Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Dinamika Maritim

59

Vol . 2 No.1, September 2010

ASPEK BIOLOGI PENYU DI KABUPATEN BINTAN


Arief Pratomo , Dony Apdillah , dan Soeharmoko1)
1)

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

ABSTRACT
The research purpose was to address biological characteristics those were location and
sum of sea turtle nests, eggs, species, and females; the time of sea turtle egg laying season as
well as estimating habitats in spatially and total sum of sea turtle population in Regency of
Bintan. The research was done in Eastern Island of Bintan including Tambelan Archipelago.
Data was collected by using interviewed then confirmed by field visiting and observation.
Data analyses were nest relative frequencies and estimation of sea turtle population. The
results showed that Green Turtle (Chelonia mydas) and Hawksbill (Eretmochelys imbricata)
habitats distributed almost within islands in Tambelan and some beaches also Islands in
Eastern Island of Bintan. The estimation of sea turtle population totally in Tambelan
Archipelago were vary in 489.156 642.018 and females visiting estimation to egg laying in
range of 9.088 11.928 annually.
Keywords: sea turtle, habitat, population, eggs, nest
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut WWF (2005), Kepulauan
Riau (Kepri) merupakan lokasi sebaran
habitat penyu hijau (Chelonia mydas),
penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan
penyu lekang (Lepidochelis olivacae).
Meskipun demikian, habitat dan populasi
penyu di Kepulauan Bintan dalam kondisi
terancam karena kekurang-sadaran dan
ketidaktahuan masyarakat mengenai status
keterlindungan penyu serta pesatnya
pengembangan dan pembangunan daerah
pantai.
Dipihak
lain,
masyarakat
Kabupaten Bintan, terutama di Kepulauan
Tambelan,
mereka
telah
lama
memanfaatkan
telur
penyu
untuk
dikonsumsi maupun dijual.
Kabupaten Bintan merencanakan
upaya
untuk
menekan
tingkat
keterancaman habitat dan populasi penyu.
Upaya
tersebut
dilakukan
dengan
mencadangkan dan mengelola daerah
perlindungan penyu disertai upaya
penyadaran masyarakat, mengalihkan
pemanfaatan penyu yang ekstraktif ke non-

ekstraktif seperti (eko)wisata, pendidikan,


dan penelitian.
Permasalahan
Dalam
rangka
implementasi
pengelolaan penyu yang berkelanjutan saat
ini masih terhambat oleh informasi
literatur dan basis data ilmiah tentang
kondisi biologi penyu yang dapat menjadi
acuan
Pemerintah
Daerah
dalam
menentukan kebijakan upaya perlindungan
penyu di Kabupaten Bintan.
Tujuan
Mengetahui karakteristik aspek
biologi penyu berupa lokasi dan jumlah
sarang/ tempat bertelur, telur, jenis, dan
induk penyu, kapan musim bertelur,
memperkirakan lokasi habitat peneluran
serta jumlah populasi penyu di Kabupaten
Bintan.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian mencakup Pulau
Bintan bagian Timur dan Kepulauan
Tambelan. Lokasi pengamatan dilakukan
di 17 stasiun, dengan rincian 14 stasiun

Jurnal Dinamika Maritim


60

Vol . 2 No.1, September 2010

berada di Kepulauan Tambelan dan 3


stasiun berada di Pulau Bintan bagian
Timur. Penelitian dilaksanakan selama tiga

bulan, yakni mulai dari Bulan Juli


September 2009.

Gambar 1. Lokasi Pengamatan penyu di Kepulauan Tambelan


Data sekunder diambil baik dari
dinas pemerintah daerah terkait maupun
langsung dari masyarakat setempat.
Sedangkan data primer diperoleh dari hasil
wawancara, pengamatan lapangan lokasi
penyu bertelur dan pengamatan lapangan
Bio-fisik yang terkait dengan habitat
penyu. Pada tahap ini data diperoleh
melalui wawancara kemudian dilanjutkan
tinjauan dan konfirmasi di lapangan. Data
pendukung
lain
terkait
meliputi
pengamatan langsung bersamaan saat
peninjauan.
Analisa
data
meliputi
Frekwensi Relatif Sarang dan perkiraan
potensi populasi penyu berdasarkan data
konstribusi pemanfaatan telur penyu di
seluruh pulau di Kecamatan Tambelan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Data sekunder yang diperoleh


meliputi hasil kontribusi pemanfaatan telur
penyu (Kantor Camat Tambelan 2008),
data pencatatan harian jumlah telur yang

dipanen dan frekwensi kehadiran induk


penyu bertelur yang diperoleh berasal dari
Pulau Wie, P. Genting, dan P. Menggirang
Besar, mulai dari tahun 1999 hingga tahun
2009 lihat Tabel 1.
Tabel 1. Tahun Perolehan Sumber Data
dari Pemilik Lahan atau Penjaga
Telur di Kepulauan Tambelan
No. Lokasi
1
Pulau Wie

