Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SETUDI KEPEMIMPINAN ISLAM

KEPEMIMPINAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI MASSA REVORMASI

Di Susun Oleh :
Firdhous Galuh Kumalasari
12513083

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2014

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan persoalan yang masih kontroversial. Hal
tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain : Pertama, adanya nash (Alquran dan hadis)
yang secara tekstual mengisyaratkan keutamaan bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin.
Akan tetapi, secara realitas tidak dapat dipungkiri adanya sejumlah perempuan yang secara
obyektif memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin dan acceptable ditengah masyarakat.
Kedua, sebagian masyarakat belum bisa menerima perempuan untuk tampil sebagai
pemimpin berdasarkan pemahaman terhadap sejumlah ayat dan hadis yang mengisyaratkan
larangan bagi perempuan untuk diangkat menjadi pemimpin. Dilain pihak, muncul wacana
yang dalam memahami teks nash tersebut berdasarkan paradigma berpikir yang lebih
longgar dengan mengedepankan substansi atau esensi ajaran Alquran dan hadis tersebut
seperti persamaan (justice) dan keadilan (equality) tanpa melihat jender (jenis kelamin).
Ketiga, adanya nash Alquran (QS. 4 : 34) yang mengindikasikan keutamaan laki-laki menjadi
pemimpin dan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Sahabat Abiy Bakrah,1 yang
secara lahiriah menunjukkan bahwa suatu kaum tidak akan sejahtera jika dipimpin oleh
seorang perempuan. Akan tetapi, sebagian pakar (ulama) membolehkan wanita untuk aktif
dalam urusan publik seperti dalam bidang politik, bahkan hingga menjadi kepala negara atau
kepala pemerintahan sekalipun.
Persoalan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam rangka mendapatkan informasi
mengapa ulama tersebut menantang nash di atas dan membolehkan kepemimpinan seorang
perempuan. Untuk itu, tulisan ini akan menyoroti dari tinjauan falsafi (filsafat hukum Islam)
dengan pendekatan sosio-historis dan jender.
2. Metode penelitian
Metode Pengumpulan Data
Penulis dalam mengumpulkan data dalam daftar pustaka menggunakan metode pengumpulan
data sekunder yaitu yang diperoleh dari pihak lain, tidk langsung diperoleh penulis dai
subjeknya. Data sekunder biasanya berwujud data laporan yang tersedia. Dalam hal ini, data
sekunder diperoleh melalui jurnal, laporan dan artikel.
Metode Analisis Data

Metode yang penulis gunakan dalam analisis data adalah metode diskriptif yaitu menyajikan
data secara sistematis agar mudah untuk dimengerti.

PEMBAHASAN
A. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan bukan kekuasaan, bukan jabatan dan kewenangan yang mesti dibanggakan.
Kepemimpinan bukan pula barang dagangan yang dapat diperjual belikan. Hakekat
kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik
dan dipertanggungjawabkan bukan saja di dunia tapi juga di hadapan Allah nanti di akhirat.
Kepemimpinan yang tidak dijalankan secara professional dan proporsional adalah
penghianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Barang siapa yang memimpin suatu urusan kaum muslimin lalu ia mengangkat
seseorang pada hal ia menemukan orang yang lebih pantas untuk kepentingan ummat islam
dari orang itu, maka dia telah berhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. ( HR. Hakim)

Artinya: Tidak ada seorangpun pemimpin yang diminta oleh Allah memimpin rakyat yang
mati

sedang dia curang terhadap rakyatnya kecuali Allah mengharamkan atas dirinya

mencium bau surga. ( HR. Muslim )


Kepemimpinan seharusnya tidak dicari apalagi diperebutkan, kecuali dalam kondisi tertentu
untuk kemaslahatan yang lebih luas. Rasulullah bersabda:

Artinya: Sungguh saya tidak akan memberikan kepemimpinan ini kepada orang yang
mencarinya, karena sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah dan akan membawa
derita nanti pada hari kiamat.
Fenomena perebutan dan bahkan transaksi jual beli kepemimpinan seperti yang sering kita
saksikan di panggung politik dewasa ini, adalah bukti kurangnya kesadaran kita untuk
melahirkan pemimpin yang benar-benar menjaga amanah dan berorentasi pada kemaslahatan
ummat. Setiap kita adalah memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, seperti yang dikatakan
oleh hadis Raulullah , namun tidak semua orang bisa untuk menjadi pemimpin, karena
tanggung jawabnya yang berat dan komplek. Menjadi pemimpin tidak otomatis seseorang
menjadi yang terbaik dan bisa segalanya, tetapi pemimpin masih butuh koreksi dari siapapun
sebagaimana butuh dukungan dari semua komponen ummat.Dalam pidato politiknya yang
pertama kali setelah dibaiat jadi khalifah Abu Bakar RA. Mengatakan: Aku telah diangkat
jadi pemimpinmu, namun bukan berarti bahwa aku orang yang terbaik diantara kalian, jika

kalian melihatku berjalan di atas jalan yang benar, maka tolong dan bantu aku, jika kalian
meliat aku menyeleweng maka luruskanlah aku.
URGENSI KEPEMIMPINAN :
Dalam kehidupan sosial keagamaan kepemimpinan adalah suatu yang sangat urgen dalam
mencapai cita-cita bersama. Hampir tidak kita dapatkan dalam sejarah kehidupan manusia
ada suatu pekerjaan dan sebuah cita cita besar yang dapat dicapai tanpa kepemimpinan. Oleh
karena itu dalam menata kehidupan manusia yang dinamis dan interaktif sudah pasti dituntut
adanya seorng pemimpin yang bertugas melaksanakan, memandu dan membawa pekerjaan
itu kearah tercapainya sasaran.
Allah mengutus Rasul-Nya hakekatnya untuk meminpin ummat agar dapat keluar dari
kegelapan menuju cahaya kehidupan.Dengan adanya kepemimpinan, suatu ummat atau
komonitas akan selalu eksis dan berkembang menuju kebaikan dan reformasi.

Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasu pada tiap-tiap ummat agar mereka
menyembah Allah saja dan menjahui thaghut. ( Al-Nahl : 36 )
Begitu urgennya kepemimpinan itu, sehingga Rasulullah SAW. Memerintahkan kepada kita
untuk mengangkat seorang pemimpin walaupun dalam komunitas yang paling kecilpun dan
sasaranya sangat sederhana. beliau bersabda:

Artinya: Apabila ada tiga orang diantara kamu keluar dalam satu perjalanan, maka hendaklah
mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin. (HR. Abu Daud)
Selain itu para ulama Islam juga telah memberikan perhatian yang serius dan khusus terhadap
masalah kepemimpinan, karena mereka meyakini bahwa kepemimpinan adalah salah satu
daya dukung agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya Siyasah Syar`iyah
mengatakan : Perlu diketahui bahwa memimpin urusan manusia

termasuk kewajiban

terbesar agama, karena tidak akan tegak agama kecuali dengan kepemimpinan.
Sesungguhnya kebutuhan anak Adam tidak akan tercapai secara sempurna kecuali dengan
berjama`ah, karena mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam jama`ah itu sudah
barang tentu harus ada seorang pemimpin.
Dalam kontek kepemimpinan pendidikan ( Qiyadah Tarbawiyah ) Imam Ghazali
mengatakan : Seorang pelajar harus memiliki seorang guru pembimbing ( mursyid ) yang
dapat membuang akhlaq yang buruk dari dalam dirinya dan menggantikannya dengan akhlaq
yang baik , ia juga harus memiliki seorang Syekh yang dapat mendidik dan menunjukanya
kepada jalan Allah Ta`ala.. Harus diakui oleh kita semua bahwa krisis yang sedang
mengepung ummat sa`at ini tiada lain karena lemahnya kepemimpinan pendidikan ( Qiyadah

Tarbawiyah ) dan hilangnya pendidik ( Murobby ) yang pemimpin dan pemimpin yang
pendidk.
Bukti lain urgensi kepemimpinan dalam Islam adalah bahwa para sahabat Rasulullah SAW.
lebih memperioritaskan

mengurus

masalah suksesi kepemimpinan Rasulullah SAW.

dibanding mengurus pemakaman Rasulullah SAW. Artinya bahwa dalam berjama`ah tidak
boleh ada kevakuman pemimpin.
Dalam sejarah kepeminnan Islam banyak istilah yang dipakai untuk menyebut seorang
pemimpin. Istilah yang dipakai itu sebenarnya mencerminkan tugas yang seharusnya
dijalankan oleh seorang pemimpin. Istilah itu diantaranya :
KHALIFAH, secara etimologis berarti pengganti atau pelanjut, dan yang dimaksud adalah
pengganti dan pelanjut tugas-tugas Rasulullah SAW. Dalam melestarikan nilai nilai agama
dan dalam mengatur kehidupan dunia. Maka dengan demikian tugas kepemimpinan dalam
Islam adalah melanjutkan tugas tugas risalah yang diemban Rasulullah.
IMAM, secara etimologis imam artinya yang diikuti dan dita`ati serta diteladani.Dalam salah
satu Hadist Rasulullah bersabda :

Artinya: Sesungguhnya seseorang dijadikan imam itu untuk diikuti. Ini mengisyaratkan
bahwa tugas seorang peminpin itu untuk diikuti dan ditaati.
AMIER, secara bahasa amier artinya adalah yang diperintah atau disuruh.Istilah ini pertama
kali dipopulerkan oleh Umar bin Khaththab RA. Ini menggambarkan bahwa seorang
pemimpin itu adalah orang yang siap diperintah dan disuruh oleh umat, demi kepentingan
mereka. Oleh karena itu tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah melayani ummat bukan
yang dilayani oleh ummat. Rasulullah mengatakan :

Artinya: Pemimpin suatu kaum itu adalah pelayan mereka.
RA`IN, arti bahasanya adalah pengembala, tugas seorang pengembala adalah menjaga,
merawat dan memberi perhatian yang penuh kepada yang digembalanya, dan itulah tugas
seorang pemimpin terhadap siapa yang dipimpinnya.
QAA `ID, arti bahasanya adalah penuntun,pembimbing, yang artinya seorang pemimpin itu
punya tugas sebagai penuntun ummat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar yang
diridhai oleh Allah., bukan menjauhkan ummat dari jalan Allah.
FUNGSI KEPEMIMPINAN :
Kepemimpinan dalam Islam memiliki fungsi, baik yang bersifat strategis maupun yang
bersifat oprasional.
Fungsi strategisnya pemimpin itu sebagai ::
1. Fasilitator yang membantu tercapainya sasaran dan tujuan jamaah.
2. Dinamisator yang menggerakan dan memotori jama`ah menuju sasaran yang ingin
dicapai.

3.

Moral force, atau kekuatan moral yang mampu

menjaga kohesi jama`ah dan

menyelesaikan konflik serta perselisihan yang mungkin terjadi di dalam jama`ah.


Sedang fungsi operasionalnya pemimpin itu sebagai :
1. Organisator yang mengorganisir dan mengatur relasi dan keterikatan antar individu atau
kelompok yang ada dalam jamaah.
2. Manajer, yang memenej berbagai potensi yang ada dalam jama`ah untuk kemudian
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan jamaah.
3. Administrator yang menata, menjaga,mengevaluasi hasil hasil yang sudah dicapai oleh
jamaah. untuk mencapai tujuan yang lebih jauh lagi.
KARAKTERISTIK PEMIMPIN YANG EFEKTIF :
Seorang pemimpin akan efektif dalam menjalankan tuganya apabila memnuhi karakteristik
berikut ini :
Memiliki sasaran yang jelas dan yakin bahwa dirinya mampu melaksanakan. Keyakinan itu
kemudian

ditranformasikan kepada orang yang dipimpinnya. Dengan memperlihatkan

kepada mereka usaha dan motivasi yang kuat secara kontinu mereka akan tambah semangat,
yang akhirnya produktivitas kerja jamaah semakin meningkat.
Tenang dan mampu menahan diri, apapun yang dihadapi seorang pemimpin, dia harus tenang
dan menahan diri, hal ini dicontohkan oleh Abu Bakar RA. ketika mendengar wafatnya
Rasulullah SAW. Beliau segera mendatangi rumah Rasulullah SAW. Dan membuka tabir
yang menutup wajahnya lalu menciumnya sambi berkata : Alangkah indahnya kematianmu,
sama seperti keindahan hidupmu. lalu ditutup lagi wajahnya, kemudian beliau keluar
menemui orang-orang dan menyampaikan pidato: Wahai sekalian manusia, barang siapa
yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya beliau sudah meninggal dunia, dan
barang siapa yang menyembah Allah , maka sesunggguhnya Allah maha Hidup dan tidak
pernah mati. lalu beliau membacakan Ayat Al-Qur`an :


Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa Rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (
Murtad ) barang siapa yang berbalik ke belakang maka dia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur. ( Ali Imron : 144 )
Bertanggung jawab, artinya seorang pemimpin harus merasa bahwa apa yang diembannya itu
adalah amanah dari Allah dan dari ummat, sehingga mendorongnya untuk melaksanakan
kepemimpinannya dengan baik. Karakteristik ini akan memberikan kontribusi keyakinan
kepada ummat yang dipimpinnya akan kemampuan pimpinanya dan menciptakan wibawa

pada ummat, yang kemudian mengantarkanya sebagai top figure dan moral force di tengahtengah masyarakat yang dipimpinnya.
Mengenali staf dan anggotanya, hal ini karena akan memberi pengaruh yang
sangat besar pada penciptaan keselarasan dalam bekerjasama dan akan memberikan motivasi
kepada anggotanya untuk bekerja lebih baik dan berinovasi. Mengenali staf dan anggota
akan memudahkan mengontrol pekerjaan mereka dari dekat dan mengetahui fakta secara
langsung. Mengenali mereka juga akan menciptakan keterbukaan dan transparansi antara
pemimpin dan yang dipimpin. Umar bin Khaththab RA selalu memperhatikan bawahannya
dan berwasiat kepada para pemimpin : Janganlah anda mendorong kaum muslimin untuk
maju menuju kehancuran demi mengharap harta rampasan. Dan janganlah anda memberikan
kepada mereka satu kedudukan sebelum anda mengeksplorasinya. Untuk mereka dan
mengetahui sumbernya (Ath-Thabari: 3/9)
Cekatan dan inovatif ( Mubadarah dan ibdaa`i ). Artinya seorang pemimpin yang efektif
harus cepat

dan tegas dalam mengambil tindakan ,karena keragu raguan dari seorang

pemimpin akan berakibat tidak baik dan menciptakan kecemasan pada bawahannya.
Memberi keteladanan dan contoh.Karakteristik ini telah memberikan pengaruh yang kuat
pada efektifitas kepemimpinan seseorang. Diakui oleh sejarah bahwa keberhasilan
kepemimpinan Rasulullah SAW. Terletak pada keteladanannya, bukan pada banyaknya
instruksi. Sebuah hikmah mengatakan Barang siapa yang menginginkan jerih payah dan
kerja yang serius dari bahannya maka ia harus menjadi contoh pertama dalam pekerjaannya.
B. Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
1. Biografi Megawati Soekarnoputri
Bernama Lengkap Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau akrab di sapa
Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai
presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman
Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator,
Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu
Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda
dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama
pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan
bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan
pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya
bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil
Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan

suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi
menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya,
dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua
Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi
jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam
dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan
politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru
pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah
seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan
keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya.
Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak
bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi
anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta
Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati
tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun
memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih
banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya,
yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya
bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP
PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan
berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono
menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa
di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi
Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum
PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah
Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan
berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI.
Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan
pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan.

Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh
menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para
pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan
kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor
DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996
kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal
itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan
perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan
simpati dari masyarakat luas.
Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI
pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah
mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak
bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi
PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil
memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP
itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai
lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya
memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari
dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan
Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid.
Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya,
Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung
tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo
Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.
2. Potret Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
a. Awal Kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri dilahirkan di Yogyakarta, tanggal 23 Januari 1947. Mega, begitu
sering ia dipanggil, menjabat sebagai Presiden Repubik Indonesia kelima mulai tanggal 23
Juli 2001 melalui Sidang Istimewa MPR.
Masa lalu Megawati yang dipenuhi dengan berbagai macam petualangan politik, membuat
Mega begitu tegar dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Saat menjabat sebagai
presiden Republik Indonesia, Megawati dikritik habis-habisan karena gaya kepemimpinannya

yang lebih banyak diam, selalu menghindari wartawan dan tidak mau berbicara banyak dalam
forum-forum resmi.
Masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri dari tahun 2001 ditandai dengan sedikit saja
pencapaian. Megawati tidak mewarisi karisma dari Ayahnya, Soekarno, tidak teralu kompeten
dalam urusan administrasi dan kepemimpinan serta dalam sikap yang pasif dan tertutup, tidak
jauh berbeda dengan gaya Soeharto. Suaminya, Taufik Kiemas dipandang sebagai dalang di
balik panggung kekuasaannya, seorang praktisi politik dan fasilitator keuangan yang andal.
Siapa saja yang menjadi presiden Republik Indonesia pada tahun 2001 pasti menghadapi
permasalahan besar yang merupakan warisan pemerintahan Soeharto, krisis ekonomi dan
sosial yang menyertai lengsernya Soeharto dan kegagalan Habibie serta Abdurrahman Wahid
untuk mengatasi hal ini. Korupsi semakin merajalela dan bahkan mungkin lebih buruk
daripada masa Soeharto. Meskipun hingga kadar tertentu terjadi pemulihan di dalam investasi
dalam dan luar negeri, korupsi, bersama dengan lingkungan umum yang ditandai oleh
ketidakpastian hukum dan sistem peradilan yang benar-benar busuk, telah memastikan bahwa
investasi tersebut tidak mencapai tingkatan yang dibutuhkan untuk memulihkan ekonomi.
b. Kepemimpinan Megawati Gagal??
Kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri sudah berjalan hampir dua tahun. Dahulu,
banyak pihak berharap kepemimpinannya akan membawa pencerahan dan perbaikan dalam
pelbagai aspek kehidupan, meski berawal dari kontroversi publik menyangkut keabsahan
konstitusional dan normatif keagamaan (Islam). Namun, kini banyak pihak mulai kehilangan
kepercayaan terhadap kepemimpinan Mega yang melupakan rakyat. Apakah ini merupakan
antiklimaks kepemimpinan perempuan yang banyak diragukan orang itu?
Sekadar menguji memori kolektif kita, tulisan ini hendak mengungkap fenomena politik
nasional yang pernah mengharubirukan jagad perpolitikan Indonesia pada tahun 2001, yakni
dilengserkannya Abdurrahman Wahid dari tahta kepresidenan dan naiknya Megawati
Sukarnoputri menjadi orang nomor wahid di negeri ini.
Masih lekat dalam benak kita, fenomena naiknya Mega ke Kursi RI 1, pada waktu itu,
sempat memunculkan kontroversi klasik menyangkut kepemimpinan (imamah) perempuan.
Setelah cooling down beberapa saat selama kepemimpinan mantan Presiden Wahid, prokontra seputar keabsahan kepemimpinan perempuan kembali meruyak di tengah masyarakat,
terutama di kalangan umat Islam.

Maraknya perdebatan dalam masyarakat seputar wacana kepemimpinan perempuan muncul


ke permukaan sebagai konsekuensi logis atas terpilihnya Megawati Sukarnoputri menjadi
Presiden kelima menggantikan Abdurrahman Wahid yang dilengserkan dalam Sidang
Istimewa (SI) MPR, 23 Juli 2001. Ia menjadi perempuan pertama (the first women) yang
menjadi Presiden di republik ini. Terpilihnya Megawati, dengan demikian, sekaligus
mengandaskan upaya-upaya sebagian kelompok umat Islam yang menolak dengan keras
hadirnya presiden perempuan.
Sebagai perempuan pertama yang berhasil menduduki jabatan Presiden Republik Indonesia,
tentu sajadiakui atau tidakMegawati memiliki keabsahan (legitimation) baik secara de
facto maupun de jure menjadi pemimpin bagi seluruh golongan, etnis, dan agama dalam
masyarakat bangsa Indonesia yang sangat majemuk dan plural ini. Dalam arti kata lain,
mandat kepresidenan sejatinya melahirkan komitmen untuk melepas seluruh atribut inheren
yang bersifat sektoral, etnisitas, dan pelbagai sentimen keberpihakan pada kelompok dan
kepentingan tertentu.
Wacana Normatif-Klasik
Sebenarnya, jauh sebelum pemilu 1999 lalu, wacana penolakan pemimpin perempuan sudah
berhembus cukup kencang. Banyak pihak melakukan penolakanterutama mereka yang
menyebutkan dirinya sebagai kelompok Islam murniperihal keniscayaan kepemimpinan
(imamah) perempuan. Secara umum mereka berpandangan bahwa laki-laki lebih kuat baik
secara fisik maupun mental ketimbang perempuan; laki-laki merupakan pemimpin kaum
perempuan (Qs. al-Nisa: 34); serta melihat pelbagai aspek yang menunjukkan kualifikasi
laki-laki yang lebih unggul.
Dari kalangan politisi, misalnya, aspirasi datang dari partai-partai yang berlabel Islam dengan
Syariat Islam sebagai dasar partai mereka. Namun, secara politis pula (parlementariat) partaipartai yang tadinya menolak kehadiran presiden perempuan harus legowo ketika dihadapkan
dengan konstitusi negara yang sah (UUD 1945) dalam pasal 8 yang menyatakan bahwa,
Apabila Presiden mangkat atau berhenti maka Wakil Presiden menggantikan Presiden.
Kenyataannya, wakil presiden adalah seorang perempuan. Maka berdasarkan konstitusi
tersebut, Megawati berhak naik menjadi Presiden.

Bagaimana pun apa yang telah diketetapkan konstitusi harus dilaksanakan, meskipun naiknya
Megawatiyang seorang wanita itumenjadi perdebatan ideologis normatif yang tak
kunjung mengenal sepakat. Toh pada dasarnya persoalan kelaikan seorang perempuan untuk
memimpin sebuah negara masih terbuka ruang untuk diperdebatkan. Dengan begitu,
ketetapan pasal 8 UUD 1945 menjadi bersifat absolut sekaligus menepis pelbagai
kontroversi yang ada, sebagaimana kaidah usul fikih yang menyatakan, Hukm al-hakim
yarfa al-khilaf(keputusan konstitusional menafikan perbedaan pandangan).
Boleh jadi, sepinya reaksi minor terhadap naiknya Megawati pada waktu itu lebih merupakan
refleksi kesadaran masyarakat tentang suatu kenyataan yang harus diterima (konstitusional)
oleh seluruh bangsa Indonesia. Kalaupun ada penolakan itu tentu datangnya dari para
pendukung mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang kecewa dan menganggap bahwa SI
23 Juli 2001 sebagai momentum yang kontroversial dan inkonstitusional. Jadi, bukan karena
persoalan jender.
Dari titik ini, tampaknya sebagian besar komponen bangsa dapat berfikir dewasa dan berjiwa
besar dengan menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas segalanya, apalagi hanya
sekadar memperdebakan sesuatu yang bersifat zhanny. Hal ini selaras dan sesuai dengan
kaidah fikih Dar al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih (menghindari kerusakan dan
perpecahan lebih utama daripada mengusung kemaslahatan).
Terlepas dari semua itu, keragaman pemahaman tentang pemimpin perempuan agaknya
dipicu oleh perbedaan dalam menginterpretasi beberapa landasan normatif yang terkesan
kontradiktif. Seperti dalam surat al-Naml ayat 2223 yang menytakan, Tak lama kemudian
burung Hudhud datang kepada Sulaiman dan berkata: Saya mengetahui apa yang Baginda
belum ketahui, saya baru datang dari negeri Saba membawa berita yang menggembirakan.
Saya berjumpa dengan seorang Ratu yang memimpin mereka. Seluruh negeri mendatangkan
sesembahan kepadanya, dia mempunyai istana yang besar. Demikian pula dalam surat Saba
ayat 15, Kaum Saba mempunyai dua taman yang subur di kiri dan kanan tempat tinggal
mereka (seraya dikatakan kepada mereka), Makanlah dari rezki yang dianugrahkan tuhan,
dan bersyukurlah kepadanya, itulah sebuah negeri yang aman dan makmur dan Tuhan adalah
maha pengampun (atas dosa-dosa mereka).
Tiga ayat di atas menggambarkan kesuksesan seorang perempuan bernama Ratu Balqis yang
telah sukses menjadi pemimpin dengan kesetiaan dan kerelaan rakyat mengabdikan diri dan

mempersembahkan apa yang dimiliki utnuk Ratu mereka, sehingga kerajaan tersebut
diabadikan dalam Alquran. Allah Swt. tentunya mempunyai alasan memuat kisah tersebut
sebagai pelajaran (ibrah) yang dapat diambil sebagai langkah aplikatif. Namun pada sisi
lain, terdapat sebuah Hadis populer yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan
bahwa, Bangsa yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada perempuan
tidak akan pernah mengalami kesuksesan (keberuntungan). Sepintas, Hadis tersebut
kontradiktif dengan ketiga ayat di atas.
Mencermati teks Hadis di atas dapat dinyatakan bahwa secara tekstual sesuatu negara tidak
akan menuai keberhasilan dan kesuksesan apabila yang memimmpin mereka adalah seorang
perempuan.

Pemahaman

seperti

itu,

dengan

demikian,

kata

Nasrudin

Baidan

dalam Metodologi Penafsiran Alquran, akan berimplikasi pada pendeskriditan secara besarbesaran terhadap kualitas kaum perempuan, sehingga dia tidak mempunyai hak sama sekali
untuk mengatur negara.
Philips K. Hitty dalam History of The Arab (1976: 671673) bahkan menyodorkan
fenomena kepemimpinan perempuan lain, selain Ratu Balqis, yang mampu memimpin suatu
negara dengan baik, sebut saja Syajarat al-Dur misalnya. Ia adalah salah seorang tokoh
perempuan yang sukses dalam kepemimpinannya, sekaligus sebagai salah seorang pendiri
kerajaan Mamluk yang wilayah kekuasaannya membentang dari Afrika Utara hingga wilayah
Asia Barat.

Perlu Obyektifikasi
Pemahaman yang seakan kontradiktif di atas perlu segera dilakukan kompromisasi dan
sinkronisasi agar umat Islam tidak kebingungan dan terjerembab dalam perdebatan yang tak
berkesudahan. Selama ini sebagian kelompok sering memahami teks-teks suci melalui
pendekatan politik (political approach) an sich,tidak dalam konteks pendekatan hukum
(legal approach). Akibatnya, tidak jarang memunculkan kontradiksi antara Ayat dan Hadis
sebagai akibat rekayasa politik kelompok tertentu.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam meneliti dan memahami lebih lanjut
terhadap Ayat dan Hadis di atas. Pertama, terlebih dahulu perlu dilakukan kritik terhadap
Hadis, baik dari sisi sanad maupun sisi matan (takhrij al-hadits), karena Alquran sudah
dinyakini kebenarannya. Menurut Musthafa al-Sibai Hadis tersebut diucapkan nabi ketika
beliau mendengar informasi bahwa puteri raja Persia telah dinobatkan sebagai ratu
menggantikan ayahnya. Padahal berdasarkan informasi historis ia tidak mempunyai kabilitas
untuk memimpin Persia, karena masih banyak orang lain yang lebih mampu dan memiliki
kapabilitas untuk menjadi raja. Jadi, faktor kapabilitas yang melatari statement (hadits)
Rasulullah tentang larangan kepemimpinan perempuan.
Untuk itu, perlu dilakukan langkah kedua. Demi memperoleh pemahaman yang benar
terhadap nash, maka pemahaman kontekstual historis terhadap asbab al-wurud suatu hadis
dan pemanfaatan kaidah nash yang berbunyi al-ibrah bi khushush al-sabab la bi umum allafzh (ungkapan itu berdasarkan kekhususan sebab bukan pada keumumamn lafaz) sangat
perlu dilakukan, setelah melihat latar belakang historis munculnya Hadis tersebut, bahwa
putri raja yang tidak mempunyai kapabilitas kepemimpinan negara itulah yang menyebabkan
negara tidak akan menuai keberhasilan dan kesuksesan, bukan karena persoalan jender, tetapi
semata-mata karena ketiadaan kapabilitas kepemimpinan. Jadi, Hadis tersebut bisa dipahami
dalam konteks pengangkatan putri raja Persia sebagai Ratu, oleh karenanya tidak bisa
digeneralisasi kepada semua perempuan.
Ketiga, disamping itu ada lagi kaidah al-ibrah bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab.
(ungkapan itu berdasarkan keumuman lafadz bukan pada kehususan sebab). Dengan kaidah
ini maka pemahaman kontekstual historis tidak diperlukan, tetapi hanya difokuskan kepada
pemahaman teks Hadis tersebut. Dalam teks Hadis tersebut terdapat kalimat amruhum yang
dalam kaidah usul fikih kata mufrad yang dapat disandarkan pada ism al-marifat, maka
kalimat tersebut mengandung konotasi yang umum, maksudnya semua urusan mereka.
Sehingga maksud Hadis tersebut adalah suatu bangsa tak akan pernah memperoleh
kesuksesan jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya) kepada kebijakan
perempuan sendiri (tanpa melibatkan kaum laki-laki).
Ketiga langkah di atas diharapkan mampu untuk memberikan pencerahan terhadap pro-kontra
kepemimpinan perempuan. Harus diakui, gagalnya kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
sebagai representasi kekuatan perempuanmembawa dampak yang tidak strategis bagi

masa depan kepemimpinan perempuan di negeri ini. Quo vadis kepemimpinan perempuan?
(Fajar Banten, 2003)
C. Kepemimpinan Perempuan dalam Prespektif Islam
Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, NasaI dan Turmudzi. Bahwa
Rasulullah bersabda:
Artinya:tidak akan sukses (beruntung) suatu kaum yang menyerahkan (menguasakan)
urusan mereka kepada seorang perempuan.
Hadits ini daru segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan
kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna) hadits ini menunjukkan
dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan Negara. Meski dalam bentuk
ikhbar dilihat dari sighatnya hadits ini tidak otomatis menunjukkan hokum mubah. Sebab,
parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuahkhitab berhukum wajib,
sunnah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasinya), bukan sighatnya (bentuk
kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang
menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini
merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata
qaumun ini memberikan makna umum (aam). Artinya kata qaum diatas berlaku untuk
semua kaum, termasuk kaum muslim didalamnya. Sedangkan latar belakang turunnya hadits
ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab,
lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil
syara. Karena latar belakang bukanlah hadits nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi
diatas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukumnya. Oleh karena latar
belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil.
Adapun hukum yang terkandung didalam pembahasanya sebagai berikut. Meski,
hadts ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun didalam lafadz hadits itu ada qarinah
yang menunjukkan keharamannya secara pasti.
Sementara al-Quran justru mengatakan sebaliknya. Al-Quran memaparkan kisah seorang
Ratu yang memimpin kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba, hal ini disebutkan
dalam al-Quran surat as-Saba ayat 15:
Artinya:sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan) : makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugrahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun.
Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang berpikir lincah, bersikap hati-hati dan teliti
dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak gegabah dan buru-buru dalam memutuskan sesuatu,

sehingga ketika ditanya tentang singgasananya yang telah dipindahkan itu, ia menjawab
dengan ungkapan diplomatis, tidak dengan jawaban vilgar yang dapat menjebak. Bahkan
kecerdasan Balqis dan berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat
keindahan istana Sulaiman yang lantainya dari marmer yang berkilauan laksana air. Dalam
ketakjuban itu, Ratu Balqis tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia
mengatakan:
Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
kepada Sulaiman kepada Allah, tuhan semesta alam
Ini hanyalah sebuah ungkapan yang hanya dapat diucapkan oleh orang yang cerdas.Dikala ia
dalam kondisi tetapi ia merangkul lawannya dan menundukan diri kepada zat yang lebih
tinggi daripada Sulaiman (Surah an-Naml: 40).
Demikian al-Quran bercerita tentang kepemimpinan seorang perumpuan dengan
menceritakan contoh histories Ratu Balqis di negeri Saba yang merupakn gambaran
perempuan yang mempunyai kecemerlangan pemikiran. Ketajaman pandangan, kebijaksanan
dalam mengambil keputusan, dan stategi politik yang baik. Waktu ia mendapat surat dari nabi
Sulaiman ia bermusyawarah dengan para pembesarnya. Walaupun mersa kuat dan siap
menghadapi perang melawan Sulaiman, namun ia mempunyai pandangan yang jauh. Ia tidak
ingin negerinya hancur dan rakyat menjadi korbannya. Karena ia mempunyai intuisi, bahwa
Sulaiman itu seorang nabi. Maka tidaklah bijaksana melawan Sulaiman itu kebenaran yang
tentu dijamin oleh tuhan dengan kemenangan.
Juga tidaklah bijaksana mengahalangi kaum dan rakyatnya untuk menikmati kebenaran
tersebut dengan berperang melawannya untuk mempertahankan kebatilan. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu negara (Presiden
atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya kaum laki-laki, bila mereka memiliki kriteria
persyaratan sebagai pemimpin.
Jadi kalau hadits Abi Bakrah di atas mengatakan bahwa: Tidah bahagia suatu kaum yang
mengangkat pemimpin mereka seorang perempuan, al-Quran justru menyebutkan
sebaliknya. Al-Quran telah menceriatakan bagaimana kepemimpinan ratu Balqis yang dapat
mempin negerinya dengan baik dan sangat memperhatikan kemashlatan rakyatnya.
Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Quran mengandung makna implicit bahwa
perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh sebab itu Muhamad
Jarir ath-Thabary dan ibnu Hazm berpendapat bahwa hadits Abi Bakrah tersebut hanya
melarang perempuan menjadi top leader seperti kepala Negara Islam atau khalifah.

DAFTRAR PUSTAKA
Gibtiah,M.Ag, 2006, Fiqih Kontemporer, IAIN Raden Fatah Press, cet. 1, Palembang.
Hawi, Akmal, 2007, kepemimpinan Dalam Islam, IAIN Raden Fatah
Press, cet. 1,
Palembang
http://www.gaulislam .com/keemimpinan perempuan dalam pandangan islam

Anda mungkin juga menyukai