Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban
udara yang sangat tinggi. Pityrosporum ovale merupakan salah satu flora normal
yang pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara (Hanum RA,
2012). Flora normal merupakan mikroorganisme yang menempati suatu daerah
tanpa menimbulkan penyakit pada inang yang ditempati. Kulit kepala merupakan
daerah yang dapat ditumbuhi flora normal. Bila flora normal pada kulit kepala
telah mencapai jumlah yang banyak sehingga menimbulkan manifestasi berupa
suatu penyakit, seperti ketombe yang disebabkan oleh Pityrosporum ovale yang
dapat mengurangi kenyamanan dan estetika (Septian, 2008).
Pityriasis capitis atau ketombe sering ditemukan pada usia dewasa muda,
tetapi pada anak relatif

jarang dan berderajat ringan. Puncak insiden kasus

ketombe meningkat pada usia 20 tahun dan relatif berkurang pada usia 50 tahun.
Sekitar 50% populasi di dunia pernah menderita penyakit ini dengan derajat
keparahan yang berbeda. Keadaan ini lebih sering ditemui pada pria dibandingkan
pada wanita (Cardin C, 1998). Penderita biasanya mengeluh rasa gatal pada kulit
kepala terutama bila udara panas dan berkeringat disertai kerontokan rambut
(Wasitaatmadja et al., 2002).
Pityrosporum ovale adalah jamur lipofilik anggota genus Mallasezia sp
yang merupakan flora normal pada kulit manusia. Faktor penting lain yang
dianggap berhubungan dengan terjadinya ketombe antara lain hiperproliferasi
epidermis, produksi sebum, genetik, stres, faktor fisik dan gangguan nutrisi
(Wasitaatmadja et al., 2002).
Permasalahan berikutnya yaitu terdapat efek samping dari penggunaan
ketokonazol yaitu berupa ruam, gatal, rasa terbakar pada kulit kepala, tekstur
rambut menjadi kasar. Oleh karena itu, penelitian untuk menemukan antimikroba

baru harus terus dilakukan. Antimikroba dengan senyawa anorganik yang dapat
dijadikan alternatif antijamur salah satunya adalah nanopartikel. Nanopartikel
memiliki sifat fisik dan kimia yang unik sehingga dapat dimanipulasi sesuai
aplikasi yang diinginkan (Ravishankar & Jamuna, 2012).
Zinc Oxide (ZnO) adalah salah satu material yang banyak disintesis
menjadi nanopartikel. Dibandingkan dengan senyawa organik, bahan anorganik
seperti ZnO memiliki daya tahan yang tinggi, selektivitas yang besar, lebih tahan
panas, serta biokompatibilitasnya baik terhadap sel manusia. Selain itu, zink
merupakan unsur mineral yang penting untuk kesehatan manusia (Padmavathy &
Rajagopalan, 2008). Di samping itu, ZnO memiliki beberapa kelebihan
diantaranya adalah struktur kimia yang stabil, tidak beracun, dan dapat digunakan
sebagai aditif ke dalam berbagai bahan, serta harganya murah karena ketersediaan
di alam yang sangat melimpah (Astuti, 2007). Berdasarkan penelitian El-Diasty et
al., (2013), nanopartikel ZnO mempunyai aktivitas antijamur terhadap jamur
dermatofit, diantaranya Candida albicans dan Trichophyton mentagrophytes
dengan penghambatan jamur terbesar ditunjukan pada konsentrasi dari
nanopartikel ZnO yaitu, 40mg/ml.
Peneliti sebelumnya, yaitu Maryanti et al., (2014) telah berhasil
mensintesis nanopartikel ZnO dalam medium ekstrak air daging buah lerak
(Sapindus rarak DC) dengan metode hidrotermal dan belum diketahui mengenai
aktivitas antijamur dari nanopartikel ZnO yang disintesis. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas
antijamur dari nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging
buah lerak hasil sintesis (Maryanti et al., 2014) terhadap jamur Pityrosporum
ovale.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging
buah lerak (Sapindus rarak DC) mempunyai aktifitas antijamur terhadap
jamur Pityrosporum ovale?
2. Berapakah konsentrasi nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium
ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) yang optimal dalam
menghambat pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka pelaksanaan penelitian ini bertujuan :
1. Menentukan aktivitas antijamur nanopartikel ZnO yang disintesis dalam
medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) terhadap
jamur Pityrosporum ovale.
2. Menentukan konsentrasi yang efektif dari nanopartikel ZnO yang
disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak
DC) dalam menghambat pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi peneliti untuk mengetahui
efektivitas nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging
buah lerak (Sapindus rarak DC) terhadap daya hambat pertumbuhan jamur
Pityrospo rum ovale secara in-vitro.
1.4.2

Bagi Instansi Terkait


Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi suatu instansi kesehatan, untuk
mengembangkan penelitian ini pada tahap lebih lanjut sehingga teruji secara
preklinik dan klnik serta dapat dijadikan sebagai bahan dasar obat dalam
mendapatkan efektivitas nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium
ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) terhadap daya hambat

pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale sebagai penyebab terjadinya ketombe


secara in-vitro.

1.4.3

Bagi Program Studi Pendidikan Dokter


Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang efek yang
ditimbulkan nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air
daging buah lerak (Sapindus rarak DC) terhadap daya hambat pertumbuhan
jamur Pityrosporum ovale sebagai penyebab terjadinya ketombe secara invitro.

1.4.4

Bagi Masyarakat
Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat
bahwa nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging
buah lerak (Sapindus rarak DC) tersebut terbukti dapat digunakan dalam
penatalaksanaan penyakit yang disebabkan oleh jamur Pityrosporum ovale.

1.5 Batasan Masalah


Agar penelitian ini lebih terarah, maka masalah penelitian dibatasi pada
pengujian aktivitas antijamur nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium
ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) yang dilakukan dengan
metode difusi sumuran dengan mengukur diameter zona hambat disekitar
sumuran.

BAB II
4

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketombe
Ketombe atau Pityriasis capitis merupakan sejenis kelainan kulit karena
terjadinya peradangan pada kulit kepala ringan, namun sering menjadi masalah
bagi penderita dan disertai gatal yang sangat mengganggu kenyamanan dan
estetika. Secara periodik kulit kapala yang mati akan dikeluarkan ke permukaan
kulit. Lapisan sel kulit kepala yang mati selanjutnya akan lepas dengan
sendirinya, namun dalam kondisi tertentu pelepasan ini tidak terjadi sehingga sel
yang mati tersebut menumpuk dipermukaan kulit kepala (Tjarta, 2003).
Pityriasis capitis disebabkan oleh jamur Pityrosporum ovale. Flora normal
pada kulit kepala ini jumlahnya dapat meningkat dan menghasilkan lipase.
Trigliserida yang dihasilkan oleh lipase akan merombak asam-asam lemak yang
merangsang hiperploriferasi sel-sel epidermis. Sehingga terjadi pelepasan
keratosit secara pesat dan terjadi perlekatan antara keratin yang mati, lalu
dilepaskan sebagai serpihan yang menggumpal (Septian, 2008).
Gambaran klinik Pityriasis capitis berupa sisik-sisik halus atau serbuk
kering, berwarna putih abu-abu yang dapat menggumpal pada beberapa
permukaan kulit kepala atau menyeluruh. Penderita biasanya mengeluhkan rasa
gatal pada kulit kepala, terutama bila udara panas, berkeringat dan disertai
kerontokan rambut.apabila skuama yang terlepas ari kulit kepala jatuh ke pakaian
atau bahu penderita maka akan menimbulkan gangguan estetika. Jika kejadian
terus berlanjut dapat timbul kebotakan setempat atau merata (Wasitaatmadja,
2002).
Etiopatogenesis ketombe belum diketahui kepastiannya (Cardin, 1998).
Namun ada beberapa faktor yang dianggap mempunyai peranan penting terhadap
terjadinya Pityriasis capitis, antara lain:

1. Produksi sebum
Produksi sebum oleh kelenjar sebasea merupakan faktor penting terjadinya
Pityriasis capitis bagi petumbuhan Pityrosporum ovale yang bersifat lipofilik
atau lipid-dependent. Sekresi sebum akan menurun seiring bertambahnya usia.
Hal ini disebabkan karena kelenjar sebasea dirangsang oleh androgen yang
berasal dari testis, ovarium dan kelenjar adrenal yang berkembang saat masa
pubertas. Sebelum dihasilkan sebum oleh kelenjar sebasea, Pityrosporum
ovale merupakan flora normal pada kulit kepala.
2. Stress
Peningkatan kadar asam lemak bebas yang merupakan salah satu dari
senyawa yang akan membentuk sebum dapat dipengaruhi oleh stress
emosional (Wijaya, 2001).
3. Diet lemak
Lemak merupakan komponen yang dibutuhkan tubuh, tetapi konsumsi secara
berlebihan dapat mempengaruhi kelenjar sebasea dan akhirnya menjadi bahan
pembentuk sebum yang akan membuat kulit kepala berminyak (Plowing,
2003).
4. Iritasi mekanis dan kimia
Faktor fisik seperti pH, transport CO2 dan kandungan air mempengaruhi
timbulnya Pityriasis capitis, dimana suhu dan kelembaban rendah akan
memperburuk Pityriasis capitis, tetapi peningkatan suhu dan kelembaban pun
meningkatkan risiko terjadinya Pityriasis capitis (Wasitaatmdja, 2002).
5. Genetik
Faktor genetik memiliki peran penting dalam pathogenesis Pityriasis capitis.
Pityrosporum ovale dapat menginduksi Pityriasis capitis bila disertai factor
predidposisi (Cardin,1998; Wijaya, 2001).
6. Hiperploriferasi sel epidermis
Pityriasis capitis merupakan gangguan hiperploriferasi sel epidermis kulit
kepala yang menyebabkan peningkatan produksi sel tanduk yang mengalami
deskuamasi (Plowing, 2003).
2.2 Jamur Pityrosporum ovale
2.2.1 Klasifikasi Taksonomi menurut (Castellani et al., 1913):
6

Divisio

: Basiodiomycota

Subdivisi

: Ustilaginomycotina

Kelas

: Exobasidiomycetes

Ordo

: Malasseziales

Familia

: Cryptococcaceae

Sub family

: Cryptococcoidae

Genus

: Pityrosporum atau Malassezia

Spesies

: Pityrosporum ovale

Gambar 2.1. Jamur Pityrosporum ovale


(Sumber: Grahan, 2002)

2.2.2

Morfologi dan Identifikasi


Pityrosporum ovale adalah jamur lipofilik angota genus mallasezia
yang merupakan flora normal pada kulit. Morfologi Pityrosporum ovale
berkarakteristik oval seperti botol, berukuran 1-2 x 2-4 mm, gram positif dan
memperbanyak diri dengan cara blastospora / tunas (Wasitaatmadja et al.,
2002).
Morfologi yang dibentuk dari spesies jamur Pityrosporum ini berupa
ragi dan miselium. Ragi merupakan yang paling sering dikaitkan dengan flora
normal meskipun dominan ditemukan pada kultur. Secara in-vitro dengan

menggunakan berbagai media, beberapa spesies juga dapat menghasilkan


miselium, meskipun tidak semua isolat dari Pityrosporum mampu menjalani
transformasi tersebut.
Dinding sel dari genus Pityrosporum memiliki diferensiasi yang
kurang baik. Karena dinding dari genus Pityrosporum ini sangat tebal
dibandingkan dengan ragi lainnya (sekitar 0,12M) dan merupakan 26-37%
dari volume sel jamur. Komponen yang dimiliki dari dinding sel adalah gula
(70%), lipid (15-20%) dan protein (10%), dengan nitrogen dan sulfur dalam
jumlah yang sangat sedikit. Pityrosporum ovale meiliki dinding yang terdiri
dari dua lapisan dengan lekukkan pada lapisan bagian dalam dan lapisan luar
lamelar

di

sekitar

dinding

sel.

Lapisan

lamelar

sejenis

dengan

pseudomembran, yang berperan dalam adhesi pada kulit. Sitoplasma


membran melekat pada permukaan dalam dinding sel. Jumlah dan bentuk
mitokondria dalam sel masing-masing dapat bervariasi. Nukleus memiliki
membran yang dikelilingi oleh nukleoplasma homogen granular. Vakuola
berisi lipid dan bervariasi dalam ukuran yang sesuai dengan umur sel pada
jamur Pityrosporum ovale tersebut (Michael, 1988).

2.3 Nanopartikel ZnO


Nanopartikel merupakan suatu partikel dengan ukuran nanometer, yaitu
sekitar 1-100nm (Hosokawa, 2007).

Gambar 2.2 Nanopartikel ZnO


(Sumber: Yi GC et al, 2004)
Material atau struktur yang mempunyai ukuran nano akan mempunyai sifat-sifat
yang berbeda dari material aslinya. Karakteristik spesifik dari nanopartikel
tersebut tergantung pada ukuran, distribusi, morfologi, dan fasanya (Hosokawa,
2007). Struktur dan bentuk nano sangat banyak dan menarik, misalnya titik, pilar,
spiral, bunga, cangkir, dan bulat. Struktur nano yang paling sederhana adalah zinc
oxide (ZnO). Nano partikel ZnO mempunyai ukuran antara 2,5-7 nm.
Nanopartikel telah lama digunakan sebelumnya pertama kali dilaporkan untuk
keperluan teknis nanopartikel untuk sifat optik untuk beberapa karya seni pada
abad pertengahan (Yi CG., 2005).
ZnO dapat digunakan untuk aplikasi-aplikasi strategis lain seperti foto
katalisis dan antibakteri, sehingga material ini menjadi sasaran industri yang
beragam, mulai dari elektronik hingga kosmetik (Pucket et al., 2010). Dengan
merekayasa ukuran partikel mejadi skala nanometer, peneliti yakin bahwa kinerja
yang dihasilkan akan berbeda antara ukuran nanopartikel dengan ukuran
makroskopik. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa nanopartikel ZnO
memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan ukuran bulk (Sala H.N., 2011).
Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu
senyawa obat yang dienkaspulasi dalam suatu sistem pembawa tertentu berukuran

nanometer yang disebut dengan nanocarrier dan senyawa obat yang melalui suatu
cara tertentu dibuat berukuran nanometer yang disebut dengan nanokristal
(Mohanraj & Chen, 2006).
Pada penelitian sebelumnya, Maryanti et al., (2014) telah mensintesis
nanopartikel ZnO dalam medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak
DC). Ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) digunakan untuk
mengontrol agregasi dan stabilitas nanopartikel sehingga dapat membatasi
pertumbuhan nanoparikel serta menstabilkan dari penggumpalan dan dalam
sintesis nanopartikel ZnO bertindak sebagai prekursor pengorol ukuran,
morfologi dan sifat nanopartikel (Rahdar, 2013).
2.4 Buah Lerak (Sapindus rarak DC)
2.4.1 Menurut taksonominya, Sapindus rarak DC diklasifikasikan dalam
(Angiosperm Phylogeny Group III, 2009):
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dycotyledonae

Bangsa

: Sapindales

Suku

: Sapindaceae

Marga

: Sapindus

Spesies

: Sapindus rarak

Buah lerak (Sapindus rarak DC) merupakan tumbuhan dengan bahan


alami dan relatif mudah untuk diperoleh (Udarno, 2009). Buah lerak
(Sapindus rarak DC) sering dipergunakan untuk mencerahkan warna yang
diperoleh dari soga alam/pewarna alam, memcuci kain batik dan emas. Secara
tradisional, lerak digunakan sebagai sabun wajah untuk mengurangi jerawat.
Sementara

khasiat

farmakologiknya

10

antara

lain

sebagai

antijamur,

bakterisidal, anti radang, anti spasmodinamik, peluruh dahak, dan diuretik


(Heyne K., 1987).

Gambar 2.3 Buah lerak (Sapindus rarak DC).


(Sumber: Novizan, 2002)
Penelitian menunjukan bahwa lerak mengadung

saponin 12%,

alkaloid 1%, steroid 0,036%, dan triterpen 0,029%. Ekstrak lerak


mengandung saponin dan flavaoid terdapat pada kulit buah, biji, kulit batang
dan daun. Sedangkan polifenol dan alkaloid terdapat pada kuit buahnya (Asao
et al., 2009).
Menurut Irham (2003), ekstrak buah lerak (Sapindus rarak DC)
memiliki sifat antibakteri terhadap Streptococcus mutans. Ekstrak tumbuhan
ini juga menunjukan aktivitas yang kuat dalam menghambat pertumbuhan
Candida albicans serta memiliki sifat bakterisida dan fungisida yang baik
(Yulinah et al., 2005).
Lerak (Sapindus rarak DC) mengandung senyawa saponin yang
bekerja sebagai antimikroba yang berfungsi sebagai surfaktan atau detergen
melalui ikatan gugus polar dan non polar yang menyerang lapisan batas sel.
Saponin yang merupakan kandungan utama dari buah lerak (Sapindus rarak
DC) juga dapat dikembangkan sebagai bahan baku membuat sampo.
Flavonoid merupakan senyawa yang dapat merusak membran sel karena
11

sifanya yang lipofilik dan kemampuannya membentuk kompleks dengan


protein

ekstraseluler.

Senyawa

fenol

menghambat

enzim

penting

mikroorganisme, sedangkan alkaloid digunakan untuk melawan sel asing


melalui ikatan DNA sel sehingga mengganggu fungsi sel (Asao et al., 2009).
2.5 Zat Antimikroba dan Penggolongannya
Zat antimikroba merupakan bahan yang dapat menggangu pertumbuhan
dan metabolisme mikroba seperti sel jamur, bakteri, alga ataupun sel protozoa
patogen lainnya. Sel antimikroba digolongkan menjadi fungistatik, fungisida dan
antibiotik (Michael, 1988).
1. Fungistatik
Fungistatik merupakan zat kimia yang menghambat perkembangan sel-sel
jamur meskipun membunuh sel jamur secara tidak langsung. Fungistatik
menyebabkan sel jamur menjadi sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan, sehingga sel jamur mudah mati. Hal itu disebabkan karena
adanya zat fungistatik yang bersifat antimikroba khususnya sel-sel jamur. Sel
jamur dapat tumbuh kembali jika, zat fungistatik hilang atau dikurangi
konsentrasinya. Fungistatik dapat digolongkan menjadi sikonazol (micatin),
klotrimazol (lotrimin), haloprogin, michonazol dan imidazol. Fungistatik
memiliki mekanisme kerja untuk menghambat pertumbuhan analog, misalnya
zat fungistatik sofonafida. Pada umumnya mikroorganisme memerlukan
senyawa para-aminobenzoat (PABA) untuk menghasilkan asam folat yang
diperlukan dalam sintesis purin (Noor, 2000)
2. Fungisida
Fungisida merupakan zat antimikroba memiliki kemampuan untuk membunuh
sel jamur. Zat antimikroba ini dapat membunuh sel-sel jamur penyebab
dermatomokisis diantaranya yaitu campuran asam asetat dan asam benzoat.
Asam salisinat atau selenium sulfide juga termasuk sebagai zat fungisida
(Noor, 2000).
12

3. Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang diperoleh dari atau dibentuk oleh berbagai spesies
mikroorganisme,

dalam

konsetrasi

rendah

namun

dapat

membunuh

pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Antibiotik menurut mekanisme


kerjanya dibagi menjadi bakteriosida yang menhambat pertumbuhan dan
bakteriostatik yang berfungsi membunuh sel bakteri. Pada umumnya
antibiotik bersifat bakteriosida dengan menhambat sintesis dinding sel,
merusak membrane sitoplasma, menghambat biosintesis protein dan
menghambat sintesis asam nukleat (Michael, 1988).

13

2.6 Ketokonazol
Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik dengan struktur mirip
klotrimazol dan mikonazol. Obat ini bersifat lipofilik dan larut dalam air pada
pH asam. Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik secara sistemik maupun
nonsistemik (Katzung, 1997). Ketokonazol bekerja sebagai penghambat sterol
14--demetilase (sistem enzim yang tergantung pada sitokrom P450 mikosomal,
dengan cara mengganggu biosintesis ergosterol dalam sel jamur dan
dinding sel untuk membran sitoplasma sehingga menyebabkan penumpukan 14-metilsterol. Metilsterol memiliki efek yang dapat merusak kerapatan rantai asli
pada fosfolipid serta merusak fungsi enzim, yaitu; ATPase dan enzim-enzim
transpor elektron yang terikat pada membran (Gilman et al., 2012).
2.7 Uji Aktivitas Antijamur
Pengujian antijamur diukur secara in-vitro, sehingga dapat ditentukan
potensi suatu zat antijamur dalam larutan untuk mengetahui kepekaan suatu jamur
terhadap konsentrasi-konsentrasi obat. Uji aktivitas antijamur dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua metode utama berikut yaitu uji dilusi dan difusi
(Jawetz et al., 2001).
1. Metode Dilusi
Metode dilusi terdiri dari dua teknik yaitu teknik dilusi agar dan dilusi
perbenihan cair. Metode dilusi ini bertujuan untuk menentukan aktivitas
antimikroba secara kuantitatif. Antimikroba dilarutkan kedalam media agar
atau kaldu, yang kemudian ditanami mikroorganisme yang akan diuji. Setelah
diinkubasi selama 24 jam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri disebut dengan MIC (minimal inhibitory concentration).
2. Metode Difusi
Metode difusi merupakan metode yang menggunakan kertas cakram, yang
telah dibubuhkan antimikroba dalam jumlah tertentu yang ditempatkan pada
media yang telah ditanami organisme yang akan diuji secara merata.

14

Tingginya konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh difusi dari cakram


dan pertumbuhan organisme uji yang terdapat daya hambat dan zona jernih
disekitar cakram, sehingga bakteri tersebut merupakan bakteri yang sensitif
terhadap antimikroba. Seperti yang diukur oleh metode dilusi dan diameter
zona daya hambat

pada metode difusi, konsentrasi terendah yang dapat

menghambat pertumbuhan bakteri disebut dengan MIC (minimal inhibitory


concentration) (Jawetz et al., 2001).
2.8 Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses kimia atau fisik yang bertujuan untuk membunuh
atau menghilangkan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada suatu objek
atau spesimen pada suatu penelitian. Cara-cara sterilisasi yaitu:
1. Sterilisasi panas kering (Oven)
Sterilisasi panas oven biasa digunakan untuk alat-alat atau bahan-bahan yang
terbuat dari kaca atau tidak dapat berpenetrasi secara mudah. Pada metoda ini,
pembunuhan mikroorganisme terjadi melalui mekanisme oksidasi hingga
terjadi koagulasi protein pada sel (Dwidjoseputro D., 2005).
2. Sterilisasi dengan tekanan atau sterilisasi uap (autoclave)
Sterilisasi uap merupakan proses pemaparan uap jenuh pada tekanan tertentu
selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek, sehingga mengakibatkan
kematian mikroorganisme akibat denaturasi atau koagulasi protein sel. Suhu
jenuh uap air (100oC) pada tekanan 1 atmosfir ternyata tidak dapat membunuh
mikroorganisme yang resisten. Objek disimpan dalam wadah tertutup rapat
sehingga dapat mencapai suhu sterilisasi, yaitu 121oC atau lebih. Siklus
sterilisasi uap meliputi pada fase pemanasan (conditioning), pemaparan uap
(exposure), pembuangan (exhaust), dan pengeringan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sterlisasi uap adalah waktu, suhu, kelembaban (Hadioetomo,
1993).

15

3.

Sterilisasi radiasi
Sterilisasi radiasi dapat dilakukan dengan menggunakan radiasi sebagai
berikut:
a. Ultraviolet
Ultraviolet merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang
gelombang 100-400 mm dengan efek optimal pada 254 nm. Sumbernya
adalah lampu uap merkuri dengan daya tembus hanya 0,01-0,2 mm.
Metode ini digunakan untuk sterilisasi ruangan pada penggunaan aseptik.
b. Ion
Sinar langsung yang diberikan langsung ke pusat kehidupan mikroba
(kromosom) atau secara tidak langsung dengan sinar terlebih dahulu
membentuk molekul yang menyebabkan terjadinya reaksi sekunder pada
bagian molekul DNA mikroba.
c. Gamma
Gamma bersumber dari Co60 dan Cs137 dengan aktivitas sebesar 50-500
kilo curie serta memiliki daya tembus sangat tinggi. Dosis efektifitasnya
adalah 2,5 MRad. Metode ini digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang
terbuat dari logam, karet serta bahan sintesis seperti polietilen (Agus et al.,

1994).
4. Sterilisasi filtrasi
Di dalam sterilisai secara mekanik (filtrasi), menggunakan suatu saringan
yang berpori sangat kecil (0.22 mikron atau 0.45 mikron) sehingga mikroba
tertahan pada saringan tersebut. Proses ini ditujukan untuk sterilisasi bahan
yang peka panas, misalnya larutan enzim dan antibiotik (Agus et al., 1994).

2.9 Kerangka Teori


Flora normal kulit kepala
(Pityrosporum ovale)
16

Tumbuh dalam
jumlah normal
Produksi
sebum

Tumbuh dalam
jumlah berlebihan
Diet
lemak

Stress

Iritasi
mekanis
& kimia

Genetik

Hiperplori
-ferasi sel
epidermis

Ketombe
Ketokonazol
(senyawa organik)
Resistensi
Alternatif
antimikroba
2.10 Kerangka Kerja
Nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air
daging buah lerak (Sapindus rarak DC)
Nanopartikel ZnO yang disintesis dalam
medium ekstrak air daging buah lerak
(Sapindus rarak DC)

Pengenceran
menggunakan
NaCl 0,9%

Uji Aktivitas
Antijamur terhadap
Pityrosporum ovale

Kontrol Positif

17

Menggunakan
metoda difusi
cakram

Antijamur
standar
(Ketokonazol)

Jamur
Pityrosporum ovale

Tidak ada daya


hambat

Ada daya hambat

2.11 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat hipotesis yaitu:
H0

: Nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging


buah lerak (Sapindus rarak DC) tidak mempunyai aktivitas
antijamur

yang

dapat

menghambat

pertumbuhan

jamur

Pityrosporum ovale.
H1

: Nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging


buah lerak (Sapindus rarak DC) dapat menghambat pertumbuhan
jamur Pityrosporum ovale.

18

H2

: Nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging


buah lerak (Sapindus rarak DC) mempunyai efek antijamur yang
sama dengan Ketokonazol terhadap jamur Pityrosporum ovale.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penelitian ini
menggunakan nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air
daging buah lerak (Sapindus rarak DC) sebagai antijamur terhadap jamur
Pityrosporum ovale.

3.2.1

Waktu dan Tempat


19

Pengujian aktivitas antijamur nanopartikel ZnO yang disintesis dalam


medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) terhadap jamur
Pityrosporum ovale secara difusi cakram dilaksanakan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
pada bulan Oktober 2014 sampai bulan April 2015.
3.3 Alat dan bahan
3.3.1 Alat
Alat yang digunakan untuk uji aktivitas antijamur meliputi: 1)
erlenmayer; 2) cawan petri; 3) gelas ukur; 4) tabung reaksi; 5) kaca arloji; 6)
lumpang dan alu; 7) botol semprot; 8) pinset; 9) sundip; 10) kawat ose; 11)
kapas; 12) cork borer atau pipet; 13) alumunium foil; 14) lampu spiritus; 15)
neraca analitik; 16) laminar air flow; 17) shaker; 18) incubator; 19) vorteks;
20) bejana ultrasonik; 21) spektrofotometer; 22) autoklaf; 23) hot plate; 24)
spuit; 25) mikro pipet; 26) penggaris ukuran 20 cm dengan ketelitian 0,5 mm.
3.3.2

Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi: 1) kultur jamur
Pityosporum ovale; 2) ketokonazol; 3) alkohol 70%; 4) kertas cakram; 5)
akuades; 6) NaCl 0.9%; 7) media padat Saboroud Dextrose Agar (SDA); 8)
media cair Nutrient Broth (NB); 9) sampel uji nanopartikel ZnO dalam
medium ekstrak air daging buah lerak dengan konsentrasi 2,5% b/v yang telah
disintesis oleh Maryanti et al. (2014).

3.4 Cara Kerja


3.4.1

Sterilisasi Alat dan Bahan


Semua alat sepeti labu erlenmeyer, pipet ukur, gelas ukur, cawan petri,
tabung reaksi, pipet tetes, batang pengaduk, penjepit, gelas kimia, medium
Saboroud Dextrose Agar (SDA) sebelumnya telah ditutup dengan alumunium
foil dan plastik tahan panas, setelah itu dimasukkan ke dalam autoklaf selama
20

15 menit dengan suhu 121o C dengan tekanan 15 pound per sequence inch
(psi) untuk proses sterilisasi. Proses sterilisasi dimulai dengan memasukkan
semua alat dan bahan ke dalam autoklaf sampai dengan batas yang ditentukan
untuk menempatkan alat dan bahan yang akan disterilkan.
3.4.2

Pembuatan Media
1. Media Saboroud Dextrose Agar (SDA)
Sebanyak 60 gram Saboroud Dextrose Agar (SDA) ditambahkan akuades
hingga 1000 mL, kemudian dipanaskan sambil diaduk menggunakan hot
plate magnetic stirrer hingga homogen. Setelah itu media disterilkan
dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C.
2. Media Nutrient Broth (NB)
Sebanyak 8 gram Nutrient Broth (NB) ditambahkan akuades hingga 1000
mL, kemudian dipanaskan sambil diaduk menggunakan hot plate
magnetic stirrer hingga homogen. Setelah itu media disterilkan dengan
autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C.

3.4.3

Pembuatan Biakan Peremajaan Jamur Pityrosporum ovale


Peremajaan jamur, perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai
pengujian dengan menggunakan media agar miring SDA selama 24 jam untuk
jamur Pityrosporum ovale.
Pembuatan agar miring SDA dilakukan dengan cara memasukkan
media SDA ke dalam tabung reaksi, setelah itu media disterilkan dengan
autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210 C, kemudian miringkan tabung
reaksi dengan kemiringan 300450. Jamur yang akan diujikan kemudian
dimasukkan ke dalam agar miring dengan cara menggoreskan biakan ke
dinding agar miring. Selanjutnya lakukan inkubasi selama 24 jam pada suhu
370 C.
21

3.4.4

Pembuatan Suspensi Jamur Pityrosporum ovale


Pembuatan suspense jamur Pityrosporum ovale yaitu dengan cara
mengambil hasi peremajaan jamur Pityrosporum ovale sebanyak dua ose dan
dicampurkan ke dalam 100 ml media NB kemudian di shaker selama 2-3 x 24
jam.

3.4.5

Pembuatan Larutan Nanopartikel ZnO yang Disintesis dalam Medium


Ekstrak Air Daging Buah Lerak (Sapindus rarak DC)
Dilakukannya uji awal untuk menentukan konsentrasi hambatan
karena belum adanya standar konsentrasi nanopartikel ZnO yang disintesis
dalam medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) untuk uji
efektivitas sebagai antijamur. Adapun konsentrasi larutan nanopartikel ZnO
yang disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak
DC) di variasikan sebagai berikut:
K+
=
Ketokonazol 2%
K=
0%
A
=
20%
B
=
40%
C
=
60%
D
=
80%
E
=
100%
Variasi konsentrasi tersebut berjumlah 6 variabel dengan konsentrasi
0% sebagai kontrol negatif dan Ketokonazol 2% sebagai kontrol positif.
Konsentrasi ini dibuat dengan cara pengenceran sebagai berikut : untuk
konsentrasi 20% diambil 0,2 gram nanopartikel ZnO yang disintesis dalam
medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC), kemudian
dilarutkan dengan1 ml NaCl 0,9%. Untuk konsentrasi 40%, diambil 0,4 gram
nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak
(Sapindus rarak DC) menggunakan 1 ml NaCl 0,9%, begitu seterusnya untuk
pembuatan konsentrasi lainnya. Maka didapatkan nanopartikel ZnO yang
disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC)

22

yang akan ditimbang berturutturut sebanyak 1) 0,2 gr; 2) 0,4 gr; 3) 0,6 gr; 4)
0,8 gr; 5) 1 gr dengan menggunakan volume NaCl 0,9 % yang sama untuk
setiap perlakuan yaitu 1 ml.
3.4.6

Pembuatan Larutan Pembanding Ketokonazol


Konsentrasi standar Ketokonazol adalah 2% (Franchimont CP, et al.,
2001). Ketokonazol tablet dihaluskan dengan menggunakan lumpang, lalu
ditimbang sebanyak 30 mg kemudian dilarutkan dengan akuades sebanyak 1,5
ml pada gelas ukur, sehingga kadar konsentrasi yang didapat 2%.
Ketokonazol sebagai pembanding bertujuan untuk mengetahui apakah
nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak
(Sapindus rarak DC) lebih efektif atau tidak efektif dibandingkan dengan
Ketokonazol.

3.4.7

Uji Awal Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)


Dilakukannya uji awal untuk penentuan konsentrasi hambatan karena
belum adanya standar konsentrasi nanopartikel ZnO yang disintesis dalam
medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) untuk uji aktivitas
sebagai antijamur. Uji aktivitas antijamur ini menggunakan metode difusi
sumuran.
Untuk pembuatan media agar Pityrosporum ovale dengan metode
difusi sumuran yaitu media SDA sebanyak 6 gram ditambahkan akuades
sebanyak 100 ml kemudian dipanaskan sambil diaduk menggunakan hot plate
magnetic stirrer sampai homogen setelah itu disterilisasi dengan autoklaf pada
suhu 1210C selama 15 menit. Larutan media SDA ditambahkan 2 ml biakan
suspensi jamur kemudian digoyang sampai homogen dan tuangkan sebanyak
4 ml ke masing-masing cawan petri, biarkan sampai memadat.

23

Selanjutnya lubangi bagian tengah media agar di cawan petri dengan


menggunakan cork borer/pipet yang berdiameter 6 mm, kemudian isi
sumuran yang telah dibuat dengan sampel berbagai variasi pada masingmasing cawan petri sebanyal 10 l dan beri label pada masing-masing cawan
petri. Setelah itu diinkubasi dengan suhu 37 0C selama 2x24 jam, kemudian
diamati adanya penghambatan pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale
berdasarkan zona hambat yang berbentuk pada sekeliling sumuran dan media
agar. Pengujian ini dibuat dengan 5 kali pengulangan.
3.4.8

Uji Efektivitas Antijamur dari Nanopartikel ZnO yang Disintesis dalam


Medium Ekstrak Air Daging Buah Lerak (Sapindus rarak DC)
Pembuatan media SDA yang akan dibuat untuk uji efektivitas
nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak
(Sapindus rarak DC) terhadap Pityrosporum ovale sama seperti pada uji MIC
sebelumnya kemudian setiap cawan petri diberi sumuran dengan cork
borer/pipet, kemudian diisi dengan nanopartikel ZnO yang disintesis dalam
medium ekstrak air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) dengan
konsentrasi yang didapatkan pada uji Minimum Inhibitory Concentration
(MIC), yaitu A1, A2 <3> A4, A5 dengan K- sebagai kontrol negatif, dan A3
sebagai daya hambat minimum yang termasuk kategori kuat.
Menurut David et al. (2008), pada penelitian in vitro ini sampel
diperhitungkan dengan Rumus Federer:
( t - 1) x ( n 1) 15
t = jumlah sampel
n = jumlah replikasi
(5-1) x (n-1)

15

4(n-1)

15

24

4n - 4

15

4n

19

4,75

Nilai n yang diperoleh dari rumus ini adalah 5 sampel, dengan 5 kali
pengulangan, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 1-2x24 jam.
Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat disekitar
sumuran yang berisi sampel uji.
Pada kontrol positif yaitu ketokonazol 15 l/ml masing-masing
dilakukan 5 kali pengulangan, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama
2x24 jam.
3.4.9

Perhitungan Zona Hambat


Zona hambat merupakan area yang tidak memperlihatkan adanya
pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale di sekitar sumuran yang berisi larutan
nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging buah lerak
(Sapindus rarak DC) dan kontrol positif. Penghitungan zona hambat dengan
cara uji difusi sumuran di ukur dengan penggaris. Adanya area bening yang
terdapat pada sekitar sumuran mengindikasi adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antijamur pada permukaan media agar. Hambatan
akan terlihat sebagai area yang tidak memperlihatkan adanya petumbuhan
jamur Pityrosporum ovale di sekitar sumuran. Perhitungan diameter daya
hambat termasuk diameter sumuran (6 mm). Perhitungan zona hambat ini
dilakukan 3 kali pada sisi yang berbeda.
Tabel 3.1 Ketentuan Kekuatan Mikroba
No.
1.
2.

Daerah Hambatan
>20 mm

Ketentuan
Sangat Kuat

10-20 mm

Kuat

25

3.

5-10 mm

Sedang

4.

<5mm

Lemah

Sumber : (Davis dan Stout, 1971)


3.5

Identifikasi Variabel
Variabel bebas pada penelitian ini adalah penambahan berbagai variasi
konsentrasi larutan nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak
air daging buah lerak (Sapindus rarak DC) tersebut pada inokulasi jamur
Pityrosporum ovale. Skala variabel yang digunakan pada variabel terikat ini
adalah skala rasio-kontinu. Variabel terikat pada penelitian ini adalah zona
hambat yang terbentuk di sekitar cakram pada perlakuan variasi konsentrasi
larutan nanopartikel ZnO yang disintesis dalam medium ekstrak air daging
buah lerak (Sapindus rarak DC) tersebut.

3.6

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah besarnya diameter
zona hambat petumbuhan jamur Pityrosporum ovale pada berbagai
konsentrasi sampel uji serta kontrol positif dan kontrol negatif. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan
variasi konsentrasi sampel uji. Secara statistik, data yang dianalisis dengan
menggunakan uji one way ANOVA (Analysis of Variance) pada program
SPSS 16.0. Apabila data yang diperoleh signifikan maka dilanjutkan dengan
uji Duncan taraf 0,05 (5%) (Ningsih SS, 2014).

26

3.7 Jadwal Kegiatan


Tabel 3.2 Jadwal Kegiatan
Jenis Kegiatan

Septembe-

November

Desember

Januari

Februari-

Oktober
April
Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan judul dan
Penyusunan proposal
Penelitian
Pengumpulan data dan
Analisis data
Konsultasi laporan
penelitian dan
Pembuatan laporan
penelitian

27

DAFTAR PUSTAKA

Agus, S., Chatim, A., Soebandrio, A., Kurniawati, A., (1994). Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Staf Pengajar FKUI. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Asao, Y., Toshio, M., Yuanyuan, X., Masaki, O., Matoko, H., Hisasi, M., Osamu, M.,
dan Masayuki, Y. (2009). Structures of Acetilated Oleanane-Type Triperpene
Saponins, Rarasaponins IV, V, VI anti-hyperlipidmic Constituens from the
Pericarps of Safindus rarak DC. Chem. Pharm. Bull. 57(2): 198-203.
Astuti, Z. H (2007). Kebergantungan Ukuran Nanopartikel TerhadapWarna yang
Dipancarkan pada Proses Deeksitasi, Skripsi Departemen Fisika ITB, Bandung.
Angiosperm Phylogeny Group. (2009). An Update Of The Anngiosperm Of The
Angiosperm Phylogeny Group Classification For The Other And Families Of
Flowering Plant. APG III. Botanical Journal Of The Linnier Society.
Cardin, C. Isolated dandruff. In: Baran R, Malbach HI, editors. (1998). Textbook of
cosmetics dermatology. 2nd ed. London : Martin duniez;. pp. 193 200.

28

Castellani, A., Chalmers, A. J. (1913). Manual of Tropical Medicine. New Zealand.


Baillere.
Davis W.W. and T.R Stout. (1971). Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotik
Assay. Microbiology 22: 659-665.
Dwidjoseputro, D. (2005). Dasar Dasar Mikrobiologi. Djambatan : Jakarta.
El-Diasty, E. M., M. A. Ahmed, Nagawa, O., Salwa, F. M., Samaa I. E., Hanna, M.,
Mariam, H. Y. (2013) Antifungal Activity of Zinc Oxide Nanoparticles Against
Dermatopytic Lesions of Cattle. Romanian J. Biophys. 23(3), pp.191-202.
Fitrah, U. B. (2010. Efek Analgetik Ekstrak Lerak (Sapinds rarak DC) pada Gigi-gigi
Kelinci Jantan (Penelitian In vivo). Skripsi Sarjana (S1), Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Franchmont CP, Pierard GE, Arrese JE, Doncker P. (2001). Effect of Ketokonazole
1% and 2% Shampoos on Severe Dandruff and Seborrhoeic Dermatitis Clinical,
Squamometric ang Mycological Assesments. Dematology., 202: 171-176.
G.C. Yi., C. Wang, W., Park. V. (2005). ZnO nanorods: synthesis, characterization and
applications. Semiconductor Science and Technology, pp. 22-34.
Gilman, G., Hardman, GJ., Limbird, GL., (2012). Dasar farmakologi terapi.
Jakarta:EGC, pp: 1274-1275.
Grahan, R., T.B. Burns. (2002). Lecture Notes on Dermatology. Ed. 8. Blackwell
Science Ltd.
Gunalan, S., Sivaraj, R., Rajendran, V., (2013). Green Synthesized ZnO
Nanoparticles Against Bacterial and Fungal Patogen. Progress In Natural
Science: Material International. 22(6): 639-700.

29

Hadioetomo., Ratna Siri. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Jakarta : P.T.
Gramedia Pustaka Utama.
Hanum, R. A. (2012). Sintesis nanopartikel ZnO:S dan uji aktivitas antijamur
terhadap jamur Aspergillus niger. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Bengkulu.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol. III. Terjemahan: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Sarana Jaya.
Hosokawa, M. (2007). Nanoparticle Technology 1st Edition. Elsevier Linacre
Haouse. UK.
Irham, F. (2007). Efek Antibakteri Berbagai Sediaan dari Buah Lerak Terhadap
Streptococcus mutans, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.
Jawetz., E, Melnick JL, Edelberg EA. (2001). Review of Medical Mikrobiology. 23th
Ed. Elferia NR, Penerjemah: Jakarta. pp. 138-139, 473.
Katzung, Betram, G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik :Jilid 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Kurniawati, A. (2009). Evaluasi Suplementasi Ekstrak Lerak (Sapindus rarak DC)
terhadap populasi protozoa, bakteri dan karakteristik fermentasi rumen sapi
peternakan ongloe secara In Vitro. Skripsi Sarjana (S1) Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Lipovsky, A., Nitzan, A., Gedanken, A., Lubart, R., (2011). Antifungal Activity of
ZnO Nanoparticles the Role of ROS Mediated Cell Injury. Nanotechnology:
IOPScience. 22(10).
Lukas, Stefanus. (2006). Formulasi Steril. Yogyakarta : Andi.

30

Mansfeld, R. (2001). Mansfeld's Encyclopedia of Agricultural and Horticultural


Crops. New York: Springer.
Maryanti, E., Demi, D., Irfan, G., Salprima, Y. S. (2014). Syinthesis of ZnO
Nanoparticles by Hydrotermal Method in Aqueous Rinds Extract of Sapindus
rarak DC. Material Letters. 118: 561-573.
Melinda, Arini. (2011). Pengaruh Aktivitas Antiketombe Ekstrak Etanol 70% Pandan
wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.). Terhadap Flora Normal di Kulit
Kepala, Jakarta: Universitas Pancasila, pp.13.
Michael, J. Pelczar. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia,
pp.501-506.
Mohanraj, V. J. & Chen Y. (2006). Nanopartikel : A Riview. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research, 5 :1.
Ningsih SS. (2014). Skrining Fitokimia dan Uji Akitivitas Antibakteri Ekstrak Tirhau
Sinje (Pycnoporus sanguineus) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Shigella
dysentriae. Skripsi. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Noor, Hujjatusnaini. (2000). Pengaruh Ekstrak Daun Ketepeng Cina (Cassia alata l.)
Terhadap Penghambatan Pertumbuhan Trichopyton sp. Palangkaraya: UNPAR,
pp. 9.
Novizan. (2002). Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
Tanggerang. AgroMedia Pustaka.
Padmavathy, N. & Rajagopalan, V. (2008). Enhanced Bioactivity of ZnO
Nanoparticles an Antimicrobial Study. Science Tecnology of Advanced
Materials. 9, pp.17.

31

Plowing G., Jansen T. (2003). Seborrhea Dermatitis. Dalam: Freed beg IM, editor.
Dermatologu in general medicine. New York: McGraw-Hill Book, pp.198-204.
Puckett, S.D., Taylor, E., RaimondoT. (2010). Biomateterials, 31: 706-713.
Puspita. (2010). Perandingan Efektivitas Ekstrak Daun Kangkung (Ipomea reptans)
dengan Ketekonazole 1% secara In-Vitro terhadap Pertumbuhan Pityrisporum
ovale pada Ketombe, Universitas Diponegoro: Semarang.
Rahdar, A. (2013). Study of Different Capping Agent Effect on The Structural and
Optical Properties of Mn Doped ZnS Nanostructure. World Application
Programming. 3: 56-60.
Ravishankar, R. V. & Jamuna, B. A. (2011). Nanoparticles ang Their Potential
Application as Antimicrobial. Science Againist Microbial Pathogen. 1(19): 197209.
Sala, H.N., Habib, S.S., Khan, Z.H., Memic, A., Azam, A., Alafraj, E., Zahed, N.,
Intl.J. (2011). Nanomed, 6 : 863-869.
Septian, S.N. (2008). Uji Banding Efektivitas Air Rendaman Kangkung (Ipomea
reptans) dengan Ketokonazol 1% secara In-Vitro terhadap Pertumbuhan
Pityrosporum ovale pada Ketombe. Skripsi Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran,
Universitas Dipoegoro: Semarang.
Shen, L., Bao, N., Yanagisawa, K., Domen, K., Gupita, A.,Grimes, C.A., (2006).
Nanothecnology, 17 : 5117-5123.
Tjarta, A., Sularsito, S.A., Kurniati, D.D., Rihatmaja, R. (2003). Metode Diagnostik
dan Penatalaksanaan Psoriasis dan Dermastitis Seboroik: Fakultas Kedokteran
Unversitas Indonesia, pp.71-80.

32

Udarno, L. (2009). Lerak (Sapindus rarak DC) Tanaman Industri Pengganti Sabun.
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Edisi Agustus 2009
Volume 15. No.12 , pp.7.
Uswatun, Hasanah. (2012). Uji Daya Antifungi Propolis Terhadap Candida albicans
dan Pityrosporum ovale. Universitas Muhammadiyah: Surakarta, pp.11.
Wasiatmadja, SM., Menaldi, SLS., Jacoeb, TNA., Widaty, S., editors. (2002).
Kesehatan dan keindahan rambut. Jakarta : Kelompok Studi Dermatologi
Kosmetik Indonesia; pp. 1- 11.
Wijaya, L. (2001). Pengaruh jumlah Pityrosporum ovale dan Kadar Sebum terhadap
Kejadian Ketombe (kasus pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro semester VII). Universitas Diponegoro: Semarang, pp.5-13.
Xie, Y., He, Y., Irwin, L., Tony, J., Shi, X,. (2011). Antibacterial Activity and
Mecanism of Action of Zinc Oxide Nanoparticles Against Campylobacter
jejuni. School of Agriculture and Biology. Shanghai Jiao Tong University.
China.

33

Anda mungkin juga menyukai