Tugas Filsafat Sejarah Perkembangan Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan
Tugas Filsafat Sejarah Perkembangan Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan
menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata
latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti keadaan
atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge)
yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang
dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan
dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science
(sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme positiviesme
sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan
metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak
akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan
bagaimana pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Will Duran
dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti
pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik
ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal
ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627)
menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis
buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral
Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963
membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic
dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah
sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya
orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang
menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap
terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang
digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap
terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti
knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni
epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology
( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu
adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan
secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan takilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau
(dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah munculnya
disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek
empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara
signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian
agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang
menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatic bertanggung
jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk
bertanya secara kritis. Masalah lainnya yang muncul adalah menyangkut
metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau
eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti
metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan
agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan
riil dari manusia.
Sejarah Perkembangan Ilmu
Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir
mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk
menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi
tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena
alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam
yang terjadi secara kausalitas. Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal
usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan Apa sebenarnya asal
usul alam semesta ini? Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur
penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas,
seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam
alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya,
yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat
mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api
adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai
simbol perubahan itu sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari
alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang
terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan
ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang
filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang
mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003). Filosof alam ternyata tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum sofis. Kaum
sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai
kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran
kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan
bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.
Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis
karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan
teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles
menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang
bergantung kepada manusia.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena
pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam
dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347
SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada
bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Puncak kejayaan filsafat
Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil
menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang dipersatukannya
dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles
berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya
silogisme terdiri dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (premis mayor).
- Socrates seorang manusia (premis minor).
- Socrates akan mati (konklusi).
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan
metode ilmiah secara sistematis
PERKEMBANGAN FILSAFAT ABAD KE-20
Filsafat yang berkembang sebelum abad ke-20 adalah rasionalisme yang
sangat mendewakan rasio. Ahmad Tafsir (1990:257) menyebut filsafat abad ke20 adalah filsafat pasca modern karena periode waktunya setelah abad modern.
Ciri khas filsafat pasca modern adalah kritik terhadap filsafat modern.
Nieztche adalah tokoh pertama yang menyatakan ketidakpuasannya
terhadap dominasi atau pendewasaan rasio pada tahun 1880-an. Menurutnya
budaya barat pada waktu tersebut telah berada di pinggir jurang kehancuran
karena terlalu mendewasakan rasio dan pada tahun 1990-an Capra menyatakan
bahwa budaya barat telah hancur juga karena mendewakan rasio. Oleh karena
itu filsafat pada abad ke-20 berusaha untuk mendekonstruksi filsafat
rasionalisme. Bila hubungan antara hati dan akal telah diputuskan maka manusia
akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan tentang rumusan hidup ideal
tidak akan pernah terjawab. Sikap mendewakan rasio mengakibatkan adanya
kecenderungan untuk menyisihkan seluruh nilai dan norma yang berdasarkan
agama dalam memandang kenyataan hidup. Mereka juga menolak adanya
akhirat. Manusia terasing tanpa batas, kehilangan orientasi. Manusia dipacu oleh
situasi mekanistik yang diciptakannya sendiri sehingga kehilangan waktu
merenungkan hidupnya dan alam semesta.
Menurut Capra dalam Ahmad Tafsir (1990:260) menyatakan pada awal
dua dasawarsa terakhir abad ke-20 kita menemukan diri kita dalam suatu krisis
global yang serius yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segiseginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan, kualitas lingkungan
hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Hal ini dapat dilihat
munculnya krisis-krisis kemanusian di berbagai belahan dunia. Kelaparan dan
munculnya kaum borjuis, imperialsme, kemiskinan, kolonialisme dan perjuangan
kemerdekaan, kelaparan penyebaran penyakit serta peledakan nuklir yang
mengakibatkan puluhan juta mansuia musnah merupakan gambaran nyata
kondisi kejiwaan manusia saat itu.
Tiga dasawarsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20, terjadi
perkembangan baru yang mulai menyadari bahwa manusia selama ini salah
dalam menjalani hidupnya. Di dunia ilmu muncul pandangan yang menggugat
paradigma positivistik. Thomas Khun (1970) telah mengisaratkan adanya upaya
pendobrakan tatkala ia mengatakan bahwa kebenaran ilmu bukanlah
kebenaran sui generis (objektif).
TUGAS
Filsafat Ilmu
Disusun Oleh:
Gilang Tirta Yudha