Jurnal Baum
Jurnal Baum
132
kepercayaan diri yang rendah tetapi setelah subjek beranjak dewasa, konsep
diri yang terbentuk pada kedua subjek adalah konsep diri positif. Konsep diri
positif tersebut terbentuk karena adanya dukungan dan motivasi orang lain
(teman), kesadaran akan spiritualitas seperti shalat dan memperbanyak doa,
serta selalu mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi. Dampak konsep
diri positif membuat hubungan dengan masyarakat semakin baik dan subjek
lebih mudah bergaul dengan oranglain.
Kata kunci : Konsep Diri, Orang Dewasa, Child Abused
PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan hidupnya terutama anakanak. Menurut UUD RI No 23 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Anak pasal 4 dijelaskan
bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Sekretariat Negara RI, 2002).
Lebih rinci dijelaskan pada pasal 13, UUD RI No 23 tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Anak (Sekretariat Negara RI, 2002) yang menyebutkan bahwa setiap anak selama
dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi (baik
ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan,
dan perlakuan salah lainnya.
Kenyataannya, masih banyak anak indonesia yang belum memperoleh jaminan untuk
terpenuhi hak-haknya, antara lain banyak yang menjadi korban kekerasan, penelantaran,
eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, ada 2.508 kasus kekerasan terhadap anak terjadi
sepanjang 2011. Dari jumlah itu, 62,7 persennya adalah bentuk kekerasan seksual. Angka tersebut
meningkat jika dibandingkan pada 2010 yakni sebanyak 2.413 kasus. (VIVAnews, 2011)
Kekerasan pada anak ini dapat menimbulkan dampak baik secara fisik maupun psikologis.
Dampak fisik yang diterima biasanya berupa bekas pukulan, lebam, luka kecil maupun besar,
bekas sayatan, dan lainnya. Sedangkan dampak psikologis dapat berupa stress, manarik diri
dari lingkungan, merasa tidak berguna, rendah diri dan lainnya. Kekerasan ini bisa menyebabkan
anak menjadi trauma di masa kecilnya dan akan berdampak negatif di masa depannya.
Setiap individu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, baik bersifat positif maupun
negatif. Penilaian terhadap diri sendiri tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya
adalah faktor lingkungan. Lingkungan dapat berperan dalam terbentuknya penilaian terhadap
diri seseorang, jika lingkungan mendukung maka individu tersebut akan merasa berguna dan
dapat menumbuhkan rasa percaya diri atau harga diri pada diri seseorang begitu juga sebaliknya
jika lingkungan tidak mendukung maka orang tersebut dapat merasa tidak berguna dan akhirnya
menarik diri dari lingkungan.(Sosiawan, 2012).
Penilaian atau evaluasi terhadap diri sendiri ini biasanya disebut dengan konsep diri. Menurut
Chalpin (Pardede, 2008) konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian
atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Konsep diri terbentuk
karena adanya interaksi dengan orang-orang sekitarnya.
133
Sullivan (Pardede, 2008) menjelaskan bahwa jika individu diterima orang lain, diterima
dan disenangi karena keadaannya, maka individu akan bersikap menghormati dan menerima diri
sendiri. Sebaliknya, jika orang lain selalu meremehkan, menyalahkan, dan menolak, maka kita
tidak akan menyayangi diri sendiri.
Setiap individu memiliki konsep diri, begitu pula dengan anak yang mengalami kekerasan
baik yang berasal dari keluarga maupun lingkungan. Konsep diri tersebut berbeda-beda,
tergantung dari diri masing-masing individu.
Kajian teori
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian
seseorang terhadap dirinya. Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa konsep diri adalah
gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian
berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan
moral. Rakhmat (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar
gambaran deskriptif, tapi juga penilaian diri tentang diri, meliputi apa yang dipikirkan dan apa
yang dirasakan tentang diri. Adanya proses perkembangan konsep diri menunjukan bahwa konsep
diri seseorang tidak langsung dan menetap, tetapi merupakan suatu keadaan yang mempunyai
proses pembentukan dan masih dapat berubah.
Menurut Boorks (Rakhmat, 2003) menyatakan bahwa konsep diri adalah suatu pandangan
dan perasaan seseorang tentang dirinya serta persepsi tentang dirinya, ini dapat bersifat psikis
maupun sosial. Sejalan dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh Cawagas (Pudjijogyanti,
1993) mengungkapkan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi
fisik, karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian dan kegagalannya. Tercapainya
keinginan dan terealisasikannya kehidupan dapat diupayakan melalui konsep diri. Dapat dikatakan
bahwa konsep diri juga merupakan kerangka kerja untuk mengorganisasikan pengalamanpengalaman yang diperoleh seseorang.
Menurut Hurlock (2003) konsep diri merupakan pemahaman atau gambaran seseorang
mengenai dirinya yang dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis.
Gambaran fisik diri menurut Hurlock, terjadi dari konsep yang dimiliki individu tentang
penampilannya, kesesuaian dengan jenis kelamin, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan
perilakunya, dan rasa malu terhadap tubuhnya dan dimata orang lain. Sedangkan gambaran
psikis diri atau psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan
ketidakmampuannya, harga dirinya, dan hubungannya dengan orang lain.
Dari banyak pengertian konsep diri di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah
kayakinan, penilaian atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut dapat
dilihat dari aspek fisik maupun psikologis.
Berzonsky (1981) menjelaskan lebih lanjut mengenai aspek-aspek konsep diri yang bersifat
positif dan negatif, yaitu:
1. Konsep diri fisik
Konsep diri fisik berarti pandangan, pikiran, perasaan dan pemikiran individu terhadap
fisiknya sendiri. Individu tersebut memiliki konsep diri yang positif bila memandang secara
positif penampilannya, kondisi kesehatan kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta ukuran
tubuh ideal. Individu dipandang memiliki konsep diri negatif bila memandang secara negatif
hal-hal di atas.
134
2. Konsep diri psikis
Konsep diri psikis berarti pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian individu terhadap
pribadinya sendiri. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri positif bila memandang dirinya
sebagai individu yang bahagia, optimis, mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai
kemampuan. Sebaliknya, individu digolongkan sebagai orang yang memilki konsep diri negatif
bila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak bahagia, pesimistik, tidak mampu
mengontrol diri dan memiliki berbagai macam kekurangan.
3. Konsep diri sosial
Konsep diri sosial berarti pandangan, pikiran dan penilaian individu terhadap
kecendrunngan sosial yang ada pada dirinya sendiri. Konsep diri sosial berkaitan dengan
kemampuan yang berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu, dan berharga
dalam lingkup interaksi sosial. Individu digolongkan memiliki konsep diri sosial positif bila
memandang dirinya sebagai orang yang terbuka pada orang lain, memahami orang lain,
merasa mudah akrab dengan orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain.
Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri sosial negatif bila tidak memberi perhatian
terhadap orang lain dan tidak aktif dalam kegiatan sosial.
4. Konsep diri moral
Konsep diri moral berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian individu terhadap
moralitas diri sendiri. Konsep diri moral berkaitan dengan nilai dan prinsip yang memberi arti
dan arah bagi kehidupan seseorang. Digolongkan memiliki konsep diri moral positif bila
memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai etik moral, namun
sebaliknya, individu digolongkan memiliki konsep diri moral negatif bila memandang dirinya
sebagai orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikutinya.
A. Child abuse
Siswanto (2007) Dalam bahasa indonesia, istilah Child Abused diterjemahkan sebagai
perlakuan yang salah/kejam terhadap anak, yang sering dilakukan oleh orang lain dan
umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Kata abused sendiri memiliki banyak arti, antara
lain: 1. penyalahgunaan, salah pakai. 2. Perlakuan kejam, siksaan. 3. Makian. 4.
