Anda di halaman 1dari 4

#IndonesiaMilikAllah; Tanggung Jawab Pemimpin

[Al-Islam edisi 710, 15 Syaban 1435 H 13 Juni 2014 M]


Pada Senin malam lalu telah diselenggarakan acara Debat Pasangan Capres-Cawapres. Pasangan
Capres-Cawapres mengemukakan pandangan mereka tentang topik Pembangunan Demokrasi,
Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum. Semua itu berkaitan dengan pelaksanaan
tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya.
Masalah tanggung jawab pemimpin terhdap rakyat tentu harus kita ukur berdasarkan petunjuk dan
ketentuan yang diberikan oleh Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah saw. Asy-Syari telah
menentukan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat dalam semua level, termasuk level kepala
negara.
Sifat yang Wajib Ada Pada Diri Penguasa
Tanggung jawab penguasa berkaitan dengan sifat yang wajib ada pada dirinya sebagai seorang
penguasa termaktub dalam penjelasan Rasul saw. mengenai sifat-sifat penguasa. Di antara yang
paling menonjol adalah sifat kuat, takwa, lembut terhadap rakyat dan tidak membuat rakyat
menjauh.
Seorang penguasa haruslah seorang yang kuat, bukan orang yang lemah. Abu Dzar al-Ghifari
menuturkan, ia pernah berkata kepada Rasul saw., Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat
aku menjadi amil? Abu Dzar berkata: Lalu Rasul menepuk pundakku seraya bersabda:



Ya Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah. Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah dan pada
Hari Kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil
amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya (HR Muslim).
Kuat di sini bukanlah kuat secara fisik meski kekuatan fisik juga sangat membantu seorang
pemimpin untuk menunaikan tugas kepemimpinannya. Kuat di sini bermakna kuat syakhshiyah
(kepribadian)-nya, yakni kuat aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Pola pikirnya
haruslah pola pikir islami; ia memahami berbagai perkara berdasarkan akidah dan syariah Islam.
Pola sikapnya juga haruslah pola sikap islami; ia menjalankan kepemimpinan dan mengelola
perilakunya layaknya pemimpin sesuai dengan akidah dan syariah Islam.
Kekuatan kepribadian ini harus diiringi dengan sifat takwa dan kontrol diri yang juga kuat supaya
tidak kebablasan. Karena itu pemimpin harus memiliki sifat takwa baik berkaitan dengan dirinya
sendiri maupun dalam riayah (pemeliharaan)-nya terhadap urusan rakyatnya. Seorang penguasa
yang bertakwa kepada Allah, senantiasa ber-taqarrub kepada-Nya dan sadar senantiasa diawasi oleh
Allah tentu tak akan berani menindas rakyat. Namun demikian, ketakwaan seoran pemimpin tidak
seharusnya menghalangi dirinya untuk bersikap tegas dalam menegakkan kebenaran. Ini karena
pemimpin harus terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Dengan demikian kuat di sini
juga mencakup sikap tegas terhadap setiap bentuk kemaksiatan dengan tetap bersikap seimbang dan
adil menurut tuntunan syariah terhadap pelakunya tanpa pandang bulu.
Meski penguasa itu harus bersikap tegas, ia juga harus memiliki sikap lembut kepada rakyat dan
tidak memberatkan mereka. Karena itu Rasul saw. pernah berdoa tentang hal ini.


Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka
susahkanlah dia; siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia berlaku lembut kepada mereka,
maka berlaku lembutlah kepada dia (HR Muslim dan Ahmad).
Syariah juga memerintahkan agar pemimpin/penguasa itu memberi kabar gembira, bukan
membawa kesedihan; tidak membuat orang lari serta memberi kemudahan kepada rakyat. Rasul
saw. berpesan kepada orang yang mengurusi urusan rakyat:

Gembirakanlah mereka, jangan membuat mereka lari; permudahlah urusan mereka, jangan
mempersulit mereka (HR Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Itulah di antara sifat yang wajib dimiliki seorang pemimpin/penguasa. Lalu bagaimana jika belum
berkuasa saja para calon pemimpin sudah banyak menakut-nakuti rakyat seperti berencana akan
menaikkan harga BBM, meaikkan pajak dan menambah jenisnya, dan lain sebagainya?
Tanggung Jawab Penguasa Terhadap Rakyat
Syariah Islam telah mewajibkan penguasa untuk senantiasa melingkupi rakyat dengan nasihat, tidak
mengambil harta rakyat atau menyia-nyiakannya serta memerintah rakyat dengan hukum Islam,
tidak dengan hukum yang lain sedikit pun. Rasul saw. bersabda:



Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh
untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama
mereka (HR Muslim).
Menasihati rakyat itu di antaranya dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan dan kemaslahatan
agama dan dunia; tolong-menolong dalam ketakwaan, bukan dalam kemaksiatan; menutup aurat
dan aib mereka; mewujudkan manfaat untuk mereka dan menolak madarat dari mereka; melakukan
amar makruf nahi mungkar kepada mereka; menunaikan hak-hak mereka; tidak menzalimi dan
menipu mereka; tidak memakan harta mereka secara zalim; serta mendorog mereka untuk
menunaikan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Rasul saw. memperingatkan seorang pemimpin agar tidak menipu dan mengkhianati rakyat:





Tidaklah seorang pemimpin mengurusi rakyat kaum Muslim lalu mati dalam keadaan menipu
mereka, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari).

Menipu rakyat itu di antaranya dengan menilap harta milik rakyat, menyerahkan kekayaan alam
milik mereka kepada pihak swasta dan asing, menyia-nyiakan amanah dengan jalan menyerahkan
urusan kepada orang yang tidak layak, menghalangi apa yang menjadi hak rakyat, dan sebagainya.
Lalu bagaimana jika pemimpin itu justru mengubah apa yang menjadi hak rakyat menjadi
kewajiban rakyat, melepaskan kewajibannya untuk menyediakan pelayanan kesehatan untuk rakyat
dan malah mewajibkan rakyat untuk membiayai sendiri pelayanan kesehatan untuk mereka,

memaksa rakyat untuk membayar mahal pendidikan yang seharusnya menjadi hak mereka yang
wajib dipenuhi oleh negara atau penguasa, dan sebagainya? Padahal pemimpin itu seharusnya
memenuhi semua kebutuhan rakyat, sebagaimana yang diperingatkan Rasul saw.:








Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan
membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada Hari Kiamat (HR Muslim).

Memerintah Hanya dengan Islam


Allah SWT telah mewajibkan penguasa untuk memerintah rakyat hanya dengan syariah-Nya saja.
Allah SWT mengharamkan penguasa untuk menerapkan hukum-hukum kufur atau yang berasal
dari luar Islam. Allah SWT mensifati orang yang tidak berhukum dengan syariah-Nya sebagai kafir
(QS al-Maidah: 44), zalim (QS al-Maidah: 45) atau fasik (QS al-Maidah: 47).
Islam melarang kaum Muslim, termasuk penguasa mereka, untuk mencari dan mengambil dari
selain Islam atau mendatangkan sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Semua itu tidak
akan diterima oleh Allah SWT. Karena itu dengan tegas Allah memerintah kita untuk menghukumi
masyarakat dengan hukum Islam dan tidak mengikkuti hawa nafsu manusia atau rakyat. Allah SWT
berfirman:




Karena itu hukumilah mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada
kamu(TQS al-Maidah [5]: 48).

Wajib Menegakkan Sistem Pemerintahan Islam: Khilafah ar-Rasyidah


Itulah gambaran sebagian tanggung jawab pemimpin atau penguasa terhadap rakyatnya yang telah
ditentukan oleh Islam. Semua itu hanya akan bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah
Khilafah ar-Rasyidah. Sosok pemimpin yang baik saja tidak cukup. Pemimpin yang baik harus ada
dalam sistem pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan yang baik tentu harus bersumber dari
Zat Yang Mahabaik, Allah SWT.
Ketakwaan pemimpin, kesadarannya akan tanggung jawab kepemimpinan yang merupakan amanah
yang akan dimintai pertangungan jawab di akhirat, hubungan penguasa dengan rakyat yang
dilandasi spirit dan suasana keimanan dan penerapan hukum Islam secara kaffah tentu tidak bisa
terwujud tanpa sistem pemerintahan Islam, Khilafah ar-Rasyidah. Karena itu, Khilafah ar-Rasyidah
yang menerapkan syariah secara total harus sesegera mungkin diwujudkan. Itu adalah tanggung
jawab kita semua, seluruh kaum Muslim. WalLh alam bi ash-shawb. []

Komentar al-Islam:

Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung membantah pernyataan pejabat di


Kementerian ESDM soal keputusan Pemerintah memperpanjang kontrak karya dengan PT Freeport
Indonesia. Chairul menegaskan, kewenangan memperpanjang kontrak Freeport hanya bisa
dilakukan oleh pemerintahan baru mendatang. (Kompas.com, 9/6).

Memang belum diteken, tetapi dijamin di dalam MoU kontrak tersebut akan diperpanjang hingga
2041. Apa bedanya? Dirjen Minerba Kementerian ESDM Sukhyar pada Jumat (6/6/2014) mengakui
perpanjangan kontrak Freeport memang baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Namun, Pemerintah
akan menjamin kesepakatan perpanjangan kontrak itu dalam sebuah memorandum of understanding
(MoU) terlebih dulu.MoU itu akan diteken sebelum masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ini berakhir. (Kompas.com, 8/6).
Sungguh ironis, kekayaan alam milik rakyat terus mengalir kepada asing dan baru kembali
setelah habis dengan meninggalkan masalah dan kerusakan lingkungan.
Harusnya, kembalikan seluruh tambang serta harta milik umum menjadi milik rakyat, kelola oleh
negara dan berikan seluruh hasilnya kepada rakyat. Itulah ketentuan syariah Islam yang mesti
dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai