Anda di halaman 1dari 14

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nomor CM

34.53.53

Nama

Ny. D

Umur

36 tahun

Jenis kelamin

Perempuan

Agama

Islam

Alamat

Taman Wisma Blok TggA, Gamur No.69 Bekasi

Tanggal masuk

28 februari 2010

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis : 1 maret 2010
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan adanya benjolan pada payudara sebelah
kiri.
Riwayat Penyakit Penyerta :
a.
Alergi obat
b. Asma
c.
Hipertensi
d. Penyakit jantung

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

Riwayat Kebiasaan :
Merokok

: disangkal

Alkohol

: disangkal.

Morfin

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Diabetes melitus

: disangkal

Hipetensi

: disangkal

Penyakit jantung

: disangkal

Riwayat operasi dan anestesi


Pasien pernah menjalani operasi caesar sekitar 4 tahun yang lalu.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda vital

: TD = 100/70 mmhg
Nadi = 88x / menit
RR = 16x / menit
Suhu = 36 C

Berat badan

: 48 kg

Tinggi badan

: 158 cm

Kepala

: Bentuk mesocephal , rambut hitam dan agak tipis

Kulit

: Tidak pucat , tidak sianosis

Mata

: Konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik

THT :
Telinga: Liang lapang , secret (-) , serumen (+), bentuk normal
Hidung

: Septum deviasi (-), secret (-), bentuk normal

Mulut- tenggorok: mukosa mulut tidak hiperemis, dan tidak ada pembesaran
tonsil, Mallampati I
Leher

: Trakea berada ditengah


Tidak ada pembesaran KGB

Thorax

Paru : vesikuler pada semua lapang paru, tidak ada ronki, tidak ada wheezing.
Jantung : BJ I dan II normal, tidak ada murmur dan galop.
Ekstremitas

: Akral hangat, tidak ada edema ataupun sianosis di keempat


ekstremitas.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah rutin

Hb

:13,3 g/dl

Ht

: 41 %

Eritrosit

: 5,3 juta /uL

Leukosit

: 15.300 /uL

Trombosit

: 300.000 /uL

Masa perdarahan

: 145

Masa pembekuan

: 315

MCV

: 92 fl

MCH

: 30 pg

MCHC

: 32 g/dL

Kimia

Ureum

: 11 mg / dl

Kreatinin

: 0,8 mg / dl

Glukosa sewaktu

: 64 mg/dL

EKG : Dalam batas normal.


Foto thorax :

Sinus, diafragma, dan CTR < 50%

Kedua hillus normal


Tidak tampak infitrat
Tidak tampak proses spesifik aktif dikedua paru.
Kesan : Cor pulmo normal
V. Kesimpulan
Pasien seorang wanita, usia 36 tahun, status fisik ASA I dengan diagnosa TMS
suspect FAM akan menjalani eksisi biopsi dengan anestesi umum dengan ETT nafas
kendali.

PRE OPERASI
A. Persiapan pasien
1.

Informed consent :

bertujuan untuk memberitahukan kepada pasien tentang

tindakan medis apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana


pelaksanaannya, kemungkinan hasilnya dan resiko tindakan yang akan
dilakukan.
2.

Penandatanganan surat persetujuan operasi oleh pasien sendiri atau oleh


keluarga pasien yang merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga pasien
yang menunjukan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilaksanakan
sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, keluarga pasien tidak akan
mengajukan tuntutan.

3.

Pasien dipuasakan sejak jam 02.00 WIB tanggal 1 maret 2010 yang bertujuan
untuk

mengosongkan

lambung

pasien

sebelum

pembedahan

untuk

menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung selama


induksi yang akan membahayakan pasien.
4.

Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi. Anamnesa singkat yang


meliputi BB, umur, riwayat penyakit asma, alergi obat, kebiasaan merokok dll
Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD 110/70 mmHg, Nadi
80x/menit, RR 17x/menit.

5.

Pembersihan tubuh pasien dari benda-benda yang dapat mengganggu


kelancaran proses anestesi dan operasi seperti asesoris dan cat kuku.

6.

Mengganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi

7.

Di kamar operasi pasien ditidurkan terlentang lalu dipasangkan infus

8.

Pemberian premedikasi dilakukan di ruang operasi

B. Persiapan Alat Anastesi


1. Mesin anastesi
- Komponen I : Sumber gas, flowmeter dan vaporizer
- Komponen II: Sirkuit napas / system ventilasi yaitu open , semi open ,
semiclose
- Komponen III: Alat penghubung sistem ventilasi dengan pasien yaitu sungkup
muka dan pipa ombak.
2. Elektrokardiografi ( EKG )
3. Sfigmomanometer digital
4. Oksimeter/saturasi
5. Suction
6. Guedel
7. Sungkup muka ( face mask )
8.
9.

Infus set dan cairan infus


Plester.

10. Peralatan intubasi seperti laringoskopi, spuit, ETT No 6.5 7,5 serta stetoskop

untuk persiapan andaikan terjadi gagal nafas pada pasien, spuit 20 cc,gel, plester.

C. Persiapan Obat Anestesi


1. Premedikasi

: fentanyl

2. Obat induksi

: Propofol

3. Obat pelumpuh otot

: Atrakurium besylate

4. Maintenance anastesia

: Gas N2O : O2 (2:2), isofluran 1-2 % V

5. Analgesia

: Ketorolak

6. Obat obat resusitasi

: Atropin
Efedrin

7. Obat-obat lain

: Antibiotik (cefotaxim 1 gr)


Antiemetik (odansentron 8 mg)
Dexametason 5 mg
Reverse ( Sulfas Atropin + Prostigmin )

8. Cairan Ringer Laktat


D. Pelaksanaan anestesi
Pukul 10.30 , Pasien dibaringkan di meja operasi. Dilakukan pemasangan IV
line, monitor EKG, oksimeter pulse. Tekanan darah dan nadi pasien diukur (TD :
110/70 mmHg, nadi 80x/menit). Saturasi Oksigen 98%.
Pukul 10.45, pasien posisi supine dilakukan anestesi umum dengan
premedikasi menggunakan fentanyl, dosis : 1-2 mcg/kgbb (Dosis untuk pasien : 2
mcg x 48 kg = 96 mcg (100 mcg)). Obat induksi menggunakan Propofol, dosis 2
2,5 mg/kgbb (Dosis untuk pasien : 2 mg x 48 kg = 96 mg), dimasukkan sebanyak
120 mg. Setelah pasien tertidur (masuk dalam sleep dose), dimasukkan obat
pelumpuh otot Atrakurium besylate, dosis : 0,4 0,6 mg/kgbb (Dosis pasien : 0,5
mg x 48 kg = 24 mg), sebanyak 30mg. Pasien di sungkup dan diberikan ventilasi
positif O2 6 lpm selama 3 menit, kemudian dilakukan intubasi untuk pemasangan
ETT NKK no. 7 dengan cuff (+), kemudian dilakukan pengecekan dengan
stetoskop pada empat lapangan paru, didapatkan suara udara sama kiri dan kanan,
ETT berhasil. Pengaturan pada mesin TV 420x/menit, Respiration Rate 12x/menit,
I/E 1:2. Maintenance anastesia digunakan Gas N2O : O2 (2:2), Isofluran 1-2 % V.
Pada pukul 10.55, Diberikan dexametason 5 mg
Operasi dimulai11.00 pada pukul, pasien diberikan Ketorolak 30 mg dan
Odansentron 8 mg. Pukul 11.20 diberikan Cefotaxim 1gr, setelah sebelumnya
dilakukan tes alergi. Pada pukul 11.35 operasi selesai. Pukul 11.40 , dilakukan
usaha mengembalikkan nafas spontan pasien dengan memberikan O2, setelah
pasien dapat bernafas spontan dilakukan ekstubasi. Anestesia berakhir.

Terapi Cairan
Cairan Ringer Laktat yang diberikan selama operasi adalah sekitar 700 cc,
jumlah ini telah sesuai dengan jumlah kebutuhan cairan pasien pada 1,5 jam pertama.
Pemberian cairan dilanjutkan di perawatan guna memenuhi kebutuhan cairan. Infus
dicabut bila pasien sudah bisa intake peroral
Perhitungan kebutuhan cairan pasien :
I.
88 + 192 + (1/2 x 528) = 544 ml
II.
88 + 192 + (1/4 x 528) = 412 ml
III.
412 ml
IV.
88 + 192 = 280 ml
E. Post Operasi
Setelah operasi dan anestesia berakhir, pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar.
Pasien tiba di ruang pulih sadar Pk. 11.50 WIB. Kemudian dilakukan penilaian pulih
sadar menggunakan skor aldrete, didapatkan keadaan pasien Sadar apabila dipanggil
(skor 1), bernafas spontan, nafas dalam (skor 2), tekanan darah berubah tidak lebih dari
20% prabedah (skor 2), pasien mampu menggerakan keempat ekstremitas (skor 2),
warna kulit pasien kemerahan, tidak pucat (skor 2). Maka skor Aldrete adalah 9,
sehingga pasien diperbolehkan pindah ke ruang perawatan.

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesia Umum Dengan ETT Nafas Kendali

Anestesi umum diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan


penderita mengalami analgesia, amnesia, dan tidak sadar sedangkan otot-otot
mengalami relaksasi dan penekanan terhadap refleks-refleks yang tidak diharapkan.1
Anestetik umum yang poten diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena. pada
beberapa penderita dan prosedur pembedahan, pemberian anestesi lokal dan dosis
rendah anestesi umum dapat menghasikan analgesia dan meminimalkan efek-efek yang
tidak dikehendaki dari beberapa obat selektif.1
Ventilasi mekanik adalah upaya bantuan nafas dengan alat bantu nafas mekanik
(ABNM) atau ventilator sebagai alat pengganti fungsi pompa dada yang mengalami
kelelahan atau kegagalan. Alat bantu nafas mekanik juga digunakan dalam mengatasi
gangguan ventilasi-perfusi paru.2
Tujuan utama ventilasi mekanik adalah untuk menjamin ventilasi oksigenasi yang
adekuat, mengurangi kerja nafas, dan memperbaiki gangguan oksigen di alveoli.2

I. Controlled Mechanical Ventilation (nafas kendali)2


Teknik ini merupakan cara yang paling umum diaplikasikan terutama pada
unit terapi intensif dan di kamar operasi untuk fasilitas anestesia. Pola nafas
penderita secara keseluruhan diambil alih oleh alat bantu nafas mekanik, pusat
nafas dilumpuhkan dengan hiperventilasi, sedativa dan narkotik, sedangkan otot
pernafasan dilumpuhkan dengan obat pelumpuh otot. Aplikasi metode ini
memberikan kesempatan otot pernafasan istirahat, namun aplikasinya tidak
dianjurkan lebih dari 48 jam. Kelemahan dari aplikasi ini adalah apabila terjadi
diskoneksi antara penderita dengan alat bantu nafas mekanik tanpa adanya sistem
alarm akan berakibat fatal bagi penderita, disamping itu sering terjadi
ketidakserasian antara mesin dan penderita apabila penderita mulai ada reaksi nafas
spontan. Penurunan aliran darah balik dan curah jantung, penurunan aliran limfe
paru, oliguri, kerusakan surfaktan, fibrosis paru, perubahan rasio V/Q dan atropi
ototnafas, merupakan risiko atau penyulit berikutnya dari aplikasi ventilasi
mekanik. Oleh karena itu aplikasinya dibatasi hanya pada keadaan tertentu yang
sangat khusus sesuai dengan indikasi, antara lain pada pasien yang mengalami

henti nafas akibat depresi pusat nafas, gangguan saraf otot dan pada keadaan
tertentu misalnya untuk homeostasis ekstrakranial pasca iskemi otak global.
Pengelolaan penderita dengan ventilator :
1. Intubasi endotrakeal dan trakeostomi
Penderita yang akan diberikan ventilasi mekanik harus dilakukan
intubasi endotrakeal baik oral maupun

