lemak, yang dapat terurai menghasilkan nitrat dan amonia yang cukup tinggi,

sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik cair (Setiyawan,
2010).
Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk organik yang biasanya
terbuat dari limbah hasil perikanan. Pupuk ini dibuat dengan cara menghancurkan
limbah perikanan dan sisa sisa olahan ikan, kemudian diproses lebih lanjut dalam
bentuk cair dengan kandungan nitrogen 5 9%, fosfor 2 4%, dan kalium 2 7%
(Sujatmaka, 1989).
Pupuk organik cair dari bahan baku ikan dilaporkan (Gundoyo, 2003) dapat
menurunkan serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani dan
Fusarium spp, pada tanaman kacang panjang. Sedangkan menurut (Lingga P, 2005),
pupuk organik cair dari bahan baku ikan dapat menginduksi Actynomicetes spp dan
Rhizobacteria spp yang berperan dalam menghasilkan hormon, yang tumbuh
disekitar perakaran tanaman.
Berdasarkan latar belakang, penyusun membuat kajian pustaka tentang
pembuatan pupuk cair dari limbah ikan dan bagaimana keunggulannya.
1.2 Tujuan.
Tujuan dari penyusun makalah ini yaitu, untuk mengetahui cara pembuatan
pupuk cair dengan memanfaatkan limbah hasil perikanan.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu:
1. Menambah kecakapan penyusun dalam menyusun sebuah karya ilmiah.
2. Memberikan wawasan kepada para pembaca tentang cara pembuatan pupuk
organik cair dengan memanfaatkan limbah hasil perikanan.
3. Memberikan alternatif lain dalam penggunaan dan kebutuhan pupuk organik
yang ramah lingkungan.

BAB II
LIMBAH HASIL PERIKANAN

2.1 Pengertian Limbah Hasil Perikanan


Limbah hasil perikanan adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat
dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai
ekonomis, yang ketika mencapai jumlah atau kosentrasi tertentu, dapat menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan (Gintings, 1992). Sedangkan menurut (Setiyawan
2010). Limbah merupakan hasil sisa produk utama dari suatu proses yang berasal dari
bahan dasar atau bahan bantu proses tersebut. Lebih lanjut (Setiyawan 2010).
Menyatakan limbah juga dapat diartikan sebagai buangan yang kehadirannya pada
suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki
nilai ekonomis.
Limbah yang dihasilakan dari kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu
sekitar 20 30% dari produksi ikan yang telah mencapai 6.5 juta ton pertahun. Hal
ini berarti sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dari
kegiatan perikanan adalah berupa : 1) ikan rucah yang bernilai ekonomis rendah
sehingga belum banyak dimanfaatkan sebagai pangan; 2) bagian daging ikan yang
tidak dimanfaatkan dari rumah makan, rumah tangga, industri pengalengan, atau
industri pemfiletan; 3) ikan yang tidak terserap oleh pasar, terutama pada musim
produksi ikan melimpah; dan 4) kesalahan penaganan dan pengolahan (Ditjen
Perikanan, 2007).
2.2 Jenis-jenis Limbah Hasil Perikanan
Usaha perikanan selain menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga
ikut berperan dalam menghasilkan limbah. Limbah yang dominan dari usaha
perikanan adalah limbah dan cemaran yang berupa limbah cair yang membusuk
sehingga menghasilkan bau amis/busuk yang sangat menganggu estetika lingkungan
(Ditjen Perikanan, 2007), sedangkan menurut (Dewantoro, 2003). Limbah yang
dihasilkan dari industri pengolahan hasil perikanan umumnya dapat di golongkan
menjadi 3 kelompok yaitu:

a. Limbah padat: limbah padat basah dan limbah padat kering


b. Limbah cair
c. Limbah hasil samping
Limbah Padat. Limbah padat bersifat basah dan dihasilkan oleh usaha perikanan
berupa potongan-potongan ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah ini berasal dari
proses pembersihan ikan sekaligus mengeluarkan isi perutnya yang berupa jerohan
dan gumpalan-gumpalan darah. Selain itu, limbah ini juga berasal dari proses
cleaning, yaitu membuang kepala, ekor, kulit, dan bagian tubuh ikan yang lain,
seperti sisik dan insang (Setiyawan, 2010). Karena proses ini melibatkan banyak
aktifitas yang lain, maka juga dihasilkan limbah padat yang kering berupa
sisa/potongan karton kemasan, plastik, kertas, kaleng, tali pengemas, label kemasan
dan potongan sterofoam, dan sebagainya. Kondisi limbah padat kering ini dapat
dalam keadaan bersih (belum terkontaminasi oleh bahan lain) maupun sudah dalam
keadaan terkontaminasi oleh bahan lain seperti ikan/udang, bahan pencuci produk,
darah, dan lendir ikan (Dwicaksono et al. 2013).
Menurut Dewantoro,(2003). Komposisi limbah padat usaha perikanan terdiri
dari: (1) Daging merah sebanyak 25%, (2) Bone (kepala, duri, ekor) sebanyak 55%,
(3) Isi perut (jerohan dan darah) sebanyak 15% dan (4) Karton, plastik, dan lain-lain
sebanyak 5%.
Limbah berupa daging merah, bone (kepala, duri, ekor), isi perut, dan karton
atau plastik tersebut akan menimbulkan masalah yang serius terhadap lingkungan
apabila tidak dikelola dengan baik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah
adanya bau amis dari potongan ikan yang disertai bau busuk karena proses
pembusukan sehingga mengundang datangnya berbagai vector penyakit diantaranya
lalat dan tikus (Fitria, 2008).
Limbah Cair. Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa sisa cucian ikan/udang ,
darah dan lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan sehingga menimbulkan
bau amis yang menyengat. Limbah cair ini merupakan limbah yang dominan dari

usaha perikanan karena selama proses, membutuhkan air dalam jumlah yang cukup
banyak. Limbah cair juga berasal dari sanitasi dan toilet pada lokasi usaha tersebut
(Gintings, 1992). Sedangkan menurut (Dewantoro, 2003). Limbah cair adalah segala
limbah yang wujudnya cairan, berupa air beserta bahan-bahan buangan lain yang
tercampur (suspensi) maupun terlarut dalam air. Limbah cair terbagi 4 yaitu :
1. Limbah cair dosmetik (Domestic wasteawater), dari rumah tangga, bangunan,
perdagangan, dan perkantoran. Contohnya : air detergen, air sabun, dan air tinja.
2. Limbah cair industri (Industrial wastewater), yaitu limbah cair hasil buangan
industri. Contoh air sisa cucian daging, buah, sayur industri pengolahan, dan dari
sisa pewarna kain atau industri tekstil.
3. Rembesan atau luapan (Infiltration and inflow), yaitu limbah cair berasal dari
berbagai sumber yang memasuki saluran pembuangan limbah cair melalui
rembesan kedalam tanah atau melalui luapan dari permukaan melalui pipa yang
bocor, pecah, dan rusak. Sedangkan luapan dapat masuk melalui bagian saluran
yang membuka atau terhubung ke permukaan. Contoh, air buagan dari talang,
pendingin (AC), tempat parker, halaman, bangunan perdagangan, industri, serta
pertanian/perkebunan.
4. Air hujan (strom water). Air hujan dapat membawa partikel-partikel buagan padat
atau cair.
Limbah Hasil Samping. Limbah hasil samping merupakan sisa produksi yang masih
dapat dipergunakan untuk keperluan produksi yang lain diantaranya adalah potongan
daging dalam merapaikan fillet (biasa disebut dengan kegiatan trimming), potongan
tubuh yang telah diambil dagingnya untuk fillet, atau daging merah (read meat) dari
seleksi daging ikan tuna yang akan dikalengkan (Dewantoro, 2003).
Fitria (2008), menyatakan yang termasuk sebagai limbah hasil samping adalah
jenis-jenis ikan yang tertangkap namun tidak/kurang ekonomis untuk diolah lebih
lanjut, sehingga kemudian dibuang. Limbah ini seperti biasanya didapatkan dalam
operasi penangkapan ikan dengan menggunakan pukat udang (trawl). Dalam
perkembangannya, karena alasan ekonomis dan kesejahteraan awak kapal, limbah
hasil samping ini dibekukan dan dijual kepada pedagang ikan ketika kapal mendarat

dipelabuhan. Namun sampai akhir tahun 2003, masih di jumpai perusahaan


penangkapan dikawasan Papua dan Maluku yang tidak mengizinkan awak kapalnya
mengumpulkan dan membawa ikan hasil samping ini. Alasanya adalah untuk
menghindari beban pendinginan yang terlalu besar pada ruangan pendingin (cool
storage) kapal. Konsekuensinya, awak kapal akan membuang begitu saja ikan-ikan
yang sudah tertangkap tersebut,(dan sudah dalam keadaan mati) ke laut (Dewantoro,
2003).
Proses masuknya limbah ini, terutama limbah cair (limbah padat dianggap
telah dipisahkan oleh pengelola), baik sebagai produk sampingan (by product)
maupun tersaring dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari industri
pengolahan hasil perikanan ke laut, baik perusahaan maupun home industri, yang ada
di Indonesia, pada umumnya dialirkan dari pabrik langsung menuju pantai atau
melalui suatu outfall. Outfall yang digunakan, bisa berupa pipa pembuangan yang
pipanya terlihat diatas permukaan air laut, maupun melalui saluran pipa yang ditanam
dibawah permukaan air (masyarakat biasanya menyebutnya dengan istilah pipa
siluman), sehingga tidak terlihat secara langsung (Dwicaksono et al. 2013).
Sementara ada juga limbah yang langsung dibuang/dialirkan ke laut tanpa
IPAL terlebih dahulu maupun pipa outfall. Cara ini biasa diterapkan oleh pengolahan
tradisional yang dilaksanakan di rumah-rumah yang berlokasi dipinggir pantai,
ataupun diatas permukaan air laut (rumah panggung) (Setiyawan, 2010).
2.3 Sifat Limbah Cair Pada Hasil Perikanan
Limbah industri pengolahan perikanan umumnya mengandung cairan darah,
lendir ikan, potongan-potongan kecil daging ikan, sisik, kulit, isi perut, dan air
pendingin dari kondensor atau paling tidak telah terkontaminasi oleh bahan-bahan
tersebut (Jenny dan Rahayu, 1993).
Fitria (2008), menyatakan bahwa limbah industri pangan mengandung
sejumlah besar karbonhidrat, protein, lemak, garam-garam mineral, sisa-sisa bahan
kimia yang di gunakan dalam proses produksi pada saat memanfaatkan limbah
industri perikanan tersebut. Lebih lanjut Fitria (2008), menyatakan bahwa Limbah ini

memiliki karakteristik yang didominasi oleh kandungan darah, lendir, potongan


bagian tubuh ikan/udang yang diolah, dengan mengandung protein, karbohidrat, dan
lemak. Sementara itu, air sisa olahan yang terikut dalam air limbah juga mengandung
garam, deterjen, dan klorin yang terikut pada waktu pencucian, disamping bahan
bahan padatan seperti potongan bagian tubuh ikan/udang yang diolah. Dengan
komposisi tersebut, setiap limbah industri pengolahan hasil perikanan mempunyai
sifat fisik,kimia, dan biologis yang berbeda.
2.3.1. Sifat Fisik
Sifat fisik yang penting dari limbah cair adalah kandungan zat padat,
kejernihan, bau, warna, dan suhu. Empat sifat pertama disebabkan oleh tiga penyebab
utama, yaitu zat yang terlarut, zat yang tercampur, dan zat yang mengedap. Dengan
mengetahui besarnya kecilnya partikel yang terkandung dalam air limbah, akan
memudahakan dalam pengolahan limbah tersebut, terutama dalam penyaringan dan
pengendapanya. Semakin kecil ukaran partikel dalam air limbah tersebut, semakin
sulit penyaringan dan pengedapanya, dan semakin tinggi biaya yang diperlukan. Zat
padat yang mengedap adalah zat yang akan mengedap pada kondisi diam selama
kurang lebih 1 jam akibat gaya beratnya sendiri (Sugiharto, 1987).
2.3.2. Sifat Kimia
Kandungan kimia dalam air limbah dapat merugikan lingkungan melalui
berbagai cara, baik karena aktivitas kimiawi maupun sifat asli bahannya yang
beracun/mengandung racun. Menurut (Dewantoro, 2003), bahan kimia penting yang
terlarut dalam air limbah dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Bahan Organik. Bahan organik biasanya disusun dari komponen karbon (C),
hydrogen (H), dan oksigen (O 2) bersama-bersama dengan nitrogen (N).
Seringkali juga di temukan adanya fosfor (P), beleranag (S), dan besi (Fe)
(Sugiharto, 1987). Sedangkan menurut (Jenny dan Rahayu, 1993), dalam
bahan organik yang terkandung dalam air limbah biasanya mengadung protein
40-60%, karbohidrat 25-50%, dan lemak/minyak 10%.

b. Protein. Protein merupakan kandungan utama dalam produk perikanan yang


diinginkan manusia ketika mengkomsumsi ikan. Dengan demikian, air limbah
yang di hasilkan dari industri pengolahan hasil perikanan dipastikan
mengandung protein. Karena struktur kimianya yang sangat kompleks dan
tidak stabil, protein akan berubah menjadi senyawa lain dalam proses
dekomposisi dalam air limbah. Protein merupakan sumber utama penyebab
bau pada air limbah industri perikanan karena adannya proses pembusukan
dan penguraian dalam air limbah (Fauziah. 2012).
c. Karbohidrat. Keberadaan karbohidrat dalam limbah cair dari industri hasil
perikanan sering kali tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena kandungan
karbohidrat yang sangat rendah dalam tubuh ikan/udang dan produk lainnya.
Karbohidrat dalam air limbah biasanya berasal dari sisa bahan tambahan yang
digunakan dalam proses produksi, seperti tepung tapioka, terigu, dan bahan
lain yang mengandung karbohidrat (Nugroho, 2012).
d. Lemak. Lemak merupakan kandungan penting dalam daging ikan setelah
protein. Lemak merupakan sumber energi bagi ikan dan membentuk rasa
gurih pada ikan ketika di masak, terutama ketika digoreng atau dibakar.
Lemak masuk kedalam air limbah melalui cairan tubuh, air cucian dari
potongan tubuh, dan darah ikan yang terlarut dalam air limbah. Lemak
tergolong bahan organik yang stabil dan mudah terurai. Oleh sebab itu lemak
harus cepat ditangani/diolah sebelum dibuang kedalam air limbah. Lemak
yang terdapat dalam air limbah akan menimbulkan masalah karena lemak
akan menempel disaluran dan bak limbah yang membentuk lapisan tipis
seperti selaput. Kadar lemak dalam air limbah yang dapat ditolelerir adalah
sebesar 16-20 ppm (Sugiharto, 1987).
e. Derajat Keasaman (pH). pH umumnya menjadi salah satu parameter kimia
anorganik dalam baku mutu limbah cair dari industri perikanan (Dewantoro,
2003). Namun karena sifat proses produksinya tidak membutuhkan senyawa
kimia dengan pH yang ekstrim, sehingga biasanya limbah cair industri
perikanan mempunyai pH yang cenderung netral (Dwicaksono et al, 2013).

f. Deterjen. Deterjen digunakan dalam proses pengolahan hasil perikanan


sebagai bahan pencuci untuk tangan karyawan, pakaian kerja, peralatan kerja,
ruangan, dan perabot kerja. Dengan demikian deterjen merupakan salah satu
senyawa yang dominan dalam air limbah industri pengolahan hasil perikanan
(Jenny dan Rahayu, 1993).
g. Senyawa klor. Senyawa klor merupakan senyawa kimia anorganik yang
sangat akrab dengan proses produksi dalam industri pengolahan hasil
perikanan. Senyawa ini dalam berbagai bentuknya (terutama kalsium klorida
CaCl2 dan kalsium hipoklorit CaHCl2) digunakan sebagai desinfektan berbgai
komponen yang digunakan dalam proses produksi. Namun, secara normal,
klor sangat mudah beroksidasi dengan oksigen dari udara, sehingga biasanya
dalam kondisi normal sangat sedikit yang tersisa dalam air buangan. Dengan
beberapa komposisi yang ada pada limbah cair hasil industri pengolahan
perikanan ini. Usaha mengurangi sebagian permasalahan dalam menangani
limbah. dapat cepat ditangani misalnya menggunakan proses fermentasi untuk
dijadikan produk yang memiliki nilai ekonomis kembali, seperti: silase ikan,
tepung ikan, pupuk organik cair dan lain-lainnya (Nengsih, 2002).

BAB III
PROSES PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR
3.1 Bahan Baku Pupuk Organik Cair
Bahan baku pembuatan pupuk organik dapat berasal dari limbah ikan atau ikanikan yang tidak punya nilai ekonomis. Limbah cair pembuatan tepung ikan

merupakan salah satu contoh limbah pengolahan ikan. Pupuk dari limbah pengolahan
ikan ini disukai pengusaha bunga dan tanaman hias lainnya karena pupuk ini
menyebabkan daun tanaman menjadi lebih mengkilap dan segar, tanaman berbunga
lebih banyak dan bunga bertahan lebih lama (Hadisuwito, 2012).
Limbah ikan yang digunakan sebagai pupuk pertanian terdapat dalam dua
bentuk utama, yaitu dalam bentuk cairan dan kompos ikan. Dalam bentuk kompos
maka limbah ikan dicampur dengan limbah dapur dan limbah tanaman, dan
dibiarakan terurai. Pupuk cair dibuat dengan cara mencampur limbah ikan dengan
asam organik dan dibiarkan pada suhu kamar sampai terurai dengan baik (Gundoyo,
2003)
3.2 Proses Pembuatan Pupuk Organik Cair
Proses produksi pupuk organik cair sangat dipengaruhi kandungan lemak
bahan baku ikan. Dengan kandungan lemak yang tinggi, kemungkinan besar bahwa
prosesnya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan kandungan lemak yang
sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik. Berdasarkan kandungan
lemak bahan baku, maka proses pembuatan pupuk organik cair berjalan dalam dua
tahap, yaitu proses fisik melalui penggilingan bahan-bahan yang dipergunakan, dan
proses biologis yaitu lanjutan proses yang dikenal dengan fermentasi non-alkoholik
atau proses ensiling (Basmal, 2008).
Pupuk dari limbah cair di buat dengan menambahkan bantuan posfat alam
untuk meningkatkan kandungan unsur phospat (P), dan kelarutan bantuan fosfat
ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut posfat, dilanjutkan dengan
inkubasi selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk organik cair tergantung pada
jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan bervariasi dari
1500-2000 ppm (N), 300 ppm (P), dan 3000-4000ppm (K), serta pH sekitar 6,5
(Lingga P, 2005). Berikut ini beberapa proses pembutan pupuk organik cair:
Menurut (Hadisuwito, 2012), proses pembuatan pupuk organik cair dari
limbah hasil penyiangan ikan, yang pertama dilakukan yaitu mengumpulkan limbah
hasil penyiagan ikan, selanjutnya menyiapkan ragi tempe/bioaktivator yang berfungsi

sebagai pengurai. Proses selanjutnya yaitu memasukan kedua bahan tersebut kedalam
gentong yang tertutup (hampa udara) dan setiap hari gentong dibuka untuk diaduk
selama lima menit. Selang satu minggu limbah tersebut akan membentuk endapan
berupa cairan dan padatan, kemudian pisahkan endapan yang berupa cairan yang
digunakan sebabagai pupuk organic cair (Hadisuwito, 2012). Lebih lanjut dapat
dilihat pada gambar 1. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah penyiangan ikan.

Limbah hasil penyiangan ikan

Pencampuran bahan sejenis ragi yang


umumnya disebut biovaktor yang
fungsingya sebagai pengurai.

Pemasukan kedalam gentong yang tertutup

Setiap hari gentong tersebut di buka selama 5


menit untuk diaduk

Selang 1 minggu, limbah tersebut akan membentuk


endapan. Ada cairan dan endapan (padatan)

Pupuk organik cair

Gambar 1. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah hasil penyiangan ikan.

Menurut (Gundoyo, 2010), proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah
hasil perikanan yaitu terlibih dahulu menyiapkan bahan berupa cincangan ikan yang
sudah terbuang, tong plastik atau tong bekas wadah cat tembok ukuran 25 kilogram
(kg), lengkap dengan tutupnya. Siapkan juga kantong plastik ukuran 60 cm x 90 cm
dan beri beberapa lubang sebesar 1 cm, lubang ini berfungsi untuk memperlancar
sirkulasi air dalam tong, selanjutnya 1/4 kg gula merah yang sudah dilarutkan, 1/2
liter bahan EM4 untuk mempermudah proses pelarutan, 1/2 liter air bekas cucian

beras, dan 10 liter air tanah. Untuk hasil maksimal jangan gunakan air hujan atau air
PAM. Proses selanjutnya yaitu pencampuran, Campur air bekas cucian beras, EM4,
dan air gula ke dalam tong plastik. Sementara itu cincangan ikan dimasukkan ke
dalam kantong plastik yang sudah dilubangi. Setelah itu, masukkan kantong plastik
ini ke dalam tong plastik dan tambahkan air tanah, kemudian ikat kantong plastik
berisi cincangan ikan itu dan tutup pula tong plastik itu dengan rapat selama tiga
minggu. Setelah tiga minggu, limbah ikan dalam tong itu tidak berbau dan kelihatan
menyusut. Angkat limbah itu hingga air tiris. Limbah ikan dari dalam plastik menjadi
pupuk padat, sedangkan air dalam tong menjadi pupuk cair Menurut (Gundoyo,
2010). Lebih lanjutnya dapat dilihat pada

gambar 2. Pembuatan pupuk cair

menggunakan cincangan daging ikan yang sudah terbuang.

Cincangan dari ikan yang sudah


terbuang

Penyiapan bahan berupa tong plastik, kantong


plastik, gula merah, EM4 (bahan pelarut), air
bekas cucian beras dan air tanah.

Pencampuran air bekas cucian beras, EM4, dan air gula


ke dalam tong plastik. Sementara itu cincangan ikan
dimasukkan ke dalam kantong plastik.

Pemasukan kantong plastik ini ke dalam tong plastik


dan tambahkan air tanah.

Pengikatan kantong plastik berisi cincangan ikan itu


dan tutup pula tong plastik itu dengan rapat selama tiga
Setelah tiga minggu, limbah ikan dalam tong itu tidak
berbau dan kelihatan menyusut.

Pengankatan limbah hingga air tiris. Limbah ikan dari dalam plastik
menjadi pupuk padat, sedangkan air dalam tong menjadi pupuk cair.
Gambar 2. Pembuatan pupuk cair dari limbah ikan yang tidak termanfaatkan lagi

Menurut (Basmal, 2008), proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah
rumput laut yaitu, kumpulkan sekitar 2 sampai 3 kg rumput laut, selanjutnya Bilas
rumput laut dengan air. Hal ini membantu dalam menghilangkan garam ekstra dari
rumput laut, yang dapat membahayakan tanaman. Kemudian rendam rumput laut
dalam air untuk beberapa waktu /1hari, setelah itu tempatkan air rendaman rumput
laut dalam wadah ember/drum plastik dan tambahkan air dua kali jumlah rumput laut.
Selanjutnya tambahkan MOL(bahan Pengurai) dan tutup wadah dengan rapat dan
biarkan tanpa terganggu selama 2 sampai 3 bulan, proses selanjutnya tunggu sampai

air berubah warna menjadi coklat payau, yang merupakan indikasi disintegrasi
rumput laut menjadi pupuk cair (Basmal, 2008). Lebih lanjutnya dapat dilihat pada
gambar 3. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah rumput laut.
Limbah rumput laut/air rendaman
rumput laut

Pemasukan air rendaman rumput laut kedalam


ember/drum.
Penambahan MOL(bahan pengurai) berfungsi
untuk mempercepat proses pembentukan pupuk
cair
Penutupan ember/drum dengan rapat

Proses selanjutnya tunggu sampai air berubah warna menjadi


coklat payau, yang merupakan indikasi disintegrasi rumput laut
menjadi pupuk cair.
Gambar 3. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah rumput laut.

3.3 Proses Fermentasi Pada Limbah Cair Hasil Perikanan


3.3.1 Pengertian Fermentasi
Istilah fermentasi berasal dari bahasa latin yaitu fervere yang berarti
mendidih. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menerangkan terjadinya
penggelembungan atau pendidihan yang terlihat pada pembuatan anggur (Noviati,
2002). Dalam arti sempit fermentasi adalah suatu proses kimia dimana terjadi
pembentukan gas dan busa (Abun, 2003). Fermentasi dalam arti luas adalah proses

perubahan kimia dari senyawa-senyawa organik (karbohidrat, protein, lemak dan


bahan organik lain) melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba (Noviati, 2002).
Fardiaz

(1990),

membuktikan

bahwa

fermentasi

adalah

hasil

pengembangbiakan beberapa tipe mikroorganisme khususnya bakteri, ragi, dan jamur.


Pada media tertentu yang aktivitasnya menyebabkan perubahan kimia pada limbah
hasil perikanan. Perubahan tersebut disebabkan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme atau enzim yang berada dalam limbah tersebut yang dikenal dengan
enzim endogeno. Enzim ini akan mengubah bahan-bahan organik komplek seperti
protein, karbohidrat, lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan
mudah dicerna.
Prinsip

dari

fermentasi

sendiri

adalah

memperbanyak

jumlah

mikroorganisme dan meningkatkan metabolismenya dalam limbah hasil perikanan.


Bahan baku yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme dalam limbah hasil
perikanan adalah karbohidrat dari glukosa tetapi mikroorganisme juga dapat
menggunakan protein dan lemak (Fauziah, 2012).
3.3.2 Jenis-jenis Fermentasi Pada Limbah Hasil Perikanan
Menurut jenis mediumnya, proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu
fermentasi substrat padat dan fermentasi substrat cair. Fermentasi substrat padat
adalah fermentasi dengan substrat yang tidak larut tetapi cukup mengandung air
untuk keperluan mikroorganisme. Keuntungan fermentasi substrat padat antara lain
prosesnya sangat sederhana, tidak diperlukan alat yang rumit, berkurangnya persoalan
kontaminasi oleh mikroorganisme lain. Sedangkan fermentasi substrat cair adalah
proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fase cair.
Keuntungannya antara lain jumlah inokulum yang digunakan lebih sedikit,
penanganan suhu dan kelembaban selama fermentasi lebih mudah untuk dikontrol
(Abun, 2003).
3.3.3 Proses Fermentasi Pada Limbah Cair Hasil Perikanan
Aktivitas manusia, dan industri perikanan akan menghasilkan limbah cair
dan padat. Untuk mengurangi cemaran yang diakibatkan oleh limbah cair dan padat,

maka perlu adanya pengolahan terhadap limbah tersebut agar tidak mengakibatkan
cemaran terhadap lingkungan. Pengolahan limbah cair hasil perikanan dapat
dilakukan secara aerobik maupun anaerobik atau kombinasi keduanya dengan
bantuaan mikroba. Mikroba yang berperan pada pengolahan limbah, antara lain
Phanerochaeta chrysosporium, Pseudomonas sp, Bacillus sp, Mycobacterium, dan
Vibrio (Noviati, 2002).
Berdasarkan pemanfaatan oksigen dalam proses metabolisme sel,
pengolahan limbah cair secara biologis dapat dikelompokkan atas 2 kelompok, yaitu
proses aerob dan anaerob. Proses aerob, katabolisme senyawa organik berlangsung
dengan memanfaatkan oksigen bebas yang terdapat dalam lingkungan sebagai
penerima elektron terakhir. Sedangkan pada proses anaerob atau disebut respirasi
anaerob, katabolisme senyawa organik berlangung tanpa oksigen bebas dalam
lingkungan dan penguraian terjadi dengan memanfaatkan senyawa organik sebagai
penerima elektron terakhir (Fitria, 2008).
3.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Fermentasi Limbah Hasil
Perikanan
Fermentasi pada limbah hasil perikanan merupakan hasil kegiatan beberapa
mikroorganisme. agar proses fermentasi dapat berjalan dengan baik, tentunya
beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan dari mikroorganisme perlu pula
diperhatikan. Sehingga apabila kita berbicara mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi proses fermentasi, tentunya tidak lepas dari kegiatan mikroorganisme
itu sendiri (Fauziah. 2012). Sedangkan menurut (Fitria, 2008), ada beberapa beberapa
faktor utama yang mempengaruhi proses fermentasi meliputi suhu, oksigen, air, dan
substrat.
a. Suhu
Suhu sebagai salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi dan
menentukan macam organisme yang dominan selama fermentasi. Beberapa hal
sehubungan dengan suhu untuk setiap mikroorganisme
dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Suhu minimum, di bawah suhu itu pertumbuhan mikroorganisme tidak


terjadi lagi.
2. Suhu optimum, sebagai suhu yang memungkinkan pertumbuhan
mikroorganisme paling cepat.
3. Suhu maksimum, di atas suhu itu pertumbuhan mikroorganisme tidak
mungkin terjadi lagi.
b. Oksigen
Udara atau oksigen selama proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin
untuk memperbanyak atau menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Setiap
mikroba, membutuhkan oksigen yang berbeda jumlahnya untuk pertumbuhan atau
membentuk sel-sel baru dan untuk fermentasi (Fauziah, 2012).
c. Substrat
Seperti halnya makhluk lain, mikroorganisme juga membutuhkan suplai
makanan yang akan menjadi sumber energi, dan menyediakan unsur-unsur kimia
dasar untuk pertumbuhan sel. Substrat (makanan) yang dibutuhkan oleh mikroba
untuk kelangsungan hidupnya berhubungan erat dengan komposisi kimianya.
Kebutuhan mikroorganisme akan substrat juga berbeda-beda. Ada yang memerlukan
substrat lengkap dan ada pula yang tumbuh subur dengan substrat yang sangat
sederhana. Hal itu karena beberapa mikroorganisme ada yang memiliki sistem enzim
(katalis biologis) yang dapat mencerna senyawa-senyawa yang tidak dapat dilakukan
oleh mikroorganisme lain. Komposisi kimia hasil pertanian yang terpenting adalah
ptotein, karbohidrat dan lemak. Pada pH 7,0 protein mudah sekali digunakan oleh
bakteri sebagai substrat. Karbohidrat seperti pektin, pati dan lainnya merupakan
substrat yang baik bagi kapang dan beberapa khamir.
d. Air
Mikroorganisme tidak dapat tumbuh tanpa adanya air. Air dalam substrat yang
digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme dinyatakan dalam istilah water
activity atau aktivitas air = aw, yaitu perbandingan antara tekanan uap dari larutan (P)
dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama (Fitria. 2008).

BAB IV
PEMANFAATAN LIMBAH HASIL PERIKANAN MENJADI PUPUK
ORGANIK CAIR
4.1 Pemanfaatan Limbah Hasil Perikanan Menjadi Pupuk Organik Cair
Pupuk organik cair yang dibuat dari bahan ikan ini, sudah lama digunakan
dibidang pertanian, khususnya pertanian buah-buahan. Hal ini karena kandungan
organiknya, baik organik-N, organik-P, dan organik-K yang terkandung didalam
tubuh ikan mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan bahan-bahan lainya.

Selain itu didalam tubuh ikan yang sudah terbuang masih terkandung unsur mikro
yaitu Fe (besi), Zn (seng), Cu (tembaga), Mn (mangan), Cl (khlor), Bo (borium) dan
Mo (molubdenum) yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Nugroho, 2012).
Menurut Fitria (2008), untuk dapat tumbuh dan berkembang, tanaman perlu
nutrisi secara lengkap dalam bentuk unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro
yang dibutuhkan oleh tanaman terdiri dari makro primer seperti N-P-K, serta makro
skunder seperti Ca (kalsium), Mg (magnesium), dan S (belerang). sedangkan unsur
hara mikro terdiri dari Fe (besi), Zn (seng), Cu (tembaga), Mn (mangan), Cl (khlor),
Bo (borium) dan Mo (molubdenum). Kelompok tersebut sangat dibutuhkan dalam
jumlah dan susunan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman
secara baik, serta hasil sesuai yang diharapkan.
4.2 Keunggulan Pupuk Organik Cair dari Limbah Hasil Perikanan
Pupuk organik cair berbahan baku ikan kaya akan unsur makro dan mikro.
Pupuk tersebut dilaporkan nyata meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis sayuran
dengan tingkat penambahan hasil mencapai 60% dari perlakuan kontrol (Fauziah,
2012). Selain sebagai sumber hara, pupuk berbahan baku ikan dilaporkan nyata
menurunkan serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani and
Fusarium spp, pada tanaman kacang panjang (Gundoyo, 2003), serta dapat
menginduksi Actynomicetes spp. dan Rhizobacteria spp yang berperan dalam
menghasilkan hormon tumbuh disekitar perakaran tanaman (Lingga P, 2005). Namun
demikian, pupuk ikan yang telah dikembangkan saat ini umumnya berasal dari ikan
berkualitas baik sehingga bersaing dengan kebutuhan pangan masyarakat. Disisi yang
lain, limbah ikan tersedia dalam jumlah yang cukup besar dan belum termanfaatkan.
Limbah tersebut umumnya terkumpul di tempat-tempat penampungan ikan serta
pasar-pasar tradisional. Komposisi limbah tersebut umumnya berupa ikan yang telah
rusak, isi perut, sirip, kepala, dan sisik. Apabila dimanfaatkan, maka limbah ikan
tersebut berpotensi untuk dijadikan pupuk organik cair dari ikan yang berkualitas baik
setara dengan pupuk organik yang telah ada dipasaran (Hadisuwito, 2012).

Salah satu hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak adalah
kalsium(Ca). hara ini dapat di peroleh dari limbah ikan. Menurut Parmata, (2004),
bahwa unsur hara Ca dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam beberpa
hal, diantaranya: (1). Mengatur pengisapan air dalam tanah, (2). Mengatifkan
pembentukan bulu-bulu akar dan biji, dan (3). Menguatkan batang. Kekurangan
kalsium (Ca) dapat menyebabkan pertumbuhan dan ranting terhambat dan batang
tanaman tidak kokoh, ujung akar dan akar rambut mati, pucuk dan kuncup bunga
berjatuhan. Selain itu pupuk organik cair ini memiliki bau yang busuk, akan tetapi
bau busuk tersebut dapat diatasi antara lain dengan menurunkan pH limbah cair,
memberi aerasi, menambahkan bahan penyerap bau, menggunakan mikroba yang
mempercepat proses dekomposisi dan merombak senyawa yang menimbulkan bau.
Proses menghilangkan bau busuk dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk
dijadikan bahan baku pupuk cair dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari
8,0 menjadi 6,0 dengan penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi
limbah ikan dengan kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker
dengan memberikan aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120
ppm. Dengan cara ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari,
(Hadisuwito, 2012).

Menurut (Basmal, 2008), keunggulan lain yang dimiliki pada pupuk organik
cair yaitu:
1. Pupuk yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih
lengkap dibandingkan dengan pupuk anorganik,
2. Membuat daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan
bertahan lebih lama,
3. Bahan baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan,
4. Harga jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal.
5. .Konsep back to nature melalui pertanian organik.

BAB V
PENUTUP
5 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yaitu:
1. Limbah cair (liquid waste) dapat didefinisikan sebagai suatu limbah hasil
kegiatan yang secara fisik berbentuk cair, kandungannya didominasi oleh
air beserta bahan-bahan kontaminan lainnya atau didominasi oleh bahan
cair lain.
2. Pupuk ikan cair merupakan salah satu jenis pupuk organik yang biasanya
terbuat dari ikan. Pupuk ini dibuat dengan cara menghancurkan limbah

perikanan dan sisa sisa olahan ikan, kemudian diproses lebih lanjut
dalam bentuk cair dengan kandungan nitrogen 5 9%, fosfor 2 4%,
kalium 2 7% dan unsure mikro lainnya.
3. Proses pembuatan pupuk cair ini menggunakan bioaktivator pada saat
proses fermentasi berlangsung.
4. Pupuk berbahan baku ikan dilaporkan nyata menurunkan serangan
patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani and Fusarium spp,
pada tanaman kacang panjang, serta dapat menginduksi Actynomicetes
spp. dan Rhizobacteria spp yang berperan dalam menghasilkan hormon
tumbuh disekitar perakaran tanaman.

DAFTAR PUSTAKA
Abun

2003. Pengaruh Dosis Inokulum Aspergillus niger dan Lama


Fermentasi Terhadap Perubahan Kandungan Protein dan Serat Kasar
Ampas Umbi Garut. Fakultas Peternakan, Bandung.

Basmal, J. 2008. Prospek pemanfaatan rumput laut sebagai bahan pupuk organik cair.
Squalen Buletin Pascapanen & Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
No 12.Vol V.
Ditjen Perikanan Budidaya (Tekno Ikan). 2007. Pemanfaatan Limbah Ikan Sebagai
Bahan Baku Pupuk Organik, DKP.
Dwicaksono et al. 2013. Pengaruh penambahan effective microorganisme pada
limbah cair industri perikanan terhadap kualitas pupuk cair organik.
Jurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan Vol 1, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya.

Dewantoro RA. 2003. Proses pengolahan limbah cair pada usaha pembekuan ikan di
PT. ILUFA-Pasuruan Jawa Timur. Karya Ilmiah Praktek Akhir, Akademi
Perikanan Sidoarjo, DKP.
Fitria, 2008. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Limbah Cair Industri Perikanan
Menggunakan Asam Asetat dan EM4 (Effective Microorganisme 4).
[Tugas Akhir]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Fardiaz, S. 1990. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor.
Gintings, Perdana. 1992. Mencegah dan mengendalikan pencemaran industry. Edesi
1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Gundoyo, W. 2010. Pembuatan Pupuk Cair Organik dari Limbah Ikan. Tugas Akhir.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. pdf.
Diakses pada tanggal 30 April 2014.
Hardjowigeno s. 2010. Ilmu tanah. Akademik pressendo, Jakarta.
Hadisuwito,Sukamto.2012. Membuat Pupuk Organik Cair. Agromedia Pustaka:
Jakarta.
Ilyas S. 1985. Penelitian dan pengembangan limbah perikanan, monografi pertama
limbah pertanian. Jakarta: Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan
Produksi Pangan.
Jenny BSL, Rahayu WP. 1993. Penelitian Tentang Penangan Limbah Industri
Perikanan. Penerbit kanasius-Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
IPB-Bogor.
Kadi, A. 2009. Beberapa catatan kehadiran marga sargassum di perairan. Indonesia.
beberapa catata Kehadiran Marga Sargassum. Pustaka Baru Press:Yogyakarta
Lingga P. .dan Marsono. 2005. Petunjuk penggunaan pupuk cair. Penebar swadaya.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Agro Media Pustaka:Jakarta.
Nugroho,Panji.2012. Panduan Membuat Pupuk Kompos Cair. Pustaka Baru
Press:Yogyakarta

Nurhanifah, Fauziah. 2012. Peranan Mikroorganisme pada fermentasi Pembuatan


Pupuk Kandang dari Urin Sapi. IPB: Bogor.
Nengsih.2002. Penggunaan EM4 dan GT 1000-WTA dalam pembuatan Pupuk
Organik Cair dan Padat dari isi Rumen Limbah RPH. IPB: Bogor.
Noviati, A. 2002. Fermentasi Bahan Pakan Limbah Industri Pertanian dengan
Menggunakan T. Harzianum.[Skripsi]. Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak. IPB, Bogor.
Parmata A.S. 2004. Pupuk organik cair. Aplikasi dan manfaatnya. Agromedia
pustaka Jakarta.
Setiyawan. Dody. 2010. Pemanfaatan limbah limbah ikan menjadi pupuk organik.
Jurusan teknik kimia. Fakultas industri. Universitas Pembangunan
Nasional.
Simanungkalit, dkk. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Penelitian
Tanah:Bogor.
Sugiharto, 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta: Penerbit UI press.

Anda mungkin juga menyukai