-Interferon
Pneumonia aspirasi
Antibiotik
Infeksi
Aminoglikosid
Perimenstrual state
Gentamicin
Kehamilan
Streptomisin
Deprivasi tidur
Ampisilin
Pembedahan
Makrolida
Faktor lingkungan
Eritromisin
Stres emosional
Quinolon
Nyeri
Siprofloksasin
Polimiksin
Antiepileptik
Gabapentin
Antagonis -adrenergik
Calcium channel antagonis
Media kontras
Magnesium
Prednison
Procainamide
Quinidine
MANIFESTASI KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada
otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Pada 90%
penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan
diplopia. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot
pengunyah, paresis palatum mol, dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi
melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau
suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang yang menggantung.
Krisis miastenik disebabkan oleh kelemahan yang berat dari otot-otot
pernafasan, otot-otot saluran nafas bagian atas (miastenia bulbar), atau keduanya. Baik
5
Pemeriksaan Laboratorium
1
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
di mana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita miastenia
gravis generalisata dan 50% penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
2
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia
kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,
antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil positif.
3
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
antibodi anti-MuSK.
4
Antibodi antistriational
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).
Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma usia muda dengan miastenia gravis.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
2.
Elektrodiagnostik
1
Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada fiber
neuromuskular berupa peningkatan jitter dan densitas fiber yang normal.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
krisis miastenia. Pada krisis miastenia akan terjadi kelemahan pada otot-otot pernapasan
sehingga dapat menyebabkan gagal napas akut, di mana hal ini merupakan suatu
keadaan gawat darurat. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas. Biasanya
kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan seringkali
mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang
diinervasi oleh satu nervus kranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting
7
untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis
dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai
nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis krisis miastenia, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, penderita disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin
Penderita diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. Tiga jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain8
lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
TATALAKSANA
Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik
1
penggunaan
ventilator
harus
diinisiasi
setelah
pasien
menunjukkan perbaikan klinis, biasanya pada kapasitas vital yang lebih dari
15mL/kg. Perbaikan pada kekuatan fleksor leher dan otot tambahan lain biasanya
dihubungkan dengan perbaikan kekuatan otot respirasi dan bulbar, dan berguna
sebagai penilaian terhadap perbaikan klinis. Ventilator pasien sebaiknya ditransisi ke
mode pernapasan spontan (misalnya ventilasi dengan bantuan tekanan), di mana
pasienlah yang menginisiasi pernapasan. Bantuan pernapasan tersebut dapat
dikurangi secara bertahap hingga mencapai pengaturan minimal.
Masih tidak jelas kapan sebaiknya pasien diekstubasi setelah mengalami
krisis miastenik. Terdapat 3 faktor risiko independen yang memperpanjang masa
intubasi (> 14 hari): umur>50 tahun, kapasitas vital puncak <25 mL/kg pada postintubasi hari 1-6, dan serum bikarbonat 30 mmol/L. Pasien tanpa faktor risiko
diintubasi selama kurang dari 2 minggu, sedangkan pasien dengan ketiga faktor
risiko tersebut memiliki masa intubasi yang lebih lama. Untuk mencegah atelektasis
dapat dilakukan intubasi dini, fisioterapi dada yang agresif, dan suction yang sering,
serta pemberian PEEP tinggi selama pasien menggunakan ventilasi mekanik.
2
Ventilasi non-invasif
Ventilasi non-invasif digunakan untuk mencegah intubasi dan re-intubasi pada
pasien dengan krisis miastenik. Dengan menggunakan bilevel positive airway
pressure (BiPAP), tekanan positif diberikan delama kedua fase pernapasan, sehingga
9
meningkatkan aliran udara dan mengurangi beban pernapasan selama inspirasi dan
mencegah kolaps jalan napas dan atelektasis selama ekspirasi. Pada pasien yang
awalnya mendapat ventilasi non-invasif dan mengalami perburukan gejala seperti
sesak napas, takipneu, atau hiperkapni terus menerus sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanik. Terdapat prediktor independen kesuksesan
ventilasi non-invasif, yaitu serum bikarbonat < 30mmol/L dan skor APACHE II <6.
Prediktor independen kegagalan metode ini adalah hiperkapnia (pCO2> 45 mmHg).
Penggunaan ventilasi non-invasif dini diasosiasikan dengan durasi penggunaan
bantuan pernapasan yang lebih singkat. Pada pasien dengan kelemahan bulbar,
tindakan ini meningkatkan risiko aspirasi, namun pada pasien yang berhasil dengan
tindakan tersebut mengalami lebih sedikit komplikasi pulmoner.
Pengobatan Krisis Miastenik
Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni
immunoglobulin intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE). IVIg biasanya diberikan
400mg/kg setiap hari selama 5 hari. Pasien harus disapih terhadap adanya IgA defisiensi
untuk mencegah anafilaksis terhadap IVIg. Efek samping yang paling sering terjadi
adalah sakit kepala. Komplikasi lain termasuk demam, mual, ketidaknyamanan,
kemerahan, lemah, dan nyeri. Efek samping yang lebih serius adalah meningitis aseptik,
hipertensi, aritmia jantung, trombositopenia, stroke, infark jantung, dan emboli paru.
Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap penggantian)
biasanya dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya adalah larutan normal
salin/5% albumin. Akses vena dilakukan dengan infus set besar, atau tunneled
double-lumen central venous catheters. Komplikasi PE yang biasanya
terjadi adalah demam, gejala hipokalemia (umumnya parestesia),
penurunan sementara tekanan darah, dan takikardia. Efek samping
yang lebih serius namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark
miokardial, dan hemolisis. Respon terhadap pengobatan biasanya
terjadi setelah 2 hari dengan PE dan setelah 4-5 hari dengan IVIg. Bila
respon yang terjadi tidak adekuat atau tidak ada respon sama sekali,
PE bisa diberikan setelah IVIg dan IVIg bisa diberikan setelah PE.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian PE lebih efektif
10
dibandingkan
IVIg
pada
kemungkinan
terjadinya
penderita
komplikasi
krisis
juga
miastenik,
lebih
tinggi
namun
pada
12