nasal dengan pipa endotrakea yang

mempunyai balon bertekanan rendah. Bahkan pada kasus yang diperkirakan


diberikan tunjangan ventilasi mekanik lebih dari 5- 7 hari, dilakukan
trakeostomi primer.2
Indikasi intubasi endotrakeal :
Menjaga jalan nafas oleh sebab apapun,
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi,
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.3
Kesulitan intubasi :
Leher pendek dan berotot
Mandibula menonjol
Maksila/gigi depan menonjol
Uvula tidak terlihat
Gerakan sendi temporomandibular terbatas
Garakan vertebra servikal terbatas.3
2. Penataan (setting) awal ventilator2
Setelah pipa endotrake atau trakeostomi terpasang baik, dilanjutkan
pemberian nafas buatan dengan pompa manual, sambil menilai masalah sistem
organ yang lain. Kemudian dilanjutkan dengan metode nafas kendali dengan
penataan ventilator:
Volume tidal, frekuensi nafas, rasio waktu inspirasi dan ekspirasi, fraksi
inspirasi oksigen, tekanan inflasi.
3. Pemantauan2
Pemantauan dilakukan secara ketat dan kontinyu, baik pada pasien
maupun pada kerja alat bantu nafas mekanik. Parameter respirasi dan non
respirasi pasien, keterpaduan gerak nafas antara penderita dengan mesin,
aktivitas pasien dan otomatisasi mesin selalu diperhatikan serta sistem alarm
mesin selalu harus on. Pantau beberapa penyulit yang mungkin terjadi,
misalnya barotrauma yang bisa menyebabkan keadaan memburuk. Pada

10

penderita sadar, komunikasi perlu dilakukan terutama untuk tindakan- tindakan


yang akan dilakukan padanya.
Keadaan penyulit yang berhubungan dengan masalah ventilasi, paling
sering disebabkan karena diskoneksi antara penderita dan mesin atau kebocoran
pada sirkuit pernafasannya.

II. Obat- obatan Anestesia


Premedikasi3
Fentanyl memiliki kekuatan 100x lebih besar dari morfin. Lebih larut dalam
lemak dibandingkan petidin dan dapat menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena, ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan morfin tetapi fraksi terbesarnya dirusak oleh paru ketika pertama
melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
Efek sampingnya adalah depresi nafasnya lebih lama dibandingkan dengan efek
analgesinya. Dosis 1-3 mcg/kgBB analgesinya kira- kira hanya sekitar 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah.
Dosis besar 50-150 mcg/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan
pemeliharaan anestesia dengan kombinasi benzodiazepin dan anestesia inhalasi dosis
rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai adalah kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah
peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, aldosteron dan kortisol.
Induksi1,3
Propofol merupakan sedatif/hipnotika IV yang digunakan untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi. Mula kerjanya pelan dan terjadi dalam waktu kira-kira 40 detik
pemberian. Tambahan narkotik untuk analgesia diperlukan karena rasa nyeri yang
ditimbulkan pada saat pemberian. Propofol dapat menyababkan terjadinya depresi
pada SSP, kadar dalam plasma yang tinggi dapt menyebabkan terjadinya eksitasi.
Propofol dapat menurunkan tekanan darah tanpa mendepresi miokardium dan dapat
juga mengurangi tekanan intrakranial.
Dosis bolus untuk induksi 2 2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi IV total 4
12 kg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengeneran hanya
boleh dengan dekstrosa 5 %. Pada manula dosisi harus dikurangi, pada anak < 3 tahun
dan wanita hamil tidak disarankan.

11

Relaxan3
Atrakurium merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif,
takikurare) dengan durasi aksi intermediet berikatan dengan reseptor nikotinik
kkolinergik tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, obat ini hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Atrakurium merupakan histamin release. Keuntungan memakai atrakurium
adalah aman untuk hepar dan ginjal, sehingga pada pasien dengan gangguan ginjal
dan hati aman digunakan.
Dosis awal atrakurium 0,5- 0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg.kgBB.Onset of
action terjadi dalam 3 menit, dan duration of action dari atrakurium adalah 20-45
menit.
Pelumpuh otot depolarisasi seperti suksinilkolin tidak digunakan karena
memiliki efek samping yang banyak, seperti :
1. Nyeri otot pasca pemberian
2. Peningkatan tekanan intraokuler
3. Peningkatan tekanan intrakranial
4. Peningkatan tekanan intragastrik
5. Peningkatan kadar kalium plasma
6. Aritmia jantung
7. Salivasi
8. alergi, anafilaksis
Pelumpuh otot depolarisasi bekerjanya seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf
otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sinap,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai dengan fasikulasi yang disusul relaksasi otot
lurik.
Maintanance Anestesia2,3
Isofluran merupakan eter berhalogen, berbau tajam, dan tidak mudah terbakar.
Keuntungan penggunaannya adalah irama jantung stabil dan tidak terangsang oleh
adrenalin serta induksi dan masa pulih cepat. Isofluran pada dosis anestetik atau
subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen tetapi meninggikan
aliran darah dan tekanan intrakranial. Hal ini dapat dicegah dengan tekhinik anestesi
hiperventilasi. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi tekhnik hipotensi.
Dosis induksi 3 3,5% dalam O2 atau kombinasi N2O : O2 . Dosis rumatan 0,5
3%.
Isofluran dipilih karena :
Halotan pada dosis besar dapat menyebabkan depresi nafas, menurunnya tonus
simpatis,

terjadinya

hipotensi,

bradikardi,

12

vasodilatasi

perifer, depresi

vasomotor, depresi miokard dan inhibisi baroreseptor. Halotan juga menghambat

pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.


Enfluran dapat menyebabkan gangguan fungsi hepar pada EEG menunjukkan
tanda- tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia. Efek depresi nafas lebih kuat

dibanding halotan dan lebih iritatif.


Desfluran lebih mudah menguap dibandingkan anestetik volatil lain sehingga
perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Bersifat simpatomimetik
menyebabkan takikardi dan hipertensi. Desfluran merangsang jalan nafas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

III. Penatalaksanaan Nyeri Pasca Bedah2


Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesik
Ladder. Tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu
terdiri dari :
1. Langkah pertama, menggunakan obat analgesik non opioid,
2. Bila masih tetap nyeri naik ke langkah kedua, yaitu ditambah obat opioid lemah,
3. Bila belum reda atau menetap, maka langkah ke tiga, digunakan opioid keras
yaitu morfin.
Pada kasus ini dipakai analgesik non narkotik yaitu ketorolak, disertai adjuvan
untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik, memberantas gejala- gejala yang
menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe
nyeri.
Ketorolak3
Ketolorak efek analgesinya dicapai dalam waktu 30 menit, maksimal setelah 1-2
jam dengan lama kerja 4-6 jam, dan penggunaannya dibatasi dalam 5 hari. Dosis awal
10- 30 mg, dan dapat diulang 4-6 jam kemudian sesuai dengan kebutuhan sesuai
dengan kebutuhan. Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid sedangkan sifat
antipiretik dan antiinflamasinya rendah. Cara kerjanya adalah menghambat sintesis
prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di susunan saraf pusat.
Obat Adjuvan3
Obat adjuvan yang dipakai adalah kortikosteroid deksametason. Obat ini bersifat
mempertinggi taraf alam perasaan yang sedang menurun, dan selanjutnya bersifat
anti-inflamasi, antiemetik, meningkatkan nafsu makan membantu mengatasi kaheksia
dan anoreksia.

IV.Obat- obat Lain

13

1. Antibiotik
Sefotaksim4
Sefotaksim merupakan sefalosporin generasi ketiga yang sangat aktif
terhadap berbagai kuman gram positif maupun gram negatif aerobik. Waktu
paruh plasma sekitar 1 jam dan tiap 6 sampai 12 jam. Metabolitnya adalah
desasetilsefotaksim yang kurangaktif. Dosis yang digunakan untuk dewasa
adalah 1-2 g/6-12 jam.
2. Antiemetik
Ondansetron5
Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif.
Penggunaan Ondansetron adalah mencegah dan mengobati mual dan muntah
pasca bedah. Diberikan dengan cara IV secara lambat, 4 mg, tanpa diencerkan
dalam 1-5 menit. Jika perlu dosis dapat diulang. Awitan aksi terjadi dalam waktu
<30 menit, dengan lama aksi 12-24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganiswara, Sulistia G., dkk. Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Jakarta. FKUI. 2005

14

2. Mangku, Gde, Tjokorda Gde Agung Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi, Jakarta. PT. Macanan Jaya Cemerlang. 2010
3. A.Latief, Said.. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi kedua, Jakarta. Bagian
Farmakologi dan Terapi Intensif FKUI. 2001
4. Gunawan, Sulistia Gan., dkk. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Jakarta. FKUI. 2009
5. Omoigui, Sota. Buku Saku Obat- obatan Anestesia Edisi II, Jakarta. EGC. 1997

15

Anda mungkin juga menyukai