koin, namun hal ini cukup merepotkan. Naik taksi juga cukup nyaman dengan hanya
menyebutkan tujuan, sebentar saja duduk sudah sampai dengan harga yang wajar.
Namun harga bisa saja membengkak apabila taksi melalui jalur cepat yang
menggunakan sistem ERP (electronic road pricing).
Singapura sejak dini membangun sistem transportasi terpadu mengingat luas
negaranya yang tidak terlalu besar. Tidak seperti Jakarta dan Bandung yang barubaru ini saja mulai mewacanakan MRT setelah tejadi kemacetan dimana-mana. Hal
ini terjadi karena pemerintah kota lebih mengutamakan transportasi pribadi dan
pajaknya dibandingkan dengan transportasi publik. Akhirnya yang diuntungkan
adalah produsen otomotif dan pemilik SPBU.
Saya sampai di penginapan di sekitar Clarke Quay dalam beberapa menit saja dari
stasiun Changi dengan menggunakan MRT. Penginapan khusus untuk backpacker ini
cukup murah dengan kamar dua tempat tidur susun. Memang kamar hotel bintang
tiga di Singapura ini bisa dibilang cukup mahal bila dibandingkan dengan hotel di
Bandung.
Clarke Quay
Pinggir sungai identik dengan sampah dan pemukiman kumuh, namun hal ini tidak
akan ditemui di Singapura. Sungai biasanya menjadi halaman belakang rumah,
gedung perkantoran, hotel dan restoran bahkan kalau mungkin dipersempit demi
tambahan sebidang tanah. Akan tetapi di Singapura, sungai dijadikan sebagai
halaman depan dan dijadikan daya tarik orang untuk datang dan berwisata.
Seperti di kawasan Clarke Quay, Boat Quay dan Marina Bay, pinggiran sungai
Singapura ditata sedemikian rupa sehingga apik rupawan dan bersih menawan
siapa pun yang datang. Beberapa perahu bermotor hilir mudik menelusuri sungai
untuk mengantar wisatawan menikmati view deretan shop houses tua dan gedunggedung perkantoran modern lalu berputar di sekitar patung Marlion, Art & Science
Museum dan Marina Bay Sands. Siapa pun tak menyangka dulunya kawasan ini
merupakan kawasan kumuh seperti terlihat di tepian sungai Cikapundung Bandung
sekarang.
Menikmati Clarke Quay di sore hari adalah waktu yang tepat. Di sini kita dapat
duduk-duduk santai sambil memperhatikan riak-riak kecil sungai yang berwarna
abu-abu kecoklatan. Kadang terlihat ikan-ikan berseliweran di tepiannya. Kura-kura
kecil juga kerap menampakkan diri. Dari sisi sini terlihat perahu-perahu kayu
berlabuh di seberang menurunkan muatannya. Nampak pula tenda-tenda tempat
makan bernuansa putih menambah semarak suasana.
Di tepian sungai terdapat undakan yang memungkinkan orang untuk duduk atau
naik turun perahu. Di area pedestriannya yang lebar juga terdapat bangku-bangku
untuk beristirahat di bawah rindangya pepohonan. Bila matahari sudah condong ke
barat, berjalanlah ke arah timur melalui jalan setapak dan lorong menuju Elgin
Bridge. Sambil berjalan perlahan, terlihat bangunan Marina Bay Sands berdiri kokoh
seperti menyangga Noah Ark di ketiga puncaknya. Sampai di jembatan, berdiri di
tengah-tengahnya sambil memandang ke arah Clarke Quay merupakan kenikmatan
tersendiri.
Jembatan tua Elgin yang berdiri sejak tahun 1863 ini masih terlihat kokoh.
Strukturnya yang tebal dan rigid membuat jembatan ini tak lapuk dimakan usia.
Seperti benda-benda peninggalan sejarah lainnya di Singapura, wisatawan dapat
membaca keterangan yang terpampang di dinding jembatan ini mengenai latar
belakang pembangunannya. Saya pikir begitu terpadunya sistem informasi kota
Singapura sehingga wisatawan dapat berwisata secara mandiri tanpa tersesat.
Sistem informasi tidak melulu berbentuk aplikasi komputer, tetapi bisa juga dalam
bentuk hardcopy yang bisa dibaca, dilihat dan dibawa kemana-mana. Contohnya
brosur, leaflet, signage, rambu-rambu penunjuk arah, jadwal kereta, bus dan
pesawat, website, aplikasi mobile, multimedia interaktif, plakat, prasasti dan
sebagainya. Kota Singapura memiliki sistem informasi kota yang terpadu dan
terintegrasi semacam itu yang bisa diakses oleh pengunjung, baik untuk urusan
bisnis maupun wisata, sebelum tiba maupun sesudah mendarat.
Dari Elgin Bridge menuju ke timur menuruni anak tangga di sebelah utara
menyusuri sisi Boat Quay. Seorang pelukis mungkin sedang asyik merekam suasana
sore menjelang terbenam matahari dari sini. Di dekat sinilah titik pendaratan Raffles
pada tahun 1819 di Singapura yang ditandai dengan sebuah monumen dirinya
berwarna putih. Di sini juga dapat ditemui patung-patung diorama yang
menggambarkan sungai Singapura jaman dahulu yang ramai oleh aktivitas
perdagangan. Sebelum sampai di ujung jalan, terdapat Asian Civilization Museum
yang menyimpan banyak artefak dan benda budaya dari negeri-negeri Asia.
Lalu menyeberangi sungai melalui Cavenagh Bridge menuju The Fullerton Hotel. Di
sini sudah banyak fotografer dengan senjata amunisinya siap mengabadikan detikdetik tenggelamnya sang surya. Sayang sore itu awan mendung menggelayut di
ufuk barat, namun tak lama kemudian sirna. Bias-bias cahaya kuning kemerahan
lalu menghias langit berpadu dengan birunya langit. Tak sedikit pelancong yang
berdecak kagum menikmati pemandangan ini dari tepi Boat Quay di bawah gedunggedung perkantoran yang tinggi menjulang.
Malam menjelang, lampu-lampu dinyalakan dan sinarnya memantul di permukaan
sungai. Perahu-perahu yang berlalu tak lupa juga menyalakan lampu warnawarninya. Romantis.
Pulangnya saya melalui jalan di sisi sebelah selatan Boat Quay melewati shop
houses yang kini menjelma menjadi restoran, cafe dan bar yang sangat ramai.
Bangunan-bangunan tua ini tetap dipertahankan keberadaannya dan dipercantik
dengan cat yang mencolok. Berbeda dengan di kota Bandung, bangunan tua
ditelantarkan dan menjadi rapuh bahkan dihancurkan. Padahal bangunan tua itu
merupakan harta karun yang tak ternilai harganya, baik bagi dunia sejarah,
pendidikan maupun pariwisata.
(Bersambung)