Tahun data
1999, 2000,
2001, dan 2002
2
Pulau Genting
2007, 2008, dan
2009*
3
Pulau
Menggirang 2003, 2004,
Besar
2005, 2006,
2007, dan 2009
*) Kegiatan pencatatan kunjungan induk
penyu dan jumlah pengambilan telur penyu
masih berlangsung hingga bulan Agustus
2009.

Hasil pengamatan dan penelusuran


habitat penyu di Kabupaten Bintan
memperlihatkan habitat penyu tersebar di

Jurnal Dinamika Maritim


61

Vol . 2 No.1, September 2010

Kepulauan Tambelan, Bintan dan Mapur.


Secara umum setiap pulau di Kepulauan
Tambelan yang mempunyai pantai
berpasir berpeluang menjadi lokasi penyu
bertelur. Kepulauan Tambelan terdapat 42
pulau dimana 32 pulau tercatat resmi pada
Kantor Kecamatan sebagai penghasil telur
penyu.
Penelusuran
lebih
lanjut
mendapatkan pulau-pulau lain yang juga
merupakan lokasi penyu bertelur.
Konfirmasi langsung baik di
Kepulauan Tambelan, Bintan maupun
Mapur, menunjukkan kehadiran penyu
jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).
Kehadiran penyu ditandai adanya jejak
penyu dan bekas sarang. Tanda-tanda lain
seperti pecahan cangkang telur maupun

tukik mati dijumpai di beberapa pulau di


Kepulauan Tambelan.(Tabel 2.)
Penemuan sarang penyu (total 357
sarang) mengindikasikan penyu masih
melakukan
peneluran
saat
survei
dilakukan. Jumlah sarang yang ditemukan
dijadikan tolok ukur potensi kehadiran
penyu bertelur. Sarang penyu ditemukan di
Pulau Kepala Tambelan (119 sarang), P
Wie (92 sarang) dan P. Genting (45
sarang). Frekwensi relatif keberadaan
sarang penyu di Kepulauan Tambelan
dapat dilihat pada Gambar 2. Sarang
dengan sisa pecahan cangkang dalam
jumlah banyak ditemukan Pulau Kepala
Tambelan dan P. Bungin. Keberadaan sisa
pecahan cangkang ini menandakan telah
terjadi penetasan telur penyu pada pulau
tersebut.

Tabel 2. Jumlah sarang, cangkang, Tukik Mati, dan Tukik Hidup menurut jenis penyu dan
lokasinya
Jenis
Hijau
Hijau

Tukik
Tukik
Lokasi Pulau
Sarang Cangkang
mati
hidup
Genting
45
0
0
0
Jelak
4
0
0
0
Kepala Tambelan
119
150
1
0
Lintang
19
0
0
0
Menggirang Besar
9
0
54
1
Nangka
22
1
0
0
Sendulang Kecil
7
0
0
0
Serentang
3
0
0
0
Wie
92
0
0
0
Jumlah 1
320
151
55
1
Bungin
9
30
0
0
Sisik
Genting
3
0
0
0
Lintang
12
0
0
0
Lipih
2
5
0
0
Penyusuk, Bintan*
3
0
0
0
Sentot, Mapur*
5
0
0
0
Serentang
3
7
0
0
Jumlah 2
37
42
0
0
Jumlah Total (1 +2)
357
193
55
1
*) Kecuali Pulau Sentot dan Penyusuk, semuanya berada di Kepulauan Tambelan

Jurnal Dinamika Maritim


62

Vol . 2 No.1, September 2010

Frekwensi Relatif Kehadiran Sarang Penyu


(dalam %)
35
30
25
20
15
10
5
0

Gambar 2. Grafik Frekwensi Relatif Kehadiran Sarang pada Beberapa Stasiun Pengamatan
Berdasarkan pada pencatatan di
Pulau Wie, Genting, dan Menggirang
Besar, menunjukkan jenis penyu yang
mendarat untuk bersarang dan bertelur
didominasi
jenis
Penyu
Hijau.
Perbandingan antara jumlah telur Penyu
Hijau dan Penyu Sisik, adalah 4,5 : 1,
dimana rata-rata telur dalam satu sarang
Penyu Hijau adalah 101 butir dan Penyu
Sisik adalah 153 butir (Gambar 3). Tren
telur-telur penyu yang diambil dari ke 3
pulau tersebut menunjukkan terjadi
peningkatan eksploitasi telur penyu pada
awal tahun 1999 sebelum akhirnya
menurun setelah tahun 2006 (Gambar 4.).
Penyebab pastinya belum jelas namun
diperkirakan
karena
faktor
variasi
lingkungan
dan
respon
terhadap
pelarangan penjualan telur penyu oleh
Pemerintah RI pada tahun 2006 dan
Pemerintah Kabupaten Bintan pada tahun
2008 di Kabupaten Bintan.
Di Kepulauan Tambelan, baik
penyu Hijau maupun Penyu Sisik bertelur
sepanjang tahun namun pola siklus musim

puncak bertelur menunjukkan perbedaan


antara jenis Penyu Hijau dengan Penyu
Sisik. Pada jenis Penyu Hijau, bulan
musim puncak berkisar antara bulan Mei
hingga Juli. Sedangkan pada jenis Penyu
Sisik, bulan musim puncak berkisar antara
bulan Maret hingga Mei.
Perilaku pola waktu bertelur harian
penyu memperlihatkan adanya pola
pengulangan bertelur. Perilaku ini teramati
masyarakat dimana penyu yang bertelur
akan kembali lagi untuk bertelur di lokasi
yang sama atau mungkin lokasi lain yang
berdekatan dalam 12-15 hari ke depan.
Perilaku ini dimanfaatkan masyarakat
untuk memperkirakan kedatangan penyu
bertelur selanjutnya. Menurut Nuitja
(1992), seekor induk Penyu Hijau dapat
bertelur 3 kali semusim dengan selang
waktu berkisar antara 9 hingga 16 hari.
Setelah itu akan bertelur kembali 3 tahun
kemudian. Sedangkan untuk penyu Sisik,
dapat bertelur 4 kali semusim dengan
selang waktu rata-rata 15 hari.

Jurnal Dinamika Maritim


63

Vol . 2 No.1, September 2010

1600

200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

2500

1400
2000

1200

Ekor

1500
Ekor

Ekor

1000

800
600

Penyu Hijau

400

Penyu Sisik

1000

Penyu Hijau
Penyu Sisik

500

200
0

0
1999

2000

2001

2002

Penyu Sisik

2007

2003 2004 2005 2006 2007 2009

P. Wie

Penyu Hijau

2008

2009

P. Genting

MENGGIRANG BESAR

Gambar 3. Gambar Perbandingan Jumlah Penyu yang Bertelur menurut Jenis, Tahun dan
Lokasi.
160000

300000

140000

250000

45000
40000

35000

120000

200000

100000

30000
25000

150000

80000
60000

20000

100000

15000

40000

10000

50000

20000

5000

0
1999

2000

2001

2002

0
2003

2004

2005

2006

2007

2009

2007

MENGGIRANG BESAR

P. Wie

2008

2009

P. Genting

Gambar 4. Grafik Tren Jumlah Telur Penyu yang Dipanen menurut Tahun dan Lokasi

Tabel 3. Posisi Sarang dan Lebar Jejak Penyu


Lokasi
Bungin
Genting
Jelak
Kepala Tambelan
Lipih
Lintang
Penyusuk
Menggirang
Besar
Nangka
Sendulang Kecil
Sentot
Serentang
Wie
Total rata-rata

Jarak Sarang - Batas Pasang


(cm)
Hijau
Sisik
1483.33
1290.00
1300.00
200.00
2966.67
133.33
766.67
500.00
1500.00
333.33
604.17
891.67
0.00
1328.57
956.98

700.00
320.00
782.31

Jarak ke Vegetasi
(cm)
Hijau
Sisik
t.a.
133.33
240.00
150.00
66.67
150.00
t.a.
333.33
466.67
33.33
t.a.
175.00

Lebar jejak
(cm)
Hijau
Sisik
59.67
52.67
60.00
75.00
80.00
50.00
77.50
51.67
60.00

166.67
12.08
91.67
t.a.
0.00
91.43
118.26

63.33
66.71
75.83
0.00
65.00
67.07

100.00
0.00
148.08

70.00
60.00
56.46

Jurnal Dinamika Maritim


Vol . 2 No.1, September 2010

64

Jumlah Restribusi Telur Penyu di Kepulauan Tambelan


Tahun 2008 (dalam Rupiah)
Rp20,000,000.00
Rp18,000,000.00
Rp16,000,000.00

Rp14,000,000.00
Rp12,000,000.00
Rp10,000,000.00
Rp8,000,000.00

Rp6,000,000.00
Rp4,000,000.00
Rp2,000,000.00

Wie
Menggirang Besar
Genting
Mendara
Pengikik
Mentebung
Pejantan
Pinang
Nangka
Kepala Tambelan
Jengkulan
Lintang
Tambelan
Menggirang Kecil
Tamban
Tukong Kemudi
Lesuh
Sedua Kecil
Nibung
Ibul
Sedua Besar
Sendulang Kecil
Menderiki
Kepayang
Sendulang Besar
Betung
Panjang
Jelak
Benua
Bungin
Benua (Batu Begiling)
Serentang

Rp0.00

Gambar 5. Grafik Jumlah Konstribusi Telur Penyu setiap Pulau penghasilnya di Kepulauan
Tambelan (Diolah dari data Kecamatan Tambelan, 2008)
Hasil pengamatan posisi sarang
menunjukkan
sarang
Penyu
Hijau
umumnya cenderung menjauhi batas laut
pasang dan mendekati batas vegetasi.
Sebaliknya, Penyu Sisik lebih mendekati
batas pasang dan menjauhi batas vegetasi.
Lebar jejak induk Penyu Hijau rata-rata
lebih besar daripada lebar jejak Penyu
Sisik (Tabel 3.).
Perhitungan perkiraan potensi
populasi penyu dipilih berdasarkan pada
data konstribusi pemanfaatan telur penyu
di Kecamatan Tambelan (Gambar 5.). Hal
ini karena data bersifat resmi, lengkap, dan
mencakup hampir seluruh pulau di
Kepulauan Tambelan sehingga hasil
perhitungan diharapkan lebih mendekati
kenyataan. Bila faktor penghambat ekologi
seperti tingkat keberhasilan penetasan dan
musuh alami belum dimasukkan, maka
potensi populasi penyu di Kepulauan
Tambelan adalah sekitar 978.313 1.284.035 ekor. Bila faktor penghambat
ekologi
dipertimbangkan
sehingga
diasumsikan hanya 50% potensi populasi
saja yang mampu bertahan hidup maka
akan ada sekitar 489.156 - 642.017 ekor
penyu dihasilkan Kepulauan Tambelan.
Dari data tersebut diperkirakan induk
penyu yang hadir di Kepulauan Tambelan
adalah sebesar 9088 - 11.928 ekor.
Potensi jumlah kunjungan induk
penyu dan jumlah telur yang dihasilkan

mengindikasikan Kepulauan Tambelan


sebagai habitat penyu utama di Kabupaten
Bintan. Fungsi utama habitat penyu
tersebut sebagai lokasi sumber pakan,
perkawinan dan perkembangbiakan penyu
(interbreeding). Diperkirakan sumber
pakan utama penyu di Kabupaten Bintan
adalah di ekosistem terumbu karang,
lamun dan tanaman laut sekitar pulau
lokasi bertelur penyu. Diperkirakan pula
sekitar lokasi tersebut terjadi perkawinan
penyu (interbreeding) dimana perkawinan
dilakukan sebelum penyu bertelur dan
biasanya dilakukan sekitar beberapa
kilometer dari lokasi peneluran (Purwati
2004).
Berdasarkan pada hasil data yang
diperoleh saat ini dan jika diasumsikan
tidak ada pemanfaatan telur, maka
perkiraan potensi populasi tukik/ anak
penyu yang dihasilkan Kabupaten Bintan
setiap tahun dengan berbagai faktor
penghambatnya adalah sekitar 500.000.
650.000 ekor. Berdasarkan pada hasil
perhitungan pula diketahui jumlah induk
penyu yang bertelur di pulau-pulau di
Kabupaten Bintan diperkirakan sekitar
10.000 ekor. Dengan asumsi 1 % ekor
penyu yang dihasilkan akan kembali
bertelur di lokasi yang sama (Purwati
2004) maka 20 tahun kemudian, sekitar
5000 7500 ekor induk penyu dewasa
akan kembali bertelur. Hal ini berarti ada

Jurnal Dinamika Maritim


65

Vol . 2 No.1, September 2010

kekurangan sekitar 2500 - 5000 ekor induk


penyu bila sekurang-kurangnya ingin
mempertahankan populasi seperti saat ini.
Kekurangan kehadiran induk penyu
tersebut secara teoritis dipenuhi melalui
mekanisme jejaring antar habitat penyu
dari kawasan lain yang berdekatan
(Cahyani dkk 2007). Hal ini dapat terjadi
karena penyu termasuk hewan bermigrasi
(Nuitja 1992).
Uraian di atas memperlihatkan,
walaupun pemanfaatan telur penyu
dihapuskan sekalipun, populasi penyu di
Kabupaten Bintan sebenarnya masih
rentan dan terancam mengalami penurunan
populasi dimasa mendatang. Penurunan
demikian berlangsung lambat dalam
puluhan tahun sehingga tidak segera
dirasakan
penduduk
setempat.
Kenyataannya, meskipun pemanfaatan
telur penyu dilarang undang-undang
negara, penyelundupan dan perdagangan
telur penyu secara illegal masih terjadi.
dan ini akan meningkatkan tingkat
kematian penyu. Bila kondisi seperti ini
terus dibiarkan, tingkat penurunan
populasi penyu di Kabupaten Bintan
makin dipercepat. Oleh karena itu,
pengelolaan dan perlindungan habitat
penyu terutama di kabupaten Bintan sudah
sangat mendesak.
KESIMPULAN
Kesimpulan
-

Habitat dan lokasi peneluran penyu


tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
di Kepulauan Tambelan, dan sebagian
di Kepulauan Bintan Bagian Timur
Terdapat dua jenis penyu yang bertelur
di Kabupaten Bintan yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata).

Hasil peninjauan lapangan menemukan


357 sarang penyu yang terdiri atas 320
sarang Penyu Hijau dan 37 sarang
penyu Sisik dimana 11 diantaranya
terdapat di Bintan Timur.
Kepulauan
Tambelan
merupakan
lokasi utama peneluran penyu di
Kabupaten Bintan.
Rata-rata telur dihasilkan per ekor
penyu di Kepulauan Tambelan untuk
Penyu Hijau adalah 101 butir per ekor,
sedangkan Penyu Sisik adalah 153
butir per ekor.
Estimasi total hasil pemanenan telur di
seluruh Kepulauan Tambelan berkisar
antara 978.313 1.284.035 butir per
tahun
Estimasi potensi populasi penyu di
Kepulauan Tambelan berkisar antara
489.156 642.018 ekor
Estimasi jumlah kunjungan induk
penyu untuk bertelur di kepulauan
Tambelan berkisar antara 9.088
11.928 ekor per tahun.

Musim puncak bertelur penyu di


Kabupaten Bintan untuk Penyu Hijau
antara bulan Mei hingga Juli, sedangkan
Penyu Sisik antara Maret hingga Mei.
Saran
Perlu diteliti juga kondisi penyu di
wilayah Kepulauan Riau yang lain
sehingga didapatkan gambaran kondisi
biologi penyu secara utuh.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Pusat
Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(P2O-LIPI)
melalui CRITC Coremap LIPI
yang
membantu mendanai penelitian ini, serta
PPSPL UMRAH dan CRITC Coremap II
Bintan yang telah banyak membantu
memfasilitasi kegiatan ini.

Jurnal Dinamika Maritim


Vol . 2 No.1, September 2010

DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, N. K. D., Adnyana, I. B. W.,
Arthana, I. W. 2007. Identifikasi
Jejaring Pengelolaan Konservasi
Penyu Hijau (Chelonia mydas)
melalui Penentuan Komposisi
Genetik dan Metal Tag di Laut
Sulu, Sulawesi. Ecothophic. Vol.2,
No.2.
Le Scao, R., Esteban, N. 2003. St.
Eustatius Sea Turtle Monitoring
Programme
Annual
report.
STENAPA. Netherlands Antilles.
Nuitja, I, N,S. 1992. Biologi dan Ekologi
Pelestarian Penyu Laut. IPB
Press. Bogor.

66

Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 57/


Menhut-II/2008. Arahan Strategis
Konservasi Spesies Nasional 2008
2018.
Purwati. 2004. Perdagangan Telur penyu
Tidak Sesuai Protokol Konservasi
Penyu. www.Beritabumi.com
Universitas Maritim Raja Ali Haji. 2009.
Pendidikan dan Pembangunan
Berbasis
Maritim.
UMRAH
Press, Tanjung Pinang.
WWF. 2005. Indonesian Sea Turtle
Conversation. Yayasan WWF
Indonesia.
www.profauna.org. Menteri Kehutanan
mencabut peraturan perburuan
telur penyu di Kepulauan Riau,
press release. 2006

Anda mungkin juga menyukai