Anda di halaman 1dari 12

MEKANISME TRAUMA SUSUNAN SARAF

BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Tubuh kita terdiri dari berbagai macam organ tubuh yang masing-masing
mempunyai fungsi tertentu. Agar semua organ dapat berfungsi & bekerja sama dengan baik
maka dibutuhkanlah suatu system yang dapat mengatur itu semua. Sistem tersebut adalah sistem
koordinasi. Terdiri atas sistem saraf, indera, dan hormon. Jadi Sistem saraf yaitu menanggapi
rangsang tubuh yang memungkinkan kita menanggapi perubahan-perubahn yang terjadi pada
lingkungan di sekitar kita.
Mekanisme gerak yaitu :
Mekanisme gerak biasa (disadari) Impuls (rangsang) -> Indera -> Saraf sensori ->
Otak -> Saraf Motori Otot
Mekanisme gerak tidak disadari (refleks) Impuls (rangsang) -> Indera -> Saraf sensori
-> Saraf penghubung -> Saraf motori -> Otot Susunan saraf pusat dalam keadaan normal
diketahui sangat stabil.
Kestabilan ini dapat dengan terpisahnya sistem saraf pusat dari darah oleh sawar darah otak.
Penelitian mengenai sawar darah otak sudah dilakukan pada tahun 1882 oleh Paul Ehrlich.
Trauma itu keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa
atau cedera jasmani bahkan mungkin luka berat. Trauma susunan saraf itu terdiri dari trauma
sistem saraf, trauma nervus system saraf, sistem susunannya.
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu penyakit saraf.
b. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang mekanisme trauma susunan saraf dari
materi yang dicari diluar bangku kuliah.

BAB II PEMBAHASAN
A. Trauma Kapitis

1. Pengertian dan Etiologi


Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala.
Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua
itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul
rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
-Kejang-kejang -Gangguan saluran nafas
-Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
-Edema fokal atau difusi
-Hematoma epidural
-Hematoma subdural
-Hematoma intraserebral
-Over hidrasi
-Sepsis/septik syok -Anemia
-Shock Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera
otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
2. Patofisiologi
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat
menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan otak tersebut
dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian meninggal.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera kepala
dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena berkurangnya
oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran darah ke otak yang menurun,
misalnya akibat syok.
Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang
adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.

3. Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan beratringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi
jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda
tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul.
Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative
tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan
posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba
dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukan
otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder
dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
4. Klasifikasi Cedera Kepala
1.Klasifikasi Patologi Cedera Kepala
a. Cedera kepala primer : cedera kepal primer mencakup :
fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera otak difusa, yang masing-masing
mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.
1)Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, naumun
biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kecacatan
neurologis.
2)Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai
pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup
kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara
makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang
berbatas tegas.
3)Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana keadaan
ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara

makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan


akson-akson, maka cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.
b. Kerusakan otak sekunder : cedera kepala berat seringkali menampilkan
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini
merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan hipotensi semata
akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemusian bersamaan dengan efek
cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral. Hipoksia dapat
merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi
bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan
ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas. Hipotensi pada penderita
cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir
dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral. c. Edema serebral : tipe yang
terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema
vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak
sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral.
Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat
mempertahankan keseimbangan cairannya. Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari
ke tiga pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema
ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau perdarahan intraserebral.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera
arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang
mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah swelling hipodens difus. d.
Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak : Adanya suatu massa yang berkembang
membesar (hematom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial
(epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan menyebabkan pergeseran dan
distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi
otak, keluar dari kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada. 2.Klasifikasi Klinis
Cedera Kepala Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi
sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik
penanganan dan prognosisnya, yaitu : Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan
kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada
waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada deficit neurologist.
Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana,
dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal. Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan
tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara ,
namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari
keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur
tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi. Tingkat IV : tidak ada fungsi
neurologist sama sekali. Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai
Glasgow Coma Scale(GCS). GCS 13 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia

tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma
GCS 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak GCS 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.
5. Manifestasi Klinis Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera
otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak
efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik
menunjukkan kemungkinan cedera multisistem. 6. Penanganan Cedera Kepala Penanganan
kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi didasarkan atas patokan pemantauan
dan penanganan terhadap 6 B, yakni : - Breathing : Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan
jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan
tindakan-tindakan : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi
bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri. Blood : Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya
denyut nadi menandakan adanya syok mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan
dari kepala/otak)dan memerlukan tindakan transfusi. - Brain : Langkah awal penilaian keadaan
otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini
merupakan implikasi perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan
menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam mengenai
keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata. Bladder : Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa
kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan
intracranial cenderung lebih meningkat. - Bowel : Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh
juga cenderung untuk meninggikan TIK. - Bone: Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur
sendi dan sekunder infeksi. B. Trauma Tulang Belakang Trauma medulla spinalis dapat terjadi
bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang
pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan
dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah
kemedula spinalis dapat ikut terputus . Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan
yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma
serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya.kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak
disebabkan oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih
beraneka ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah
raga. Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama
disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagal
ginjal,pneumoni/decubitus. 1. Penyebab dan Bentuk Cedera sumsum tulang belakang terjadi
akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi

akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak
banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks. Fraktur dapat berupa patah tulang
sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg
belakang dapat beruypa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa
gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat
doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen
karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat
dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf
atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema. 2. Patofisiologi Tulang belakang yang
mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
whiplash/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari
tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang
bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang
sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak
tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung
dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada
T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala
yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh
darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla
spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang
terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah
perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea.trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri,
jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi
karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis. Suatu
segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga
tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna
vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor,
kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap
radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks
colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis
traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit

sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama
radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan
miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal. 3.
Gambaran Klinik Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik
maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada
kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari
pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya
adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan
kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan
terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering
karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi. Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera sumsum belakang sentral jarang
ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan
oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas
kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan
tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese
parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu. Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan
refleks bulbokafernosa. 4. Perawatan dan Pengobatan Perhatian utama pada penderita cedera
tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau
cedera sekunder. untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan
memanfaatkan alas yang keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan
tandu atau sarana apapun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan nafas dan
sirkulasi.bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak menunduk
dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat
pengangkutan. Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya
penyakit.perawatn ditujukan pada pencegahan : Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena
daerah yang anaestesi. Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur. Traktus urinarius :
menjamin pengeluaran air kemih. Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab. Traktus
respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi. KULIT :
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan
kiri telentang dan telungkup. ANGGOTA GERAK : Karena kelainan saraf maka timbul pula
posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot.pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur
sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota
dalam posisi netral. TRAKTUS URINARIUS : Untuk ini perlu apakah ganggua saraf
menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu

dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi. TRAKTUS DIGESTIVUS : Menjamin
kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual . TRAKTUS RESPIRATORIUS : Apabila
lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia),
maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan. C. Trauma Non Mekanik Terhadap Susunan
Saraf 1. Definisi Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena
adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya
sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam
darah berkurang (hipoksia) yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida
(hiperkapnea). 1,2 Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan mati lemas. Sebenarnya
pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani,
menyebutkan bahwa asfiksia berarti absence of pulse (tidak berdenyut), sedangkan pada
kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah
pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau
hipoksia. 2. Pemeriksaan Pemeriksaan Post-mortem pada asfiksia: 4,5,6 1. Pemeriksaan Luar a.
Lebam mayat jelas terlihat (livide) karena kadar karbondioksida yang tinggi dalam darah b.
Sianosis : warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa yang merupakan akibat dari
konsentrasi yang berlebihan dari deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi pada pembuluh
darah kecil. Sianosis terjadi jika kadar deoksihemoglobin sekitar 5 g/dL. Dapat dengan mudah
terlihat pada daerah ujung jari dan bibir. c. Pada mulut bisa ditemukan busa. d. Karena otot
sfingter mengalami relaksasi, mungkin bisa terdapat feses, urin atau cairan sperma. e. Bercak
Tardieu yaitu bercak peteki di bawah kulit atau konjungtiva. 2. Pemeriksaan Dalam a. Mukosa
saluran pernapasan bisa tampak membengkak. b. Sirkulasi pada bagian kanan tampak penuh
sedangkan bagian kiri kosong. c. Paru-paru mengalami edema. d. Bercak-bercak perdarahan
peteki tampak di bawah membran mukosa pada beberapa organ. e. Hiperemi lambung, hati dan
ginjal. f. Darah menjadi lebih encer. 3. Etiologi Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat
saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru. Mekanik, kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging, drowning,
strangulation dan sufocation. Obstruksi mekanik pada saluran pernapasan oleh: - Tekanan dari
luar tubuh misalnya pencekikan atau penjeratan. - Benda asing. - Tekanan dari bagian dalam
tubuh pada saluran pernapasan, misalnya karena tumor paru yang menekan saluran bronkus
utama. - Edema pada glotis. Asfiksia mekanik juga bisa karena trauma yang mengakibatkan
emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas dan
sebagainya. Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh kegagalan selsel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan oksigen dapat terjadi parsial
(hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries dapat dibagi menjadi empat kategori umum,
yaitu: 2,7 4. Patofisiologi Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut:
- Gangguan pertukaran udara pernapasan. - Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah
(hipoksia). - Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea). - Penurunan
suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh. Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel
menerima atau menggunakan oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia

adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia
jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh
bervariasi. Yang paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya
aliran darah ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika
PO2 jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob
berlangsung dengan pembentukan asam laktat. Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2
kategori yaitu akibat ketidakseimbangan fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme
kompensasi. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit manifestasi yaitu gangguan ringan dari
status mental dan ketajaman penglihatan, kadang-kadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi
Hb masih sekitar 90% ketika PO2 hanya 60 mmHg. Hipoksemia yang lebih berat bisa
menyebabkan perubahan kepribadian, agitasi, inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai
stupor dan koma. Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan takikardi, kulit
menjadi dingin (oleh karena vasokonstriksi perifer), diaphoresis dan peningkatan ringan dari
tekanan darah. Hipoksemia akut yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi, perdarahan retina
dan kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi biasanya merupakan stadium
preterminal pada orang dengan hipoksemia, mengindikasikan kegagalan mekanisme kompensasi.
Kehilangan oksigen bisa bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Hipoksia dapat diberi
batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat melangsungkan metabolisme secara
efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia yang setelah dipelajari ternyata pemakaian
istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam kenyataan seahri-hari merupakan gabungan dari 4
kelompok. Kelompok tersebut adalah: 1. Hipoksik-hipoksia (dahulu anoksik-anoksia) Keadaan
dimana oksigen tidak dapat masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai aliran darah ,
misalnya pada orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam tambang atau pada tempat
yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang. 2. Stagnan-hipoksia (dahulu stagnant circulatory
anoxia) Terjadi karena gangguan sirkulasi darah (embolism). 3. Anemik-hipoksia (dahulu anemic
anoxia) Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa karena volume darah yang
kurang 4. Histotoksik-hipoksia (dahulu histotoxic tissue anoxia) Pada keadaan ini sel-sel tidak
dapat mempergunakan oksigen dengan baik, hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
a. Extra celluler: system enzim oksigen terganggu. Misalnya pada keracunan HCN, barbiturate
dan obat-obat hypnotic. Pada keracunan HCN, cytochrome enzim hancur sehingga sel-sel mati.
Sedangkan barbiturate dan hypnotic hanya sebagian system cytochrome enzim yang terganggu,
maka jarang menimbulkan kematian sel kecuali pada overdosis. b. Intra celluler: terjadi karena
penurunan permeabilitas sel membrane, seperti yang terjadi pada pemberian obat-obat anesthesia
yang larut dalam lemak (chloroform, ether, dll) c. Metabolit: sisa-sisa metabolisme tidak bisa
dibuang, misalnya pada uremia dan keracunan CO2 d. Substrat: bahan-bahan yang diperlukan
untuk metabolisme kurang. Misalnya pada hipoglikemia. Terdapat empat fase dalam asfiksia,
yaitu: 10 1. Fase Dispneu : Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah
dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata.
Hal ini membuat amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah
meninggi, dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan. 2. Fase Konvulsi :
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat

sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi kemudian
menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut
jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang
lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2. 3. Fase Apneu : Pada fase ini, terjadi depresi
pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran
menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan
tinja. 4. Fase Akhir : Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa
saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian
sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung 3-4 menit.
Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Stadium
asfiksia adalah: 1. Stadium pertama : Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan
dirasakan berat. Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dalam
(frekuensi pernapasan meningkat), nadi menjadi cepat, tekanan darah meningkat, muka dan
tangan menjadi agak biru. 2. Stadium kedua : Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi
sukar, terjadi kongesti di vena dan kapiler sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik
(petechie), kesadaran menurun, dan timbul kejang. 3. Stadium ketiga : Gerakan tubuh terhenti,
pernapasan menjadi lemah dan lama kelamaan berhenti, pingsan, muntah, pengeluaran kencing
dan tinja, dan meninggal dunia. Korban laki-laki dapat mengeluarkan mani dan korban wanita
mengeluarkan darah dari vagina. Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi
dalam dua golongan : 1. Primer ( akibat langsung dari asfiksia ) Kekurangan oksigen ditemukan
di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel - sel otak sangat sensitif terhadap
kekurangan O2. Apa yang terjadi pada sel yang kekurangan O2 belum dapat diketahui, tapi yang
dapat diketahui adanya perubahan elektrolit dimana kalium meninggalkan sel dan diganti
natrium mengakibatkan terjadinya retensi air dan gangguan metabolisme. Di sini sel - sel otak
yang mati akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan
(sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak
mengakibatkan tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan
parut yang terdiri dari sel glia. Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup
beberapa hari sebelum meninggal perubahan tersebut sangat khas pada sel - sel serebrum,
serebelum dan ganglia basalis. Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya
tidak spesifik dan dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh
yang lain yakni jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan
O2 langsung atau primer tidak jelas. 2. Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha
kompensasi dari tubuh ) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena
oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada : a. Penutupan mulut
dan hidung ( pembekapan ) b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan

menghalangi udara masuk ke paru paru c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau
berdesakan ( traumatic asphyxia ) d.Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada
pusat pernafasan, misalnya pada keracunan. Pada asfiksia terjadi kekurangan oksigen yang bisa
diakibatkan oleh karena adanya gangguan akibat obstruksi saluran penapasan maupun akibat
terhentinya sirkulasi. Terjadi kegagalan oksigen untuk mencapai sel-sel tubuh sehingga terjadi
kekurangan O2 dan kelebihan CO2 . Asfiksia bisa terjadi karena penyebab yang wajar atau tidak
wajar. Penyebab tidak wajar misalnya pada patah tulang panjang sehingga bisa terjadi emboli
lemak dan tersangkut di paru, udara yang terhalang paksa karena starngulasi, suffokasi, asfiksia
traumatik ataupun drowning. Penyebabnya bisa ditentukan dengan melihat hasil pemeriksaan
postmortem. BAB III PENUTUP 4.1. Kesimpulan Kesimpulan pada makalah ini dapat
dijelaskan sebagai berikut : Tubuh kita terdiri dari berbagai macam organ tubuh yang masingmasing mempunyai fungsi tertentu. Agar semua organ dapat berfungsi & bekerja sama dengan
baik maka dibutuhkanlah suatu system yang dapat mengatur itu semua. Sistem tersebut adalah
sistem koordinasi. Terdiri atas sistem saraf, indera, dan hormon. Jadi Sistem saraf yaitu
menanggapi rangsang tubuh yang memungkinkan kita menanggapi perubahan-perubahn yang
terjadi pada lingkungan di sekitar kita. Trauma Kapitis/ Cidera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Trauma medulla spinalis dapat terjadi
bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang
pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan
dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah
kemedula spinalis dapat ikut terputus . Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana
terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan
karena terhentinya sirkulasi. 4.2. Saran Saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai
berikut : 1. Mekanisme trauma susunan saraf harus dipelajari untuk lebih memaksimalkan dalam
pemahaman ilmu keperawatan. 2. Pihak akademik perlu menyelenggarakan seminar tentang
mekanisme trauma susunan saraf. 3. Akademik hendaknya menyediakan buku-buku yang
berhubungan dengan mekanisme trauma susunan saraf, umumnya materi-materi yang berkaitan
dengan ilmu penyakit saraf. DAFTAR PUSTAKA Tulisan dalam saraf 9. sarafzone.com
Google.com/harnawatiaj Kedaruratan dan Kegawatan Medik III FKUI Buku Ajar Ilmu Bedah,
R. Sjamsuhidajat Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan,
Pusdiknakes Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara.
1997.p: 170. Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan.
[cited July 2008][online April 2008]. Available at: www.kabarindonesia.com Knight B.
Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpsons forensic medicine, eleventh ed.
London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.2007.p:71-99. Chadha PV. Catatan
Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika. 1995.p: 47-8. Porth CM.

Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: : Essential of


Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia: Lippincott.

Anda mungkin juga menyukai