Anda di halaman 1dari 2

Antibiotik & Kekebalan Tubuh pada Anak

ULASAN mengenai perlunya mewaspadai penggunaan antibiotik secara tidak rasional sudah sering
dibahas. Akan tetapi, bagaimanapun, kampanye memerangi penggunaan antibiotik secara irasional itu
masih kalah marak dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Anak-anak termasuk bayi adalah golongan usia yang secara tidak langsung kerap menjadi obyek ceruk
pasar dari berbagai produk antibiotik yang diresepkan dokter. Hingga hari ini pun sebagian dokter masih
kerap menunjukkan sikap ketidaksukaan jika menghadapi pasien cerewet alias kritis. Masih banyak pula
pasien-yang notabene konsumen medis- segan banyak bertanya kepada dokter, dan memilih manggutmanggut saja jika diberi obat apa pun oleh dokter.
Sebenarnya kan lucu jika kita tidak tahu apa sebenarnya yang kita bayar. Terlebih yang kita bayar itu
untuk dikonsumsi oleh anak kita yang merupakan amanat Tuhan. Ketidaktahuan ini sering kali dibiarkan
oleh kalangan medis, malah kerap dimanfaatkan, ujar dr Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed, yang
aktif mengedukasi para orangtua dalam mengonsumsi produk dan jasa medis, termasuk melalui milis
(mailing list).
Seperti dipaparkan Purnamawati, antibiotik berasal dari kata anti dan bios (hidup, kehidupan). Dengan
demikian, antibiotik merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup,
yaitu mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Antibiotik tidak dapat membunuh
virus sebab virus memang bukan barang hidup. Ia tidak dapat berkembang biak secara mandiri dan
membutuhkan materi genetik dari sel pejamu, misalnya sel tubuh manusia, untuk berkembang biak.
Sementara masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi dan balita
yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu kadang membuat orangtua panik,
seperti demam, batuk, pilek.
antibiotik yang dianggap sebagai obat dewa. Pasien irasional seperti ini seperti menuntut dokter
menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.
Orangtua sebagai yang dititipi anak oleh Tuhan harusnya tak segan-segan bertanya sama dokter. Apakah
anaknya benar-benar butuh antibiotik?
Bukankah penyebabnya virus? Tanyakan itu kepada dokter, kata Purnamawati tegas. Namun, kadangkala
menghadapi orangtua yang bersikap kritis, sebagian dokter beralasan antibiotik harus diberikan
mengingat stamina tubuh anak sedang
turun karena flu. Jika tidak diberi antibiotik, hal itu akan memberi peluang virus dan kuman lain
menyerang.
Mengenai hal itu, Purnamawati menanggapi, Sejak lahir kita sudah dibekali dengan sistem imunitas
yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi.
Infeksi karena virus hanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan baik
dan istirahat cukup, serta diberi obat penurun panas jika suhunya di atas 38,5 derajat Celsius. Jadi, bukan
diberi antibiotik. Kecuali kalau kita punya gangguan sistem imun seperti terserang HIV. Flu akan sembuh
dengan sendirinya, antibiotik hanya memberi efek plasebo (bohongan).
Hal senada juga secara tegas dikatakan farmakolog Prof dr Iwan Darmansjah, SpFk. Antibiotik yang
diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi anak malah
turun imunitasnya, lalu
sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu, dan kunjungan
ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit, ujar Iwan.

PURNAMAWATI menggarisbawahi, antibiotik baru dibutuhkan anak ketika terserang infeksi yang
disebabkan bakteri.
Contoh penyakit akibat infeksi bakteri adalah sebagian infeksi telinga, infeksi sinus berat, radang
tenggorokan akibat infeksi kuman streptokokus, infeksi saluran kemih, tifus, tuberkulosis, dan diare
akibat amoeba hystolytica. Namun jika antibiotik digunakan untuk infeksi yang nonbakteri, hal itu malah
menyebabkan berkembang biaknya bakteri yang resisten.
Perlu diingat juga, untuk radang tenggorokan pada bayi, penelitian membuktikan 80-90 persen bukan
karena infeksi bakteri streptokokus, jadi tidak perlu antibiotik. Radang karena infeksi streptokokus
hampir tidak pernah terjadi pada usia di bawah dua tahun, bahkan jarang hingga di bawah empat tahun,
kata Purnamawati.
Beberapa keadaan yang perlu diamati jika anak mengonsumsi antibiotik adalah gangguan saluran cerna,
seperti diare, mual, muntah, mulas/kolik, ruam kulit, hingga pembengkakan bibir, kelopak mata, hingga
gangguan napas. Berbagai penelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan
mencetuskan terjadinya alergi di masa yang akan datang, kata Purnamawati tandas.
Kemungkinan lainnya, gangguan akibat efek samping beberapa jenis antibiotik adalah demam, gangguan
darah di mana salah satu antibiotik seperti kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang sehingga
produksi sel-sel darah menurun. Lalu, kemungkinan kelainan hati, misalnya antibiotik eritromisin,
flucloxacillin, nitrofurantoin, trimetoprim, sulfonamid. Golongan amoxycillin clavulinic acid dan
kelompok makrolod dapat menimbulkan allergic hepatitis. Sementara antibiotik golongan
aminoglycoside, imipenem/meropenem, ciprofloxacin juga dapat menyebabkan gangguan ginjal.
Jika anak memang memerlukan antibiotik karena terkena infeksi bakteri, pastikan dokter meresepkan
antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri yang dituju, yaitu antibiotik spektrum sempit (narrow
spectrum antibiotic). Untuk infeksi bakteri yang ringan, pilihlah yang bekerja terhadap bakteri gram
positif, sementara infeksi bakteri yang lebih berat (tifus, pneumonia, apendisitis) pilihlah antibiotik yang
juga membunuh bakteri gram negatif. Hindari pemakaian salep antibiotik (kecuali infeksi mata), serta
penggunaan lebih dari satu antibiotik kecuali TBC atau infeksi berat di rumah sakit.
Jika anak terpaksa menjalani suatu operasi, untuk mencegah infeksi sebenarnya antibiotik tidak perlu
diberikan dalam jangka waktu lama. Bahkan pada operasi besar seperti jantung, antibiotik cukup
diberikan untuk dua hari saja, ujar Iwan. Purnamawati menganjurkan, para orangtua hendaknya selalu
memfotokopi dan mengarsip segala resep obat dari dokter, dan tak ada salahnya mengonsultasikan kepada
ahli farmasi sebelum ditebus.
Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih kuat. Sementara
kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten akibat penggunaan antibiotik yang irasional. Inilah
yang akan menjadi masalah besar kesehatan masyarakat. Antibiotik dalam penggunaan yang tepat adalah
penyelamat, tetapi jika digunakan tidak tepat dan brutal, ia akan menjadi bumerang. Antibiotik seperti
pisau bermata dua. Untuk itu, media massa berperan besar menginformasikan hal ini dan tidak perlu
khawatir jika industri farmasi ngambek tak mau beriklan, tutur Iwan.

Anda mungkin juga menyukai