Anda di halaman 1dari 7

Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang
tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan bersifat reaktif. Suatu atom atau molekul akan
tetap stabil bila elektronnya berpasangan, untuk mencapai kondisi stabil tersebut, radikal
bebas dapat menyerang bagian tubuh seperti sel, sehingga dapat menyebabkan kerusakan
pada sel tersebut dan berimbas pada kinerja sel, jaringan dan akhirnya pada proses
metabolisme tubuh. Radikal bebas dapat berasal dari tubuh makhluk hidup itu sendiri sebagai
akibat aktivitas tubuh seperti aktivitas autooksidasi, oksidasi enzimatik, organel subseluler,
aktivitas ion logam transisi, dan berbagai sistem enzim lainnya (Fessenden & Fessenden,
1986; Darmawan & Artanti, 2009).
Secara umum sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endogen dan
eksogen. Radikal bebas endogen dapat terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi enzimatik,
fagositosis dalam respirasi, transfor elektron di mitokondria dan oksidasi ion-ion logam
transisi. Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh, misalnya sinar UV.
Di samping itu, radikal bebas eksogen dapat berasal dari aktivitas lingkungan. Menurut
Supari (1996), aktivitas lingkungan yang dapat memunculkan radikal bebas antara lain
radiasi, polusi, asap rokok, makanan, minuman, ozon dan pestisida. Terbentuknya senyawa
radikal, baik radikal bebas endogen maupun eksogen terjadi melalui sederetan reaksi. Mulamula terjadi pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya
radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir yaitu pemusnahan atau pengubahan senyawa
radikal menjadi non radikal (terminasi). Radikal bebas yang beredar dalam tubuh berusaha
untuk mencuri elektron yang ada pada molekul lain seperti DNA dan sel. Pencurian ini jika
berhasil akan merusak sel dan DNA tersebut. Dapat dibayangkan jika radikal bebas banyak
beredar maka akan banyak pula sel yang rusak. Kerusakan yang ditimbulkan dapat
menyebabkan sel tersebut menjadi tidak stabil yang berpotensi mempercepat proses penuaan
dan kanker (Rohmatussolihat, 2009).
Radikal bebas dalam tubuh pada dasarnya berperan dalam pemeliharaan kesehatan karena
sifatnya yang reaktif untuk mengikat atau bereaksi dengan molekul asing yang masuk ke
dalam tubuh. Ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan dalam tubuh dapat
menyebabkan terganggunya sistem metabolisme, hal ini diakibatkan karena sifat radikal
bebas yang dapat menyerang lipid, DNA (deoxyribo necleic acid), dan protein komponen sel
dan jaringan (Darmawan & Artanti, 2009).
Antioksidan
Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron,
sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan merupakan molekul atau senyawa yang
dapat meredam aktivitas radikal bebas dengan mencegah oksidasi sel (Syahrizal, 2008).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Antioksidan primer
Antioksidan primer merupakan antioksidan yang bekerja dengan cara mencegah
terbentuknya radikal bebas yang baru dan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang
tidak merugikan. Contohnya adalah Butil Hidroksi Toluen (BHT), Tersier Butyl Hidro
Quinon (TBHQ), propil galat, tokoferol alami maupun sintetik dan alkil galat.

b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerja prooksidan yaitu
faktor-faktor yang mempercepat terjadinya reaksi oksidasi terutama logam-logam seperti: Fe,
Cu, Pb, dan Mn. Antioksidan sekunder berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah
terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contohnya
adalah vitamin E, vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.
c. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringanyang
rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah jenis
enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel.
Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker (Kumalaningsih,
2008).

Sumber-sumber Antioksidan
Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi menjadi dua kelompok yaitu antioksidan
sintetik dan antioksidan alami (Isnindar, Wahyuono, & Setyowati, 2011, pp. 158).
2.7.1.1. Antioksidan Alami
Antioksidan alami merupakan jenis antioksidan yang berasal dari tumbuhan dan hewan
(Purwaningsih, 2012, pp. 41). Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam
struktur molekulnya. Antioksidan alami yang berasal dari tumbuhan adalah senyawa fenolik
berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik
polifungsional (Isnindar, Wahyuono, & Setyowati, 2011, pp. 158). Senyawa fenolik tersebar
di seluruh bagian tumbuhan baik pada kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk
sari. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan belakangan ini banyak diteliti, karena
flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal bebas dan juga
sebagai anti radikal bebas (Zuhra, Tarigan, & Sihotang, 2008). Senyawa kimia yang tergolong
antioksidan dan dapat ditemukan secara alami diantaranya adalah asam ellagic,
proantosianidin, polifenol, karotenoid, astaxanthin, tokoferol, dan glutation.
a. Asam ellagic
Senyawa ini bersifat antimutagenik dan banyak ditemukan dalam raspberry merah,
stroberry, blueberry, delima, dan kenari.
b. Proantosianidin
Antioksidan ini termasuk keluarga flavonoid dan merupakan senyawa yang memberikan
warna merah dan biru pada buah, proantosianidin telah terbukti bermanfaat dan memperkuat
kapiler, memperbaiki penglihatan dalam gelap, mendukung integritas dinding pembuluh
darah dan mencegah pembekuan darah. Proantosianidin dapat ditemukan pada kismis, biji
anggur, kulit buah anggur, teh hijau, teh hitam, kulit kayu manis, dan kakao.
c. Polifenol

Mikronutrien ini mewakili kelompok besar antioksidan yang termasuk flavonoid dan
antosianidin, menurut sebuah penelitian di American Journal of Clinical Nutrition, senyawa
ini telah terbukti mencegah kondisi degeneratif, termasuk kanker dan penyakit kardiovaskuler
dan neurodegeneratif, polifenol dapat ditemukan pada apel, bawang, brokoli, stroberry,
kakao, teh dan sayuran hiau.
d. Karotenoid
Karotenoid adalah mikronutrien larut dalam lemak, yang dikenal dengan sebutan betakaroten (yang dapat dikonversi menjadi vitamin A dalam tubuh), karotenoid dapat ditemukan
pada spirulina, wortel, jeruk, melon, labu, lobak, dan tomat.
e. Astaxanthin
Astaxanthin tergolong karoten. Menurut para ahli, astaxanthin 1000 kali lebih kuat
sebagai antioksidan daripada vitamin E. Udang, ikan salmon, dan kerang merupakan sumber
potensial astaxanthin. Tetapi kandungan astaxanthin terbanyak ada pada sejenis mikroalga,
yaitu Haematococos pluvalis (Rohmatussolihat, 2009).
f. Tokoferol (vitamin E)
Vitamin E dipercaya sebagai sumber antioksidan yang kerjanya mencegah lipid
peroksidasi dari asam lemak tak jenuh dalam membran sel dan membantu oksidasi vitamin A
serta mempertahankan kesuburan (Rohmatussolihat, 2009). Sebuah studi dalam Journal of
National Cancer Institute menemukan bahwa risiko kanker prostat turun secara signifikan
dengan tingkat tinggi tokoferol. Vitamin E dapat ditemukan pada kacang-kacangan, minyak
sayur, minyak gandum, dan sayuran hijau.
g. Glutation
Glutation adalah molekul yang sangat kecil dan merupakan antioksidan yang paling
penting karena berada di dalam sel, molekul ini mampu menetralisir radikal bebas,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu hati mengeluarkan racun dalam tubuh,
glutation sering disebut master antioksidan karena berfungsi sebagai regulator dan
regenerator dari kekebalan sel dan agen detoksifikasi yang paling berharga dalam tubuh
manusia, rendahnya tingkat glutation dalam tubuh erat kaitannya dengan disfungsi hati,
disfungsi kekebalan tubuh, penyakit jantung, penuaan dini, dan kematian. Glutation dapat
ditemukan pada susu kambing, alpukat, asparagus, peterseli, dan brokoli (Mikail & Anna,
2011).
2.7.1.2. Antioksidan Sintetik
Antioksidan sintetik yang diizinkan dan umum digunakan untuk makanan yaitu BHA
(Butylated Hydroxy anisole), BHT (Butylated Hydroxytoluene), dan profil galat. Pada saat
ini penggunaan antioksidan sintetik mulai dibatasi karena beberapa antioksidan terbukti
bersifat karsinogenik dan beracun terhadap hewan percobaan (Zuhra, Tarigan & Sihotang,
2008). Telah dilaporkan bahwa penggunaan antioksidan sintetik seperti Butylated
Hydroxyanisol (BHA) dan Butylated Hydroxytoluen (BHT) dapat menimbulkan akibat buruk
terhadap kesehatan manusia yaitu gangguan fungsi hati, paru, mukosa usus dan keracunan.
Penggunaan antioksidan sintetik dapat menimbulkan keracunan pada dosis tertentu, menurut
rekomendasi Food and Drug Administration dosis antioksidan sintetik yang diizinkan dalam
pangan adalah 0,01%- 0,1% (Panagan, 2011).

2.7.2. Metode Uji Antioksidan


a. Metode peredaman radikal 2,2-difenil-1-pikril hidrazil (DPPH)
Packer (1999) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari
kemampuannya menangkap radikal bebas. Radikal bebas yang biasa digunakan sebagai
model dalam mengukur daya penangkapan radikal bebas adalah DPPH yang merupakan
senyawa radikal bebas yang stabil sehingga apabila digunakan sebagai pereaksi dalam uji
penangkapan radikal bebas cukup dilarutkan. Jika disimpan dalam keadaan kering dengan
kondisi penyimpanan yang baik akan stabil selama bertahun-tahun (Amelia, 2011).
Shivaprasad, Mohan, Kharya, Shiradkar, & Lakshman (2005) menyatakan bahwa metode
DPPH adalah yang metode paling sering dilaporkan digunakan untuk skrining aktivitas
antioksidan dari berbagai tanaman obat. Metode peredaman radikal bebas DPPH didasarkan
pada reduksi dari radikal bebas DPPH yang berwarna oleh penghambat radikal bebas.
Prosedur ini melibatkan pengukuran penurunan serapan DPPH pada panjang gelombang
maksimalnya, yang sebanding terhadap konsentrasi penghambat radikal bebas yang
ditambahkan ke larutan reagen DPPH. Aktivitas tersebut dinyatakan sebagai konsentrasi
efektif (effective concentration), EC50 atau (inhibitory concentration), IC50 (Amelia, 2011).
b. Metode reducing power
Shivaprasad, Mohan, Kharya, Shiradkar, & Lakshman (2005) menyatakan bahwa metode
ini berprinsip pada kenaikan serapan dari campuran reaksi. Peningkatan pada serapan
menunjukkan peningkatan pada aktivitas antioksidan. Dalam metode ini antioksidan
membentuk kompleks berwarna dengan kalium ferrisianida, asam trikloroasetat, dan besi (III)
klorida yang diukur pada panjang gelombang 700 nm. Peningkatan pada serapan campuran
reaksi menunjukkan kekuatan mereduksi dari sampel (Amelia, 2011).
c. Metode uji kapasitas serapan radikal oksigen (ORAC)
Prosedur analisis ini mengukur kemampuan antioksidan dari makanan, vitamin, suplemen
nutrisi atau bahan kimia lainnya terhadap radikal bebas. Uji ini dilakukan dengan
menggunakan trolox (analog vitamin E) sebagai standar untuk menentukan trolox ekuivalen
(TE). Nilai ORAC kemudian dihitung dari TE dan ditunjukan sebagai satuan atau nilai
ORAC. Semakin tinggi nilai ORAC, semakin besar kekuatan antioksidannya (Amelia, 2011).
d. Metode tiosianat
Aktivitas antioksidan sampel dengan metode tiosianat ditunjukkan dengan kekuatan
sampel dalam menghambat peroksidasi asam linoleat. Jumlah peroksida yang terbentuk
diukur secara tidak langsung dengan pembentukan kompleks ferritiosianat yang berwarna
merah (Amelia, 2011).
e. Uji dien terkonjugasi
Shivaprasad, Mohan, Kharya, Shiradkar, & Lakshman (2005) menyatakan bahwa metode
ini memungkinkan penghitungan yang dinamis terhadap dien terkonjugasi sebagai hasil dari
oksidasi awal PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) dengan mengukur serapan UV pada 234
nm. Prinsip dari uji ini adalah bahwa selama oksidasi asam linoleat, ikatan rangkap dirubah
menjadi ikatan rangkap terkonjugasi yang mana dikarakterisasi oleh serapan UV kuat pada
234 nm. Aktivitas diekspresikan dengan konsentrasi penghambatan (inhibitory
concentration), IC50 (Amelia, 2011).

f. Aktivitas penghambatan radikal superoksida


Shivaprasad, Mohan, Kharya, Shiradkar, & Lakshman (2005) menyatakan bahwa
aktivitas penghambatan radikal superoksida secara in vitro diukur oleh reduksi
riboflavin/cahaya/nitro blue tetrazolium (NBT). Reduksi NBT adalah metode yang paling
dikenal. Metode ini didasarkan pada pembangkitan radikal superoksida oleh autooksidasi dari
riboflavin dengan adanya cahaya. Radikal superoksida mereduksi NBT menjadi formazon
yang berwarna biru yang dapat diukur pada 560 nm. Kapasitas ekstrak untuk menghambat
warna hingga 50% diukur dalam EC50. Radikal superoksida dapat juga dideteksi dengan
oksidasi hidroksilamin, menghasilkan nitrit yang kemudian diukur dengan reaksi kolorimetri
(Amelia, 2011).
g. Aktivitas penghambatan radikal hidroksil
Kapasitas penghambatan radikal hidroksil dari ekstrak dihubungkan secara langsung
terhadap aktivitas antioksidannya. Metode ini melibatkan pembangkitan in vitro dari radikal
hidroksil menggunakan sistem Fe3+/askorbat/EDTA/H2O2 berdasarkan reaksi Fenton.
Penghambatan dari radikal hidroksil dengan adanya antioksidan diukur (Amelia, 2011).
2.7.3. Mekanisme Kerja Antioksidan dengan Metode DPPH
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu
kamar, berbentuk kristal berwarna ungu dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas
antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam (Simanjuntak, Parwati, Lenny, Tamat,
& Murwani, 2004; Desmiaty, R.,R., 2008, pp. 72). Radikal bebas DPPH akan ditangkap oleh
senyawa antioksidan melalui reaksi penangkapan atom hidrogen dari senyawa antioksidan
oleh radikal bebas untuk mendapatkan pasangan elektron dan mengubahnya menjadi difenil
pikril hidrazin (DPPH-H). Radikal ini mempunyai kereaktifan rendah, sehingga dapat
mengurangi radikal bebas yang bersifat toksik (Simanjuntak, Parwati, Lenny, Tamat, &
Murwani, 2004; Cholisoh & Utami, 2009).
DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik
yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal
hidrogen pada DPPH, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH (Simanjuntak,
Parwati, Lenny, Tamat, & Murwani, 2004; Cholisoh & Utami, 2009).

Kapasitas atau aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu


senyawa yang mengandung antioksidan untuk menghambat laju reaksi
pembentukan radikal bebas. Penentuan kapasitas antioksidan yang terdapat
dalam tumbuhan pada umumnya menggunakan spektrofotometer. Eksplorasi
bahanbahan alam terutama senyawa bioaktif yang terdapat pada tumbuhtumbuhan dan mikroorganisme yang hidup di darat maupun di air secara
terus menerus diteliti untuk mendapatkan senyawa antioksidan yang
berfungsi untuk menjaga kesehatan tubuh manusia (Shahidi, 1997 ; Prakash,
2001).
Reaksi yang umum terjadi pada mekanisme penangkapan radikal bebas oleh
antioksidan digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme Hidrogen Atom
Transfer (HAT) dan Electron Transfer (ET). Reraksi HAT pada umumnya terjadi
akibat peroksidasi lemak yaitu antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH)
seperti pada reaksi di bawah ini :
X* + AH ----------> XH + A (1)
Sementara itu reaksi ET terjadi akibat reaksi reduksi oksidasi (redoks) antara
radikal (X*) dengan antioksidan (AH) yang menghasilkan produk stabil (XH)
dan air (H2O). Produk inilah yang dapat mempengaruhi warna menjadi
memudar.
Tahapan reaksinya disajikan pada reaksi di bawah ini :
X* + AH -----------> X- + AH*+ (2)
H2O

AH*+ ---------> A* + H3O+ (3)


X- + H3O+ -------> XH + H2O (4)

Enzim Peroksidase (PO)


Peroksidase pada tanaman (Hydrogen peroxidase oxidoreductase; EC 1.11.1.1) terdiri dari
monomer-monomer glycoprotein (Cassab and Varner, 1988; Valpuesata et al., 1989). Enzim ini
menggunakan hydrogen peroxida (H2O2) atau oksigen bebas (O2) untuk mengoksidasi suatu
variasi yang lebih luas dari penerima hidrogen. Dengan adanya penambahan dari H 2O2, dapat
mengkatalisis reaksi oksidasi dari berbagai bentuk substrat, termasuk phenolik, nitrit, sitokrom c,
asam askorbat, atau gugus amin (Kerby and Somerville, 1989; Mder and Fssl, 1982;
Scandalios, 1974). Reaksi oksidasi terjadi dibawah kondisi aerobik dengan menggunakan oksigen
bebas dan tanpa peroksidase eksogen (Mder and Amberg-Fisher, 1982
Peroksidase (PO) didistribusikan cukup luas pada setiap organ tanaman. Peroksidase dihasilkan
dalam organ, jaringan, sel, dan variasi komponen subseluler. PO adalah enzim yang larut di
dalam sitoplasma atau tempat intraseluler. PO dapat dideteksi di dalam organel-organel dan pada
dinding sel atau membran sel (Birecka et al., 1975a; Bireck et al., 1975b; Catesson et al., 1986;
Meudt and Stecher, 1972).
Pada umumnya, PO merupakan isozim. Isozim ini memiliki kekuatan yang
berbeda dalam bahan biokimianya seperti dalam aktifitas yang lebih spesifik,
pH optimal, afinitasnya terhadap substrat dan sensitivitasnya terhadap
inhibitor (Bakardjieva, 1986; Fry, 1986; Mder et al., 1980; Siegel and Siegel,
1986). PO berbeda dalam struktur biokimianya maupun respon terhadap
rangsangannya juga berbeda (Hu et al., 1990). Beberapa penelitian
menyatakan bahwa PO pada suatu jaringan berbeda dalam jumlah yang
sangat besar pada spesies tanaman. Kenyataannya, PO diidentifikasi lebih
sering terdapat pada tanaman untuk jumlah yang lebih besar (Chiu and Teng,
1977; Lee, 1973; Maldonado and van Huystee, 1980; Sesto and van Huystee,
1989; Wijsman and Hendriks, 1986).

Efektivitas radikal bebas ArO harus relatif lebih stabil, sehingga mampu menghambat reaksi dengan
substrat namun cepat bereaksi dengan ROO, atau yang dikenal sebagai pemutusan rantai
antioksidan [6]. Antioksidan akan bereaksi lebih cepat dengan radikal peroksida, sehingga mampu
menghambat reaksi dengan substrat. Kemudahan antioksidan untuk memberikan atom hidrogennya
pada radikal bebas menunjukan aktivitas dari antioksidan tersebut. Oleh karena itu, besaran entalpi
disosiasi ikatan (BDE) pada ArOH erat kaitannya dengan aktivitas antioksidan. Lemahnya energi
disosiasi ikatan O-H akan mempercepat reaksi dengan radikal bebas [4]. Selain itu aktivitas
antioksidan juga dipengaruhi oleh kelarutan senyawa pada suatu pelarut [7]. Untuk mempelajari
aktivitas antioksidan secara teoritis telah banyak dilakukan melalui bantuan kimia komputasi.
Ditinjau dari tingkat kemudahannya untuk melepas atom hidrogen pada gugus hidroksi (OH) maka isoeugenol lebih mudah melepaskan atom hidrogen dibanding eugenol
maupun vanilin. Dengan adanya gugus propenil (-CH=CH-CH3) pada posisi para

membuat isoeugenol lebih reaktif dibanding lainnya. Hal ini karena gugus propenil
merupakan gugus pendonor elektron yang bersifat pengaktif cincin aromatis yang dapat
menyumbangkan elektron dan mampu meningkatkan laju reaksi pembentukan produk
(radikal antioksidan itu sendiri). Dilihat dari kemudahan untuk melepaskan atom
hidrogen maka adanya gugus substituen pendonor elektron pada posisi para dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan sedangkan gugus penarik elektron akan menurunkan
aktivitas antioksidan.

Anda mungkin juga menyukai