BAB V
KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL
5.1
Umum
Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta
desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu
dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan
instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan
bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu
kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan
pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah
daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat
kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas
daerah.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam UndangUndang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan
kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain
itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam
melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan
bagi pembangunan daerah.
Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada
dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows
function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32
Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud.
Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint
(kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33
Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa
digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun
melalui transfer ke daerah.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power)
dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak
daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran
pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan
kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan
APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun
2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah
satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah
V-1
Bab V
dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah,
peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan
tarif pajak.
Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah
sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk
mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.
Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana
Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada
tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga
menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010.
Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang
bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program
dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana
Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih
besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program
nasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah,
seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik
yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen
dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1).
Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah
efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja
masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermin
dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada
tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum
menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah
yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan
dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan
jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat
tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen
dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya.
Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya
percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam
berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat
kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula,
tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif
cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan
pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator
statistik pemerataan PDRB antarprovinsi.
V-2
Bab V
Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan
taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah
telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian
kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk
menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik
melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan
anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung
kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro.
Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai.
GRAFIK V.1
DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010
Belanja APBN-P 2010
(triliun rupiah)
Sumber: APBN-P 2010
Bantuan ke Masyarakat
35,37 (3,14%)
Subsidi
176,33 (15,66%)
Transfer ke Daerah
344,61 (30,60%)
*)
BBM
Listrik
Pangan
Pupuk
88,89
55,10
13,92
18,41
7,89%
4,89%
1,24%
1,63%
11,93
7,64
106,80
1,06%
0,68%
9,48%
Total
35,37 (3,14%)
Total
344,61 (30,60%)
Total
126,37 (11,22%)
V-3
Bab V
pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas
desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh
Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan
di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan
kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah
yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada
daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari
daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk
melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga
penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.
Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan
perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi
daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.
Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama
adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha
tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing
power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi
daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok
dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis
pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem
pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi
yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking
sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah
peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme
pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.
Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan
melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam
pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena
masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan
fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,
instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan
antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang
relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan
dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik.
Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain,
melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH
dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU
melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan
kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.
V-4
Bab V
Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah
diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada
daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana
tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah.
Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan
pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan
pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent),
mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung
konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai
saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan
pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman,
persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya.
Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh
Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak
lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek
yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman
langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang
akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak
melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari
pinjaman daerah.
Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama
setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang
Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada
Pemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada
peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari
Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri.
Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam
upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan
dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk
melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah
dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7
Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan
penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan
yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan
keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di
daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
V-5
Bab V
makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan
kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan
besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak
terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan
penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan
prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.
triliun rupiah
Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke
daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke
daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun.
Peningkatan tersebut terjadi
merata pada semua jenis
GRAFIK. V.2
PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH
transfer ke daerah. DAU yang
(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN)
TAHUN 2005 - 2010
merupakan
komponen
314,36
terbesar dari transfer ke daerah
350
287,25
278,71
meningkat dari Rp88,7 triliun
300
243,97
222,13
pada tahun 2005 menjadi
250
Rp203,6 triliun pada tahun
200
143,22
150
2010, suatu peningkatan yang
100
sangat signifikan karena
30,25
21,33
13,72
4,05
9,30
7,24
50
meningkat hampir tiga kali
0
lipat. Peningkatan terbesar
2005
2006
2007
2008
2009
2010
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
APBN-P
terjadi pada DAK. Pada tahun
Dana Otsus dan Penyesuaian
Dana Perimbangan
2005 nilai DAK masih berada
di bawah Rp4 triliun, tetapi Sumber : Kementerian Keuangan
TABEL V.1
2005
%
thd
PDB
2006
%
thd
PDB
2007
A PBN-P
% thd
PDB
2008
%
thd
PDB
2009
%
thd
PDB
2010
% th d
PDB
143.221,3
5,1
222.130,6
6,7
243.967 ,1
6,2
27 8.7 14,7
5,6
287 .251,5
5,1
314.363,3
50.47 9,2
1,8
64.900,3
1 ,9
62.941,9
1 ,6
7 8.420,2
1,6
7 6.129,9
1,4
89.61 8,4
1,4
88.7 65,4
3,2
145.664,2
4,4
164.7 87 ,4
4,2
17 9.507 ,1
3,6
1 86.414,1
3,3
203.606,5
3,3
5,0
3.97 6,7
0,1
11 .566,1
0,3
16.237 ,8
0,4
20.7 87 ,3
0,4
24.7 07 ,4
0,4
21.1 38,4
0,3
7 .242,6
0,3
4.049,3
0,1
9.296,0
0,2
13.7 18,8
0,3
21.333,8
0,4
30.249,6
0,5
1 .7 7 5,3
0,1
3.488,3
0,1
4.045,7
0,1
7 .510,3
0,2
9.526,6
0,2
9.099,6
0,1
5.467 ,3
0,2
561,1
0,0
5.250,3
0,1
6.208,5
0,1
1 1.807 ,2
0,2
21 .150,0
0,3
150.463,9
5,4
226.17 9,9
6,8
253.263,1
6,4
292.433,5
5,9
308.585,2
5,5
344.612,9
5,5
Ju m lah
V-6
Bab V
pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010
turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh
komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan
negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan
persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari
penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara
yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak
Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak
bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH
SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan
dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah
mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39
Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH
Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari
tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan
ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.
Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH
menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1
triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau
rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun.
Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah
yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan
proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar
35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut
memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera
Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah
daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta,
dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar
nya yaitu 0,004 persen.
Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah
yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi
penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50
persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah
daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan
DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.
Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena
peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5
persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun
2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam
V-7
Bab V
GRAFIK. V.3
PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 2010
14.000
12.000
miliar rupiah
10.000
Uraian
Daerah
33
Kaltim
Bali
33
Total
Tertinggi
Terendah
Rata-Rata
2009
Jumlah
35.632,17
12.555,56
1,29
1.079,76
%
100
35,24
0,004
-
2010
Jumlah
31.870,56
10.853,70
1,24
965,77
Daerah
33
Kaltim
Yogyakarta
33
%
100
34,06
0,004
-
8.000
6.000
4.000
2009
2010
2.000
Papua Barat
Kepri
Kalsel
Sumsel
Riau
Kaltim
Kalbar
DKI
Malut
NTB
Babel
Lampung
Kalteng
Jatim
Jabar
Jambi
NAD
Papua
Gorontalo
Sulbar
Bengkulu
Sulut
Sumut
Sulteng
Sumbar
Jateng
Sultra
Maluku
Sulsel
Yogyakarta
Bali
Banten
NTT
GRAFIK. V.4
PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH
PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 - 2010
12.000
Uraian
10.000
miliar rupiah
8.000
2009
2010
Daerah
Jumlah
33
39.271,24
100
Tertinggi
DKI
8.688,80
Terendah
Gorontalo
Rata-Rata
33
Total
Daerah
Jumlah
33
45.997,51
100
22,1%
DKI
10.905,84
23,7%
132,21
0,34%
Gorontalo
129,00
0,28%
1.190,04
1.393,86
33
6.000
4.000
2009
2010
2.000
0
V-8
Bab V
rentang waktu 20052010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005,
menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada
tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun.
Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan
pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua
komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan
fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai.
Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006,
komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal
(CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan
keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal masing-masing daerah.
Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU
tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari
total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan
fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:
(1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU
Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.
Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah
100 persen.
(2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa
pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan
pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk
wilayah.
(3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk
mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya
Williamson Index.
Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan,
irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.
Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan
hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana
(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu
bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.
Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK
Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.
Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan
menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran
alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK,
alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun
2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat
menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,
alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya
kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah
otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
V-9
Bab V
GRAFIK. V.5
PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 - 2010
25.000
Uraian
20.000
miliar rupiah
15.000
Daerah
33
Jatim
DKI
33
Total
Tertinggi
Terendah
Rata-Rata
2009
Jumlah
186.414,10
20.854,97
0,00
5.648,91
%
100
11,19
0,00
-
Daerah
33
Jatim
DKI
33
2010
Jumlah
192.490,34
21.290,50
0,00
5.833,04
%
100
11,06
0,00
-
10.000
2009
2010
5.000
ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/
kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada
tahun 2010.
Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada
Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan
2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan
Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen
terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.
Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus
dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional
selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,
diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan
antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana
Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU
nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari
pagu DAU nasional.
Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa
Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima
tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima
tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan
formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari
DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam
perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan.
V-10
Bab V
GRAFIK .V.6
PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*)
TAHUN 2009 - 2010
2500
2009
Uraian
Total
Tertinggi
Terendah
Rata-Rata
2000
2010
Daerah
Jumlah
Daerah
33
Jatim
DKI
33
24.707,42
2.138,18
0,00
748,71
100
8,65
0,00
-
Jumlah
33
Jateng
DKI
33
21.133,38
1.969,34
0,00
640,41
100
9,32
0,00
-
miliar rupiah
1500
2009
2010
1000
500
Jateng
Jabar
Jatim
Papua
Sulsel
Sumut
Sumbar
NTT
NAD
Lampung
Sulut
Kalbar
Kalsel
Sumsel
NTB
Sultra
Jambi
Sulteng
Maluku
Kalteng
Bengkulu
Papua Barat
Bali
Banten
Malut
Riau
Yogyakarta
Kaltim
Gorontalo
Babel
Sulbar
DKI
Kepri
V-11
Bab V
TABEL V.2
PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010
No.
1
2
3
4
5
Nomenklatur
2005
2006
2007
2008
2009
2010
GRAFIK V.7
PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN
TAHUN 2005 - 2010
35
30
Dana Penyesuaian
triliun rupiah
25
20
21,2
11,8
15
6,2
10
5
0
5,3
0,6
5,5
1,8
2005
LKPP
9,5
9,1
2009
LKPP
2010
APBN-P
7,5
3,5
4,0
2006
LKPP
2007
LKPP
2008
LKPP
V-12
Bab V
Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah
dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah
untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor
28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.
Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara
lain adalah:
(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya
pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum
dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih
dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan
kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang
bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan
jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang
pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas
basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.
Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu
lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas
basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis
pajak baru.
Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah
objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk
kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru
bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan
Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak
pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung
Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.
Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi
dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas
sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus
untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,
memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan
kerja.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat
menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD
dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah
V-13
Bab V
beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan
pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah
terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.
(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada
kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah.
Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan
pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai
kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan
Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit
10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari
represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan
harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah
yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/
atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.
UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis
pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah
meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha
dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.
Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut
secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan
jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah
daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut
dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak
memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi
TABEL V.3
daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun
JENIS PAJAK DAERAH
2009 masing-masing dapat dilihat pada
Provinsi
Kabupaten/Kota
Tabel V.3 dan Tabel V.4.
1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel
V-14
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Parkir
Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan
Pajak Air Tanah
Pajak Sarang Burung Walet
PBB Perdesaan dan Perkotaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan
Bab V
TABEL V.4
JENIS RETRIBUSI DAERAH
Jasa Umum
Jasa Usaha
Perizinan Tertentu
1
2
3
4
11
12
13
14
Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut
oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan
perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang
menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah
diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan
yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.
Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan
pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi
raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan
dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.
Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat
melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan
2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak
13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya
direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang
diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil
352
(13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.
V-15
Bab V
Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah
yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan
atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau
DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa
penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU
sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;
(2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan
perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan
sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut
untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen
dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode
penyaluran.
Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah
sebagai berikut:
(1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada
tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam
APBN tahun 2011;
(2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah
dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian,
penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN
apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah;
(3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun
2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011;
(4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis
PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus
disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012;
(5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/
koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,
dan penetapan.
V-16
Bab V
bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan
batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah,
dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.
Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang
bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga
keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8
menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit
APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan
dengan besarnya defisit pada
APBD. Berdasarkan grafik
GRAFIK. V.8
PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH
tersebut, dari tahun 2007 sampai
TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010
dengan tahun 2010, kontribusi
6,13
pinjaman daerah terhadap
7%
5,32
4,63
pembiayaan defisit APBD sangat
6%
4,21
5%
kecil dan berfluktuasi antara 4
4%
persen sampai dengan 7 persen.
3%
Defisit APBD pada umumnya
2%
ditutup dari Sisa Lebih
1%
Pembiayaan Anggaran (SILPA)
0%
2007
2008
2009
2010
tahun sebelumnya masingSumber:
Kementerian
Keuangan
masing Pemerintah Daerah.
Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup
defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat
memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan
APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri
(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya
merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi
yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah
pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia
(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan
Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping
itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal
domestik.
V-17
Bab V
penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri
dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah
daerah adalah sebagai berikut:
(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka
hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
(3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan
peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang
merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan
pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah
Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman
luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta
yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan
mulai direalisasikan pada tahun 2010.
Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar
yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity
(L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan
penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda
(dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara
itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk
peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit
yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar
Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk
kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah
dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan
direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga
mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan
hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut
ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum
memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan
untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam
kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan
sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5)
V-18
Bab V
TABEL V.5
ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010
2009
No.
Kegiatan
Sum ber
Support to Community
Health Serv ices (SCHS)
5
6
Ju m l a h
(m i l i a r Rp)
2010
Da er a h
Pen er i m a
Ju m l a h
(m i l i a r Rp)
Da er a h
Pen er i m a
34,38
80,08
50
1 06,1 5
22
10
WA SA P-D
1 2,6
22,5
25
9,1
10
Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinankemungkinan upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga
diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan
antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu
permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari
pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan
dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain:
(1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun
hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri
Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD.
(3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang
memudahkan bagi negara pemberi hibah.
(4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan
kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan
secara tertib.
Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari
penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi
dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan.
Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah
agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
V-19
Bab V
V-20
Tabel V.6
REALISASI PENDAPATAN PROVINSI
TAHUN 2007 dan 2008
(miliar rupiah)
Kelompok Pendapatan
2007
Perubahan
(%)
2008
35.1 7 7 ,1
44.51 5,5
21 ,0
Dana Perimbangan
22.1 96,6
47 .553,7
53,3
4.7 37 ,0
4.658,2
-1 ,7
64.117 ,7
98.7 35 ,3
35 ,1
Tabel V.7
REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA
TAHUN 2007 dan 2008
(miliar rupiah)
Kelompok Pendapatan
Pendapatan Asli Daerah
Dana Perimbangan
Lain-lain Pendapatan Daerah
Total
2007
Perubahan
(%)
2008
16.727,3
20.230,4
196.284,3
246.688,4
20,9
25,7
10.439,0
12.788,1
22,5
223.450,6
279.706,9
25,2
TABEL V.8
TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS
TAHUN 2007 DAN 2010
(miliar rupiah)
Jenis Belanja
Rasio (%)
Pertumbuhan
Rata-rata (%)
2007
2010
Pegawai
14.648,7
29.838,3
24,08
26,37
26,76
11.596,7
26.871,6
19,07
23,75
32,33
Modal
15.174,8
26.307,2
24,95
23,25
20,13
Lainnya
19.406,7
30.166,2
31,90
26,62
15,8
60.827,0
113.113,3
100,00
100,00
22,98
Total
2007
2010
TABEL V.9
TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS
TAHUN 2007 DAN 2010
(miliar rupiah)
Rasio (%)
Jenis Belanja
Pegawai
2007
2010
2007
2010
Pertumbuhan
Rata-rata (%)
103.238,77
160.646,77
40,91
50,74
42.984,31
53.213,50
17,03
16,81
7,38
Modal
78.645,63
69.314,08
31,16
21,9
(4,12)
Lainnya
Total
15,88
27.502,20
33.406,31
10,90
10,55
6,7
252.370,90
316.580,67
100,00
100,00
7,85
Bab V
TABEL V. 10
TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI
TAHUN 2007 dan 2009
(miliar rupiah)
No.
Fungsi
2007
2009
% thd Total
Belanja
2007
Pendidikan
Kesehatan
Lainny a
2009
Pertumbuhan
Rata-rata (%)
32.251 ,6
51 .088,5
5 3,0
5 6,8
25,9
4.524,6
1 0.5 51 ,6
7 ,4
1 1 ,7
5 2,7
4.055 ,0
8.099,1
6,7
9,0
41 ,3
1 9.995,8
20.241 ,9
32,9
22,5
0,6
TABEL V. 11
TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI
TAHUN 2007 dan 2009
(miliar rupiah)
% thd Total
Pertumbuhan
Belanja per fungsi pada total APBD No.
Belanja
Fungsi
2007
2009
Rata-rata (%)
2007
2009
kabupaten dan kota juga mengalami
1
Pelayanan Umum
77.333,67
93.593,84
30,53
28,92
10.01
perkembangan serupa. Pertumbuhan 2 Pendidikan
69.589,85
101.046,70
27,48
31,22
20.50
24.606,03
29.697,56
9,71
9,18
9.86
rata-rata belanja untuk Fungsi 3 Kesehatan
4 Lainnya
81.754,56
99.292,18
32,28
30,68
10.21
Pendidikan hampir mendekati 21 Sumber: Kementerian Keuangan
persen. Porsi belanja untuk total
Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang
bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi
31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi
Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten
dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11.
V-21
Bab V
Pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi laju inflasi daerah. Hal ini dapat dilihat pada
tren penurunan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 2009 yang ternyata
juga diikuti dengan penurunan inflasi. Berdasarkan data pantauan inflasi di 66 kota di
Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 terjadi
penurunan laju inflasi daerah yang relatif cukup signifikan, salah satunya diakibatkan
penurunan harga minyak dunia dan penurunan harga BBM di tahun 2009. Laju inflasi
tertinggi terjadi di Kota Manokwari yang mencapai 7,4 persen, sedangkan yang paling rendah
inflasinya adalah Kota Dumai hanya sebesar 0,8 persen. Dalam tahun 2010, laju inflasi
diharapkan akan berada pada tingkat yang lebih rendah. Perkembangan laju inflasi selama
periode 20052009 di 66 kota dapat dilihat dalam Tabel V.12.
TABEL V.12
LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
No.
Kota
2005
2006
2007
Lhokseumawe
17,6
1,9
4,2
Banda Aceh
41,1
9,5
11,0
Padang Sidempuan
18,5
10,0
5,9
Sibolga
22,4
5,0
7,1
Pematang Siantar
19,7
6,1
8,4
Medan
22,9
6,0
6,4
Padang
20,1
8,0
6,9
Pekanbaru
17,1
6,3
7,5
14,8
4,6
4,8
Dumai
10
Batam
11
Jambi
16,5
10,7
7,4
12
Palembang
19,9
8,4
8,2
13
Bengkulu
25,2
6,5
5,0
14
Bandar Lampung
21,2
6,0
6,6
15
Pangkal Pinang
17,4
6,4
2,6
16,1
6,0
6,0
16
Tanjung Pinang
17
DKI Jakarta
Bogor
19 Sukabumi
18
20
Tasikmalaya
20,8
8,4
7,7
21
Bandung
19,6
5,3
5,3
22
Cirebon
16,8
6,3
7,9
23
24
Bekasi
Depok
25
Purwokerto
14,5
8,4
6,1
26
Surakarta
13,9
6,2
3,3
27
Semarang
16,5
6,1
6,7
28
Tegal
18,4
7,7
8,9
29
Yogyakarta
15,0
10,4
8,0
30
Jember
16,9
6,8
7,2
31
Sumenep
32
Kediri
16,8
7,8
6,8
33
Malang
15,7
5,9
5,9
2008
2009
15,0
12,0
10,7
13,8
10,3
9,9
13,1
10,5
8,0
8,6
11,1
13,3
14,5
14,4
18,4
7,0
11,1
4,0
7,5
11,7
9,9
13,9
5,1
6,1
12,3
8,3
11,2
8,6
10,0
10,1
5,5
10,1
11,9
3,9
3,5
1,9
1,6
2,7
2,7
2,1
1,9
0,8
1,9
2,5
1,8
2,9
4,2
2,2
1,5
2,3
2,1
3,4
4,1
2,1
4,1
1,9
1,3
2,8
2,6
3,1
5,7
2,9
3,7
2,7
3,5
3,3
No.
34
35
Kota
2005
2006
2007
Probolinggo
Madiun
36
Surabaya
14,1
6,7
6,3
37
Serang/Cilegon
16,1
7,7
6,3
38
39
Tangerang
Cilegon
40
Denpasar
11,3
4,3
5,9
41
Mataram
17,7
4,2
8,8
42
43
Bima
Maumere
44
Kupang
15,2
9,7
8,4
45
Pontianak
14,4
6,3
8,6
46
Singkawang
47
Sampit
11,9
7,7
7,6
48
Palangkaraya
12,1
7,7
8,0
49
Banjarmasin
12,9
11,0
7,8
50
Balikpapan
17,3
5,5
7,3
51
Samarinda
16,6
6,5
9,2
52
Tarakan
53
Manado
18,7
5,1
10,1
54
Palu
16,3
8,7
8,1
55
Watampone
56
Makassar
15,2
7,2
5,7
57
Parepare
Palopo
58
59
Kendari
21,5
10,6
7,5
60
Gorontalo
18,6
7,5
7,0
61
Mamuju
62
Ambon
16,7
4,8
5,8
63
Ternate
19,4
5,1
10,4
64
65
Manokwari
Sorong
66
Jayapura
14,1
9,5
10,3
2008
5,6
6,0
10,4
13,7
6,2
4,6
10,5
12,4
8,9
6,3
10,5
11,6
5,7
8,3
12,2
11,0
11,1
12,8
8,8
9,0
10,7
10,1
12,2
7,4
7,8
16,0
7,9
8,5
10,1
12,2
14,5
11,0
15,5
2009
3,5
3,4
3,3
4,5
2,5
3,1
4,3
3,1
4,0
5,2
6,3
4,9
1,2
2,8
1,4
3,8
3,5
4,0
7,0
2,3
5,6
6,7
3,2
1,4
4,1
4,5
4,3
1,8
6,4
3,8
7,4
3,3
2,0
Salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Terkait dengan
investasi, pada dasarnya kewenangan daerah sangat besar karena kewenangan penanaman
modal merupakan salah satu kewenangan yang didesentralisasikan sesuai dengan PP Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peran besar daerah dalam
meningkatkan investasi berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) saat ini sudah diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Dukungan Pemerintah Pusat terlihat pada upaya menarik
investor dari luar negeri yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal
(BKPM). Kemudahan dan fasilitas telah disediakan oleh Pemerintah maupun pemerintah
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
V-23
Bab V
daerah dalam rangka menarik para investor untuk lebih banyak menanamkan modalnya
dan hal tersebut juga sudah didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008
tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di
Daerah.
Salah satu upaya mempermudah investor adalah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor
27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dimana
daerah berkoordinasi dengan BKPM membentuk unit tersendiri yang tugas utamanya
menyediakan kemudahan perizinan bagi investor. Upaya lain yang dilakukan diantaranya
adalah (1) meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupun
kuantitas, (2) adanya kepastian hukum, (3) jaminan keamanan, (4) kondisi persaingan
usaha yang sehat, dan (5) transparansi kebijakan pemerintah daerah. Belum seluruh
pemerintah daerah secara optimal melaksanakan upaya-upaya tersebut, hal ini dikarenakan
terjadinya krisis ekonomi dunia yang berpengaruh pada minat investor asing berinvestasi di
Indonesia, akan tetapi di lain pihak data pertumbuhan investasi di beberapa daerah
menunjukkan kecenderungan peningkatan investasi khususnya untuk PMDN.
Berdasarkan data BKPM, pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang relatif signifikan pada
PMDN, tetapi terjadi penurunan pada PMA. Kegiatan investasi secara umum masih
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal ini terutama disebabkan oleh kurang
memadainya infrastruktur di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Perkembangan realisasi
investasi di Indonesia tahun 20062009 dapat dilihat dalam Tabel V.13.
TABEL V.13
898,2
SUMATERA
4.416,4
JAWA
106,2
BALI DAN NUSA TENGGARA
534,8
KALIMANTAN
15,5
SULAWESI
20,0
MALUKU
0,6
PAPUA
5.991,7
JUMLAH
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
2007
1.398,5
8.503,5
56,7
300,6
79,6
-
2008
1.009,9
13.566,8
95,5
115,2
65,4
-
2009
2,5
18,7
776,2
9.370,6
233,8
284,4
141,6
5,9
2,8
10.341,4
14.871,4
10.815,2
2006
2007
4.504,9
13.030,8
104,9
2.536,1
68,6
0,2
403,5
10.754,5
18.668,9
15,7
1.558,0
3.881,6
-
2008
294,7
7.819,6
25.766,5
50,8
2.934,4
1.187,4
41,0
20.649,0
34.878,7
20.363,4
37.799,8
4.840,1
12.230,7
29,0
1.821,4
1.147,5
-
2009
V-24
Bab V
GRAFIK V.11
TINGKAT PENGANGGURAN PER PROVINSI
TAHUN 2008 2009
16
14
2008
2009
TingkatPengangguran(%)
12
10
BANTEN
JABAR
JAKARTA
KALTIM
SULUT
MALUKU
NAD
SULSEL
RIAU
SUMUT
KEP. RIAU
SUMSEL
SUMBAR
PAPUA BARAT
MALUT
JATENG
LAMPUNG
NTB
KALSEL
DIY
BABEL
JAMBI
GORONTALO
KALBAR
JATIM
SULTENG
SULTRA
BENGKULU
SULBAR
KALTENG
NTT
PAPUA
BALI
Bergeraknya roda perekonomian dan banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam industri
yang didanai dari investasi dalam dan luar negeri seharusnya bisa menimbulkan dampak
pada indikator tingkat kemiskinan, secara nasional juga terjadi penurunan yang relatif
signifikan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, maka pada tahun 2009 sebagian besar
daerah di Indonesia menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun
2006, persentase penduduk miskin mencapai 17,75 persen dan turun menjadi 14,15 persen
pada tahun 2009. Berbeda dengan indikator tingkat pengangguran, untuk indikator tingkat
kemiskinan, DKI Jakarta, Banten, dan Jabar justru menunjukkan tingkat kemiskinan yang
rendah, bahkan tingkat kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah. Sebagaimana terlihat
pada Grafik V.12, daerah yang tingkat kemiskinannya tertinggi adalah Papua dan Papua
Barat yang mencapai lebih dari 35 persen di tahun 2008 maupun 2009, diikuti dengan
Provinsi Maluku dan NTT.
Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan ekonomi dalam pemerataan pembangunan
antardaerah maka dapat digunakan indikator pemerataan, yang salah satunya dapat dilihat
melalui Indeks Williamson. Berdasarkan angka Indeks Williamson tahun 20062009 terlihat
bahwa tingkat pemerataan aktivitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB
antarprovinsi (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) masih belum terlalu baik, tetapi
perkembangannya menunjukkan ke arah
TABEL V.14
kondisi yang lebih baik. Pada Tabel V.14,
INDEKS WILLIAMSON UNTUK PDRB,
TAHUN 2006 2009
dapat dilihat bahwa pada tahun 2006
2006
2007
2008
2009
Indeks Williamson untuk aktivitas
Indonesia
0,59
0,49
0,48
0,47
perekonomian sebesar 0,59, turun
Sumatera
0,55
0,52
0,52
0,51
menjadi 0,47 pada tahun 2009. Jawa
0,17
0,17
0,17
0,17
0,41
0,42
0,43
0,43
Penurunan Indeks Williamson tersebut Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
0,85
0,82
0,82
0,80
menunjukkan bahwa perkembangan Sulawesi
0,19
0,20
0,19
0,19
0,57
0,52
0,50
0,53
aktivitas perekonomian antarprovinsi Maluku dan Papua
Sumber : Badan Pusat Statistik
menjadi semakin berimbang.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
V-25
Bab V
yaitu sebesar 2,37 persen dan Nanggroe Aceh Darussalam yang menurun hingga 1,75 persen.
Kedua, peningkatan transfer diiringi juga dengan pengurangan tingkat pengangguran,
namun tidak semua daerah mengalami penurunan. Terdapat 20 daerah mengalami
penurunan tingkat pengangguran. Penurunan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di Jawa
Timur dan Jawa Barat yang mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,34 persen
dan 1,12 persen.
Dari Tabel V.15 juga dapat dilihat bahwa pendapatan APBD per kapita yang tinggi terdapat
di daerah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur. Pendapatan APBD per kapita di
Papua bahkan mencapai lebih dari 10 kali lipat pendapatan APBD per kapita di Jawa Timur.
Tingginya pendapatan APBD per kapita diharapkan dapat mempercepat pembangunan di
wilayah tersebut, terutama untuk mendanai investasi awal di bidang infrastruktur.
Selanjutnya, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pemerintah daerah
adalah upaya untuk menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah dengan target pertumbuhan
ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat.
V-27
Bab V
Guna mendukung arah kebijakan transfer ke daerah tersebut, dalam RAPBN 2011 alokasi
anggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp378,4 triliun, atau 5,4 persen terhadap
PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami kenaikan Rp33,8 triliun, atau 9,8
persen dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp344,6
triliun. Kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2011 tersebut selain disebabkan
adanya kenaikan Dana Perimbangan, juga disebabkan oleh adanya peningkatan Dana Otsus
dan Penyesuaian terutama adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitu
bantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja Pemerintah
Pusat ke Transfer ke Daerah. Dari jumlah alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN
2011 tersebut, sekitar 87,0 persen merupakan alokasi Dana Perimbangan, dan sisanya sekitar
13,0 persen merupakan alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian.
V-28
Bab V
Dalam RAPBN 2011, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp82,0 triliun, atau 1,4 persen
terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp7,6 triliun atau 8,5
persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun. Penurunan DBH
dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena
adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi
DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi
yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar
49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen.
DBH Pajak
DBH Pajak terdiri atas 4 jenis yaitu DBH dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh
Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Cukai Hasil
Tembakau (CHT). Dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, dalam tahun anggaran 2011, BPHTB tidak lagi termasuk
dalam DBH, karena jenis pajak ini telah dialihkan menjadi Pajak Daerah. Selain itu, sebagian
objek PBB, yaitu sektor perdesaan dan perkotaan mulai tahun 2014 juga akan dialihkan
menjadi Pajak Daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55
Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, yang merupakan bagian
daerah adalah sebesar 20 persen. DBH dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29
WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut, dibagi dengan imbangan sebesar 12
persen untuk kabupaten/kota dan 8 persen untuk provinsi. Bagian kabupaten/kota tersebut,
dibagi 8,4 persen untuk daerah penghasil dan 3,6 persen dibagi secara merata untuk seluruh
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Daerah penghasil ditentukan berdasarkan
tempat wajib pajak terdaftar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta
Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar
90 persen dengan rincian 64,8 persen untuk kabupaten/kota, 16,2 persen untuk provinsi,
dan 9 persen untuk Biaya Pemungutan (BP), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakan
bagian Pemerintah Pusat. Biaya Pemungutan sebesar 9 persen tersebut dibagi antara pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dengan persentase yang berbeda-beda untuk setiap sektor PBB.
Bagian Pusat sebesar 10 persen tersebut dibagi lagi ke daerah secara merata sebesar 6,5
persen dan sebagai insentif sebesar 3,5 persen. Berdasarkan rencana penerimaan PBB yang
ditetapkan dalam APBN, DBH PBB untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Selanjutnya, Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007 dan Keputusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009,
DBH CHT dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau dan provinsi penghasil
tembakau sebesar 2 persen dari penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Penerimaan
DBH CHT tersebut dibagi kepada Kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut, dengan
imbangan 30 persen untuk provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/
kota, dibagi dengan imbangan 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen
untuk kabupaten/kota lainnya.
V-29
Bab V
Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH CHT bersifat specific grant,
yang berarti penggunaannya ditetapkan untuk membiayai pengeluaran tertentu. DBH CHT
tersebut digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaan
industri; (3) pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/
atau (5) pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Berdasarkan pada rencana penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan, dan memperhatikan
ketentuan-ketentuan mengenai DBH Pajak yang berlaku, maka alokasi DBH Pajak dalam
RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp40,5 triliun, atau 0,6 persen terhadap PDB. Jumlah
tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp4,0 triliun, atau 9,0 persen dari DBH Pajak
dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp44,5 triliun. Lebih rendahnya alokasi DBH Pajak
dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh adanya pengalihkan BPHTB menjadi pajak
kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut telah memperhitungkan kurang bayar DBH
PPh tahun 2009 sebesar Rp2,5 miliar dan kurang bayar DBH PBB tahun 2009 sebesar
Rp16,5 miliar. Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut, terdiri atas: (i) DBH PPh
sebesar Rp13,1 triliun, atau lebih rendah Rp43,7 miliar (0,3 persen) dari DBH PPh dalam
APBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,2 triliun; (ii) DBH PBB sebesar Rp26,2 triliun, atau lebih
tinggi Rp3,2 triliun (13,7 persen) dari DBH PBB dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp23,1
triliun; dan (iii) DBH Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp1,2 triliun, atau lebih tinggi Rp43,8
miliar (3,9 persen) dari DBH Cukai Hasil Tembakau dalam APBN-P tahun 2010 sebesar
Rp1,1 triliun.
DBH Sumber Daya Alam (SDA)
DBH SDA, terdiri dari SDA pertambangan minyak bumi, SDA pertambangan gas bumi,
SDA kehutanan, SDA pertambangan umum, SDA perikanan, dan SDA panas bumi. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f, dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun
2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dan gas bumi
ditetapkan masing-masing 15,5 persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya. Porsi sebesar 0,5 persen dari DBH SDA Migas tersebut
diarahkan sebagai tambahan anggaran pendidikan dasar, kecuali bagi daerah provinsi dan
kabupaten/kota berdasarkan undang-undang otonomi khusus telah diatur tersendiri.
Dalam rangka melaksanakan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam RAPBN 2011 dialokasikan tambahan DBH
SDA Migas untuk Propinsi Papua Barat dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Adapun rincian tambahan tersebut adalah minyak bumi sebesar 55 persen dan gas bumi
sebesar 40 persen, sehingga proporsi migas untuk ketiga daerah tersebut masing-masing
menjadi sebesar 70 persen.
UU Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa realisasi penyaluran DBH yang berasal
dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130 persen dari asumsi dasar harga
minyak bumi dan gas bumi yang telah ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, yang berlaku
mulai tahun 2009. Selanjutnya, dalam hal bagi hasil minyak dan gas bumi melebihi 130
persen dari asumsi APBN, maka selisih kelebihan dimaksud akan dihitung dengan pendekatan
kesenjangan fiskal (Fiscal Gap) dalam formula DAU dan disalurkan melalui mekanisme
APBN Perubahan.
V-30
Bab V
Memenuhi amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian
daerah dari SDA Pertambangan Umum, Kehutanan, Panas Bumi, serta Perikanan ditetapkan
sebesar 80 persen dari penerimaannya. DBH SDA Pertambangan Umum berupa royalti dan
landrent, bersumber dari kegiatan: (1) Kontrak Karya (KK); (2) Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); dan (3) Kuasa Pertambangan (KP).
Penetapan alokasi DBH SDA dimulai dengan perkiraan alokasi yang dihitung berdasarkan
rencana penerimaan yang dimuat dalam UU APBN. Dalam rangka pelaksanaan penyaluran
ke daerah, perhitungannya dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran
berjalan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antarinstansi pusat terkait
dan antara pusat dengan daerah penghasil.
Sejalan dengan penerimaan yang berasal dari SDA minyak bumi dan gas bumi, SDA
pertambangan umum, SDA kehutanan, SDA Panas Bumi, dan SDA perikanan, serta dengan
memperhatikan ketentuan pembagian DBH SDA tersebut, maka dalam RAPBN 2011, alokasi
DBH SDA direncanakan sebesar Rp41,5 triliun, atau lebih rendah Rp3,6 triliun atau 8,0
persen dari realisasi DBH SDA dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp45,1 triliun. Lebih
rendahnya alokasi DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya
target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Secara rinci, alokasi
DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut terdiri atas DBH SDA minyak bumi sebesar Rp16,7
triliun, DBH SDA gas bumi sebesar Rp12,7 triliun, DBH SDA pertambangan umum sebesar
Rp8,3 triliun, DBH SDA kehutanan sebesar Rp1,4 triliun, DBH SDA perikanan sebesar Rp83,7
miliar, DBH SDA panas bumi sebesar Rp351,0 miliar, serta kurang bayar DBH SDA sebesar
Rp2,5 triliun, dengan rincian kurang bayar DBH SDA migas tahun 2008 sebesar Rp2,0
triliun, kurang bayar DBH SDA pertambangan umum tahun 20072009 sebesar Rp0,4
triliun, kurang bayar DBH SDA perikanan tahun 2009 sebesar Rp3,7 miliar, dan DBH SDA
pertambangan panas bumi tahun 20062008 sebesar Rp66,1 miliar.
5.3.1.1.2 Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Besaran DAU Nasional sangat tergantung dari besaran
Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto dalam APBN.
Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, PDN neto adalah penerimaan negara yang berasal dari
pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan
kepada daerah. Selanjutnya jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang kurangnya 26
persen dari PDN neto yang ditetapkan dalam APBN.
Pada APBN tahun 2007 dan 2008, PDN neto merupakan hasil pengurangan antara
pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan
dan penerimaan negara bukan pajak, dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada
daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked (penggunaannya diarahkan) dan
anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan anggaran dengan jumlah yang sama pada
penerimaan dan belanja). Pada tahun 2009, dalam rangka sharing the pain beban APBN
dan dengan mempertimbangkan bahwa sebagian subsidi juga diperuntukkan bagi daerah,
PDN neto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi
pupuk, dan subsidi pangan sebagai faktor pengurang. Untuk 2010, kebijakan PDN Neto
masih dipertimbangkan dengan tetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiap
tahun. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapat
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
V-31
Bab V
perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasi
DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapat
dilaksanakan secara murni, tetapi mulai APBN 2009, kebijakan tersebut telah dilaksanakan,
dan tetap dilanjutkan pada APBN 2010. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka
dalam tahun 2011 akan dihasilkan alternatif alokasi DAU kepada daerah sebesar nol (tidak
mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari DAU tahun 2010.
Selanjutnya, besaran DAU yang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam
RAPBN 2011, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi
dan kabupaten/kota dengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU
Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005. DAU yang akan didistribusikan
untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (1) alokasi dasar,
yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan
tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai
negeri sipil; dan (2) celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
Kebutuhan fiskal tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan
konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita, sedangkan kapasitas fiskal
diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA Dana
Reboisasi.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, dan
mengatasi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukan
langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputi
variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur
tingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) dan
Coefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkat
pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angka
indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin
kecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah akan semakin baik.
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat untuk meminimalkan
kesenjangan fiskal antardaerah, diformulasikan analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskal
antardaerah melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya, dapat
ditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran
AD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki
fleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran
CF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan
yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi.
Untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU
memungkinkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada
tahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secara
signifikan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agar
penerimaan DAU secara proporsional dapat seimbang dengan penerimaan DBH dan PAD
yang merupakan tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Konsekuensi penerapan
formula DAU bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi
adalah kemungkinan penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU
dari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat bagi daerah marjinal/miskin
lainnya (pro-poor). Kebijakan non-hold harmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk
memperkecil ketimpangan fiskal antardaerah.
V-32
Bab V
Untuk mendukung pelaksanaan atas formula DAU tersebut dalam RAPBN 2011, DAU akan
tetap diarahkan untuk: (1) mendukung fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah; (2) meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU yang
bersumber dari lembaga/instansi yang berwenang; (3) Alokasi Dasar memperhitungkan
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kenaikan gaji pokok, formasi CPNSD, dan kebijakankebijakan lainnya yang terkait dengan penggajian; (4) proporsi DAU sebesar 10 persen untuk
semua provinsi dan 90 persen untuk semua kabupaten/kota dari besaran DAU nasional;
(5) tetap melanjutkan penerapan kebijakan non-hold harmless; (6) DAU untuk daerah
otonom baru hasil pemekaran tahun 2008, penghitungannya dilakukan secara proporsional
antara daerah induk dan daerah anak berdasarkan data luas wilayah, jumlah penduduk,
dan jumlah PNSD; dan (7) DAU untuk 14 daerah pemekaran baru yang pada tahun 2010
dihitung secara proporsional, dalam RAPBN 2011 akan dihitung secara mandiri.
Berdasarkan arah kebijakan tersebut, serta target pendapatan dalam negeri dalam RAPBN
2011 sebesar Rp1.082,6 triliun, dikurangi dengan rencana penerimaan negara yang
dibagihasilkan kepada daerah berupa DBH sebesar Rp79,5 triliun (tidak termasuk kurang
bayar DBH sebesar Rp2,5 triliun), rencana PNBP yang akan digunakan kembali oleh
kementerian/lembaga penghasil PNBP sebesar Rp27,4 triliun, subsidi pajak sebesar Rp14,8
triliun, dan bagian 65 persen dari beberapa subsidi lainnya, yaitu subsidi listrik sebesar Rp41,0
triliun, subsidi BBM sebesar Rp92,8 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp16,4 triliun, subsidi
pangan sebesar Rp15,3 triliun, dan subsidi benih sebesar Rp120,3 miliar, sehingga beberapa
subsidi lainnya tersebut yang diperhitungkan dalam penetapan PDN neto adalah sebesar
Rp107,6 triliun, maka besaran PDN neto dalam RAPBN 2011 adalah sebesar Rp853,4 triliun.
Selanjutnya, dengan memperhatikan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan mengacu
pada hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Tingkat
I/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2011, maka besaran alokasi DAU dalam
RAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp221,9 triliun
(3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp29,4 triliun jika
dibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp192,5 triliun.
Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp22,2 triliun (10 persen dari total DAU
nasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp199,7 triliun (90 persen dari
total DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011
akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi.
Alokasi DAU yang didistribusikan
kepada kabupaten/kota tersebut,
telah memperhitungkan alokasi DAU
daerah pemekaran. Pada tahun 2010
telah dialokasikan DAU untuk 14
daerah
pemekaran
yang
pembentukannya telah ditetapkan
dengan undang-undang dalam
rentang waktu bulan September
2008 sampai dengan bulan februari
2009 (Tabel V.16). Perhitungan
DAU ke-14 daerah pemekaran
tersebut pada APBN 2010 belum
berdasarkan basis data yang
TABEL V.16
DAERAH PEMEKARAN YANG AKAN MENDAPAT DAU 2011
DENGAN PERHITUNGAN BERDASARKAN BASIS DATA SECARA MANDIRI
No
1
2
Daerah Pemekaran
Kota Tangerang Selatan
Kab Tambrauw
Daerah Induk
Kab. Tangerang
Kab. Sorong
Kab. Sorong
Provinsi
Banten
Papua Barat
3
4
5
Kab Maybrat
Kab Pulau Morotai
Kab Deiyai
Kab. Paniai
Kab. Paniai
Papua
6
7
Kab. Kupang
NTT
Kab.Halmahera Utara
Papua Barat
Maluku Utara
Papua
Kab Pringsewu
Kab. Tanggamus
Lampung
9
10
11
Kab. Nias
Kab. Nias
Kab. Nias
Sumut
Sumut
Sumut
12
13
14
Kab Mesuji
Kab Meranti
Lampung
Lampung
Riau
V-33
Bab V
2.
V-34
Bab V
4.
V-35
Bab V
provinsi, kabupaten dan kota dalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barang
jasa, serta hasil produksi yang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian,
industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional,
dan menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan. Lingkup
kegiatannya adalah: pemeliharaan berkala/periodik jalan dan jembatan provinsi/
kabupaten/kota dan peningkatan prasana jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota.
5. Infrastruktur Irigasi, diarahkan untuk mempertahankan tingkat layanan,
mengoptimalkan fungsi, dan membangun prasarana sistem irigasi, termasuk jaringan
reklamasi rawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
dan provinsi khususnya daerah lumbung pangan nasional dalam rangka mendukung
program prioritas pemerintah bidang ketahanan pangan. Lingkup kegiatannya adalah:
peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi, sedangkan dana untuk
Operasional dan Pemeliharaan (OP) jaringan irigasi dialokasikan dari APBD masingmasing pemerintah daerah penerima DAK bidang irigasi.
6.
7.
V-36
Bab V
yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan
(minapolitan), yang didukung dengan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan
dan penguatan statistik perikanan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan sarana
dan rehabilitasi prasarana produksi perikanan tangkap; (b) penyediaan sarana dan
rehabilitasi prasarana produksi perikanan budidaya; (c) penyediaan dan rehabilitasi
sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;
(d) penyediaan dan rehabilitasi infrastruktur dasar dan sarana prasarana pemberdayaan
masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan konservasi perairan, yang
terkait dengan wisata bahari dan pengembangan perikanan; (e) penyediaan dan
rehabilitasi prasarana Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Nelayan (SPBN); (f) penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; (g)
penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan (h) penyediaan sarana
dan prasarana pengembangan statistik perikanan.
10. Pertanian, diarahkan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dalam negeri guna
mendukung pencapaian prioritas nasional ketahanan pangan melalui perluasan areal
pertanian dan penyediaan sarana dan prasarana pertanian di tingkat usaha tani dan
perdesaan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) perluasan areal pertanian, meliputi:
pencetakan sawah, pembukaan lahan kering/perluasan areal untuk tanaman pangan,
holtikultura, perkebunan dan peternakan; (b) penyediaan sarana dan prasarana
pengelolaan air, antara lain: pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha
tani, jaringan irigasi tersier desa, tata air mikro, irigasi air permukaan, irigasi tanah
dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam, parit, dan embung; (c) pengelolaan
lahan melalui pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani dan jalan produksi, optimasi
lahan, peningkatan kesuburan tanah, konservasi lahan, serta penyediaan Unit
Pengolahan Pupuk Organik (UPPO); (d) pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan
Kecamatan; (e) penyediaan lumbung/gudang pangan masyarakat/pemerintah; (f)
penyediaan sarana dan prasarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk
tanaman pangan/holtikultura/perkebunan; dan (g) pembangunan/rehabilitasi pusat/
pos pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan.
11. Lingkungan Hidup, diarahkan untuk mendukung pencapaian target prioritas nasional,
yaitu penurunan beban pencemaran dan penurunan tingkat polusi sebesar 50 persen
dengan mendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara dan limbah padat
di daerah serta memperkuat pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah. Di
samping itu, kegiatan bidang Lingkungan Hidup diarahkan untuk mendukung
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Lingkup kegiatannya adalah: (a)
pemantauan kualitas air melalui kegiatan: (i) pembangunan gedung laboratorium; (ii)
penyediaan sarana prasarana pemantauan kualitas air; dan (iii) pembangunan
laboratorium lingkungan bergerak; (b) pengendalian pencemaran air melalui kegiatan:
penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah (seperti biogas, 3R, Ruang
Terbuka Hijau (RTH), Particulate Matter (PM10), taman kahati, Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL) medik dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM); dan c) pengendalian
polusi udara melalui kegiatan: i) pengadaan alat pemantau kualitas udara; ii) penerapan
teknologi tepat guna/sederhana untuk mengurangi polusi udara (alat pembuatan asap
cair, briket arang, dan lain-lain).
V-37
Bab V
12. Kehutanan, diarahkan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah
dan air, serta mendukung mitigasi perubahan iklim. Kebijakan tersebut dicapai dengan
mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap sumber daya hutan, tanah, dan air yang
berada dalam DAS dengan melaksanakan rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan kawasan
hutan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota/provinsi, termasuk
pengembangan kebun bibit desa dan konservasi lahan gambut. Lingkup kegiatannya
adalah: (a) kegiatan RHL yang terdiri dari kegiatan vegetatif dan konservasi tanah dan
air; (b) pengembangan sarana prasarana keamanan hutan; dan (c) pengembangan
sarana prasarana penyuluhan kehutanan.
13. Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal, diarahkan untuk melakukan percepatan
pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian
daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan
ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah
tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar
ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Daerah
tertinggal yang dimaksud tidak termasuk daerah tertinggal yang memiliki kawasan
perbatasan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan moda transportasi perairan/
kepulauan; (b) penyediaan moda transportasi darat; (c) pembangunan dan rehabilitasi
jalan di luar jalan provinsi dan kabupaten/kota; (d) pembangunan dan rehabilitasi
dermaga kecil atau tambatan perahu, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu
di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan (e) penyediaan/
pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi
mikrohidro dan pikohidro.
14. Sarana Perdagangan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan sarana
perdagangan untuk memperlancar arus barang antar wilayah dan meningkatkan
ketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok, meningkatkan tertib ukur dalam upaya
perlindungan konsumen di daerah serta memberikan alternatif pembiayaan bagi petani
dan UKM melalui Sistem Resi Gudang. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan
dan pengembangan pasar tradisional; (b) pembangunan dan peningkatan sarana
metrologi legal; dan (c) pembangunan gudang komoditas pertanian dalam rangka
penerapan Sistem Resi Gudang.
15. Transportasi Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan dan
kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta pengembangan
sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung
pusat-pusat pertumbuhan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan jalan poros
desa; dan (b) penyediaan angkutan perdesaan (pemberian bantuan sarana transportasi
angkutan barang yang sesuai dengan karakteristik daerah).
16. Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan, diarahkan untuk mengurangi
keterisolasian kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dan pintu gerbang
aktivitas ekonomi-perdagangan dengan negara tetangga dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Lingkup
kegiatannya adalah: (a) pembangunan/rehabilitasi jaringan jalan di luar jalan provinsi
dan kabupaten/kota; (b) pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu
di kecamatan perbatasan atau kawasan pulau kecil terluar berpenduduk; dan (c) moda
V-38
Bab V
V-39
Bab V
Bab V
Sementara itu, dana tambahan untuk TPG sejalan dengan telah ditetapkan PP Nomor 41
tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, yang dialokasikan mulai tahun 2010.
Dana tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai
penghargaan atas profesionalitasnya, sesuai dengan kewenangannya.
TABEL V.17
TRANSFER KE DAERAH, 2010 - 2011
(miliar rupiah)
2010
APBN-P
I. DANA PERIMBANGAN
A.
% thd
PDB
5,0
329.099,3
4,7
89.618,4
1,5
81.994,3
1,4
1. Pajak
a. Pajak Penghasilan
i. Pasal 21
ii. Pasal 25/29 orang pribadi
iii. Kurang bayar PPh TA 2009
b. PBB
i DBH PBB
ii. Kurang bayar DBH PBB TA 2009
c. BPHTB
d. Cukai
44.513,5
13.177,3
12.314,7
859,2
3,4
23.063,4
23.061,0
2,3
7.155,5
1.117,3
0,7
0,2
0,2
0,0
0,0
0,4
0,4
0,0
0,1
0,0
40.514,0
13.133,5
12.415,9
715,1
2,5
26.219,3
26.202,8
16,5
1.161,1
0,6
0,2
0,2
0,0
0,0
0,4
0,4
0,0
0,0
45.104,9
35.196,4
17.143,1
11.925,2
6.128,1
7.790,4
124,4
7.666,0
1.802,6
898,4
15,8
652,7
235,8
120,0
195,5
195,5
-
0,7
0,6
0,3
0,2
0,1
0,1
0,0
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
-
41.480,3
31.339,3
16.650,6
12.688,8
2.000,0
8.334,7
130,9
7.796,4
407,4
1.371,6
773,0
72,3
526,2
83,7
80,0
3,7
351,0
284,9
66,1
0,6
0,4
0,2
0,2
0,0
0,1
0,0
0,1
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
203.606,5
192.490,3
10.994,9
121,3
3,3
3,1
0,2
0,0
221.872,2
221.872,2
-
3,2
3,2
-
21.138,4
0,3
25.232,8
0,4
30.249,6
0,5
49.319,9
0,7
9.099,6
7.699,6
3.849,8
2.694,9
1.154,9
3.849,8
1.400,0
0,1
0,1
0,1
0,0
0,0
0,1
0,0
10.274,9
8.874,9
4.437,4
3.106,2
1.331,2
4.437,4
1.400,0
0,1
0,1
0,1
0,0
0,0
0,1
0,0
800,0
600,0
0,0
0,0
800,0
600,0
0,0
0,0
21.150,0
5.800,0
1.387,8
80,2
32,0
7.100,0
5.500,0
1.250,0
0,3
0,1
0,0
0,0
0,0
0,1
0,1
0,0
39.045,0
17.149,0
16.812,0
3.696,2
1.387,8
-
0,6
0,2
0,2
0,1
0,0
-
344.612,9
5,5
378.419,2
5,4
C.
RAPBN
314.363,3
B.
A.
2011
% thd
PDB
DANA PENYESUAIAN
1. Dana Tambahan Tunjangan Profesi Guru
2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD
4. Dana insentif daerah
5. Kurang bayar DAK Tahun 2008
6. Kurang bayar DISP Tahun 2008
7. Dana penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah
8. Dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah (DPIPD)
9. Dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan (DPPIP)
J U M L A H
V-41