Menyalahgunakan (misuse). 5. Memperlakukan dengan kasar/kejam/keji (mistreat). 6.
Memaki-maki, mencaci- maki (scold, insult). 7. Menghianati. Pengertian abused di atas
sama seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu meliputi penyalahgunaan, salah pakai,
perlakuan kejam, siksaan, makian, menyalahgunaan, memperlakukan dengan kejam atau
kasar atau keji dan memaki-maki atau mencaci maki.
Kata child diartikan sebagai anak. Istilah anak dirangkaikan dengan istilah
penyalahgunaan (anak) dan tetap digunakan istilah child bila masih memakai kata abused
karena terasa lebih enak didengar dan tidak aneh, karena menghubungkan dua kata dari
bahasa yang sama. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut Siswanto (2007) kebanyakan orang berpikir bahwa Child Abused hanya
135
meliputi physichal dan sexual abuse. Padahal ada beberapa macam abuse yang lain, yaitu
emotional abuse dan neglect. Pengertian dari beberapa abuse tersebut menurut American
Medical Association dan American Academy of Pediatrics (Siswanto 2007) adalah sebagai
berikut :
1. Phyisical Abuse (perlakuan salah secara fisik)
Adalah ketika anak mengalami pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau
kekerasan fisik lainnya. Seperti bentuk abuse lainnya, physical abuse biasanya berlangsung
dalam waktu yang lama. Atau tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menyakiti fisik
anak seperti: memukul, menendang, melempar, menggigit, menggoyang-goyang, memukul
dengan sebuah objek, menyulut tubuh anak dengan rokok, korek api, menyiram anak
dengan air panas, mendorong dan menenggelamkan anak di dalam air, mengikatnya,
tidak memberi makanan yang layak untuk anak, dan sebagainya.
2. Sexual Abuse (perlakuan salah secara seksual)
Adalah ketika anak diikutsertakan dalam situasi seksual dengan orang dewasa
atau anak yang lebih tua. Kadang ini berarti adanya kontak seksual secara langsung
seperti persetubuhan, atau sentuhan atau kontak genital lainnya. Tetapi itu juga bisa
berarti anak dibuat untuk melihat tindakan seksual, melihat kelamin orang dewasa, melihat
pornografi atau menjadi bagian dari produksi pornografi.
3. Neglect (diabaikan/dilalaikan)
Adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi. Kebutuhankebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makan bergizi, tempat tinggal yang memadai,
pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi, pendidikan, keamanan,
dan perawatan gigi serta medis. Atau tindakan yang menyangkut masalah tumbu kembang
anak, seperti tidak menyediakan rumah dan memberi pakaian yang layak, mengunci
anak di dalam kamar atau kamar mandi, meninggalkan anak di dalam periode waktu
yang lama, menempatkan anak di dalam situasi yang membahayakan dirinya.
4. Emotional Abuse (perlakuan salah secara emosi)
Adalah ketika anak secara teratur di ancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan,
disalahkan, atau salah penanganan secara emosional lainnya, seperti membuat anak
menjadi lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya adalah bentuk
dari emosional abuse. Atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror,
menyalahkan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan
tidak berharga.
B. Dewasa
Hurlock (2003) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda
(young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi
perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi
secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi
peran sosial (social role trantition). Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001)
mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam
tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual.
Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa
tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).
136
Dewasa awal adalah masa kematangan fisik dan psikologis. Menurut Anderson (dalam
Mappiare, 1983) terdapat 7 ciri kematangan psikologi sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tugas : bukan pada diri atau ego, berorientasi pada tugas-tugas yang
dikerjakannya dan tidak condong pada perasaan-perasaan diri sendri atau untuk
kepentingan pribadi.
2. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efesien : seseorang yang
matang melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas dan tujuan-tujuan itu
dapat didefenisikannya secara cermat dan tahu mana yang pantas dan tidak pantas
serta bekerja secara terbimbing menuju kearahnya.
3. Mengendalikan perasaan pribadi : seseorang yang matang dapat menyetir perasaanperasaan sendiri dan tidak dikuasai oleh perasaan-perasaannya dalam mengerjakan
sesuatu atau berhadapan dengan orang lain. Dia tidak mementingkan dirinya sendiri,
tetapi mempertimbangkan pula perasaan-perasaan orang lain.
4. Keobjektifan : orang matang memiliki sikap objektif yaitu berusaha mencapai keputusan
dalam keadaan yang bersesuaian dengan kenyataan.
5. Menerima kritik dan saran : orang matang memiliki kemauan yang realistis, paham bahwa
dirinya tidak selalu benar, sehingga terbuka terhadap kritik-kritik dan saran-saran orang
lain demi peningkatan dirinya.
6. Pertanggungjawaban terhadap usaha-usaha pribadi : orang yang matang mau memberi
kesempatan pada orang lain membantu usahan-usahanya untuk mencapai tujuan. Secara
realistis diakuinya bahwa beberapa hal tentang usahanya tidak selalu dapat dinilainya
secara sungguh-sunguh, sehingga membutuhkan bantuan orang lain, tetapi tetap
brtanggungjawab secara pribadi terhadap usaha-usahanya.
7. Penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru : orang matang memiliki ciri fleksibel
dan dapat menempatkan diri dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya dengan
situasi-situasi baru
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Dinamika konsep diri pada orang dewasa korban
child abused dan dampak konsep diri pada perilaku di masyarakat.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dan strategi penyelidikan
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, hal tersebut sesuai dengan
tujuan penelitian ini yaitu mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika konsep
diri pada orang dewasa korban child abused. David Williams (Meleong, 2008) penelitian kualitatif
adalah pengumpulan data suatu latar alamiah, dengan mengunakan metode alamiah, dan dilakukan
oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah.
Strategi yang digunakan dalam memperoleh data atau fenomena yang ingin diungkap
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan studi kasus, yang didefinisikan
sebagai kasus adalah fenomena kasus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatas. Kasus
tersebut dapat berupa individu, kelompok kecil, peran, komunitas, bahkan suatu negara.
137
138
139
jika mereka melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Perlakuan atau
tindakan yang dilakukan orangtua secara berlebihan tersebut dikenal dengan child abused atau
kekerasan pada anak.
Kekerasan terhadap anak ini dapat menimbulkan rasa sakit baik secara fisik maupun psikis
sehingga lambat laun anak akan kehilangan rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dimiliki
anak dapat membantu anak dalam mengenal dirinya sendiri. Jika rasa percaya diri anak rendah
maka anak akan sulit mengembangkan kepercayaan pada orang lain, merasa tidak aman, dan
anak juga akan menilai dirinya tidak berguna. Tetapi jika kepercayaan diri anak tinggi anak akan
lebih mudah bergaul dengan orang lain, dapat mengembangkan kepercayaan pada orang lain
dan merasa dibutuhkan dan berguna baik pada diri sendiri maupun orang lain. Penilaian terhadap
diri sendiri ini disebut dengan konsep diri.
Subjek pertama mengalami kekerasan atau perlakuan tidak menyenangkan dalam bentuk
kekerasan fisik, psikis dan seksual. Kekerasan yang subjek alami sejak kecil menyebabkan
perasaan kecewa, sedih dan marah atas apa yang telah dilakukan oleh orangtuanya. Hal tersebut
mengakibatkan kepercayaan diri subjek menjadi rendah bahkan subjek sempat kehilangan
kepercayaan pada orang lain sampai subjek tamat SD.
Tidak jauh berbeda dengan subjek pertama, subjek keduapun mengalami kekerasan yaitu
kekerasan fisik, psikis dan pengabaian. Kekerasan tersebut mengakibatkan perasaan sedih, marah
dan kecewa terhadap perlakuan orangtuanya. Hal tersebut menyebabkan subjek merasa tidak
di anggap dan dikucilkan dalam keluarga.
Pernyataan kedua subjek tersebut sesuai dengan Nadia (Yesi, 2012) yang menyatakan
bahwa kekerasan dapat meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku
merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri.
Setelah subjek pertama pindah ke Jogja untuk melanjutkan sekolahnya, subjek banyak
menemukan teman yang selalu mendukung dan memotivasi subjek agar selalu tetap bersemangat
dalam menjalani kehidupan. Dari motivasi dan dukungan teman tersebut, subjek menjadi lebih
bersemangat dan selalu berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Kegiatan
yang ada di lingkungan sekitar subjekpun menjadi penunjang untuk mengembangkan kemampuan
subjek dalam berbagai hal.
Subjek juga lebih cendrung mengasah spiritualitasnya seperti shalat, mengaji, mengikuti
kajian, meminta pendapat kepada orang-orang yang lebih berkompeten dan lebih tinggi ilmu
agamanya serta lebih terbuka meminta solusi dan pendapat dari teman-teman. Hal itu membuat
subjek menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalahnya dan perlahan-lahan membuat
kepercayaan diri subjek menjadi lebih baik serta lebih optimis dalam menjalani hidup. Kepercayaan
diri dan sikap optimis membuat hubungan subjek dengan orang lain menjadi lebih baik dan subjek
pun selalu memandang positif tentang dirinya dan orang lain.
Pada subjek kedua, perasaan tidak di anggap dan dikucilkan yang subjek rasakan lambat
laun bisa subjek atasi setelah subjek beranjak dewasa dengan selalu mendekatkan diri kepada
sang pencipta. Subjek juga selalu mengambil hikmah dari apa yang subjek alami, selalu memperkuat
ibadahnya seperti shalat dan memperbanyak doa serta selalu berfikir positif yang membuat subjek
lebih mudah untuk menghadapi masalah yang sedang dihadapinya serta menjalani hidupnya dengan
lebih bersyukur, terarah dan mempunyai tujuan hidup agar dapat lebih bermanfaat bagi orang
lain. Selain itu subjek juga memandang positif dirinya maupun orang lain sehingga hubungan
subjek dengan orang lainpun dapat terjalin dengan baik.
140
Perubahan yang dialami subjek pertama berawal dari motivasi dan dorongan yang selalu
diberikan teman-temannya. Motivasi dan dorongan tersebut dapat membuat subjek lebih berpikir
positif karena motivasi yang diberikan tersebut berupa kata-kata positif, sehingga subjek dapat
lebih paham dan belajar tentang hidup serta lebih bersyukur terhadap apa yang ada dalam
hidupnya.
Kesadaran akan kebutuhan spiritualitas seperti berserah diri, shalat dan mengaji merupakan
cara yang subjek kedua lakukan. Cara itu dapat membuat subjek lebih tenang dan lebih mensyukuri
apa yang subjek miliki. Rasa syukur tersebut membuahkan kepercayaan diri pada subjek sehingga
subjek selalu memandang poritif diri sendiri maupun orang lain. Subjek juga lebih mudah
berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu, kedua subjekpun lebih memilih untuk mengambil hikmah serta pelajaran dari
apa yang mereka alami dulu. Pada subjek pertama, kekerasan fisik dan psikis yang diterima
dahulu menjadikan subjek lebih disiplin terhadap segala sesuatu dan lebih teliti dalam mengerjakan
semua hal. Hal tersebut sesuai dengan hasil tes grafis subjek yang menyatakan bahwa subjek
memiliki kedisiplinan dan ketelitian yang tinggi. Sedangkan pada subjek kedua, kekerasan fisik,
psikis maupun pengabaian yang diterimanya dahulu membuat subjek lebih bertanggung jawab
terhadap keluarganya dan disiplin dalam semua hal. hal tersebut juga terungkap dari hasil tes
grafis yang menyatakan bahwa subjek memiliki kedisiplinan yang tinggi dan kontrol diri yang
baik.
Berdasarkan realita di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang kedua subjek miliki
sekarang adalah konsep diri positif. Konsep diri positif tersebut terbentuk setelah subjek beranjak
dewasa. Pada kenyataannya, tidak ada orang yang benar-benar sepenuhnya mempunyai konsep
diri negatif atau positif (Rakhmat,2003). Pada subjek pertama konsep diri tersebut terbentuk
karena dukungan dan motivasi orang lain (teman), memperkuat spiritualitasnya seperti shalat dan
memperbanyak doa sedangkan pada subjek yang kedua pembentukan konsep diri tersebut
karena adanya kesadaran akan spiritualitas dari dalam diri subjek sendiri, selalu mengambil hikmah
dari apa yang telah terjadi. Konsep diri terbentuk dan berkembang dipengaruhi oleh pengalaman
atau kontak eksternal dengan lingkungan dan juga pengalaman internal tentang dirinya. Pengalaman
internal ini akan mempengaruhi respon terhadap pengalaman eksternalnya, dari kedua faktor
tersebut terbentuklah konsep diri (Yahaya, A.S dkk 2009)
Kedua subjek dapat lebih memandang dirinya dan orang lain secara positif. Pandangan
atau penilaian subjek terhadap penampilan fisik, psikis, moral dan sosial juga lebih positif. Individu
yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif
dan dapat menerima dirinya apa adanya, Calhoun dan Acocella (1990),
Dukungan teman maupun kesadaran spiritualitas seperti sholat dan memperbanyak doa
tersebut dapat merubah pandangan subjek terhadap diri sendiri maupun orang lain menjadi lebih
positif dan berdampak positif pula pada hubungan subjek dengan orang lain. Kedua subjek lebih
mudah dalam menjalin hubungan yang positif dengan oranglain, bahkan antara subjek dan
masyarakat telah terjalin keterikatan dan ketergantungan satu sama lain.
Dampak Konsep Diri
Konsep diri adalah faktor yang selalu berkembang. Menurut Ghufron, M. N., & Risnawati,
R. S (2010), konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor
yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang
lain. Positif maupun negatif konsep diri tersebut terbentuk sesuai dengan pengalaman individu
141
142
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti D & Rimadi L. 2012. Kekerasan Seks Terhadap Anak Meningkat. http://
metro.news.viva.co.id/news/read/273573-2011kekerasan-seks-terhadap-anakmeningkat 21 Maret 2012
Anastasi A & Urbina S. 1997. Tes Psikologi; Psychological Testing 7e. Edisi Bahasa
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : PT. Prenhallindo.
Berzonsky, M. D, 1981. Adolescence Development. New York : Mc Millan
Pubhlishings
Calhoun, J.F. Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human
Relationship. New York: McGraw-Hill, Inc.
Elfia, D & Vivik, S. 2007.Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan
Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi. Vol.3 No. 2.
Ghufron, M. N., & Risnawati, R. S. 2010. Teori-teori Psikologi. Yogyakarta : Arruzza Media.
Hurlock, E.B. 2003. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (edisi ke-5). Jakarta : Erlangga
Meleong, J.L. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Rosdakarya.
Meleong, J.L. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Rosdakarya.
Pardede, Y.O.K. 2008. Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma. Jurnal Psikologi. Volume 1. No. 2
Pudjijogyanti, C.1993. Konsep Diri Dalam Pendidikan. Jakarta : Arcan
Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Ramdan, D.M. 2011. HAN 2011, Lindungi Anak dari Eksploitasi. http://news.okezone.com/
read/2011/07/23/337/483266/han-2011-lindungi-anak-dari-eksploitasi 22 Oktober
2011
Siswanto. 2007. Kesehatan mental: konsep cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta:
Andi.
Sosiawan, A. 2012. Pengaruh Lingkungan Dalam Proses Pembentukan Konsep Diri (SelfConcept).
http://faztilmi.wordpress.com/2012/05/09/pengaruh-lingkungan-dalam-proses-pembentukankonsep-diri-self-concept/ 22 Juni 2012
143