Anda di halaman 1dari 7

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

FAKTOR - FAKTOR BERHUBUNGAN KEJADIAN


INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA ANAK BALITA
Factors - Factors Related Events Acute Respiratory Infection (ARI)
in children under five year
Fahmi Amrulniza dan Elvi Juliansyah
Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Kapuas Raya Sintang
Abstract
ARI is an acute infectious process lasts for 14
days. Higher incidence of respiratory causes
higher infant mortality. ISPA needed
awareness for the prevention of high society.
This study aims to determine the factors
associated with the incidence of ARI in the
Village Mensiku Sintang. Type of this research
is a quantitative study using cross-sectional
design with a sample of 55 people. Techniques
of data collection using questionnaires, data
analysis using univariate and bivariate analysis
using chi square statistical test. The results
showed that there was a significant relationship
between population density (p value = 0.007),
use of firewood (p value = 0.014), knowledge
(p value = 0.049), attitude (p value = 0.030),
practice (p value = 0.024) , there was no
significant relationship between the availability
of ventilation (p value = 0.956) in the
incidence of ARI. It can be concluded 43.6%
junior high school education and 54.5%
female, 56.4% of high population density,
ventilation 56.4%, 74.5% use firewood low,
69.1% good knowledge, 56, 4% and 52.7%
being either good practice.
Key words : Under five year, ARI
Abstrak
ISPA merupakan proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari. Tingginya kasus
ISPA menyebabkan kematian bayi semakain
tinggi. Untuk pencegahan ISPA diperlukan
kesadaran masyarakat yang tinggi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian ISPA di
Desa Mensiku Kabupaten Sintang. Jenis
peneltian ini merupakan penelitian kuantitatif
menggunakan rancangan cross sectional
dengan sampel sebanyak 55 orang. Teknik

28

pengumpulan data menggunakan kuesioner,


analisis data menggunakan analisis univariat
dan bivariat menggunakan uji statistik uji chi
square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan bermakna antara kepadatan
penduduk (p value = 0,007), penggunaan kayu
bakar (p value = 0,014), pengetahuan (p value
= 0,049), sikap (p value = 0,030), praktik (p
value = 0,024), tidak ada hubungan bermakna
antara ketersediaan ventilasi (p value = 0,956)
dengan kejadian ISPA. Dapat disimpulkan
43,6% berpendidikan SMP dan 54,5% berjenis
kelamin perempuan, 56,4% kepadatan
penduduk tinggi, 56,4% tersedia ventilasi,
74,5% penggunaan kayu bakar rendah, 69,1%
berpengetahuan baik, 56,4% bersikap baik dan
52,7% berpraktik baik.
Kata kunci : Balita, ISPA
Pendahuluan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
adalah proses infeksi akut berlangsung selama
14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme
dan menyerang salah satu bagian, dan atau
lebih dari saluran napas, mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah),
termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura (Erlien,
2008). Gejala awal yang timbul biasanya
berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti
dengan napas cepat dan napas sesak. Pada
tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran
bernapas, tidak dapat minum, kejang,
kesadaran menurun dan meninggal bila tidak
segera diobati. Usia balita adalah kelompok
yang paling rentan dengan infeksi saluran
pernapasan. Kenyataannya bahwa angka
morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih
tinggi pada balita di negara berkembang
(Erlien, 2008).

Wawasan Kesehatan

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

World Health Organization (WHO)


memperkirakan insidens Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di Negara
berkembang padalah 15%-20% pertahun pada
golongan usia balita, sedangkan kematian
balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup.
Menurut WHO 13 juta anak balita di dunia
meninggal setiap tahun dan sebagian besar
kematian tersebut terdapat di Negara
berkembang, dimana pneumonia merupakan
salah satu penyebab utama kematian dengan
membunuh kurang lebih 4 juta anak balita
setiap tahun (Asrun, 2006).
Kasus ISPA di Indonesia selalu menempati
urutan pertama, penyebab kematian bayi pada
tahun 2008 yaitu 36,4 % dan 32,1% kematian
bayi pada tahun 2009, serta 18,2% kematian
balita pada tahun 2010 dan 38,8% tahun 2011.
ISPA juga sering berada pada 10 penyakit
terbanyak di rumah sakit. Berdasarkan data
dari Pemberantasan Penyakit (P2) program
ISPA tahun 2009 cakupan penderita ISPA
melampaui target 13,4%, hasil yang diperoleh
18.749 kasus sementara target yang di tetapkan
hanya 16.534 kasus. Survey mortalitas yang di
lakukan
Subdit
ISPA
tahun
2010
menempatkan ISPA sebagai penyebab
kematian bayi terbesar di Indonesia dengan
persentase 22,30% dari seluruh kematian balita
(Depkes RI, 2012).
Di Kalimantan Barat kasus ISPA masih
sangat tinggi, jumlah kasus ISPA pada balita
umur 1- 4 tahun di Kalimantan Barat pada
tahun 2011 sebanyak 2.023 kasus dan
termasuk jumlah tertinggi dalam golongan
kelompok umur (Profil Kesehatan Indonesia
2011) dan untuk di Kabupaten Sintang jumlah
kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada balita tahun 2010 di temukan 10.146
kasus dan di tahun 2011 sebanyak 23.058
kasus. (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Sintang).
Di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) Mensiku, penemuan
penderita ISPA pada balita tahun 2011
sebanyak 122 kasus (8,1%) (profil kesehatan
Kabupaten Sintang 2011) dan pada tahun 2012
meningkat sebanyak 473 kasus (23,7%) (Profil
Kesehatan Kabupaten Sintang 2012).
Berdasarkan uraian tersebut, penyakit ISPA
merupakan salah satu penyakit dengan angka
kesakitan dan angka kematian yang cukup
tinggi, sehingga dalam penanganannya
diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari
masyarakat maupun petugas, terutama tentang

Wawasan Kesehatan

beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian


ISPA pada balita. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada balita
antara
lain
faktor perilaku dan faktor
lingkungan. Dari faktor lingkungan sering
terjadi pada saat musim kemarau, akibat dari
debu jalanan dan banyaknya aktifitas
pembakaran lahan pada saat musim kemarau.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti
kebiasaan merokok keluarga dalam rumah
sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA
karena semakin banyak penderita gangguan
kesehatan akibat merokok ataupun menghirup
asap rokok (bagi perokok pasif) yang
umumnya adalah perempuan dan anak-anak
(Erlien 2008).
Metode
Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian yang di teliti. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki
anak balita berumur 1-5 tahun yang mengalami
ISPA yang ada di Desa Mensiku Kecamatan
Binjai Hulu Kabupaten Sintang sebanyak 69
orang. Sampel adalah sebagian ibu yang
memiliki anak balita berumur 1-5 tahun di
Desa Mensiku Kecamatan Binjai Hulu
Kabupaten Sintang. Penentuan jumlah sampel
menggunakan rumus dari Notoatmodjo (2010).
Hasil
Distribusi responden berdasarkan kejadian
ISPA, tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap,
praktik, kepadatan penduduk, ketersediaan
ventilasi, dan penggunaan kayu bakar
sebagaimana dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan kejadian
ISPA, tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap,
praktik,
kepadatan
penduduk,
ketersediaan
ventilasi, dan penggunaan kayu bakar.
Kategori
Kejadian ISPA
Pernah
Tidak pernah
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Pengetahuan
Kurang baik
Baik
Sikap
Kurang baik

Jumlah

Persentase

22
33

40,00
60,00

3
22
24
6

5,50
40,00
43,60
10,90

22
33

40,00
60,00

24

43,60

29

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

Baik
Praktik
Kurang baik
Baik
Kepadatan
penduduk
Rendah
Tinggi

31

56,40

26
29

47,60
52,70

24
31

43,60
56,40

Ketersedian
ventilasi
Tersedia
Tidak tersedia
Penggunaan kayu
bakar
Rendah
Tinggi

31
24

56,40
43,60

41
14

74,50
25,50

Tabel 2. Hubungan pengetahuan, sikap, praktik, kepadatan penduduk, ketersediaan ventilasi, dan penggunaan
kayu bakar

Variabel
Pengetahuan
Sikap
Praktik
Kepadatan
Penduduk
Ketersediaan
Ventilasi
Penggunaan
Kayu Bakar

Baik
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Buruk
Rendah
Tinggi
Tersedia
Tidak Tersedia
Rendah
Tinggi

Kejadian ISPA
Tidak
Pernah
Pernah
N
%
N
%
9
27,3
24
72,7
13
59,1
9
40,9
8
25,8
23
74,2
14
58,4
10
41,6
7
24,1
22
75,9
15
57,7
11
42,3
15
62,5
9
37,5
24
77,4
7
22,6
13
42,0
18
58,0
9
37,5
15
62,5
12
29,3
29
70,7
10
71,4
4
28,6

Berdasarkan Tabel 2 ibu dengan


pengetahuan kurang baik menyebabkan
kejadian ISPA pada anak balita dengan
frekuensi pernah sebanyak 13 (59,1%), dengan
frekuensi tidak pernah sebanyak 9 (40,9%).
Sedangkan ibu dengan pengetahuan baik
menyebabkan kejadian ISPA pada anak balita
dengan frekuensi pernah sebanyak 22 (40%)
dan frekuensi tidak pernah sebanyak 33
(60%).Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,038 lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan kejadian ISPA.
Hasil Odds Ratio (OR) diperoleh nilai 3,852
dengan 95% Confidence Interval (CI)=1,22712,095 dapat diartikan bahwa responden yang
berpengetahuan kurang baik memiliki risiko 34 kali terjadi ISPA.
Berdasarkan Tabel 2 ibu dengan sikap
kurang baik menyebabkan kejadian ISPA pada
anak balita dengan frekuensi pernah sebanyak
14 (58,4%), dengan frekuensi tidak pernah
sebanyak 10 (41,6%) sedangkan ibu dengan
sikap baik menyebabkan kejadian ISPA pada
anak balita dengan frekuensi pernah sebanyak
8 (25,8%) dan frekuensi tidak pernah sebanyak
23 (74,2%). Hasil uji statistik diperoleh nilai

30

Total
n
33
22
31
24
29
26
24
31
31
24
41
14

%
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100

OR
95%
CI

P
Value

3,862

0,038

4,025

0,030

4,286

0,024

5,714

0,007

1,204

0,956

0,166

0,014

p=0,015 lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat


disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara sikap dengan kejadian ISPA. Hasil Odds
Ratio (OR) diperoleh nilai 4,025 dengan 95%
Confidence Interval (CI)=1,284-12,619 dapat
diartikan bahwa responden yang bersikap
kurang baik memiliki risiko 2-3 kali terjadi
ISPA.
Berdasarkan Tabel 2 ibu dengan praktik
kurang baik menyebabkan kejadian ISPA pada
anak balita dengan frekuensi pernah sebanyak
15 (57,7%) dan frekuensi tidak pernah
sebanyak 11 (42,3%). Sedangkan ibu dengan
praktik baik menyebabkan kejadian ISPA pada
anak balita dengan frekuensi pernah sebanyak
7 (24,1%) dan frekuensi tidak pernah sebanyak
22 (75,9%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,015 lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara praktik dengan kejadian ISPA. Hasil
Odds Ratio (OR) diperoleh nilai 4,286 dengan
95% Confidence Interval (CI)=1,353-13,572
dapat diartikan bahwa responden yang
berpraktik kurang baik memiliki risiko 4 kali
terjadi ISPA.
Berdasarkan Tabel 2 kepadatan penduduk
rendah menyebabkan kejadian ISPA pada anak

Wawasan Kesehatan

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

balita dengan frekuensi pernah sebanyak 15


(62,5%), dengan frekuensi tidak pernah
sebanyak 9 (37,5%). Sedangkan pada
kepadatan penduduk tinggi menyebabkan
kejadian ISPA pada anak balita dengan
frekuensi pernah sebanyak 24 (77,4%), dan
dengan frekuensi tidak pernah sebanyak 7
(22,6%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,007 lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara kepadatan penduduk dengan kejadian
ISPA. Hasil Odds Ratio (OR) diperoleh nilai
5,714 dengan 95% Confidence Interval
(CI)=1,756-18,591 dapat diartikan bahwa
kepadatan penduduk tinggi memiliki risiko 5-6
kali terjadi ISPA dibandingkan dengan
kepadatan penduduk rendah.
Berdasarkan Tabel 2 ketersediaan ventilasi
yang tersedia menyebabkan kejadian ISPA
pada anak balita dengan frekuensi pernah
sebanyak 13 (42,0%), dengan frekuensi tidak
pernah sebanyak 18 (58,0%). Sedangkan
ketersedian ventilasi yang tidak tersedia
menyebabkan kejadian ISPA pada anak balita
dengan frekuensi pernah sebanyak 9 (37,5%)
dan pada frekuensi tidak pernah sebanyak 15
(62,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,956 lebih besar dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara ketersediaan ventilasi dengan
kejadian ISPA.Hasil Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai 1,965 dengan 95% Confidence
Interval (CI)=0,404-3,586 dapat diartikan
bahwa tidak tersedia ventilasi memiliki risiko 1
kali terjadi ISPA.
Berdasarkan Tabel 2 penggunaan kayu
bakar tidak ada menyebabkan kejadian ISPA
pada anak balita pernah sebanyak 12 (29,3%)
dan tidak pernah sebanyak 29 (70,7%).
Sedangkan pada penggunaan kayu bakar ada
menybabkan kejadian ISPA pada anak balita
pernah sebanyak 10 (71,4%) dan tidak pernah
sebanyak 4 (28,6%). Hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,014 lebih kecil dari =
0,05. Maka dapat disimpulkan ada hubungan
yang bermakna antara penggunaan kayu bakar
dengan kejadian ISPA. Hasil Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai 0,166 dengan 95% Confidence
Interval (CI)=0,043-0,632 dapat diartikan
bahwa penggunaan kayu bakar yang tinggi
memiliki risiko 1 terjadinya ISPA.

Wawasan Kesehatan

Pembahasan
Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian
ISPA Pada Anak Balita di Desa Mensiku
Kecamatan Binjai Hulu
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,038
lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini menunjukan ibu dengan
pengetahuan kurang baik menyebabkan
kejadian ISPA pada anak balita dengan
frekuensi pernah sebanyak 13 (59,1%), dengan
frekuensi tidak pernah sebanyak 9 (40,9%).
Sedangkan ibu dengan pengetahuan baik
menyebabkan kejadian ISPA pada anak balita
dengan frekuensi pernah sebanyak 22 (40%)
dan frekuensi tidak pernah sebanyak 33 (60%).
Hasil Odds Ratio (OR) diperoleh nilai 3,852
dengan 95% Confidence Interval (CI)=0,0530.869 dapat diartikan bahwa responden yang
berpengetahuan kurang baik memiliki risiko 34 kali terjadi ISPA. Kenyataan ini sesuai
dengan tinjauan teori. Pengetahuan merupakan
bagian yang sangat penting untuk terjadinya
tindakan seseorang. Sedangkan kedalaman
pengetahuan seseorang dapat diketahui melalui
tingkatan yang mereka miliki mulai dari
tingkatan tahu, seseorang hanya mampu
menyebut istilah-istilah saja berdasarkan apa
yang dipelajari atau yang dialaminya.
Kemudian masuk ke dalam tingkatan
memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo,
2007).
Pengetahuan
merupakan
faktor
predisposing yang sangat menentukan untuk
membentuk
perilaku
sehingga
adanya
pengetahuan yang tinggi maka seseorang dapat
mewujudkan suatu tindakan yang positif.
Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat
pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong
untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik
pula (Notoatmodjo, 2007). Didukung pula
dengan penjelasan Notoatmodjo (2007) bahwa
pengetahuan merupakan domain kognitif yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru
atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan,
maka apa yang dipelajari antara lain perilaku
tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya
apabila perilaku baru atau adopsi perilaku tidak
didasari oleh pengetahuan maka tidak akan
berlangsung lama.

31

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

Hubungan Sikap dengan Kejadian ISPA


Pada Anak Balita di Desa Mensiku
Kecamatan Binjai Hulu
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,015
lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara sikap dengan kejadian ISPA. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa ibu dengan
sikap kurang baik menyebabkan kejadian ISPA
pada anak balita dengan frekuensi pernah
sebanyak 14 (58,4%), dengan frekuensi tidak
pernah sebanyak 10 (41,6%) sedangkan ibu
dengan sikap baik menyebabkan kejadian
ISPA pada anak balita dengan frekuensi pernah
sebanyak 8 (25,8%) dan frekuensi tidak pernah
sebanyak 23 (74,2%). Hasil Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai 4,025 dengan 95% Confidence
Interval (CI)=1,284-12,619 dapat diartikan
bahwa responden yang memiliki sikap kurang
baik memiliki risiko 2-3 kali terjadi ISPA.
Sikap adalah kesiapan seseorang untuk
bertindak secara tertentu terhadap hal-hal
tertentu. Sikap dapat bersifat positif dan
negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi,
mengharapkan
objek tertentu. Sedangkan
dalam sikap negatif terdapat untuk menjauhi,
menghindari, membenci, dan tidak menyukai
objek tertentu (Notoatmodjo, 2010). Objek
baru yang didapat akan menimbulkan
pengetahuan baru pada subjek dan akan
menimbulkan respon dalam bentuk sikap.
Hubungan Praktik dengan Kejadian ISPA
Pada Anak Balita di Desa Mensiku
Kecamatan Binjai Hulu
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,015
lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara praktik dengan kejadian ISPA. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa ibu dengan
praktik kurang baik menyebabkan kejadian
ISPA pada anak balita dengan frekuensi pernah
sebanyak 15 (57,7%) dan frekuensi tidak
pernah sebanyak 11 (42,3%). Sedangkan ibu
dengan praktik baik menyebabkan kejadian
ISPA pada anak balita dengan frekuensi pernah
sebanyak 7 (24,1%) dan frekuensi tidak pernah
sebanyak 22 (75,9%). Hasil Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai 4,286 dengan 95% Confidence
Interval (CI)=1,353-13.572 dapat diartikan
bahwa responden yang berpraktik kurang baik
memiliki risiko 4 kali terjadi ISPA.
Suatu sikap belum otomatis terwujud
dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan

32

sikap menjadi suatu perbuatan nyata


diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang yang memungkinkan antara lain
fasilitas. Setelah seseorang mengetahui
stimulus atau objek kesehatan kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap
apa yang diketahui, proses selanjutnya
diharapkan ia akan melaksanakan atau
mempraktekkan apa yang diketahui atau
sikapinya (dinilai baik). Indikator praktek
kesehatan yaitu:
1. Tindakan (praktek) sehubungan dengan
penyakit
2. Tindakan atau perilaku ini mencakup:
pencegahan penyakit mengimunisasikan
anaknya, melakukan pengurasan bak
mandi seminggu sekali.
3. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan.
4. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan
5. Perilaku ini mencakup antara lain:
membuang air besar di jamban (WC),
membuang sampah ditempat sampah,
menggunakan air bersih.
Hubungan Kepadatan Penduduk dengan
Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Desa
Mensiku Kecamatan Binjai Hulu
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,007
lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara kepadatan penduduk dengan kejadian
ISPA. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
kepadatan penduduk rendah menyebabkan
kejadian ISPA pada anak balita dengan
frekuensi pernah sebanyak 15 (62,5%), dengan
frekuensi tidak pernah sebanyak 9 (37,5%).
Sedangkan pada kepadatan penduduk tinggi
menyebabkan kejadian ISPA pada anak balita
dengan frekuensi pernah sebanyak 24 (77,4%),
dan dengan frekuensi tidak pernah sebanyak 7
(22,6%). Hasil Odds Ratio (OR) diperoleh nilai
5,714 dengan 95% Confidence Interval
(CI)=1,765-18.591 dapat diartikan bahwa
kepadatan penduduk yang tinggi memiliki
risiko 5-6 kali terjadi ISPA dibandingkan
dengan kepadatan penduduk rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa keluarga
yang mempunyai jumlah anggota keluarga
yang banyak dan tinggal dengan kondisi
perumahan yang memenuhi syarat kesehatan
kurang berdampak terhadap kejadian ISPA
pada balita. Ukuran kamar tersebut disusaikan
dengan umur dan jumlah penghuninya, agar
terhindar dari penyakit saluran pernapasan

Wawasan Kesehatan

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

maka ukuran ruang tidur minimal 9m3 untuk


setiap orang yang berumur di atas lima tahun.
Untuk umur dibawah lima tahun ukurang
ruang tidur 4,5 m3, luas lantai minimal 3,5 m2
untuk setiap orang dengan tinggi langit-langit
tidak kurang dari 2,75 m. umumnya balita
yang menderita penyakit ISPA berasal dari
keluarga
yang
mempunyai
kepadatan
penduduk yang tidak memenuhi syarat
kesehatan (65%). Menurut Lubis (2005)
menyatakan kondisi ruangan yang pada terasa
cukup panas dan lembab, oleh karena uap air
yang dihasilakn dari penguapan metabolisme
tubuh.
Hubungan Ketersediaan Ventilasi dengan
Kejadian ISPA
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,956
lebih besar dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara ketersediaan ventilasi dengan
kejadian
ISPA.
Hasil
penelitian
ini
menunjukan bahwa ketersediaan ventilasi yang
tersedia menyebabkan kejadian ISPA pada
anak balita dengan frekuensi pernah sebanyak
13 (42,0%), dengan frekuensi tidak pernah
sebanyak 18 (58,0%). Sedangkan ketersedian
ventilasi yang tidak tersedia menyebabkan
kejadian ISPA pada anak balita dengan
frekuensi pernah sebanyak 9 (37,5%) dan pada
frekuensi tidak pernah sebanyak 15 (62,5%).
Hasil Odds Ratio (OR) diperoleh nilai 1,965
dengan 95% Confidence Interval (CI)=0,4043.586 dapat diartikan bahwa responden yang
tidak memiliki ventilasi memiliki risiko 1 kali
terjadi ISPA.
Menurut
Winslow
dan
APHA
menjelaskan bahwa salah satu kriteria rumah
sehat adalah terdapatnya ventilasi yang cukup
dan memenuhi syarat kesehatan. Penyakit
ISPA umumnya terjadi pada balita yang
berasal dari rumah yang mempunyai ventilasi
tidak memenuhi syarat kesehatan, karena
ventilasi berguna untuk menyediakan udara
segar kedalam dan pengeluaran udara kotor
dari ruangan tertutup. Kurangnya ventilasi
menyebabkan minimnya sirkulasi udara bersih
dan segar dalam rumah, selain itu akan
menyebabkan naiknya kelembaban udara.
Hubungan Penggunaan Kayu Bakar dengan
Kejadian ISPA
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,014
lebih kecil dari = 0,05. Maka dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna

Wawasan Kesehatan

antara penggunaan kayu bakar dengan kejadian


ISPA. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
penggunaan
kayu
bakar
tidak
ada
menyebabkan kejadian ISPA pada anak balita
pernah sebanyak 12 (29,3%) dan tidak pernah
sebanyak 29 (70,7%). Sedangkan pada
penggunaan kayu bakar ada menybabkan
kejadian ISPA pada anak balita pernah
sebanyak 10 (71,4%) dan tidak pernah
sebanyak 4 (28,6%). Hasil Odds Ratio (OR)
diperoleh nilai 0,166 dengan 95% Confidence
Interval (CI)=0,043-0,632 dapat diartikan
bahwa pengguna kayu bakar memiliki risiko 1
kali terjadi ISPA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ISPA lebih banyak terjadi pada balita yang
menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar
dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan
karena asap hasil pembakaran bahan bakar
untuk memasak dengan konsentrasi tinggi
dapat merusakan makanisme pertahanan paru
sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.
Asap pembakaran mengandung berbagai
partikel, seperti Timbal (Pb), Besi (Fe),
Mangan (Mn), Arsen (Ar), Cardium (Cd) yang
dapat menyebabkan iritasi pada mukosa
saluran nafas sehingga saluran pernapasan
mudah mengalami infeksi (Alfrida, 2003).
Partikel-partikel tersebut bila masuk ke dalam
tubuh akan menyebabkan sel epitel dan
silianya mudah rusak sehingga benda asing
yang masuk ke dalam saluran pernafasan tidak
dapat dikeluarkan. Dengan demikian, saluran
pernapasan akan mengerut yang disebabkan
oleh saraf-saraf yang terdapat di dalam saluran
pernapasan terganggu. Respon yang diberikan
tubuh bila mengalami keadaan tersebut adalah
mengeluarkan sekret atau benda asing secara
aktif melalui batuk.
Kondisi fisik rumah merupakan salah satu
penyebab tingginya keterpaparan terhadap asap
kayu bakar dalam konsentrasi tinggi pada
penghuni rumah, khususnya balita. Rumah
dengan dapur yang tidak memperhatkan aspek
kesehatan dapat mempengaruhi tingginya
keterpaparan terhadap asap kayu bakar dengan
dosis yang tinggi. Dapur yang tidak dilengkapi
dengan ventilasi dan letak dapur di dalam
rumah serta berdekatan dengan ruangan tempat
balita tidur dan bermain dapat meningkatkan
kemungkinan balita untuk terpapar dengan
asap kayu bakar dalam dosis tinggi. Hal ini
dimungkinkan karena anak balita lebih banyak
berada di dalam rumah bersama-sama ibunya
(mukono, 2006). Selain ventilasi dan letak

33

Volume 1, Nomor 1 Juli 2014

dapur, faktor lain yang mempengaruhi tinggi


keterpaparan asap kayu bakar terhadap
penghuni rumah adalah keberadaan cerobong
asap.

6.

Kesimpulan
Hasil
penelitian
diambil
kesimpulan
derdasarkan distribusi responden yang tidak
pernah kejadian ISPA sebanyak 60%. Ada
hubungan antara pengetahuan ibu dengan
kejadian ISPA pada anak balita. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p value = 0,038 dan
lebih kecil dari = 0,05. Ada hubungan antara
sikap ibu dengan kejadian ISPA pada anak
balita. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value
= 0,030 dan lebih kecil dari = 0,05. Ada
hubungan antara praktik ibu dengan kejadian
ISPA pada anak balita. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p value = 0,024 dan lebih kecil
dari = 0,05. Ada hubungan antara kepadatan
penduduk dengan kejadian ISPA pada anak
balita. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value
= 0,007 dan lebih kecil dari = 0,05. Tidak
ada hubungan antara ketersediaan ventilasi
dengan kejadian ISPA pada anak balita. Hasil
uji statistik diperoleh nilai p value = 0,956 dan
lebih besar dari = 0,05. Ada hubungan antara
penggunaan kayu bakar dengan kejadian ISPA
pada anak balita. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p value = 0,014 dan lebih kecil dari =
0,05. Dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat/ibu sehingga mampu melakukan
pencegahan terhadap kejadian ISPA dengan
tidak melakukan kegiatan pembakaran lahan
pada musim kemarau. Meningkatkan program
promosi kesehatan masyarakat tanpa terkecuali
agar setiap masyarakat memiliki pengetahuan
yang sama dalam memahami tentang
pencegahan penyakit menular khususnya
ISPA.

8.

Daftar Pustaka
1.
Adam.
2003.
Metodologi
Penelitian. Rineka Cipta: Jakarta
2.
Alfrida. 2003. Perumahan Sehat,
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Depkes R.I.: Jakarta
3.
Arikunto. 2006. Manajemen
Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta
4.
Asrun. 2006. Infeksi Saluran
Pernafasan Akut.: Jakarta
5.
Departemen Kesehatan. 2007.
Profil Kesehatan di Indonesia. R.I :
Jakarta

21.

34

7.

9.

10.
11.

12.
13.

14.
15.

16.

17.

18.
19.
20.

22.

23.

__________________.2008,
Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes
R.I: Jakarta
__________________.2011,
Profil Kesehatan Indonesia: Jakarta
__________________.2012,
Profil Kesehatan Indonesia: Jakarta
Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Sintang.
2011.
Profil
Kesehatan
Kabupaten Sintang :Sintang
________________. 2012. Profil
Kesehatan Kabupaten Sintang :Sintang
Erlien. 2008. Penyakit Saluran
Pernafasan, Sunda Kelapa Pustaka:
Jakarta
Iwansain, 2007. Penyakit Saluran
Pernafasan. Fitramaya : Yogyakarta
Justin. 2006. Hubungan Sanitasi
Rumah Tinggal dengan Kejadian Penyakit
Pneumonia 2006.Skripsi S1.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhalu:
Kendari.
Karna.
2006.
Epidemiologi
Penyakit Menular. Rineka Cipta: Jakarta
Lamusa. 2006. Hubungan Faktor
Lingkungan
dan
Prilaku
Dengan
Kejadian ISPA. Skripsi S1. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Unhalu: Kendari
Noor.
2008.
Pengantar
Epidemiologi Penyakit Menular. Rineka
Cipta: Jakarta
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta:
Jakarta
____________.
2007.
Ilmu
Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta
____________. 2010. Metodologi
Penelitian. Rineka Cipta: Jakarta
WHO. 2003. Penanganan ISPA
pada Balita di Rumah Sakit Berkembang.
Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Mukono, 2006. Prinsip Dasar
Kesehatan
Lingkungan.
Airlangga
University Press: Surabaya
Rosmaliah. 2008. Infeksi Saluran
Pernafasan
Akut
dan
Penanggulangannya.
http://www.pppl.depkes.go.id/images_dat
a. diakses pada juli 2013
system Respirasi. 2009. http : //
www.Wikipedia.com.
Diakses
pada
September 2013.

Wawasan Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai