Anda di halaman 1dari 16

BAB II

KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Penelitian


Bagian ini menjelaskan konsep dialek, dialektometri, isoglos dan berkas
isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta inovasi dan retensi.

2.1.1 Dialek
Menurut Nadra, (2009:1) kata dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos
yang digunakan untuk merujuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan
perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Ayatrohaedi,
(1983:2) menyatakan adanya dua ciri dalam dialek, yaitu a) dialek memiliki ciri
umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran
lain dari bahasa yang sama, dan b) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran
dari sebuah bahasa. Itulah sebabnya Meillet, (dalam Ayatrohaedi, 1983:2)
menyatakan ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam
perbedaan.
Nadra, (2009:2) menyatakan bahwa berbadasarkan kelompok pemakainya
dialek dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: dialek regional, dialek sosial, dan dialek
temporal. Dialek regional adalah dialek yang dituturkan berdasarkan perbedaan lokal
(tempat) dalam suatu wilayah bahasa atau dibatasi oleh tempat, misalnya dialek
Manado, atau dialek Jawa Banyumas. Dialek sosial adalah dialek yang dituturkan

Universitas Sumatera Utara

oleh kelompok sosial tertentu seperti dialek wanita dalam bahasa Jepang. Selanjutnya
dialek temporal yakni dialek yang dituturkan oleh bahasawan yang hidup pada waktu
tertentu, dalam hal ini dicontohkan seperti bahasa Melayu Klasik, atau Bahasa
Melayu Modern yang merupakan dialek temporal dari Bahasa Melayu.
Kridalaksana, (2008:48) mendefinisikan dialek sebagai variasi bahasa yang
berbeda-beda menurut pemakai. Menurut Chambers dan Trudgill, (2004:5) dialek
mengacu pada variasi atau perbedaan bahasa secara gramatikal (mungkin juga
leksikal) maupun fonologi.
Trask, (2000:89) mendefinisikan dialek merupakan setiap perbedaan ragam
bahasa yang dituturkan sejumlah kelompok masyarakat di wilayah geografis tertentu.

2.1.2 Dialektometri
Menurut Revier (dalam Mahsun, 2005:154) bahwa dialektometri merupakan
ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan
yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah
bahan yang terkumpul dari tempat tersebut. Lauder, (2002:39) menyatakan bahwa
dialektometri merupakan cara lain untuk melakukan pemilahan bahasa dan dialek,
yaitu dengan melakukan penghitungan atas kemunculan aspek kebahasaan di tiap
pengamatan.
Dialektometri pertama sekali diperkenalkan oleh ahli bahasa yang bernama E.
Bagby Atwood, (1955), sedangkan istilah dialectomettrie diperkenalkan Seguy,
(1973a) dalam bukunya yang berjudul La Dialectometri dans latlas Linguistique de

Universitas Sumatera Utara

la Gascogne. Kemudian gagasan dari E.B Atwood ini diperkenalkan oleh Louis
Remacle, (1972).
Rumus yang digunakan dalam dialektometri adalah :

Keterangan:
S = Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = Jumlah peta yang dibandingkan
d = Jarak kosa kata dalam prosentase
Hasil yang diperoleh dari persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara
daerah-daerah pengamatan itu selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan
antardaerah pengamatan tersebut dengan kriteria yang diajukan Guiter. Guiter (dalam
Onsu, 2007: 32) mengabaikan pembedaan kategori perbedaan fonologi dan leksikon.
Berikut kriteria perbedaan fonologi dan leksikon yang diajukan Guiter.
81 % ke atas

: dianggap perbedaan bahasa

51%-80%

: dianggap perbedaan dialek

31%-50%

: dianggap perbedaan subdialek

21%-30%

: dianggap perbedaan wicara

di bawah 20 %

: dianggap tidak ada perbedaan

Universitas Sumatera Utara

Kriteria yang diajukan Guiter di atas, dikoreksi Lauder (2002:40) dengan


memodifikasi kategori persentase perbedaan unsur kebahasaan untuk menyebutkan
suatu isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek yang diajukan Guiter. Hal ini
didasari pada hasil penelitian berbagai bahasa daerah di Indonesia yang
memperlihatkan perbedaan sekitar 65%-70% saja. Oleh karena itu, kategori
persentase yang diajukan Guiter untuk perbedaan di atas 80% sebagai bahasa yang
berbeda dianggap terlau tinggi oleh Lauder. Menurutnya, kategori itu dibangun di
atas data-data bahasa Barat, karena itu perlu dimodifikasi untuk situasi kebahasaan di
Indonesia.
Atas dasar tersebut, Lauder menurunkan 10% dari kategori yang diusulkan
Guiter di atas. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengapa diturunkan hanya
10% bukannya 5%, 15% atau jumlah lainnya. Ini membuktikan bahwa Lauder kurang
memiliki pemahaman yang baik mengenai filosofi penentuan titik krusial yang
menjadi batas pemilahan isolek-isolek dalam leksikostatistik maupun dialektometri
yang mengambil persentase pada 80%. Penentuan angka ini diperoleh dari hasil studi
terhadap perubahan bahasa dalam kurun waktu 1000 tahun pada bahasa-bahasa yang
memiliki naskah kuno yang berubah untuk kosakata dasar mencapai 20%. Jadi angka
80% ini diperoleh dari hasil pengurangan angka persentase maksimal untuk suatu
perubahan (100%) dengan 20%. Dengan demikian penurunan 10% dari 80% menjadi
70% yang diajukan Lauder tidak memiliki dasar yang kuat.
Kategori yang diajukan Lauder adalah sebagai berikut.
70 % ke atas

: dianggap perbedaan bahasa

Universitas Sumatera Utara

51%-69%

: dianggap perbedaan dialek

41%-50%

: dianggap perbedaan subdialek

31%-40%

: dianggap perbedaan wicara

di bawah 30 %

: dianggap tidak ada perbedaan

2.1.3 Isoglos dan Berkas Isoglos


Alat bantu pemilah bahasa atau dialek lainnya adalah isoglos. Istilah isoglos
berasal dari bahasa Yunani yang merupakan gabungan dari kata iso dan glos. Kata iso
bermakna sama, tidak berbeda dan glos bermakna garis. Chamber dan Trudgill,
(2004 :89) menyatakan bahwa isoglos pertama sekali digunakan J.G.A Bielenstein,
seorang dialektologis berkebangsaan Latvia pada tahun 1892.
Menurut Nababan, (1993:19) isoglos merupakan garis yang menghubungkan
dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang sama, atau garis yang memisah
dua tempat yang menunjukkan ciri/unsur yang bebeda pada bidang fonologi,
morfologi, sintaksis dan/atau leksis. Kridalaksana, (2008 :97) mendefinisikan isoglos
sebagai garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri
atau unsur bahasa.
Lauder, (dalam Mahsun, 2005:163) menyebutkan bahwa isoglos pada dasarnya
merupakan garis imajiner yang diterakan di atas peta. Oleh karena itu, tidak seorang
pun dapat menentukan dengan pasti daerah-daerah mana yang dilalui garis-garis
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Pada peta, tidak hanya berian saja yang terlihat, tetapi juga daerah pakai berian
tersebut. Berian itu diwakili dengan lambang sedangkan daerah pakai diwakili dengan
angka. Berian dapat berupa varasi fononologi atau leksikal. Demikian pula dengan
daerah pakai suatu berian dapat sempit dapat pula luas. Terkadang untuk berian
berbeda yang daerah pakainya saling bedekatan akan menyulitkan pembaca untuk
melihatnya. Oleh karena itu, diperlukan garis-garis yang membatasi atau melokalisasi
daerah pakai berian itu. Nadra, dkk, (2009:80) menyebut garis-garis itu sebagai
isoglos.
Chambers dan Trudgill, (2004:89) menyatakan isoglos merupakan sebuah garis
penanda yang membatasi antara dua daerah yang berbeda pada unsur-unsur lingusitik
(misalnya pada unsur leksikal, atau pengucapan pada kata-kata tertentu).

Gambar 2.1 : Garis Isoglos


Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa garis isoglos A membedakan
daerah-daerah pengamatan yang menggunakan lambang
dengan daerah

-daerah

yang menggunakan lambang 0.

Universitas Sumatera Utara

Lauder, (2002:39) menjelaskan bahwa apabila puluhan atau ratusan


peta bahasa yang sudah dibubuhi isoglos ditumpuk menjadi satu,
maka akan menjadi sebuah berkas isoglos. Alur garis-garis berkas
isoglos yang dominan merupakan alat bantu untuk menganalisis dan
menginterpretasikan distribusi kebahasaan secara spasial.
Kridalaksana, (2008:34) berkas isoglos atau bundle of isogloses merupakan
gabungan dari beberapa isoglos. Menurut Mahsun, (2006:14) berkas isoglos merupakan
sebuah metode pemilah isolek sebagai dialek atau subdialek selain metode
dialektometri. Metode ini dapat memberi gambaran secara visual mengenai daerahderah pengamatan yang termasuk ke dalam kelompok dialek atau subdialek tertentu.
Dari uraian di atas, kriteria penentuan isolek sebagai bahasa, dialek atau subdialek
dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut ini:

Keterangan:
m = jumlah isoglos yang membedakan daerah-derah pengamatan
n = jumlah keseluruhan perbedaan unsur kebahasaan (peta) yang diperbandingkan
Penerapan rumus di atas menghasilkan kriteria-kriteria berikut:
65 %

(terdapat sekurang-kurangnya

: dianggap perbedaan bahasa

1 isoglos sempurna)
45-64%

(terdapat maksimal 3 isoglos

: dianggap perbedaan dialek

sangat sempurna)
25-44%

(terdapat maksimal 2 isoglos

: dianggap perbedaan subdialek

sangat sempurna)

Universitas Sumatera Utara

10-24%

: dianggap perbedaan wicara

9%

: dianggap tidak ada perbedaan

2.1.4 Mutual Intelligibility


Salah satu alternatif alat bantu pemilah bahasa atau dialek adalah mutual
intelligibilty atau pemahaman timbal balik. Pendekatan ini pernah populer antara
tahun 50an dan 60an. Lauder, (2002:38) menjelaskan bahwa metode ini masih
digunakan Universitas Hasanuddin dan Universitas Pattimura yang bekerja sama
dengan Summer Institute of Linguistics (SIL) untuk meneliti situasi kebahasaan di
Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku sampai saat ini.
Istilah mutual intelligibility

ini pertama sekali dikemukakan Vogellin dan

Harris, (1955) untuk mendukung pendapat Guiraud. Menurut Guiraud (dalam


Mahsun, 1995:112) pada dua bahasa atau dialek yang bertetangga akan terjadi proses
peminjaman unsur-unsur kosakata, struktur, dan cara pelafalan.
Prinsip dasar pemahaman timbal balik adalah jarak spasial berbanding lurus
dengan tingkat pemahaman. Dengan kata lain, semakin dekat suatu daerah pakai
isolek maka semakin besar pemahaman timbal baliknya demikian pula sebaliknya.
Maksudnya, jika penutur dari dua wilayah yang secara geografi berdekatan
menggunakan isoleknya masing-masing maka akan terdapat pemahaman timbal balik
satu sama lain. Menurut Mahsun, (2005:147-149) isolek itu merupakan
dialek/subdialek dari bahasa yang sama. Chambers dan Trudgill, (2004:3).
mencontohkan pada bahasa-bahasa Skandinavia seperti bahasa Norwegia, Swedia,

Universitas Sumatera Utara

dan Denmark yang dianggap sebagai bahasa berbeda. Namun, antarpenutur bahasabahasa tersebut dapat saling memahami dan berkomunikasi satu dengan lainnya.
Prinsip dasar pemahaman timbal balik di atas memiliki kemiripan dengan
teori gelombang yang diajukan Johan Schmidt, (1843-1901) tahun 1972. Menurutnya,
daerah-daerah yang berdekatan dengan pusat penyebaran suatu bahasa akan lebih
banyak menunjukkan persamaan-persamaan dengan pusat penyebarannya. Bahasa
yang tersebar itu mengalami perubahan di suatu tempat tertentu. Perubahan linguistik
itu tersebar ke segala arah seperti halnya gelombang dalam sebuah kolam yang
disebabkan oleh benda yang dijatuhkan ke dalam kolam itu. Keraf, (1984:110)
menyimpulkan bahwa tiap perubahan yang meliputi suatu wilayah yang tidak
tumpang tindih dengan wilayah perubahan terdahulu.

2.1.5 Sinkronis dan Diakronis


Kridalaksana,

(2008:222)

mendefinisikan

sinkronis

sebagai

hal

yang

bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas, dan
tidak melibatkan perkembangan historis. Berbeda halnya dengan diakronis yang
melibatkan faktor waktu atau historis. Dalam kajian linguistik, Parera, (1991:21)
menjelaskan bahwa sinkronis mempelajari bahasa dari gejala-gejala yang bersifat
sejaman. Dengan kata lain hasil yang diperoleh hanya menggambarkan keberadaan
suatu bahasa pada saat ini saja.
Mahsun, (2010:32) menambahkan dalam kajian dialektologi, sinkronis banyak
dilakukan pada varian bahasa karena faktor geografi. Oleh sebab itu, dalam

Universitas Sumatera Utara

dialektologi sinkronis fokus kajian cenderung dilakukan pada geografi dialek.


Penelitian geografi dialek di Indonesia dimotori oleh Ayatrohaedi bersama muridmuridnya.
Berbeda halnya dengan sinkronis, definisikan Kridalaksana (2008:48) bahwa
diakronis sebagai bersifat historis berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa
dengan melihat perkembangannya sepanjang waktu. Selain itu, Mahsun, (2005:84)
menjelaskan bahwa diakronis adalah bidang yang menyelidiki perkembangan bahasa
dari satu masa ke masa yang lain, serta menyelidiki perbandingan bahasa dengan
bahasa yang lain. Linguistik diakronis merupakan analisis bahasa yang dilakukan
dalam waktu yang tidak sejaman dengan peneliti.
Dengan kata lain analisis diakronis menggunakan pendekatan dari atas ke
bawah (top-down approach) yang digunakan untuk menentukan unsur-unsur yang
mengalami inovasi. Lebih lanjut disampaikan Mahsun, (1995:13-14) aspek diakronis
memberikan gambaran tentang dialek/subdialek secara utuh dengan melihat hubungan
antardialek bahasa induk atau bahasa lain yang pernah menjalin kontak dengan penutur
dialek tersebut. Untuk keperluan itu digunakan penelitian Melayik Purba atau
Protobahasa Melayik (PM), Adelaar, (1992). Alasan yang melatarbelakangi
penggunaan hasil penelitian Adelaar ini adalah bahwa IMT memiliki hubungan yang
dekat dengan bahasa Melayu dibandingkan dengan bahasa Austronesia. Oleh sebab itu,
kajian ini menggunakan hasil penelitian Adelaar itu dibandingkan dengan hasil
penelitian peneliti lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Secara gamblang Mahsun, (2005:51) mengilustrasikan munculnya perbedaan


pada bahasa. Perubahan bunyi pada bahasa Purba Austronesia *[b] / - # muncul sebagai
bunyi [w] pada penutur bahasa Jawa. Hal ini tidak disebabkan karena adanya keinginan
yang menggebu-gebu dari para penuturnya untuk bangun pagi-pagi secara serentak
mengucapkan bunyi *[b] sebagai bunyi [w], kemudian kecenderungan ini menyebar
pada penutur lainnnya. Tentu saja proses ini terjadi melalui perkembangan historis
panjang yang melibatkan waktu.
Kajian dari aspek diakronis disasarkan pada beberapa upaya seperti
penelusuran dialek/subdialek yang diteliti, penelusuran saling hubungan antara unsurunsur kebahasaan yang berbeda di antara dialek/subdialek, dan membuat analisis
inovatif dan konservatif, serta membuat refleks fonem vokal/konsonan protobahasa
Tamiang.

2.1.7 Inovasi dan Retensi


Salah satu hakikat bahasa adalah dinamis. Kondisi demikian terdapat pula
pada manusia. Manusia dalam kehidupannya di masyarakat akan selalu dinamis atau
tidak tetap. Demikian halnya dengan apa yang dialami bahasa. Bahasa juga menjadi
tidak tetap atau berubah. Bahasa tumbuh dan berkembang atau tidak statis seiring
perjalanan waktu. Hasil ketidakstatisan bahasa itu dapat terlihat dari perubahan pada
unsur-unsur kebahasaan dalam kata dasarnya.
Menurut Mahsun, (1995:83) dalam ilmu linguistik unsur-unsur kebahasaan
yang mengalami prubahan dalam bahasa, dialek/subdialek yang diteliti itu disebut

Universitas Sumatera Utara

inovasi. Inovasi dalam kajian dialektologi mengandung pengertian bahwa unsurunsur yang berupa inovasi itu berupa unsur yang sama sekali baru, bukan unsur
pewarisan dari suatu bahasa purba yang telah mengalami adaptasi sesuai dengan
kaidah perubahan bunyi yang berlaku.
Mahsun, (1995:84) menyatakan terdapat dua ciri inovasi dalam dialektologi,
yakni: (1) unsur itu merupakan unsur yang sama sekali baru, yang tidak memiliki
pasangan kognat dalam bahasa, dialek/subdialek atau daerah pengamatan lain.
Mahsun, (1995:84) mencontohkan pada bentuk [nsom] dingin (air) pada dialek
Tongo merupakan hasil inovasi. Dikatakan demikian karena kata itu tidak ditemukan
pada bahasa, dialek/sudialek, atau daerah pengamatan lainnya. (2) Unsur itu memiliki
kesamaan dalam bahasa, dialek/subdialek, dan daerah pengamatan lain yang mungkin
unsur itu merupakan warisan dari bahasa purba yang sama atau hasil inovasi internal.
Unsur-unsur itu tetapi tidak sesuai dengan sistem isolek dari dialek/subdialek atau
daerah pengamatan (yang menerima unsur itu). Bisa juga karena distribusi unsur itu
terbatas dibandingkan dengan distibusinya dalam bahasa, dialek/subdialek yang
diduga sebagai sumbernya. Contoh leksem [iwak] ikan yang terdapat dalam dialek
Banjar (Djantra Kawi, dalam Mahsun, 1995:84). Kata tersebut merupakan inovasi
(pengaruh bahasa Jawa), karena distribusi kata itu terbatas pada dialek Banjar saja,
tidak ditemukan pada bahasa Melayu lain (dialek Banjar termasuk rumpun bahasa
Melayu). Bahasa-bahasa Melayu lainnya menggunakan leksem [ikan] untuk
merealisasikan makna tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Pada perkembangannya, bahasa dapat juga statis atau tidak berubah. Unsurunsur kebahasaannya tidak mengalami perubahan atau bertahan. Artinya pada bahasa,
dialek/subdialek tertentu masih dapat ditemukan warisan unsur-unsur kebahasaan
lama yang merupakan warisan dari bahasa purba yang menurunkan bahasa,
dialek/subdialek tersebut. Unsur-unsur bahasa purba yang masih dicerminkan dalam
bahasa/dialek disebut retensi.

2.2 Landasan Teori


Penelitian ini berlandaskan pada kerangka teori dialektologi. Teori
dialektologi

digunakan

dalam

pendeskripsian

perbedaan

pada

unsur-unsur

kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan yang menjadi sampel


penelitian. Mengenai perbedaan pada unsur-unsur kebahasaan, Mahsun, (1995:18)
menyampaikan:
sebagai salah satu cabang linguistik, dialektologi dalam kajiannya
bertumpu pada konsep-konsep yang dikembangkan dalam linguistik.
Konsep-konsep itu digunakan dalam bidang kajian linguistik
(umum) seperti Fonologi, Morfologi, Semantik, Sintaksis, dst.
Konsep-konsep
tersebut
dimanfaatkan
dalam
rangka
mendeskripsikan perbedaan unsur-unsur kebahasaan di daerah
pengamatan dalam penelitian.
Perbedaan bentuk pada unsur fonologi berupa perbedaan bunyi (lafal) seperti
bunyi lafal [] di suatu daerah pengamatan sedangkan di daerah pengamatan lainnya
terdapat lafal [m]. Sebagai contoh, bunyi [akhau] di satu daerah pengamatan dan
[mahau] di daerah pengamatan lainnya untuk makna buruk dalam bahasa Simeulue

Universitas Sumatera Utara

(Toha, 2010:51). Selain itu, perbedaan pada unsur fonologi dapat pula berupa
perbedaan fonem.
Pada unsur morfologi perbedaan dapat berupa afiks (prefiks, infiks, sufiks,
dan konfiks), pronomina, atau kata penunjuk. Dalam bidang morfologi, perbedaan
dapat berupa

afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks), pronomina, atau kata

penunjuk. Nadra, dkk, (2009:4) mencontohkan bentuk bahasa Minangkabau [~no],


[no], dan [e] dalam kata [dudua?~no], [dudua?no], dan [dudua?e] yang bermakna
pronomina posesif orang ketiga tunggal
Pada unsur semantik, perbedaan dapat berupa makna, tetapi makna tersebut
masih berhubungan atau mempunyai pertalian. Maksudnya, makna yang digunakan
di daerah pengamatan tertentu dengan makna di daerah pengamatan lainnya masih
berkaitan. Sebagai contoh kata [taliGa] dalam bahasa Minahasa Timur Laut pada
daerah pengamatan tertentu bermakna telinga, sedangkan pada daerah pengamatan
lainnya bermakna dengar (lihat hasil penelitian Danie, 1993:131).
Perbedaan pada unsur sintaksis dapat terjadi pada struktur kalimat atau
struktur frasa. Nadra, dkk, (2009:4) memberi contoh pada makna baju Ali, di daerah
tertentu dapat dipakai bentuk [bajunya Ali], Pada unsur leksikal dapat berupa
kosakata. Misalnya untuk makna pukul dalam bahasa Alas di daerah tertentu adalah
[hantam] sedangkan di daerah lainnya [leppuk], (lihat Toha, 2009:10).
Penerapan teori dialektologi untuk mendeskripsikanan perbedaan pada unsurunsur kebahasaan di atas dapat dilakukan pada beberapa unsur saja, misalnya pada

Universitas Sumatera Utara

unsur fonologi dan leksikon. Hal ini seperti yang disampaikan Chambers dan
Trudgill, (1980:16) bahwa dalam penelitian dialektologi, unsur fonologi dan leksikon
dianggap sudah memadai untuk mendeskripsikan variasi bahasa.
Selain itu, secara dialektologis bahasa-bahasa di dunia lebih banyak
mengalami perubahan pada kedua unsur tersebut. Tampaknya perubahan pada kedua
unsur linguistik ini efektif dalam membentuk variasi dialektal, (2007:26).
Di sisi lain, perubahan pada unsur-unsur kebahasaan lainnya, disampaikan
Nadra (2009:4) bahwa pada unsur sintaksis dan semantik sedikit sekali ditemukan
variasi dialektal atau subdialektal sehingga kedua bidang kebahasaan itu sering
diabaikan di dalam penelitian dialek. Selanjutnya, perubahan pada unsur-unsur
kebahasaan lainnya, terutama bidang gramatika yakni perbedaan yang berkaitan
dengan struktur, kurang efektif dalam menghasilkan perubahan yang membuat
terpilahnya suatu isolek menjadi bahasa, dialek, atau subdialek yang berbeda,
(2007:27). Dengan kata lain, perbedaan tata bahasa, umumnya tidak menunjukkan
perbedaan dialek, tetapi menunjukkan perbedaan bahasa. Hal ini mengakibatkan
perbedaan yang terjadi pada tata bahasa akan sangat terbatas. Berdasarkan alasanalasan tersebut maka basis analisis dalam penelitian ini pada unsur fonologi dan
leksikon.
Perbedaan pada unsur fonologi mencakup pada perbedaan yang bersifat
teratur dan ada juga yang sporadis. Perbedaan yang bersifat teratur

itu disebut

korespondensi sedangkan perbedaan yang muncul secara sporadis disebut variasi.

Universitas Sumatera Utara

Korespondensi dapat dibagi atas tiga tingkat yakni korespondensi sangat sempurna,
korespondensi sempurna, dan korespondensi kurang sempurna.
Sebuah perbedaan fonologi disebut korespondensi sangat sempurna apabila
perubahan bunyi itu terjadi pada semua data yang disyarati oleh kaidah perubahan
serta sebaran geografisnya sama, sedangkan korespondensi sempurna apabila
perubahan bunyi itu juga terjadi pada semua data yang disyarati oleh kaidah
perubahan, namun sebaran geografis antarcontoh yang satu dengan contoh lainnya
tidak sama. Adapun perbedaan disebut korespondensi kurang sempurna jika
perubahan bunyi itu terjadi pada 2-5 contoh dengan sebaran geografisnya sama.
Mengenai perbedaan yang bersifat sporadis atau disebut variasi jika kaidah
perubahan bunyi hanya terjadi pada satu atau dua buah contoh dengan sebaran
geografis yang berbeda. Perbedaan yang bersifat variasi ini dapat berupa asimilasi,
disimilasi, metatesis, kontraski, aferesis, sinkope, apokope, protesis, epentesis, dan
paragog.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai