Penegakan Supremasi Hukum Di Era Reformasi
Penegakan Supremasi Hukum Di Era Reformasi
A. PENGANTAR
untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka
untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang
berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para
penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga
muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan
penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara hitam, dan praktekpraktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus
dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat
penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama
ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and
punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti
menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan
pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat !) , bukan sekedar dimutasi
atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas
ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke
bawah.
Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan hukum tidak
terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana merupakan
keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa , pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1). Sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system) bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan
agar berada dalam batas-batas toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap : a) Pra
Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban; b) Pengadilan, yaitu
menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan yang sesuai dengan rasa
keadilan; c) Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak
mengulangi kejahatan tersebut.
C. PERAN SERTA MASYARAKAT
Komponen kultur hukum merupakan bagian lain dari komponen sistem hukum yang masih
memprihatinkan, baik dalam tataran institusi penegak hukum maupun masyaraka sendiri.
Bahkan dalam beberapa sisi kultur hukum yang berkembang menunjukkan perubahan ke
arah degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Aksi kekerasan, pressure massa,
anarkisme, melawan petugas,
Kenyataan yang ada mengindikasikan, ketika hukum dipandang tak lagi dapat ditegakkan
sesuai harapan, masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri
melalui bentuk-bentuk pengadilan massa. Kenyataan ini membawa implikasi yaitu apabila
hukum positip secara empiris tidak berhasil ditegakkan, atau hukum itu dikesampingkan
oleh rakyat maka hukum seakan-akan kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula
kefektifannya.
Jika fenomena pengadilan massa tak dapat ditanggulangi maka akan timbul kesan bahwa
hukum tidak lagi dapat berlaku di masyarakat kecuali hukum massa (mass law) yang
diwujudkan dalam peradilan jalanan (street justice). Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip negara hukum (recthstaat) yang menghendaki agar semua hukum harus dihormati
dan ditegakkan.
Penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : a) Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
b) Faktor petugas yang menegakkan hukum; c) Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan
untuk mendukung pelaksnaan hukum; d) Faktor warga masyarakat yang terkena ruang
lingkup peraturan hukum; dan e) Faktor kebudayaan atau legal culture (Soerjono Soekanto,
1986 : 53).
Peran serta masyarakat dalam rangka penegakan supremasi hukum sangat strategis. Semua
elemen yang ada di masyarakat memiliki hak dan harus berperan sebagai pengawal jalannya
penegakan supremasi hukum. Dalam perundang-undangan secara sumir sudah ada
pengaturan mengenai hal tersebut. Misalnya dalam PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Demikian Pula dalam
PP No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Hanya saja dalam PP tersebut peran serta masyarakat lebih bersifat represif, dalam arti
peran serta dalam mengungkap kasus, padahal yang tak kalah pentingnya adalah peran serta
masyarakat yang bersifat preventif, dalam arti penyadaran dan pemberdayaan masyarakat
untuk menumbuhkan budaya anti KKN dan secara bersama-sama memerangi bentuk
pelanggaraan hukum.
Pemberdayaan peran serta masyarakat secara represif itu pun masih menghadapi kendala
tidak adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi. Seorang yang mengetahui dan
melaporkan terjadinya KKN bisa dengan mudah diseret menjadi terdakwa pencemaran nama
baik jika akhirnya pengadilan membebaskan terlapor, atau saksi bisa dengan mudah dibunuh
karena tidak adanya pelindungan yang efektif dari Polisi.
C. PENUTUP
yang mempunyai komitmen kuat terhadap supremasi hukum; g) kesadaran hukum yang
terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum
masyarakat yang bersifat bottom up; h) proses pembuatan peraturan perundang-undangan
(law making process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan
hukum (legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi
suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional; i ) penegakan hukum yang
bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan
preventif; dan j) perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi (Muladi, 2000 : 6).
Jika kondisi-kondisi tersebut dapat dipenuhi cita-cita penegakan supremasi hukum akan daat
diwujudkan. Semoga.
Solo, 15 Juni 2002