Anda di halaman 1dari 10

Tahapan Perkembangan moral Lawrence Kohlberg

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya, seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago
berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya
akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958
yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari
Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia
mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif.
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan
moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama
kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya. Ia tertarik
bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada
dalam persoalan moral yang sama. Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan
moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Konsep
kunci dari teori Kohlberg ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku
yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik
dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita dimana tokohtokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap
cerita yang dilakukan oleh masing-masing tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh
kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg yang paling populer:
Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker. Ada suatu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang barubaru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat
mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari
pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan
menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal
untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah
dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon
agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau memperbolehkannya membayar
setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, Tidak, aku menemukan obat, dan aku
harus mendapatkan uang dari obat itu. Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu
untuk mencuri obat bagi istrinya .
Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi
responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri
obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk

mencuri obat bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker
memiliki hak untuk mengenakan harga semahal itu walaupun tidak ada suatu aturan hukum
yang membatasi harga? Mengapa atau mengapa tidak?. Berdasarkan penalaran tersebut,
Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke
dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan:
pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan
perkembangan konstruktif, setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih
memenuhi syarat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya :
1. Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
Penalaran pra-konvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral,
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal. Seperti dalam
tahap heteronomous Piaget, anak-anak menerima aturan figur otoritas, dan tindakan yang
dinilai oleh konsekuensi mereka. Perilaku yang mengakibatkan hukuman dipandang sebagai
buruk, dan mereka yang mengarah pada penghargaan dilihat sebagai baik. Tingkat prakonvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa
juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan
moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris:
a. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience orientation) ialah tahap
pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral
didasarkan atas hukuman, seseorang memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan
dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang
orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis
otoriterisme. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Anak-anak pada tahap ini sulit untuk mempertimbangkan dua sudut pandang dalam
dilema moral. Akibatnya, mereka mengabaikan niat orang-orang dan bukan fokus
pada ketakutan otoritas dan menghindari hukuman sebagai alasan untuk bersikap
secara moral.
b. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?).
Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap kedua dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan
kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik
untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan
apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Anak-anak menyadari bahwa orang dapat memiliki
perspektif yang berbeda dalam dilema moral, tetapi pemahaman ini adalah, pada awalnya
sangat konkret. Mereka melihat tindakan yang benar sebagai yang mengalir dari kepentingan

diri sendiri. Timbal balik dipahami sebagai pertukaran yang sama nikmat Anda melakukan
ini untuk saya dan saya akan melakukannya untuk Anda.
2. Tingkat 2 (Konvensional)
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan
moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah, seseorang mentaati
standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal)
orang lain, seperti orang tua atau masyarakat. Pada tingkat konvensional, seseorang terus
memperhatikan kesesuaian dengan aturan-aturan sosial yang penting, tetapi bukan karena
alasan kepentingan diri sendiri. Mereka percaya bahwa aktif dalam memelihara sistem sosial
saat ini memastikan hubungan manusia yang positif dan ketertiban masyarakat. Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini
menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat:
c. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik).
Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk
menjadi anak manis. Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearah
sosialitas dan moralitas kelompok. Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang
menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan
pertimbangan-pertimbangan moral.Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta
tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok. Keinginan untuk
mematuhi aturan karena mereka mempromosikan hubungan harmoni sosial muncul dalam
konteks hubungan pribadi yang dekat. Seseorang ingin mempertahankan kasih sayang dan
persetujuan dari teman-teman dan kerabat dengan menjadi orang baik, bisa dipercaya, setia,
menghormati, membantu, dan baik. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral
orang tuanya pada tahap ini. Sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai
seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik, seseorang memasuki masyarakat dan
memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orangorang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan
tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga
menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini.
d. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan).
Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas
pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Pada kondisi ini dimana
seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk
menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas. Seseorang

memperhitungkan perspektif yang lebih besar dari hukum masyarakat. pilihan moral tidak
lagi tergantung pada hubungan dekat dengan orang lain. Sebaliknya, peraturan harus
ditegakkan dengan cara sama untuk semua orang, dan setiap anggota masyarakat memiliki
tugas pribadi untuk menegakkan mereka serta mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam
tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap
tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering
menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila
seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada
kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
3. Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standarstandar orang lain. Seseorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan,
dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi. Seseorang pada tingkat
pasca-konventional bergerak di luar tidak perlu diragukan lagi dukungan untuk peraturan dan
undang-undang masyarakat mereka sendiri. Mereka mendefinisikan moralitas dalam hal
prinsip abstrak dan nilai-nilai yang berlaku untuk semua situasi dan masyarakat. Tingkatan
pasca-konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam
dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah
dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum
perspektif masyarakat. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak
didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral
alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode
moral pribadi:
e. Orientasi kontrak sosial.
Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights versus individual rights)
ialah tahap kelima dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang
memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat
berbeda dari satu orang ke orang lain, menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat,
tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai,
seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum. Seseorang dipandang sebagai memiliki
pendapat dan nilai-nilai yang berbeda. Pada tahap ini penting bahwa mereka dihormati dan
dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan
dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti
benar atau absolut memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak?. Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturanaturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh
melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis
tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Seseorang menganggap hukum dan aturan
sebagai instrumen yang fleksibel untuk melanjutkan tujuan manusia. Mereka dapat
membayangkan alternatif tatanan sosial mereka, dan mereka menekankan prosedur yang adil

untuk menafsirkan dan mengubah hukum. Ketika hukum konsisten dengan hak-hak individu
dan kepentingan mayoritas setiap orang mengikuti mereka karena orientasi partisipasi
kontrak sosial bebas dan bersedia dalam sistem karena membawa lebih baik bagi orang-orang
dari pada jika tidak ada.
f. Prinsip etika universal.
Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap keenam dan tertinggi
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap tertinggi, tindakan yang benar
didefinisikan sendiri, prinsip-prinsip etis yang dipilih dari hati nurani yang berlaku untuk
semua umat manusia, tanpa hukum dan kesepakatan sosial. Penalaran moral berdasar pada
penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Bila menghadapi konflik secara
hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin
melibatkan resiko pribadi. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan, juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis.
Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis
secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran
sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus, dengan cara ini tindakan tidak pernah
menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan
karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Kohlberg percaya bahwa ketiga tingkat dan keenam tahap tersebut terjadi dalam suatu urutan
dan berkaitan dengan usia:
1. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak berpikir tentang dilema moral dengan cara
yang prakonvensional.
2. Pada awal masa remaja, mereka berpikir dengan cara-cara yang lebih konvensional.
3. Pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan cara-cara yang
pascakonvensional.
C. Perkembangan Moral Anak-Anak
Perkembangan moral anak terbentuk melalui fase-fase atau periode-periode seperti halnya
perkembangan aspek-aspek lain. Tiap fase perkembangan mempunyai ciri-ciri moralitas yang
telah dapat dicapai oleh anak, sekalipun dalam hal ini tidak ada perbedaan atas batas-batas
yang jelas dan lebih bergantung pada setiap individu dari pada norma-norma umumnya yang
terjadi pada anak-anak .
1. Perkembangan Moralitas pada anak usia 3 tahun
Sebagaimana yang telah diterangkan seorang bayi yang baru dilahirkan merupakan mahluk
yang belum/non moral. Bayi atau anak-anak yang masih muda sekali tidak mangetahui
norma-norma benar atau salah. Tingkah lakunya semata-mata dikuasai oleh dorongan yang
didasari dengan kecendrungan bahwa apa yang menyenangkan akan diulang, sedangkan yang
tidak enak tidak akan diulang dalam tingkah lakunya. Anak pada masa ini masih sangat muda

secara intelek, untuk menyadari dan mengartikan bahwa sesuatu tingkah laku adalah tidak
baik, kecuali bilamana hal itu menimbulkan perasaan sakit.
2. Perkembangan Moralitas pada anak usia 3-6 tahun
Pada usia dasar-dasar moralitas terhadap kelompok sosial harus sudah terbentuk. Kepada si
anak tidak Iagi terus menerus diterangkan mengapa perbuatan ini salah atau benar, tetapi ia
ditunjukkan bagaimana ia harus bertingkah laku dan bilamana hal ini tidak dilakukan maka ia
kena hukum. Ia memperlihatkan sesuatu perbuatan yang baik tanpa mengetahui mengapa ia
harus berbuat demikian. Ia melakukan hal ini untuk menghindari hukuman yang mungkin
akan dialami dari lingkungan sosial atau memperoleh pujian. Pada usia 5 atau 6 tahun anak
sudah harus patuh terhadap tuntutan atau aturan orang tua dan lingkungan sosialnya. Ucapanucapan orang lain seperti; baik, tidak boleh, nakal, akan disosialisasikan anak dengan konsep
benar atau salah. Penanaman konsep moralitas pada anak-anak ini mungkin mengalami
kesulitan oleh karena sifa-sifat pembangkangan terhadap perintah dan sifa-sifat egoisme.
3. Perkembangan moralitas pada anak usia 6 tahun sampai remaja
Pada masa ini anak laki-laki maupun perempuan belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Dengan demikian nilai-nilai atau kaidah-kaidah
moral untuk sebagian besar lebih banyak ditentukan oleh norma-norma yang terdapat
didalam lingkungan kelompoknya. Pada usia 10 sampai 12 tahun anak dapat mengetahui
dengan baik alasan-alasan atau prinsip-prinsip yang mendasari suatu aturan. Kemampuannya
telah cukup berkembang untuk dapat membedakan macam-macam nilai moral serta dapat
menghubungkan konsep-konsep moralitas mengenai: kejujuran, hak milik, keadilan dan
kehormatan. Pada masa mendekati remaja, anak sudah mengembangkan nilai-nilai moral
sebagai hasil pengalaman-pengalaman anak lain. Nilai-nilai ini sebagian akan menetap
sepanjang hidupnya dan akan mempengaruhi tingkah lakunya sebagaimana hal ini terjadi
ketika masih anak-anak. Sebagian lain sedikit demi sedikit mengalami perubahan karena
hubungan-hubungan dengan lingkungannya menyebabkan timbulnya konflik-konflik, karena
nilai-nilai moral lingkungan yang berbeda dengan nilai-nilai yang sudah terbentuk. (Gunarsa,
1990, hal 46-48).
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral ini sesungguhnya banyak sekali yang
terpenting antara lain:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap orang dalam masyarakat
Keyakinan agama yang didasarkan pada pengertian yang sesungguhnya dan sejalan tentang
ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut
merupakan benteng moral yang paling kokoh. Apabila berkeyakinan beragama itu betul-betul
telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, keyakinannya itulah yang akan
mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaanya jika terjadi tarikan orang kepada
sesuatu yang tampaknya cepat berpindah meneliti apakah hal tersebut boleh atau terlarang
oleh agamanya. Andaikan yang termasuk terlarang betapapun tarikan luar itu tidak akan
diindahkannya karena takut melaksanakan yang dilarang oleh agamanya.

2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil


Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan,
baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Kegoncangan atau ketidakstabilan suasana
yang menyelimuti seseorang menyebabkan cemas dan gelisah, akibat tidak dapatnya
mencapai rasa aman dan ketentraman dalam hidup. Misalnya apabila keadaan ekonomi
goncang, harga barang-barang naik turun dalam batas yang tidak dapat diperkirakan lebih
dahulu oleh orang-orang dalam masyarakat, maka untuk mencari keseimbangan jiwa
kembali, orang terpaksa berusaha keras. jika ia gagal dalam usahanya yang sehat, disinilah
terjadi penyelewengan.
3. Banyaknya tulisan dan gambar yang tidak mengindahkan dasar moral
Suatu hal yang belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah tulisan-tulisan, bacaanbacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, kesenian-kesenian dan permainan-permainan yang
seolah-olah mendorong anak-anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi moral dan
mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keinginan dan
kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi begitu saja. Lalu digambarkan dengan
sangat realistis, sehingga semua yang tersimpan di dalam hati anak-anak muda diungkap dan
realisasinya terlihat dalam cerita lukisan atau permainan tersebut. Ini pun mendorong anakanak muda ke jurang kemerosotan moral.
4. Tidak terlaksananya pendidikan moral yang baik
Faktor keempat yang juga penting, adalah tidak terlaksananya pendidikan moral yang baik,
dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pembinaan moral, seharusnya dilaksanakan
sejak si anak kecil, sesuai dengan kemampuan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum
mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan
moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang
dianggap baik buat pertumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral
itu. juga perlu diingatkan bahwa pengertian moral, belum dapat menjamin tindakan moral.
Pada dasarnya moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu pengetahuan yang dapat dicapai
dengan mempelajari, tanpa membiasakan hidup bermoral dari kecil dan moral itu tumbuh
dari tindakan kepada pengertian, tidak sebaliknya.
5. Kurangnya kasadaran orang tua akan pentingnya pendidikan moral dasar sejak dini
Moral adalah salah satu buah iman oleh karena itu maka agar anak mempunyai moral yang
bagus harus dilandasi dengan iman dan terdidik untuk selalu ingat pasrah kapada-Nya,
dengan begitu anak akan memiliki bekal pengetahuan untuk terbiasa mulia, sebab benteng
religi sudah mengakar di dalam hatinya.
6. Banyaknya orang melalaikan budi pekerti
Budi pekerti adalah mengatakan atau melakukan sesuatu yang terpuji atau perangai yang
baik. Penanaman budi pekerti dalam jiwa anak sangat penting apabila dilihat dari hadits Nabi:
Seorang bapak yang mendidik anaknya adalah lebih baik dari pada bersedekah sebanyak
satu sha. Tidak ada pemberian seorang bapak kepada anaknya yang lebih baik dari pada
budi pekerti. Namun sebagian orang tua melalaikan kepentingan pembinaan budi pekerti dan

sopan santun anak. Para orang tua yang malang itu tidak sadar, bahwa ia telah
menjerumuskan anaknya sendiri ke jurang, padahal pembinaan budi pekerti adalah hak anak
atas orang tuanya seperti hak makan, minum serta nafkah.
7. Suasana rumah tangga yang kurang baik
Faktor yang terlihat dalam masyarakat sekarang ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga
kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima, saling
menghargai, saling mencintai diantara suami istri. Tidak rukunnya ibu bapak menyebabkan
gelisahnya anak-anak mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah
orang tua yang tidak rukun. Anak-anak yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong kepada
perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan dari rasa hatinya, biasanya mengganggu
ketentraman orang lain.
8. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang
Suatu faktor yang telah ikut juga memudahkan rusaknya moral anak-anak muda, ialah
kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu luang, dengan cara yang baik dan sehat. Pada
rentang usia dini akhir adalah usia dimana anak suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh
atau sulit dijangkau. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan dalam mengisi waktu luang
maka akan banyak lamunan yang kurang sehat timbul dari mereka.
9. Kurangnya tempat layanan bimbingan
Terakhir perlu dicatat, bahwa kurangnya tempat layanan bimbingan dan penyuluhan yang
akan menampung dan menyalurkan anak-anak ke arah mental yang sehat. Dengan kurangnya
atau tidak adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu,
maka pergilah mereka berkelompok dan bergabung kepada anak-anak yang juga gelisah. Dari
sinilah akan keluar model kelakuan anak yang kurang menyenangkan.
E. Usaha-Usaha Perkembangan Moral pada Anak
1. Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak
Kecerdasan moral dihidupkan oleh imajinasi moral, yaitu kemampuan individu yang tumbuh
perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah. Tingkah laku
moral anak pada penghayatannya adalah sewaktu perilaku moral tumbuh sebagai tanggapan
terhadap caranya diperlakukan di rumah dan di sekolah. Anak-anak yang memiliki
kecerdasan moral mempunyai perilaku yang baik, lembut hati dan mau memikirkan orang
lain (empati). Pada anak usia 6-7 tahun sudah memiliki hasrat yang jelas untuk bersikap
bijaksana, sopan, murah hati. Pada kenyataannya mereka melihat dunia sebagai orang lain
melihatnya untuk mengalami dunia melalui mata orang lain. Kecerdasan moral tidaklah
dicapai hanya dengan mengenal kaidah dan aturan, hanya dengan diskusi abstrak di sekolah
atau saat di dapur. Individu tumbuh secara moral sebagai dari kegiatan meniru atau
mempelajari bagaimana bersikap terhadap orang lain. Anak-anak merupakan saksi apa yang
dilihat dan didengar, dia akan memperhatikan moralitas orang dewasa melihat dan mencari
isyarat bagaimana orang harus berperilaku, baik akan banyak melihat para orang tua, guru
dalam mengurangi kehidupan, melakukan pilihan ataupun menyapa orang. Anak-anak akan
menyerap dan mencatat apa yang mereka amati dari orang dewasa, yang hidup dan

melakukan sesuatu dengan jiwa tertentu. Kemudian sejalan dengan perilaku moralnya
tumbuh, anak-anak akan dengan secara tegas memberitahukan kepada apa yang telah dia
saksikan. Makna yang mereka peroleh dan sikap moral kita adalah anak tidak akan merasa
kesulitan mengutarakan hal-hal yang mereka lihat dan perilaku moral kita yang sedikit
menyimpang.
2. Sifat Timbal Balik Pembinaan Akhlak
Itulah apa yang dapat diberikan kepada kita oleh anak-anak kita dan apa yang dapat kita
berikan kepada mereka. Kesempatan untuk belajar dan mereka bahkan waktu kita mencoba
mengajar mereka. Kita dapat membantu membentuk kecerdasan moral seorang anak dengan
membicarakan masalah-masalah suara hati, keprihatinan etis, berulang kali walau tanpa
persiapan namun dengan kata-kata yang tegas dan pengalaman dan tanggapan kita terhadap
pengalaman-pengalaman yang telah terjadi. Satu terhadap yang lain sewaktu kita
merasakannya dia akan merasa kita anggap anak yang dapat memahami perilaku moral.
Adapun cara menumbuhkan perilaku moral pada anak bisa kita lakukan dengan berbagai
macam cara mengamati orang yang baik. Seperti mengajak anak untuk mengamati seseorang
yang mempunyai kepribadian yang baik dan bagaimana proses menjadi orang yang baik dan
apa akibatnya bila tidak bersikap baik memberikan pandangan tindakan lebih baik dari hanya
sekedar kata-kata sehingga anak memikirkan apa yang seharusnya dilakukan dalam
kehidupan mereka.
3. Stimulasi Perkembangan Moral Pada Anak
a. anak harus dirangsang oleh lingkungan usaha-usaha yang aktif. Contoh: Misalnya jika
seorang anak menemukan uang di bawah meja di dalam kelas, maka kewajiban seorang guru
membimbing anak untuk memberitahukan kepada teman-teman dan menanyakannya siapa
yang kehilangan uang serta memberikannya kepada yang ternyata uangnya memang hilang.
b. Menurut Erickson tahun-tahun pertama dari kehidupan anak, orang tua hendaknya
menanamkan dasar mempercayai orang lain. Contoh: anak harus dilindungi dan mendapatkan
rasa aman dari orang tuanya terutama saat mengalami rasa sakit, cemas dan takut demikian
pula apabila orang tua menjanjikan sesuatu hendaknya berusaha untuk menepatinya, sehingga
orang tua tidak dicap scbagai pembohong.
c. Perangsangan yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Anak akan
berkembang secara wajar dengan berbagai tahapan proses, yang pada setiap tahapan
membutuhkan stimulas dan motivasi yang tepat sehingga diharapkan terjadi perubahan pada
semua aspek/dimensi secara teratur dan progresif. Contoh: Pada anak usia I tahun, dimana
anak tersebut sedang mulai belajar berbicara, maka dapat diajarkan untuk mengucap salarn
bila bertemu dengan orang lain, mengucapkan kata maaf bila melakukan kesalahan atau
mengucap terima kasih bila diberi sesuatu dan lain sebagainya.
d. Rangsangan yang diberikan harus tepat waktu yaitu orang tua harus proaktif atau menjalin
hubungan yang erat dengan anak, berbicara dengan anak tentang masalah yang dialaminya
sehari-hari. Contoh: ketika Ari marah karena buku cerita yang dijanjikan oleh ayahnya belum

dibeli karena sepulang kerja ayahnya terjebak kemacetan di jalan, peran orang tua dan orang
lain yang berada di rumah, harus dapat memberikan penderitaan dan gambaran yang nyata,
sehingga Ari tidak jadi marah bahkan bila cara memberi pengertiannya dengan kata-kata yang
bijaksana bukan tidak mungkin Ari justru meminta maaf kepada ayahnya karena tadi sudah
rnarah kepadanya.
e. Rangsangan diberikan secara terpadu maksudnya: orang tua harus menyeimbangkan seluas
kemampuan atau aspek-aspek perkembangan anak. Contoh: pada usia anak mencapai 6-8
tahun yang rata-rata pada usia tersebut anak duduk di kelas 1- 3 Sekolah Dasar, maka
Pekerjaan Rumah adalah disarnping untuk menguji kemampuan anak mengenai suatu
materi, anak pun sekaligus berlatih untuk bertanggung jawab, melatih memori, juga
kemandirian serta bagaimana anak belajar mengatur Waktunya.
BAB III
KESIMPULAN
Perspektif kognitif yang kedua dalam perkembangan moral dikemukakan oleh Lawrence
Kohlberg. Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan
moral, khususnya teori Kohlberg ialah internalisasi (internalization); yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang
dikendalikan secara internal.
Dengan mengacu pada teori perkembangan moral Kohlberg dapat disimpulkan bahwa betapa
pentingnya moralitas diajarkan bagi perkembangan anak, karena anak akan memiliki
kepribadian yang baik sebagai individu di tengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai