Anda di halaman 1dari 6

Selasa 15 Oct 2013, 22:44 WIB

Kolom

Politik Dinasti Tampar Masyarakat Madani


- detikNews0
Den Haag - Ditetapkannya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sebagai tersangka dalam
kasus suap Ketua MK Akil Muchtar membuat kita seperti dihantam palu godam dua kali.
Pertama, ternyata MK tak luput dari praktik kotor ini. Kedua, kita tersadar bahwa Wawan adalah
fenomena gunung es dari buruknya praktik demokrasi kita yang melahirkan dinasti-dinasti
politik. Wawan adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga menjalani
pemeriksaan KPK dalam kasus sama.
Dalam sebuah guyon yang populer di kalangan akar rumput, Banten lebih pas disebut sebagai
sebuah kerajaan daripada provinsi. Tercatat ada 13 orang sanak famili Atut mulai dari suami,
anak, menantu, adik, hingga ibu tiri yang menjadi pejabat publik mulai dari anggota legislatif,
anggota DPD, hingga wakil bupati. Lebih memprihatinkan lagi, Banten hanya salah satu dari
beberapa kasus atau daerah di mana kue kekuasaan dibagi-bagi di antara anggota keluarga.
Salah satu amanat Reformasi 1998 ialah pemberantasan segala bentuk nepotisme. Kita awalnya
mengira bahwa dengan demokrasi praktek seperti ini tak lagi terjadi. Sebab asumsinya,
kekuasaan despot di mana penguasa bisa semena-mena menunjuk orang untuk menempati kursi
kekuasan adalah sumber masalah. Nyatanya, praktek demokrasi di negara kita menghasilkan
keluaran yang sama saja.
Mengapa demokrasi menjadi mandul untuk melahirkan kepemimpinan berkualitas? Mengapa
rakyat yang secara formal menyalurkan legitimasi politiknya lewat pemilu seolah menghendaki
lagi terciptanya dinasti-dinasti?
Kita pun tak bisa memungkiri bahwa secara legal formal tak ada yang salah dengan naiknya
keluarga dan kerabat patron-patron politik tersebut ke kekuasaan. Mereka sama-sama bagian sah
dari demokrasi. Mereka pun mengikuti segala aturan main yang ada dan hak dipilih mereka ialah
bagian dari hak konstitusional. Apalagi jika secara substantif, mereka memang terpilih berdasar

kepantasan kompetensi dan kualitas kepemimpinan. Sampai titik ini memang tak ada yang
salah.
Masalahnya adalah seringkali kita menemukan bahwa praktek politik dinasti seperti kasus
Banten ini malah merugikan rakyat sebagai pemilik demokrasi. Selain kasus suap Wawan di atas,
dapat dilihat dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten di tahun 2011 yang
dikeluarkan BPS. Di bawah kepemimpinan dinasti Atut, IPM Banten berada di urutan ke-23,
melorot dari peringkat ke-11 di tahun 2000, dan lebih rendah dari IPM rata-rata nasional. Bahkan
kini lebih rendah dari seluruh provinsi di Jawa, Sumatra, Bali dan NTB.
Sungguh miris melihat data ini jika kita mengingat potensi ekonomi Banten khususnya
keunggulan geografis selain kekayaan alam tentunya. Barangkali terlintas juga dalam benak kita,
jangan-jangan keterbelakangan sengaja diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan.
Rendahnya kualitas pelaku politik dinasti disebabkan mereka tidak dipilih berdasarkan kapasitas,
integritas, dan program. Figur-figur tersebut terpilih lebih karena popularitas dan kedekatannya
dengan sang patron. Ditambah lagi oleh posisi mereka dalam status quo yang memungkinkan
mobilisasi sumber daya untuk memenangkan kontes demokrasi.
Kultur kita, menurut Geert Hofstede seorang pakar budaya organisasi, yang salah satu cirinya
adalah jarak kekuasaan yang jauh membuat praktek patron-klien seperti ini tumbuh subur
dalam alam demokrasi yang prematur. Dengan demikian, calon-calon pemimpin yang kompeten
dan berintegritas akan sulit untuk bersaing, mereka layu sebelum berkembang.
Berjalannya institusi demokrasi seperti jaminan kebebasan berpendapat, mendirikan partai
politik, dan pemilu yang jujur adalah satu hal. Semua praktek demokrasi formal tersebut
hanyalah syarat perlu. Sedangkan tercapainya tujuan berdemokrasi adalah satu hal lain yang
memerlukan syarat cukupnya sendiri. Syarat cukup tersebut adalah masyarakat yang siap
berdemokrasi, yaitu orang-orang yang berdemokrasi dengan dilandasi pertimbangan nilai,
rasionalitas, dan ketaatan hukum.

Hasil demokrasi semacam apa yang bisa kita harapkan dari pemilih-pemilih yang mau menjual
suaranya dengan 50-100 ribu rupiah karena lapar. Pemimpin semacam apa yang kita harapkan
dapat dihasilkan dari pemilih-pemilih yang sekedar mencoblos gambar yang paling sering ia lihat
di baligo pinggir jalan. Barangkali ada semacam ambang batas kesejahteraan dan pendidikan
tertentu untuk masyarakat agar siap berdemokrasi.
Namun pertanyaannya apakah kita harus menunggu dulu masyarakat pintar dan sejahtera baru
berdemokrasi dan sementara itu kita kembali ke kediktatoran? Tentu ini bukan juga pilihan yang
diinginkan. Justru demokrasi ini dipilih sebagai cara mencapai keadilan dan kemakmuran.
Oleh karena itu, kondisi yang tidak ideal ini harus disikapi. Menurut hemat saya, ada dua
pendekatan yang bisa diperjuangkan. Pertama, inisiatif dari institusi sosial politik dan civil
society (masyarakat madani) dalam rangka mengakselerasi kematangan berdemokrasi. Saya
percaya bahwa tidak semua yang terlibat dalam politik sudah menjadi kotor. Di antara mereka
masih banyak pembaru-pembaru. Tantangan mereka adalah bagaimana mengambil inisiatif dan
melakukan terobosan-terobosan dalam meraih simpati masyarakat.
Beberapa pilkada memberi contoh bagaimana pemimpin-pemimpin baru dihasilkan karena
mereka berani melakukan terobosan. Alih-alih terjerat dalam politik berbiaya tinggi, mereka
memainkan permainannya sendiri dengan memanfaatkan komunitas, jejaring, sosial media, turun
langsung bersama warga, dan lain sebagainya. Mereka cerdas memanfaatkan momentum
kejenuhan masyarakat akan kepemimpinan yang itu lagi-itu lagi (baca: dinasti).
Elemen masyarakat madani seperti pelajar, pers, LSM, dan sebagainya juga harus makin kreatif
dalam mengedukasi masyarakat. Mereka harus mau turun ke bawah ke lapisan masyarakat
marjinal yang selama ini menjadi lumbung suara politik dinasti. Kelas menengah jangan hanya
berani berteriak lantang di sosial media tapi juga aktif di lapangan dengan agenda-agenda
perubahannya.
Pendekatan kedua yang layak dipertimbangkan adalah, adanya jaring peraturan yang bisa
mencegah keluarga-kerabat pejabat status quo untuk mencalonkan diri dalam kontes demokrasi.

Jika melamar pekerjaan saja syarat ini berlaku demi menghindari konflik kepentingan, mengapa
tidak bisa diterapkan sebagai syarat menjadi pejabat publik. Aturan ini mungkin sedikit
mencederai hak politik satu dua orang. Tapi itu tak ada apa-apanya dibanding mudharat yang
jauh lebih besar yang bisa dihindari. Jangan sampai guyon, Pak Harto: masih enak jamanku,
tho? betul-betul menjadi kenyataan.
Bagaimana pun juga, bangsa Indonesia harus melawati fase sejarah ini dengan semangat
pembelajaran. Demokrasi kita masih jauh dari ideal, tapi kita tidak boleh berhenti mencoba dan
belajar. Jatuh lalu bangkit lagi, jatuh lalu bangkit lagi hingga kita bisa berdiri tegak. Seperti yang
dikatakan Bung Hatta dalam catatannya berjudul Demokrasi kita:
Tetapi sejarah memberi pelajaran juga pada manusia. Suatu barang yang bernilai seperti
demokrasi baru dihargai apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar dari
kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan jiwa murni, demokrasi
yang tertidur sementara akan bangun kembali

Komentar :
Sebagai anak bangsa Indonesia sudah sepatutnya untuk menjaga bangsa agar tetap berprinsip
demokrasi sebagaimana semboyan bangsa. Demokrasi adalah hak segala bangsa, jadi semua
warga negara berhak mendapatkan hak yang sama. Keadaan demokrasi di Indonesia memang
patut dipertanyakan, banyak sekali kasus yang mencoreng arti demokrasi. Banyak praktik dalam
politik yang memanfaatka kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Kasus Ratu Atut sebenarnya pernah terjadi pada zaman presiden soeharto dimana KKN terjadi ,
semua anggota keluarga diangkat dalam kursi politik. Sebagai orang yag memiliki kekuasaan
bukan

berarti

berkuasa

dalam

hal

namun

menjadikan

mandat

tersebut

sebagai

tanggungjawabnya.
Pemerintah juga sudah sepatutnya bisa mngatur dan mengawasi setiap wakil rakyat, agar kasus
KKN bisa dihapuskan secara total. Seperti jaman dulu, indonesia jatuh bangkit lagi, jatuh bangkit
lagi. Jangan patah semangat dan berhenti mencoba, yang seperti dikatakan oleh Bung Hatta.

Sumber Referensi :

http://news.detik.com/kolom/2386487/politik-dinasti-tampar-masyarakat-madani

Anda mungkin juga menyukai