Anda di halaman 1dari 9

Hari Santri Antara Pro dan Kontra

Tanggal 22 Oktober telah resmi menjadi Hari


Santri. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015
telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo
(tempo.co/15/11). Berkaitan dengan perayaan Hari
Santri 22 Oktober 2015, beberapa kegiatan
dilaksanakan, dari Kirab Santri yang dimulai dari
Tugu Pahlawan di Surabaya yang akan berakhir di
Tugu Proklamasi, Jakarta, hingga kegiatankegiatan lainnya. Kegiatan dengan nuansa dunia
santri ini digerakkan khususnya oleh Nahdlatul
Ulama dan beberapa ormas lainnya.
Namun, keputusan penetapan 22 Oktober sebagai
Hari Santri tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi
yang kontra, dari pihak Muhammadiyah--yang
sebenarnya basis kelompok santri di Indonesia-penetapan Hari Santri--seperti dalam surat resmi
yang dikirim ke Presiden Joko Widodo--potensial
menimbulkan sekat-sekat sosial, melemahkan
integrasi nasional, dan membangkitkan kembali
sentimen keagamaan lama yang selama ini telah
mencair dengan baik. Dalam kesempatan lain,

baik Ketua Muhammadiyah sekarang Dr. Haedar


Nashir dan mantan ketua Muhammadiyah Dr. Din
Syamsudin menyebut golongan lain yang bisa
bereaksi dengan adanya Hari Santri adalah
kelompok Abangan, yang bisa saja meminta
penetapan Hari Abangan.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan secara prinsip penolakan
terhadap suatu persoalan merupakan hal yang
wajar dalam demokrasi, akan tetapi alasan-alasan
penolakan itu tetap terbuka ruang untuk dikritisi.
Publik akan bertanya-tanya, mengapa
Muhammadiyah menolak Hari Santri, padahal
Muhammadiyah adalah basis kelompok santri di
Indonesia. Bahkan hingga saat ini dikenal
Muhammadiyah sebagai santri modern
sementara NU dikenal sebagai santri tradisional.
Apakah sikap penolakan Muhammadiyah yang
notabene ormas santri modern merupakan
perwujudan dari kerendahan hati yang sekaligus
kebesaran hati yang menampik adanya pengakian
dan penghargaan secara khusus, dalam kalimat
lain: meskipun Muhammadiyah adalah ormas

santri, tapi tidak memerlukan pengakuan dalam


bentuk Hari Santri. Sikap ini patut diacungi dua
jempol.
Namun apabila penolakan itu karena tanggalnya
22 Oktober 1945 yang merujuk pada Peristiwa
Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh ulama-ulama
NU saat itu, maka, alasan Muhammadiyah bisa
jatuh pada sikap sektarian sendiri. Menolak karena
22 Oktober dianggap sebagai peristiwa yang khas
NU. Menolak bukan karena subtansi peristiwanya
tapi karena alasan ada satu kelompok yang
mengeluarkan dan terlibat di dalamnya. Semoga
ini hanya kecurigaan saya saja dan tidak benar.
Namun Pak Din Syamsudin saat masih menjadi
Ketua Umum Muhammadiyah sekaligus Ketua
Umum MUI pernah menegaskan dukungannya
pada Hari Santri (Republika, 25/10/2014), namun
anehnya saat ini beliau berkomentar: Hari Santri
bisa mengganggu persatuan bangsa
(tempo.co/19/10). Jadi, tidak setuju pada Hari
Santri atau tanggal 22 Oktobernya?
Namun menurut saya, 22 Oktober layak dan tepat
kalau mau disebut sebagai Hari Santri, daripada

usul kampanye Joko Widodo tahun lalu yang mau


menetapkan 1 Muharram yang sudah dikenal di
seluruh dunia sebagai Tahun Baru Hijriyah sebagai
Hari Santri. 22 Oktober 1945 adalah tanggal
dikeluarkannya Resolusi Jihad dari ulama-ulama
se-Jawa dan Madura untuk membela
kemerdekaan Republik Indonesia yang waktu itu
akan dijajah kembali oleh Pasukan Sekutu yang
akan mendarat di Pelabuhan Surabaya.
Paling tidak ada lima alasan mengapa tanggal 22
Oktober layak diperingati dengan hari khusus,
sebagai Hari Santri:
Pertama, seruan jihad ditujukan untuk membela
kemerdekaan Republik Indonesia yang bukan
negara Islam. Inilah kontekstualisasi gagasan dan
praktik jihad yang paling penting tidak hanya di
Indonesia namun di dunia Islam secara umum.
Jihad untuk membela kemerdekaan dan yang
gugur disebut sebagai syahid.
Kedua, meskipun Resolusi Jihad 22 Oktober 1945
dikeluarkan oleh ulama-ulama Nahdlatul Ulama
(NU), namun tujuannya bukan hanya untuk NU

semata, tapi untuk tujuan yang lebih umum:


membela kemerdekaan Republik Indonesia,
bahkan dampaknya universal: melawan
penjajahan dan membela kemerdekaan adalah
ajaran agama yang agung. Tidak sedikit peristiwa
penting dan berdampak besar berawal dari
kejadian seorang individu dan kelompok saja,
misalnya: Hari Pahlawan 10 November, bukankah
merujuk pada Pertempuran Surabaya, Hari Kartini
dinisbatkan pada tanggal lahir Kartini, 21 April Hari
Kebangkitan Nasional tanggal lahir Boedi Oetomo,
20 Mei 1908, Hari Pendidikan Nasional malah hari
lahir Ki Hajar Dewantara 2 Mei. Kalau hari-hari itu
hanya dianggap sebagai momen individual dan
kelompok kita tidak temukan pesan yang berarti.
Namun kalau kita melihat Perang Surabaya
sebagai pembelaan terhadap kemerdekaan
Indonesia, Kartini sebagai tokoh pendidik dan
pembebasan perempuan, Boedi Oetomo sebagai
organisasi yang berwawasan kebangsaan dan
nasional, serta Ki Hajar sebagai tokoh pendidikan,
kita bisa menemukan pesan universalnya.

Ketiga, meskipun Resolusi Jihad ditandatangani


oleh ulama, tapi tidak disebut Hari Ulama atau Hari
Kyai, tapi Hari Santri, yang menandakan
kesetaraan. Santri adalah pembelajar seumur
hidup, kyai dan ulama tetaplah santri, karena akan
belajar dari buaian sampai kuburan (uthlub al-ilma
minal mahdi ilal lahdi). Santri juga menunjukkan
akulturasi karena menurut Gus Dur, santri dan
pesantren, berasal dari bahasa Pali, bahasa
Tripitaka: kitab Suci Umat Buddha, bukan dari
bahasa Arab. Santri juga menurut KH Mustofa
Bisri (Gus Mus) tidak terbatas yang pernah belajar
di Pondok Pesantren, namun yang berakhlak
sebagai santri, dialah santri. Akhlak terpenting
santri adalah belajar seumur hidup, ikhlas, rendah
hati, toleran (tasamuh), moderat (tawassuth), fair
dan berimbang (tawazun) dan akhlak-akhlak
terpuji lainnya.
Keempat, di tengah menguatnya identitas Islam
sebagai bahasa politik yang sering dihadaphadapkan dengan identitas nasionalis, maka istilah
santri yang merupakan khazanah kultural dan
Nusantara, bisa menjadi titik temu. Santri adalah

khas muslim di Nusantara, tanpa perlu


menonjolkan simbol dan identitas keislaman yang
sering kali jatuh pada arabisasi dan
mengontraskan dengan identitas nasional. Karena
santri, muslim sekaligus nasionalis.
Kelima, mengembalikan kebanggaan sebagai
santri, karena tak sedikit yang sudah kehilangan
kepercayaan diri sebagai santri, karena lebih suka
disebut muslim dan orang Islam, atau sebagai
ikhwan dan akhwat. Inilah gejala arabisasi
yang merupakah salah kaprah dari tujuan
islamisasi.
Namun, Hari Santri pun tak perlu direspon
berlebihan, kata seorang kawan meski ada Hari
Santri, tetap tidak ada libur, masih kalah
dibandingkan Hari Buruh, karena pesan penting
dari Hari Santri adalah: pembelaan terhadap
kemerdekaan Republik Indonesia meski bukan
negara Islam merupakan bentuk jihad, dan saya
kira, pesan ini akan selalu kontekstual, jihad
dengan segala bentuknya, yang terwujud dalam
istilah santri yang mengabdikan pada bangsa dan

negara dengan ilmunya. Dan inilah jihad intelektual


dan jihad pengetahuan.
Mohamad Guntur Romli, alumnus Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura,
versi pendek tulisan ini dimuat Koran Tempo,
Kamis 22 Oktober 2015 dengan judul Hari Santri
dan Jihad Universal
JATIMTIMES - KH Ahmad Mustofa Bisri, mantan
Rais Aam PBNU, mengimbau kepada para santri
untuk tidak terprovokasi dengan penolakan dari
beberapa yang menolak Hari Santri Nasional yang
telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada
22 Oktober.
Hingga saat ini, Hari Santri Nasional (HSN)
memang mengundang reaksi penolakan dari
sejumlah kalangan. Salah satunya, dari organisasi
Muhammadiyah.
Menurut KH Ahmad Mustofa Bisri, seluruh santri di
Indonesia bagaimana tidak menanggapi untuk
menjaga toleransi terhadap mereka yang tidak
setuju dengan penetapan HSN.

Para santri, jelas Gus Mus, begitu ia akrab


dipanggil, tidak terpancing emosi oleh perbedaan
pendapat. Gus Mus khawatir situasi ini
dimanfaatkan untuk memecah belah persatuan
dua organisasi Islam di Indonesia.
"Kalau ada kelompok lain kurang sependapat,
santri sebaiknya tetap menghormati. Semisal
belakangan dari kalangan Muhammadiyah tidak
setuju penetapan Hari Santri Nasional, santri NU
jangan menyerang balik," ujar Gus Mus seperti
dikutip laman NU.
Menurut Gus Mus semua pihak mewaspadai
kemungkinan adanya upaya membenturkan antara
NU dan Muhammadiyah, dan memecah belah
keduanya.
"Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan
aset kekayaan bangsa Indonesia. Jika kedua
belah pihak dapat dibenturkan dan hancur, negara
ini pun bisa hancur," tuturnya. (*)

Anda mungkin juga menyukai