Anda di halaman 1dari 12

MYASTHENIC CRISIS

Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi


mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien
dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam tingkat
kelemahan dari otot skelet (volunter) tubuh. Nama miastenia gravis berasal dari bahasa
Latin dan Yunani yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat
(grave muscle weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa
mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit
perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa
dikurangi.
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400
per 1 juta orang. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan
40-60 tahun untuk pria. Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit
tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan
mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata turun, dan penglihatan kabur atau
ganda. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis
miastenia. Hal ini kadang kala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi sangat
lemah dan pada beberapa orang, otot yang diperlukan untuk pernafasan melemah.
Keadaan ini dapat mengancam nyawa
Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Pengelolaan akut krisis
miastenia memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk
meningkatkan blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau
immunoglobulin intravena, serta penghapusan pemicu. Terapi ini telah meningkatkan
secara signifikan harapan hidup penderita dengan krisis miastenia dan tingkat kematian
saat ini adalah sekitar 4-8%. Penyembuhan dapat terjadi pada 10-20% pasien dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu.
1

Faktor Pencetus Krisis Miastenia


Krisis miastenik biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada penyakit,
pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase), obat-obatan, infeksi
sistemik yang melibatkan saluran pernafasan, aspirasi, dan pembedahan. Pencetus lain
yang diketahui pada krisis miastenia refraktori adalah stres emosional, lingkungan yang
panas, peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh, dan hipertioridism, dengan
penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan miastenia gravis.
Tabel 1 Faktor Pencetus Krisis Miastenik
Stresor
Medikasi
Stres fisik

-Interferon

Pneumonia aspirasi

Antibiotik

Infeksi

Aminoglikosid

Perimenstrual state

Gentamicin

Kehamilan

Streptomisin

Deprivasi tidur

Ampisilin

Pembedahan

Makrolida

Faktor lingkungan

Eritromisin

Stres emosional

Quinolon

Nyeri

Siprofloksasin

Temperatur yang ekstrim

Polimiksin

Medikasi modulasi-imun secara tapering

Antiepileptik
Gabapentin
Antagonis -adrenergik
Calcium channel antagonis
Media kontras
Magnesium
Prednison

Procainamide
Quinidine

Pencetus tersering adalah infeksi. Infeksi dilaporkan merupakan pencetus krisis


miastenik pada 38% pasien, di mana penyebab tersering adalah pneumonia bakterial
diikuti oleh infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus. Pencetus lain adalah
pneumonitis aspirasi, pembedahan, kehamilan, perimenstrual state, beberapa obatobatan, dan pengobatan secara tapering dari pengobatan modulasi imun. Sekitar
sepertiga sampai setengah pasien dengan krisis miastenik masih belum diketahui
penyebabnya.
Berbagai macam obat-obatan dapat memperburuk keadaan miastenia gravis,
seperti kuinidin, prokainamide, antagonis -adrenergic, antagonis calcium channel
(verapamil, nifedipine, felodipine), magnesium, antibiotik (ampisilin, gentamicin,
streptomicin, polimiksin, ciprofloxacin), phenytoin, gabapentin, methamizole, interferon, dan media kontras. Obat-obatan ini harus digunakan secara hati-hati pada
pasien miastenik, terutama setelah tindakan pembedahan. Obat-obatan yang dicurigai
dapat mencetuskan krisis miastenik harus dihentikan penggunaannya pada penderita.5
Walaupun kortikosteroid dapat digunakan pada pengobatan miastenia gravis,
pengobatan awal dengan prednisone dapat memperburuk keadaan miastenia gravis pada
hampir setengah pasien. Prediktor dari perburukan adalah umur tua, skor rendah pada
Myasthenia Severity Scale, dan gejala bulbar.
Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Obsevasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya
kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis,
misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lainlain. Antibodi pada reseptor nikotinik aseltikolin merupakan penyebab utama kelemahan
otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantobodi terhadap aseltikolin reseptor (antiAChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita miastenia gravis
generalisata.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor


asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, di mana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada pathogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada
miastenia gravis. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal.
Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderitapenderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus
tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.

Bagan 1 Patofisiologi Miastenia Gravis

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam


penyakit miastenia gravis terjadi pada end plate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan
itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih
banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor end plate dapat dipecahkan oleh
kolinesterase. Selain itu, jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut,
maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Pada pasien miastenia gravis,
antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, di mana satu
antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit
alfa juga merupakan binding site dari aseltikolin. Ikatan antibodi reseptor aseltikolin
pada reseptor aseltikolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular
melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor aseltikolin terhadap antibodi
antireseptor aseltikolin dan mengurangi jumlah reseptor aseltikolin pada neuromuscular
junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik,
sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptorreseptor aseltikolin yang baru disintesis.

MANIFESTASI KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada
otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Pada 90%
penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan
diplopia. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot
pengunyah, paresis palatum mol, dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi
melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau
suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang yang menggantung.
Krisis miastenik disebabkan oleh kelemahan yang berat dari otot-otot
pernafasan, otot-otot saluran nafas bagian atas (miastenia bulbar), atau keduanya. Baik
5

otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi dapat terpengaruh, yang bermanifestasi


sebagai dispnea. Inspirasi dihasilkan utamanya oleh otot-otot diafragma dan interkostal
eksternal dan dibantu oleh otot-otot sternokleidomastoid dan scalene. Walaupun
ekspirasi biasanya bersifat pasif, otot-otot abdominal dan interkostal internal juga
membantu.
Disfungsi pernafasan juga dapat bermanifestasi sebagai obkstruksi saluran
pernafasan atas jika terjadi kelemahan dari otot-otot saluran nafas atas atau bulbar.
Kelemahan otot saluran nafas atas dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas karena
terjadinya kolaps orofaringeal atau obstruksi lidah dan terjadinya peningkatan usaha
nafas oleh otot pernafasan yang sudah lemah melawan saluran nafas yang sudah
tertutup. Tanda dari kelemahan bulbar adalah disfagia, regurgitasi nasal, suara dengan
kualitas hidung, suara pelo, kelemahan rahang (menutup rahang lebih lemah dari
membuka rahang), paresis bifasial, dan kelemahan lidah.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1.

Pemeriksaan Laboratorium
1

Antibodi reseptor anti-asetilkolin

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
di mana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita miastenia
gravis generalisata dan 50% penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
2

Antibodi anti striated muscle (anti-SM)

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia
kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,
antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil positif.
3

Antibodi anti-muscle-specific kinase (MuSK)

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
antibodi anti-MuSK.
4

Antibodi antistriational

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).
Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma usia muda dengan miastenia gravis.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.

Elektrodiagnostik
1

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,


sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
2

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada fiber
neuromuskular berupa peningkatan jitter dan densitas fiber yang normal.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
krisis miastenia. Pada krisis miastenia akan terjadi kelemahan pada otot-otot pernapasan
sehingga dapat menyebabkan gagal napas akut, di mana hal ini merupakan suatu
keadaan gawat darurat. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas. Biasanya
kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan seringkali
mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang
diinervasi oleh satu nervus kranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting
7

untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis
dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis krisis miastenia, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, penderita disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Penderita diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. Tiga jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain8

lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
TATALAKSANA
Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik
1

Intubasi dan Ventilasi Mekanik


Dua per tiga sampai 90% penderita krisis miastenik memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Lebih dari 20% pasien memerlukan intubasi selama evaluasi di
unit gawat darurat, dan hampir 60% diintubasi setelah pasien dirawat di ruang
perawatan intensif. Ketika diintubasi, pernapasan pasien sebaiknya berada di bawah
bantuan ventilator dengan pengaturan volume tidal 8-10 cc/kg BB ideal dan tekanan
8-15 cmH2O untuk mencegah atelektasis dan meminimalisasi beban pernapasan.
Penghentian

penggunaan

ventilator

harus

diinisiasi

setelah

pasien

menunjukkan perbaikan klinis, biasanya pada kapasitas vital yang lebih dari
15mL/kg. Perbaikan pada kekuatan fleksor leher dan otot tambahan lain biasanya
dihubungkan dengan perbaikan kekuatan otot respirasi dan bulbar, dan berguna
sebagai penilaian terhadap perbaikan klinis. Ventilator pasien sebaiknya ditransisi ke
mode pernapasan spontan (misalnya ventilasi dengan bantuan tekanan), di mana
pasienlah yang menginisiasi pernapasan. Bantuan pernapasan tersebut dapat
dikurangi secara bertahap hingga mencapai pengaturan minimal.
Masih tidak jelas kapan sebaiknya pasien diekstubasi setelah mengalami
krisis miastenik. Terdapat 3 faktor risiko independen yang memperpanjang masa
intubasi (> 14 hari): umur>50 tahun, kapasitas vital puncak <25 mL/kg pada postintubasi hari 1-6, dan serum bikarbonat 30 mmol/L. Pasien tanpa faktor risiko
diintubasi selama kurang dari 2 minggu, sedangkan pasien dengan ketiga faktor
risiko tersebut memiliki masa intubasi yang lebih lama. Untuk mencegah atelektasis
dapat dilakukan intubasi dini, fisioterapi dada yang agresif, dan suction yang sering,
serta pemberian PEEP tinggi selama pasien menggunakan ventilasi mekanik.
2

Ventilasi non-invasif
Ventilasi non-invasif digunakan untuk mencegah intubasi dan re-intubasi pada
pasien dengan krisis miastenik. Dengan menggunakan bilevel positive airway
pressure (BiPAP), tekanan positif diberikan delama kedua fase pernapasan, sehingga
9

meningkatkan aliran udara dan mengurangi beban pernapasan selama inspirasi dan
mencegah kolaps jalan napas dan atelektasis selama ekspirasi. Pada pasien yang
awalnya mendapat ventilasi non-invasif dan mengalami perburukan gejala seperti
sesak napas, takipneu, atau hiperkapni terus menerus sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanik. Terdapat prediktor independen kesuksesan
ventilasi non-invasif, yaitu serum bikarbonat < 30mmol/L dan skor APACHE II <6.
Prediktor independen kegagalan metode ini adalah hiperkapnia (pCO2> 45 mmHg).
Penggunaan ventilasi non-invasif dini diasosiasikan dengan durasi penggunaan
bantuan pernapasan yang lebih singkat. Pada pasien dengan kelemahan bulbar,
tindakan ini meningkatkan risiko aspirasi, namun pada pasien yang berhasil dengan
tindakan tersebut mengalami lebih sedikit komplikasi pulmoner.
Pengobatan Krisis Miastenik
Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni
immunoglobulin intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE). IVIg biasanya diberikan
400mg/kg setiap hari selama 5 hari. Pasien harus disapih terhadap adanya IgA defisiensi
untuk mencegah anafilaksis terhadap IVIg. Efek samping yang paling sering terjadi
adalah sakit kepala. Komplikasi lain termasuk demam, mual, ketidaknyamanan,
kemerahan, lemah, dan nyeri. Efek samping yang lebih serius adalah meningitis aseptik,
hipertensi, aritmia jantung, trombositopenia, stroke, infark jantung, dan emboli paru.
Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap penggantian)
biasanya dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya adalah larutan normal
salin/5% albumin. Akses vena dilakukan dengan infus set besar, atau tunneled
double-lumen central venous catheters. Komplikasi PE yang biasanya
terjadi adalah demam, gejala hipokalemia (umumnya parestesia),
penurunan sementara tekanan darah, dan takikardia. Efek samping
yang lebih serius namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark
miokardial, dan hemolisis. Respon terhadap pengobatan biasanya
terjadi setelah 2 hari dengan PE dan setelah 4-5 hari dengan IVIg. Bila
respon yang terjadi tidak adekuat atau tidak ada respon sama sekali,
PE bisa diberikan setelah IVIg dan IVIg bisa diberikan setelah PE.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian PE lebih efektif
10

dibandingkan

IVIg

pada

kemungkinan

terjadinya

penderita
komplikasi

krisis
juga

miastenik,
lebih

tinggi

namun
pada

penggunaan PE, seperti infeksi dan instabilitas jantung.


Kortikosteroid diberikan bersama dengan IVIg dan PE. Prednisone dosis tinggi
(60-100 mg per hari atau 1-1.5 mg/kg/hari) dapat dimulai bersamaan dengan IVIg atau
PE, karena prednisone mulai bekerja setelah 2 minggu, di mana efek PE dan IVIg mulai
berkurang. Pemberian kortikosteroid secara oral lebih dipilih, dan inisiasi pemberian
prednisone dapat ditunda sampai pasien telah diekstubasi bila pasien mununjukkan
perbaikan yang cepat setelah pengobatan dengan IVIg atau PE. Ketika pasien sudah
menunjukkan perbaikan klinis, dosis prednisone dapat dikurangi, dan secara gradual
dikonversi ke alternate-day dosing. Efek samping paling sering adalah penampakan
Chusingoid., katarak, dan peningkatan berat badan. Infeksi, diabetes yang tidak
terkontrol, dan osteoporosis merupakan kontraindikasi relatif dalam penggunaan
kortikosteroid.
Cyclosporine dapat dipertimbangkan setelah dimulainya terapi IVIg atau PE
pada pasien yang tidak dapat mentolerasi atau tidak bereaksi terhadap kortikosteroid.
Namun, onset kerja cyclosporine adalah 1-2 bulan. Agen immunomodulating lain,
azathioprine dan mycophenolate, tidak berguna dalam krisis miastenik karena masa
laten kerjanya yang panjang.
Nilai laboratorium yang abnormal yang dapat mempengaruhi kekuatan otot
harus dikoreksi. Kekurangan ion kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk
krisis miastenik dan harus dikoreksi. Hematokrit yang kurang dari 30% dapat
mempengaruhi kelemahan dengan menurunkan oxygen-carrying capacity. Nutrisi yang
cukup juga juga untuk menghindari keseimbangan energi yang negatif dan
memperburuk kekuatan otot.
Pemberian inhibitor asetilkolinesterase biasanya dihentikan pada krisis
miastenik untuk menghindari sekresi bronkial yang berlebihan. Selain itu, bila
digunakan secara berlebihan, kelemahan otot dapat meningkat. Setelah pasien
menunjukkan perbaikan kekuatan otot yang jelas (biasanya beberapa hari setelah
dimulainya IVIg atau PE), inhibitor asetilkolinesterase, khususnya pyridostigmine oral
dapat dimulai kembali setelah ekstubasi. Pyridostigmine oral lebih dipilih, namun dapat
pula diberikan secara intravena. Satu milligram pyridostigmine intravena setara dengan
11

30 mg pyridostigmine oral. Pasien sebaiknya memulai pengobatan pada dosis yang


rendah terlebih dahulu yang ditingkatkan hingga gejala berkurang. Pemberian
pyridostigmine intravena secara terus menerus sebagai pengobatan krisis miastenik
dapat berefek sama dengan PE, namun hal ini dihubungkan juga dengan meningkatnya
risiko aritmia jantung yang mengancam nyawa.
Thymektomi
Hiperplasia timus sering terjadi pada pasien miastenia muda, khususnya perempuan,
dengan antibodi terhadap AchR yang positif. Tumor timus, ditemukan pada 15% pasien
miastenia gravis dan pada 32% pasien krisis miastenik, sebaiknya dilakukan timektomi.
Pasien dengan miastenia gravis non-timus dapat dipertimbangkan untuk melakukan
timektomi untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya perbaikan kondisi atau remisi.
Sebuah studi retrospektif menemukan bahwa pasien miastenia gravis yang melakukan
timektomi memiliki lebih sedikit insiden terjadinya krisis miastenia dan episode yang
lebih ringan. Krisis miastenik postoperasi sering ditemukan setelah timektomi; insiden
berkisar antara 12-34%. Krisis postoperasi dihubungkan dengan riwayat krisis
miastenik, kelemahan bulbar yang muncul pada preoperasi, antibodi AChR serum
preoperasi > 100 nmol/L, kehilangan darah>1L pada masa intraoperasi.
PROGNOSIS
Walaupun tidak ada pengobatan yang memberikan kesembuhan total untuk kasus
miastenia gravis, obat-obatan yang telah berkembang memberikan prognosis yang lebih
baik sehingga penderita dapat mnjalani hidup yang relative mendekati normal. Tanpa
pengobatan medis, angka kematian mencapai 25-31%; dengan pengobatan medis angka
kematian hanya 3-4%. Sekitar33% penderita mengalami remisi spontan dimana semua
gejala hilang secara permanen. Secara umum, hasil pengobatam tergantung pada
seberapa cepatkah progresi penyakit dan keefektifan pengobatan. Sekitar 46% penderita
miastenia gravis mengalami gagal nafas, komplikasi yang mengancam nyawa dari krisis
miastenik, pneumonia dan atelektasis. Prosedur timektomi dihubungkan dengan
tercapainya remisi pada 85% kasus dan 35% pasien mengalami remisi komplit.

12

Anda mungkin juga menyukai