Anda di halaman 1dari 5

PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI ERA REFORMASI

A. PENGANTAR

Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang


dimotori oleh mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi
hukum. Tuntutan ini sangat wajar mengingat selama tiga dasawasa
sebelumnya supremasi hukum hanyalah menjadi jargon dan retorika yang
tidak pernah terealiasi dalam kenyataan. Pada masa orde baru hukum
hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan
melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang
sangat korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri
dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan eksekutif sehingga mereka
tidak memiliki kemerdekaan dan independensi, serta tak lepas dari
intervensi elit penguasa.
Lembaga peradilan bukan lagi tempat untuk mendapat keadilan
tetapi sebagai pusat jual beli keadilan, setidaknya keadilan hanyalah
milik mereka yang memiliki akses karena didukung oleh sumber daya
ekonomi, politik, kekuasaan, atau kekerabatan. Pada saat itu simbol
keadilan yang dilambangkan oleh Dewi Themis yang tertutup matanya,
seolah sudah membuka selubung penutup matanya, sehingga dia dapat
membedakaan manakah orang yang berpangkat atau tidak, berduit atau
tidak, mana lembar ratusan ribu atau recehan dan sebagainya sehingga
keadilan menjadi pilih-pilih dan diskriminatif.
Dalam penegakan hukum pidana tampak jelas bahwa hukum hanya
ibarat jaring laba-laba yang hanya mampu menjaring serangga kecil
yang tak berdaya, dan jaring hukum itu akan mudah robek dan terkoyakkoyak jika berhadapan dengan binatang yang besar dan kuat. Sekalipun
hal itu terkesan sangat menggeneralisasi, namun kebenarannya tidak
dapat dinafikan begitu saja.
Banyak fenomena penegakan hukum yang tidak dapat dicerna oleh
rakyat. Setidaknya logika hukum masyarakat sulit menerima jika maling
ayam begitu mudah dimasukkan penjara, namun hukum menjadi tidak
berdaya ketika berhadapan dengan para terdakwa korupsi kelas kakap
hanya karena alasan sakit atau sedang berobat ke luar
negeri. Tesis downward law is greater than upward law sebagaimana
dinyatakan Donald Black (1989 : 11) menjadi tak terbantahkan. Hukum
yang mengarah ke bawah akan lebih besar dibandingkan hukum yang
mengarah ke atas.
B. PERKEMBANGAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

Kini, empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan


supremasi hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan
AbdurrachmanWachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada
kemajuan yang berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk
melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana
keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan. Harus diakui, di era
reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang
baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun
2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU
lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN
maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari
memuaskan.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup
signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga
menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence)
dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana)
menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di
masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk perselingkuhan
antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk
cinta segi tiga antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah
dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang
substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru.
Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan
penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu
menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada
penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the
rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in
institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis
menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang !
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum)
tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi,
komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004).
Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak
direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak berubah dari pola dan budaya
yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing institusi tersebut belum memiliki visi yang sama

untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka
untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang
berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para
penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga
muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan
penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara hitam, dan praktekpraktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus
dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat
penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama
ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and
punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti
menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan
pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat !) , bukan sekedar dimutasi
atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas
ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke
bawah.
Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan hukum tidak
terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana merupakan
keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa , pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1). Sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system) bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan
agar berada dalam batas-batas toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap : a) Pra
Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban; b) Pengadilan, yaitu
menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan yang sesuai dengan rasa
keadilan; c) Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak
mengulangi kejahatan tersebut.
C. PERAN SERTA MASYARAKAT
Komponen kultur hukum merupakan bagian lain dari komponen sistem hukum yang masih
memprihatinkan, baik dalam tataran institusi penegak hukum maupun masyaraka sendiri.
Bahkan dalam beberapa sisi kultur hukum yang berkembang menunjukkan perubahan ke
arah degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Aksi kekerasan, pressure massa,
anarkisme, melawan petugas,
Kenyataan yang ada mengindikasikan, ketika hukum dipandang tak lagi dapat ditegakkan
sesuai harapan, masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri
melalui bentuk-bentuk pengadilan massa. Kenyataan ini membawa implikasi yaitu apabila
hukum positip secara empiris tidak berhasil ditegakkan, atau hukum itu dikesampingkan
oleh rakyat maka hukum seakan-akan kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula
kefektifannya.
Jika fenomena pengadilan massa tak dapat ditanggulangi maka akan timbul kesan bahwa
hukum tidak lagi dapat berlaku di masyarakat kecuali hukum massa (mass law) yang

diwujudkan dalam peradilan jalanan (street justice). Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip negara hukum (recthstaat) yang menghendaki agar semua hukum harus dihormati
dan ditegakkan.
Penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : a) Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;
b) Faktor petugas yang menegakkan hukum; c) Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan
untuk mendukung pelaksnaan hukum; d) Faktor warga masyarakat yang terkena ruang
lingkup peraturan hukum; dan e) Faktor kebudayaan atau legal culture (Soerjono Soekanto,
1986 : 53).
Peran serta masyarakat dalam rangka penegakan supremasi hukum sangat strategis. Semua
elemen yang ada di masyarakat memiliki hak dan harus berperan sebagai pengawal jalannya
penegakan supremasi hukum. Dalam perundang-undangan secara sumir sudah ada
pengaturan mengenai hal tersebut. Misalnya dalam PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Demikian Pula dalam
PP No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Hanya saja dalam PP tersebut peran serta masyarakat lebih bersifat represif, dalam arti
peran serta dalam mengungkap kasus, padahal yang tak kalah pentingnya adalah peran serta
masyarakat yang bersifat preventif, dalam arti penyadaran dan pemberdayaan masyarakat
untuk menumbuhkan budaya anti KKN dan secara bersama-sama memerangi bentuk
pelanggaraan hukum.
Pemberdayaan peran serta masyarakat secara represif itu pun masih menghadapi kendala
tidak adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi. Seorang yang mengetahui dan
melaporkan terjadinya KKN bisa dengan mudah diseret menjadi terdakwa pencemaran nama
baik jika akhirnya pengadilan membebaskan terlapor, atau saksi bisa dengan mudah dibunuh
karena tidak adanya pelindungan yang efektif dari Polisi.
C. PENUTUP

Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan


negara yang berdasarkan kekuasaan (machstaat) (Lihat : Penjelasan UUD
1945) menghendaki agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan
tidak diskriminatif. Di dalam bahasa hukum, hal tersebut sering disebut
dengan istilah supremasi hukum, yaitu hukum ditempatkan pada posisi
paling tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan
senantiasa menjadi tolok ukur dari setiap perbuatan (Moh Jamin, 2000 :
102).
Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup : a)
pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris); b)
mengutamakan kebenaran dan keadilan; c) senantiasa melakukan promosi dan perlindungan
HAM; d) menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil;
e) hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik; f) kepemimpinan nasional di semua lini

yang mempunyai komitmen kuat terhadap supremasi hukum; g) kesadaran hukum yang
terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum
masyarakat yang bersifat bottom up; h) proses pembuatan peraturan perundang-undangan
(law making process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan
hukum (legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi
suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional; i ) penegakan hukum yang
bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan
preventif; dan j) perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi (Muladi, 2000 : 6).
Jika kondisi-kondisi tersebut dapat dipenuhi cita-cita penegakan supremasi hukum akan daat
diwujudkan. Semoga.
Solo, 15 Juni 2002

Anda mungkin juga menyukai