Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbeda pendapat antara suami dan istri adalah hal yang biasa. Tak ada satupun keluarga yang
tidak pernah mengalami konflik, bahkan sebuah pepatah mengatakan, rumah tangga tanpa
adanya konflik adalah bagai sayur tanpa garam yang tentu saja rasanya akan hambar. Namun apa
yang terjadi jika konflik yang terjadi justru terus berlarut dan menjadi semakin serius, tentu saja
keutuhan keluarga yang dipertaruhkan. Tentu Anda tidak menginginkan hal ini terjadi bukan,
oleh karenanya sangat penting untuk memahami managemen konflik keluarga yang baik dan
bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut. Setelah berkomitmen untuk menikah, maka
antara suami dan istri harus berupaya mencari solusi berdasarkan syariat agama Islam dalam
menyelesaikan konflik internal keluarganya.
1. Islam telah menetapkan bahwa suamilah pemimpin di dalam sebuah keluarga, oleh karenanya
suami memiliki hak penuh untuk memberi pelajaran dan medidik istri ketika sang istri mulai
membangkan. Demikian pula dengan istri, sekalipun dalam konflik ia harus memahami hal ini
dan senantiasa berusaha untuk patuh kepada suami. Apabila seorang istri secara ikhlas dan rela
menerima kepemimpinan suami serta patuh terhadapnya, tentu saja ia akan ikhlas atas keputusan
suami.
2. Sekalipun seorang suami memiliki wewenang penuh atas istri, namun Islam tidak
memperbolehkan suami bertindak sewenang-wenang terhadap istri dan tetap harus memenuhi
apa yang menjadi haknya. Oleh karenanya dalam memperingatkan istri, gunakanlah cara yang
baik dan berusaha untuk tidak menyakiti. Gunakan cara-cara yang baik untuk meredakan konflik
yang ada, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
3. Apabila peringatan secara baik dan komunikasi antara istri dan suami tidak lagi dapat merubah
suasana atau meredakan konflik dan justru membuatnya keadaan semakin memanas, maka untuk
tahap selanjutnya Islam menganjurkan agar dihadirkan hakam atau penengah diantara suami dan
istri yang berselisih yang berasal dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.

2.1. Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya adalah :
1. Bagaimana pengertian konflik keluarga?
2. Bagaimana macam konflik?
3. Factor-faktor oenyebab dari konflik keluarga?
2.2. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah disampaikan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah :
1. . Untuk mengetahui pengertian konflik keluarga
2. untuk mengetahui macam konflik.
3. . Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari konflik keluarga.
4. Untuk mengetahui untuk mengatasi konflik keluarga

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Konflik Keluarga

Konflik keluarga atau konflik dalam keluarga adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang menganggu kegiatan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, mulai dari
persiapan, proses dan berakhirnya kehidupan keluarga. Konflik ini dapat berdampak mulai skala
kecil sampai dengan bahaya besar. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan formula kearifan lokal
sebagai salah satu model penyelesaian yang tepat dalam resolusi konflik kehidupan keluarga
dengan alasan bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan
diikuti oleh anggotanya, dan kearifan lokal tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari
ajaran wahyu atau nilai-nilai lama yang telah mengalami Islamisasi. Praktek kearifan lokal
sebagai basis resolusi konflik telah dipraktekkan dalam sejarah peradaban Islam. Al-Quran juga
memerintahkan penyelesaian konflik secara damai melalui juru runding (h}akam) yang memang
sudah tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Jadi Islam sangat menghargai nilai-nilai lokal dan
menjadikannya sebagai salah satu cara penyelesaian konflik. Penulis dalam konteks ini mencoba
menginventarisir berbagai kearifan lokal masyarakat muslim di Nusantara tersebut yang relevan
sebagai pendekatan dalam penyelesaian konflik kekeluargaan dengan pertimbangan bahwa
muatannya dapat memperkokoh sistem kekeluargaan, persaudaraan dan menghindari
perpecahan.
2.2. Macam konflik
Maka konflik keluarga dapat dirinci lagi menjadi beberapa macam konflik, yaitu:
2.2. 1. Konflik dalam perkawinan (syiqa>q); berupa konflik dalam pemilihan dan penetapan
jodoh, penentuan mahar, uang jujur, proses pembayaran, pemberian nafkah, pergaulan dalam
rumah tangga dan hubungan seksual, dan perkawinan monogami atau poligami.
2.2.2. Konflik dalam perceraian (talak dan gugat); berupa masa persiapan atau pisah ranjang,
pihak yang mengambil inisiatif memulai cerai, biaya dan proses cerai, dan hubungan keluarga
pasca percearaian.
2.2.3. Konflik dalam pembagian harta bersama (gono gini) dan harta waris (tirkah) berupa
perebutan harta bersama, penetapan jumlah dan macam harta bersama, penetapan jumlah harta
waris, penetapan bentuk harta waris, penetapan para ahli waris, dan jumlah bagian masingmasing ahli waris.

2.2. 4. Konflik dalam pengasuhan dan nafkah anak, misalnya penetapan siapa yang berhak
mengasuh, bagaimana biaya pengasuhan, proses lama pengasuhan, serta hak masingmasing
bapak dan ibu.
2.2.5. Konflik dalam persoalan waqaf, hibah, dan wasiat, dan lainlain yang terkait dengan
kehidupan keluarga.
2.3. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam keluarga
2.3.1. Kurang lancarnya komunikasi
Komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam berrumah tangga, bagaimana mungkin
masing-masing pasangan mengetahui keinginan dan harapan pasangannnya kalau tidak adanya
komunikasi yang baik sehingga keinginan dan harapan tersampaikan dan tidak salah persepsi.
Seorang suami atau isteri hendaknya menyampaikan pesan dengan lembut dan baik, tentunya
dengan mempertimbangkan pula waktu dalam menyampaikan pesan tersebut.
Suami yang baru saja pulang kerja dengan badan yang lelah dan perut yang lapar tidak mungkin
seorang isteri menyampaikan keluhannya sepanjang siang itu, tapi harus menunggu waktu yang
tepat dimana suami dalam keadaan yang santai dan tenang
2.3.2. Kurangnya pengetahuan/ ilmu
Sebelum memasuki jenjang berrumah tangga calon suami atau isteri sebaiknya menggali dan
menyempurnakan ilmu tentang pernikahan, dengan ilmu maka kita akan paham seperti apa
rumah tangga yang dicontohkan Rasulullah dan bagaimana melajukan bahtera di tengah lautan
kehidupan yang bergelombang.
2.3.3. Kurangnya pengendalian diri masing-masing pasangan
Sebelum menikah mungkin segalanya tampak indah di depan mata. Satu, dua, tiga bulan pertama
semuanya bak di syurga dunia, tapi ketika usia pernikahan memasuki bulan keempat mulailah
masalah bermunculan. Disini kita harus mampu mengendalikan diri kita. Kemampuan kita dalam
mengendalikan diri diuji oleh Allah. Sikap yang tepat dalam menghadapi dan mengatasi masalah

adalah dengan senantiasa berlindung dan memohon pertolongan Allah untuk tetap tenang, diberi
kemudahan untuk berpikir jernih dan bertindak tepat.
Banyaklah belajar dari pengalaman orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berrumah
tangga, khususnya keluarga-keluarga mukmin, bagaimanakah mereka mengatasi konflik rumaha
tangga, bagaimanakah mereka mengendalikan diri ketika menghadapi masalah.
2.3.4. Tidak adanya kesadaran sebagai hamba
Seorang hamba Allah sepanjang hidupnya selalu mengabdi, segala aktifitasnya harus selalu
bernilai ibadah di hadapan Allah dalam QS. Adz Dzaariyaat : 55 dikatakan dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah) kepadaKu
Maka seorang hamba Allah akan meninggalkan semua sikap dan perilakunya yang tidak bernilai
ibadah. Semua yang dilakukannya harus untuk dan atas nama Allah, dengan bertitik tolak pada
Sukakah Allah dengan apa yang akan kulakukan?
Seperti telah disebutkan di atas QS At Taubah : 71 "Dan orang-orang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat
oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)
Suami isteri harus merupakan penolong menyuruh pada yang maruf dan mencegah pada hal
yang munkar, sehingga ketika percekcokan suami isteri karena salah satunya menyimpang dari
ketentuan Allah, maka pasangannya mengingatkan dan meluruskannya, sehingga percekcokan
tersebut akan bernilai ibadah. Percekcokan inilah yang dibenarkan oleh Allah SWT dan bahkan
dianjurkan, seperti dalam hadits Bukhori Muslim
Jika melihat kemunkaran cegahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu cegah dengan lisanmu
dan jika tidak mampu cukuplah dengan hati maka itulah selemah-lemahnya iman
Suami dan Isteri Sebagai Partner

Era globalisasi informasi telah mengubah pandangan tentang wanita dan isteri, posisi wanita
bukan berada di bawah telunjuk pria atau kaum suami tetapi memiliki kedudukan yang sama
bahkan lebih tinggi. Fenomena pandangan tentang wanita mampu mengerjakan semua
pekerjaan seperti halnya pria telah menyeret wanita meniggalkan fitrahnya,banyak ditemukan
keputusan dan pengelolaan rumah tangga mutlak di tangan isteri, sehingga suami kehilangan
wibawa dan pengaruhnya dalam memimpin rumah tangga.
Islam dien yang menjunjung tinggi wanita, dalam Islam wanita adalah partner dalam menjalani
biduk rumah tangga. Wanita dan pria sama-sama sebagai subyek bukan obyek. Namun tetap pria
dengan berbagai kelebihan yang Allah berikan ia sebagai pemimpin dalam berrumah tangga.
Isteri dalam hal ini sebagai partner, sebagai wakil di rumah tangga.
Jika fitrah yang Allah tetapkan ini dilanggar maka lihatlah kesudahan orang-orang yang tidak
mentaati ketetapan Allah SWT, malapetaka dan kehancuran yang akan didapat., serta jauh dari
rahmat dan kasih sayang Allah SWT.
Menjalankan peran sebagai subyek dalam rumah tangga, berarti isteri memiliki kewajiban untuk
menolong, meluruskan suami ketika suami berbuat menyalahi aturan Allah SWT, sudah barang
tentu sebaliknya jika isteri menyimpang dari jalan Allah SWT maka suami berkewajiban
mendidik dan mengarahkannya ke jalan yang benar.
Jika dalam menjalankan perannya baik suami atau isteri tidak mau mendengarkan tausyiah kita
maka percekcokan akan terjadi, namun percekcokan ini akan menjadi ibadah di hadapan Allah,
sehingga tidak perlu khawatir selama kita benar sesuai dengan ketetapan Allah janganlah takut
atau merasa bersalah pada saat kita harus adu mulut atau mungkin adu otot dengan pasangan
kita.

2.4. Mengatasi Konflik Dalam Keluarga


2.4.1. Tahan Amarah
Sebel, kecewa, dan marah, adalah contoh bentuk-bentuk penyaluran emosi. Marah tidaklah

dilarang, apalagi kalau dikarenakan alasan yang tepat, di tempat yang tepat, pada waktu/moment
yang tepat, kepada orang yang tepat, dan dengan kadar yang proporsional.
Emosi itu memang harus disalurkan, namun terkadang, ada beberapa cara-cara lain yang lebih
baik ketimbang menyalurkannya lewat kemarahan.
Seorang sahabat berkata kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah, berpesanlah kepadaku." Nabi Saw
berpesan, "Jangan suka marah (emosi)." Sahabat itu bertanya berulang-ulang dan Nabi Saw tetap
berulang kali berpesan, "Jangan suka marah." (HR. Bukhari)
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi amarah yaitu berpindah tempat (misal dari
duduk kepada berdiri), mengambil air wudhu, dan membaca taawudz
(audzubillahiminassyaitannirrajim).
Menahan amarah ini tidaklah mudah, karenanya Rasulullah SAW berkata,
Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat
menahan dirinya ketika marah. (Muttafaq Alaihi.)
2.4.2.Tahan diri
jika emosi, tahan diri dari mengambil keputusan yang bisa jadi akan disesali
Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam. (HR. Ahmad)
Kita tentu tidak ingin menyesali suatu keputusan yang dihasilkan dalam kondisi yang penuh
emosi, karena pada saat ini, akal pikiran kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan dalil
itu pula, ada beberapa ulama yang menyatakan tidak sah talak seorang suami dalam keadaan
marah.
Tenangkan diri terlebih dahulu, jernihkan pikiran, dinginkan kepala, agar keputusan yang
diambil tidak menjadi sesalan di kemudian hari.

2.4.3. Koreksi Diri


Jangan mudah menyalahkan pihak lain, coba koreksi diri juga, bisa jadi, konflik yang terjadi
diakibatkan oleh peran serta kita di dalamnya.
2.4.2 Berikan nasehat yang baik
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Asyr: 1-3)
Surat di atas berbicara tentang hubungan interaksi dengan semua muslim, termasuk juga untuk
pasangan kita.
Jika ada kelalaian/kekhilafan/kesalahan, akan lebih indah kalau teguran yang keluar berupa
nasehat yang baik, dengan kata-kata yang baik, dan dengan cara-cara yang baik.
Bagaimana mungkin kita akan berkata dengan kata-kata yang tidak baik kepada pasangan kita
sendiri, sedang kepada orang-orang non muslim dan para penentang Tuhan saja, Allah SWT telah
memerintahkan kita agar berkata dengan cara yang baik?
2.4.5. Jika harus mempergunakan kekerasan
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa': 34)
Pada taraf konfik yang berat, dan sulit untuk diselesaikan, terkadang konflik bisa diselesaikan
dengan ketegasan.
Ada tahapan-tahapan yang harus dijalankan, nasihati terlebih dahulu, setelah tidak bisa, lakukan
pisah ranjang (namun masih di dalam satu rumah yang sama), jika masih tidak memungkinkan,
pukullah, dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas dan tidak di wajah. Tahapan-tahapan
ini tidak boleh dilakukan dengan meloncati tahapan sebelumnya.

Namun dari berbagai sirah/sejarah Nabi yang saya baca, sepertinya saya tidak pernah
menemukan contoh ini. Ini berarti memang solusi seperti ini, hanya untuk hal yang sangat
kasuistik.
Satu-satunya contoh hukuman dengan kekerasan yang pernah saya baca dari Nabi yaitu ketika
Nabi Ayub AS harus melaksanakan sumpahnya untuk memukul istrinya 100 kali, namun itu juga
dengan mempergunakan rumput, yang pastinya tidak akan seberapa sakit.
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu
melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaikbaik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shaad:44)
2.4.6 Pihak ketiga
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisaa': 35)Jika memang
dirasa perlu, libatkan pihak ketiga yang bisa menjadi mediator, fasilitator, bisa berupa pihak
keluarga, maupun dari pihak profesional seperti konselor pernikahan.

2.4.7.Jangan libatkan anak dalam pertikaian


Jangan membuat blok dalam rumah tangga, dengan mencari pendukung atau sekutu dalam
pertikaian yang terjadi antar pasangan.
Seorang anak bisa jadi sudah mengalami kebingungan sendiri dengan konflik yang dialami
orangtuanya, cukuplah sampai disitu saja beban yang dialaminya.
2.4.8 Ketika perceraian harus terjadi
Jika tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, dan harus diambil solusi terburuk berupa
perceraian, pastikan agar dilakukan dengan cara yang baik. Pernikahan diawali dengan hal yang
baik, maka sudah sepatutnya pula diakhiri dengan cara yang baik.

Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian selama proses perceraian seperti sebagai
berikut:
Talak tidak boleh dilakukan pada waktu pihak wanita berada dalam masa haid atau nifas, talak
baru dikatakan sah jika pihak wanita dalam keadaan bersih.
Ada masa iddah pasca talak, masa iddah adalah waktu jeda dengan rentang waktu tiga kali
bersuci dari haid, sehingga jelas tidak ada benih dari suami di dalam rahim istri. Dan selama
masa iddah ini, sang istri harus tetap berada satu rumah dengan suami, dan dalam waktu iddah
ini pula, kedua belah pasangan boleh rujuk tanpa memerlukan pernikahan ulang kembali.
Jika telah memiliki anak, dengan adanya perceraian, korban terbesar adalah sang anak. Jangan
abaikan hak-haknya, dan bantu dia melalui krisis perceraian kedua orangtuanya.
Jaga perasaan orangtua dan mertua juga sangat mungkin mengalami masa-masa sulit dengan
perceraian yang dialami anaknya. Perhatikan pula hal ini!
2.4.9 Bertaubat dan jadilah pemaaf
Tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada kesalahan atau kelalaian yang mungkin saja terjadi.
Bagi pihak yang merasa bersalah, lakukanlah syarat-syarat taubat. Tinggalkan perbuatan
dosa/kesalahan tersebut, menyesalinya, tidak mengulanginya dan berbuat kebaikan untuk
menutup keburukan-kesalahan di masa lalu. Lakukan taubat nasuhah, sungguh-sungguh, karena
pada dasarnya, anda tidak hanya sedang melakukan kesalahan pada pasangan anda, tapi juga
telah melanggar komitmen/ikrar kepada Allah SWT.
Bagi pihak yang dirugikan, jadilah pemaaf, lanjutkan dan pertahankan ikatan pernikahan anda
dengan langkah-langkah yang lebih baik. Tidak mudah memang untuk mengesampingkan
perasaan sakit dalam hati, namun bukanlah suatu hal yang tidak mungkin untuk melanjutkan
pernikahan dalam bingkai yang baru dan lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai