1.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PEMBENTUK KARAKTER
KEINDONESIAAN
bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di timur
adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Berdasarkan
keanekaragaman tersebut paradigma pendidikan multikultural sangat relevan diterapkan di
Indonesia, karena pendidikan multikultural banyak digunakan di negara-negara yang
multietnis dan multibudaya, seperti Indonesia.
Pendidikan multikultural secara etimologis berasal dari dua term yakni pendidikan
dan multikulturtal. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata
laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik. Sedangkan istilah
multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah
kultur yang berartikebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya adalah multi
yang berarti banyak, ragam, aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragaman
budaya, aneka, kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih
diartikan sebagai keragaman budaya sebagai aplikasi dari keragaman latarbelakang
seseorang.
Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung
ideologi yang memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di
manapun dia berada dan dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis,
bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara). Pendidikan multikultural secara inhern
merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep memanusiakan
manusia. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat membutuhkan
pendidikan model pendidikan multikultural ini.
keindonesiaan ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa besar di
tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui
karakter manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme
inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa depan dengan keyakinan kolektif
sebagai bangsa.
Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang
keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20
Tahun 2003 menjelaskan
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia
juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai
keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU Sisdiknas di
atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa,
Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih luas. Globalisasi menjadikan keterikatan
bangsa-bangsa sebagai kesatuan komunitas dunia.
Secara teknis pendidikan multi budaya juga dikembangkan oleh Banks (1993). Banks
mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada upaya
untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh
pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui
reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain,
seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan
mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan praktik,
perhatian pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama
bagi kebanyakan ahli teoretisi. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses
pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid,
apa pun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan
menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Hak-hak hidup bersama dan memeroleh penghidupan yang layak sebagai warga
dunia juga menjadi perhatian dalam konsep pendidikan multikltural. Inilah yang mejadi titik
tolak Nieto dalam Naim (2008) menyatakan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk
sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memerhatikan keterampilan-keterampilan
dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus
seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
3 | Landasan Ilmu Pendidikan
yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana
pengajar dan murid bersama-sama memelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan
akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun
pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalam
membuat keputusan dan tindakan sosial.
Konsep-konsep pendidikan multkultural yang dikembangkan pakar dunia tersebut
telah diadopsi oleh para pakar pendidikan di Indonsia yang konsen terhadap persoalan
pluralisme.
multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan
alasan multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan
perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya
pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi
pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan
kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat
terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja, pasar, dan sistem nasional dalam hal
kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Wacana pendidikan
multikultural di Indonesia telah bergaung sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu
menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan pendidikan pluralisme
sebagai pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih
luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita,
sehingga kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar
kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah
perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang
Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan.
Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam praktik pendidikan
haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di
Indonesia dimuarakan pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai
kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan
warga bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain merupakan kewajiban;
memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan
4 | Landasan Ilmu Pendidikan
terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama
adalah ajaran semua agama.
2. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS KARAKTER KEINDONESIAAN
Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik dari belum dewasa
mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter. Karena itu
setiap orang dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan karenanya
mendorong seseorang menjadi diri sendiri.
Wuryanano (2011:22)
menyatakan bahwa
karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan
pembiasaan
Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma
agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan dengan
pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik
mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai
insan kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala
perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar
memiliki empat karakter pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial,
dan manusia sebagai warga bangsa.
Berdasarkan empat karakter pokok tersebut dalam praktik pendidikan di Indonesia,
lembaga pendidikan diharapkan mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan
berfokus delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat
membentuk karakter peserta didik. Kedelapan belas karakter tersebut adalah sebagai berikut:
religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Nilai-nilai pembentuk karakter yang harus dikembangkan di setiap lembaga
pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan pembentuk karakter insan kamil secara
universal. Di tengah keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia haruslah
memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa Indonesia yang memiliki
identitas diri yang berbeda dengan bangsa lain.
5 | Landasan Ilmu Pendidikan
berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan
menuju kebangsaan.
Sejalan dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Tilaar (2003:173) menyatakan
bahwa pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan anak didik secara aktfi
sebagai warga negara yang secara etnik, kultural, dan agama beragam, menjadi manusiamanusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri sendiri, lingkungan, dan realitas
yang majemuk. Pendidikan multikultural juga memiliki kaitan yang signifikan dalam
perkembangan dunia global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia
mengenal perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks,
6 | Landasan Ilmu Pendidikan
kebudayaan, dan kepentingan (Yaqin, 2005:4). Dalam konteks ini diperlukan pemecahan
masalah melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik tentang cara
pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogenitas kelompok etnis, relasi
gender, hubungan antaragama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta
bentuk-bentuk keragaman lainnya.
tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai.
Keempat nilai tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat;
pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia;
pengembangan model
mengunggulkan diri dan kelompoknya dan merendahkan kelompok lain. Kesadaran satu
bangsa meski berbeda kelompok sosial merupakan hal penting untuk ditumbuhkembangkan
sebagai jembatan jiwa nasionalisme.
Ketiga, pendidikan multikultural
TANGGAPAN PENULIS :
Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat yang mendiami setiap pulau
memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Banyaknya etnis suku bangsa di Indonesia karena itu
merupakan hal wajar. Menerima kenyataan perbedaan inilah yang perlu dipahami bersama.
Karena itu, usaha memerlakukan dan membentuk keseragaman bukanlah hal yang dapat
dibenarkan.
Meski demikian, semua perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai bangsa yang
satu bangsa Indonesia. Semangat Bhineka Tungal Ika
berbeda-beda tetapai tetap satu juga sesungguhnya memberi ruang semua perbedaan itu.
Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia tetap menjadi muara segala perbedaan
tersebut.
Konsep ini haruslah menjadi dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional
dikembangkan dengan prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di
masing-masing daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya
lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan pola pikir, tindakan, dan karakter yang
mencerminkan manusia Indonesia.
Latar belakang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara
variabel pendidikan multikultural dan karakter keindonesiaan. Input pendidikan yang
beragam harus diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal membentuk
karakter keindonesiaan haruslah menjadi tujuan bersama. Hal ini tampaknya merupakan
kemutlakan karena setelah munculnya regulasi otonomi daerah pada tahun dua ribuan,
8 | Landasan Ilmu Pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice.
Review of Research in Education.
Burnett. 1994. Varieties of Multicultural Education: An Introduction. Eric Clearinghouse on
Urban Education: Digest.
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi.
Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suseno, Frans Magnis. 2000. Pendidikan Pluralisme dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural.
Magelang: Indonesia Tera.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.