2.1.1 Dialek
Menurut Nadra, (2009:1) kata dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos
yang digunakan untuk merujuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan
perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Ayatrohaedi,
(1983:2) menyatakan adanya dua ciri dalam dialek, yaitu a) dialek memiliki ciri
umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran
lain dari bahasa yang sama, dan b) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran
dari sebuah bahasa. Itulah sebabnya Meillet, (dalam Ayatrohaedi, 1983:2)
menyatakan ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam
perbedaan.
Nadra, (2009:2) menyatakan bahwa berbadasarkan kelompok pemakainya
dialek dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: dialek regional, dialek sosial, dan dialek
temporal. Dialek regional adalah dialek yang dituturkan berdasarkan perbedaan lokal
(tempat) dalam suatu wilayah bahasa atau dibatasi oleh tempat, misalnya dialek
Manado, atau dialek Jawa Banyumas. Dialek sosial adalah dialek yang dituturkan
oleh kelompok sosial tertentu seperti dialek wanita dalam bahasa Jepang. Selanjutnya
dialek temporal yakni dialek yang dituturkan oleh bahasawan yang hidup pada waktu
tertentu, dalam hal ini dicontohkan seperti bahasa Melayu Klasik, atau Bahasa
Melayu Modern yang merupakan dialek temporal dari Bahasa Melayu.
Kridalaksana, (2008:48) mendefinisikan dialek sebagai variasi bahasa yang
berbeda-beda menurut pemakai. Menurut Chambers dan Trudgill, (2004:5) dialek
mengacu pada variasi atau perbedaan bahasa secara gramatikal (mungkin juga
leksikal) maupun fonologi.
Trask, (2000:89) mendefinisikan dialek merupakan setiap perbedaan ragam
bahasa yang dituturkan sejumlah kelompok masyarakat di wilayah geografis tertentu.
2.1.2 Dialektometri
Menurut Revier (dalam Mahsun, 2005:154) bahwa dialektometri merupakan
ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan
yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah
bahan yang terkumpul dari tempat tersebut. Lauder, (2002:39) menyatakan bahwa
dialektometri merupakan cara lain untuk melakukan pemilahan bahasa dan dialek,
yaitu dengan melakukan penghitungan atas kemunculan aspek kebahasaan di tiap
pengamatan.
Dialektometri pertama sekali diperkenalkan oleh ahli bahasa yang bernama E.
Bagby Atwood, (1955), sedangkan istilah dialectomettrie diperkenalkan Seguy,
(1973a) dalam bukunya yang berjudul La Dialectometri dans latlas Linguistique de
la Gascogne. Kemudian gagasan dari E.B Atwood ini diperkenalkan oleh Louis
Remacle, (1972).
Rumus yang digunakan dalam dialektometri adalah :
Keterangan:
S = Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = Jumlah peta yang dibandingkan
d = Jarak kosa kata dalam prosentase
Hasil yang diperoleh dari persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara
daerah-daerah pengamatan itu selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan
antardaerah pengamatan tersebut dengan kriteria yang diajukan Guiter. Guiter (dalam
Onsu, 2007: 32) mengabaikan pembedaan kategori perbedaan fonologi dan leksikon.
Berikut kriteria perbedaan fonologi dan leksikon yang diajukan Guiter.
81 % ke atas
51%-80%
31%-50%
21%-30%
di bawah 20 %
51%-69%
41%-50%
31%-40%
di bawah 30 %
Pada peta, tidak hanya berian saja yang terlihat, tetapi juga daerah pakai berian
tersebut. Berian itu diwakili dengan lambang sedangkan daerah pakai diwakili dengan
angka. Berian dapat berupa varasi fononologi atau leksikal. Demikian pula dengan
daerah pakai suatu berian dapat sempit dapat pula luas. Terkadang untuk berian
berbeda yang daerah pakainya saling bedekatan akan menyulitkan pembaca untuk
melihatnya. Oleh karena itu, diperlukan garis-garis yang membatasi atau melokalisasi
daerah pakai berian itu. Nadra, dkk, (2009:80) menyebut garis-garis itu sebagai
isoglos.
Chambers dan Trudgill, (2004:89) menyatakan isoglos merupakan sebuah garis
penanda yang membatasi antara dua daerah yang berbeda pada unsur-unsur lingusitik
(misalnya pada unsur leksikal, atau pengucapan pada kata-kata tertentu).
-daerah
Keterangan:
m = jumlah isoglos yang membedakan daerah-derah pengamatan
n = jumlah keseluruhan perbedaan unsur kebahasaan (peta) yang diperbandingkan
Penerapan rumus di atas menghasilkan kriteria-kriteria berikut:
65 %
(terdapat sekurang-kurangnya
1 isoglos sempurna)
45-64%
sangat sempurna)
25-44%
sangat sempurna)
10-24%
9%
dan Denmark yang dianggap sebagai bahasa berbeda. Namun, antarpenutur bahasabahasa tersebut dapat saling memahami dan berkomunikasi satu dengan lainnya.
Prinsip dasar pemahaman timbal balik di atas memiliki kemiripan dengan
teori gelombang yang diajukan Johan Schmidt, (1843-1901) tahun 1972. Menurutnya,
daerah-daerah yang berdekatan dengan pusat penyebaran suatu bahasa akan lebih
banyak menunjukkan persamaan-persamaan dengan pusat penyebarannya. Bahasa
yang tersebar itu mengalami perubahan di suatu tempat tertentu. Perubahan linguistik
itu tersebar ke segala arah seperti halnya gelombang dalam sebuah kolam yang
disebabkan oleh benda yang dijatuhkan ke dalam kolam itu. Keraf, (1984:110)
menyimpulkan bahwa tiap perubahan yang meliputi suatu wilayah yang tidak
tumpang tindih dengan wilayah perubahan terdahulu.
(2008:222)
mendefinisikan
sinkronis
sebagai
hal
yang
bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas, dan
tidak melibatkan perkembangan historis. Berbeda halnya dengan diakronis yang
melibatkan faktor waktu atau historis. Dalam kajian linguistik, Parera, (1991:21)
menjelaskan bahwa sinkronis mempelajari bahasa dari gejala-gejala yang bersifat
sejaman. Dengan kata lain hasil yang diperoleh hanya menggambarkan keberadaan
suatu bahasa pada saat ini saja.
Mahsun, (2010:32) menambahkan dalam kajian dialektologi, sinkronis banyak
dilakukan pada varian bahasa karena faktor geografi. Oleh sebab itu, dalam
inovasi. Inovasi dalam kajian dialektologi mengandung pengertian bahwa unsurunsur yang berupa inovasi itu berupa unsur yang sama sekali baru, bukan unsur
pewarisan dari suatu bahasa purba yang telah mengalami adaptasi sesuai dengan
kaidah perubahan bunyi yang berlaku.
Mahsun, (1995:84) menyatakan terdapat dua ciri inovasi dalam dialektologi,
yakni: (1) unsur itu merupakan unsur yang sama sekali baru, yang tidak memiliki
pasangan kognat dalam bahasa, dialek/subdialek atau daerah pengamatan lain.
Mahsun, (1995:84) mencontohkan pada bentuk [nsom] dingin (air) pada dialek
Tongo merupakan hasil inovasi. Dikatakan demikian karena kata itu tidak ditemukan
pada bahasa, dialek/sudialek, atau daerah pengamatan lainnya. (2) Unsur itu memiliki
kesamaan dalam bahasa, dialek/subdialek, dan daerah pengamatan lain yang mungkin
unsur itu merupakan warisan dari bahasa purba yang sama atau hasil inovasi internal.
Unsur-unsur itu tetapi tidak sesuai dengan sistem isolek dari dialek/subdialek atau
daerah pengamatan (yang menerima unsur itu). Bisa juga karena distribusi unsur itu
terbatas dibandingkan dengan distibusinya dalam bahasa, dialek/subdialek yang
diduga sebagai sumbernya. Contoh leksem [iwak] ikan yang terdapat dalam dialek
Banjar (Djantra Kawi, dalam Mahsun, 1995:84). Kata tersebut merupakan inovasi
(pengaruh bahasa Jawa), karena distribusi kata itu terbatas pada dialek Banjar saja,
tidak ditemukan pada bahasa Melayu lain (dialek Banjar termasuk rumpun bahasa
Melayu). Bahasa-bahasa Melayu lainnya menggunakan leksem [ikan] untuk
merealisasikan makna tersebut.
Pada perkembangannya, bahasa dapat juga statis atau tidak berubah. Unsurunsur kebahasaannya tidak mengalami perubahan atau bertahan. Artinya pada bahasa,
dialek/subdialek tertentu masih dapat ditemukan warisan unsur-unsur kebahasaan
lama yang merupakan warisan dari bahasa purba yang menurunkan bahasa,
dialek/subdialek tersebut. Unsur-unsur bahasa purba yang masih dicerminkan dalam
bahasa/dialek disebut retensi.
digunakan
dalam
pendeskripsian
perbedaan
pada
unsur-unsur
(Toha, 2010:51). Selain itu, perbedaan pada unsur fonologi dapat pula berupa
perbedaan fonem.
Pada unsur morfologi perbedaan dapat berupa afiks (prefiks, infiks, sufiks,
dan konfiks), pronomina, atau kata penunjuk. Dalam bidang morfologi, perbedaan
dapat berupa
unsur fonologi dan leksikon. Hal ini seperti yang disampaikan Chambers dan
Trudgill, (1980:16) bahwa dalam penelitian dialektologi, unsur fonologi dan leksikon
dianggap sudah memadai untuk mendeskripsikan variasi bahasa.
Selain itu, secara dialektologis bahasa-bahasa di dunia lebih banyak
mengalami perubahan pada kedua unsur tersebut. Tampaknya perubahan pada kedua
unsur linguistik ini efektif dalam membentuk variasi dialektal, (2007:26).
Di sisi lain, perubahan pada unsur-unsur kebahasaan lainnya, disampaikan
Nadra (2009:4) bahwa pada unsur sintaksis dan semantik sedikit sekali ditemukan
variasi dialektal atau subdialektal sehingga kedua bidang kebahasaan itu sering
diabaikan di dalam penelitian dialek. Selanjutnya, perubahan pada unsur-unsur
kebahasaan lainnya, terutama bidang gramatika yakni perbedaan yang berkaitan
dengan struktur, kurang efektif dalam menghasilkan perubahan yang membuat
terpilahnya suatu isolek menjadi bahasa, dialek, atau subdialek yang berbeda,
(2007:27). Dengan kata lain, perbedaan tata bahasa, umumnya tidak menunjukkan
perbedaan dialek, tetapi menunjukkan perbedaan bahasa. Hal ini mengakibatkan
perbedaan yang terjadi pada tata bahasa akan sangat terbatas. Berdasarkan alasanalasan tersebut maka basis analisis dalam penelitian ini pada unsur fonologi dan
leksikon.
Perbedaan pada unsur fonologi mencakup pada perbedaan yang bersifat
teratur dan ada juga yang sporadis. Perbedaan yang bersifat teratur
itu disebut
Korespondensi dapat dibagi atas tiga tingkat yakni korespondensi sangat sempurna,
korespondensi sempurna, dan korespondensi kurang sempurna.
Sebuah perbedaan fonologi disebut korespondensi sangat sempurna apabila
perubahan bunyi itu terjadi pada semua data yang disyarati oleh kaidah perubahan
serta sebaran geografisnya sama, sedangkan korespondensi sempurna apabila
perubahan bunyi itu juga terjadi pada semua data yang disyarati oleh kaidah
perubahan, namun sebaran geografis antarcontoh yang satu dengan contoh lainnya
tidak sama. Adapun perbedaan disebut korespondensi kurang sempurna jika
perubahan bunyi itu terjadi pada 2-5 contoh dengan sebaran geografisnya sama.
Mengenai perbedaan yang bersifat sporadis atau disebut variasi jika kaidah
perubahan bunyi hanya terjadi pada satu atau dua buah contoh dengan sebaran
geografis yang berbeda. Perbedaan yang bersifat variasi ini dapat berupa asimilasi,
disimilasi, metatesis, kontraski, aferesis, sinkope, apokope, protesis, epentesis, dan
paragog.