Anda di halaman 1dari 25

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan gigi pada penderita dengan gangguan mental seperti down sindrom
telah lama diabaikan, sedikit sekali dokter gigi terekspos terhadap tantangan
merawat penderita ini. Tidak banyak dokter gigi yang telah memperoleh
pendidikan khusus dalam perawatan gigi pada kasus down sindrom. Karena dasar
rasa takut dari ketidakmampuan untuk menghadapi situasi, mendorong banyak
dokter gigi untuk menolak perawatan gigi pada kasus ini (Nurdin, 1999)
Dari sudut pandang kedokteran gigi, bahwa penderita mempunyai banyak
hambatan karena kurangnya kemampuan, termasuk perawatan oleh dokter gigi.
Kebutuhan perawatan gigi dari penderita down sindrom ini tidak banyak berbeda
dari perawatan pasien normal lainnya, tetapi tata pelaksanaan perawatan biasanya
lebih sulit. Penerimaan perawatan gigi dapat dipengaruhi oleh satu atau lebih
permasalahan medis, mental, fisik, dan emosi (Nurdin, 1999).
Kebutuhan dasar perawatan gigi pada pasien dapat dicapai jika objek dan
sumber permasalahan yang terdapat di masyarakat dapat diketahui, dan dapat
ditangani melalui hasil-hasil suatu studi sistematis dari permasalahan yang
menyangkutnya. Kesulitan pelaksanaan perawatan gigi pada penderita down
sindrom dapat diatasi jika dokter gigi memperoleh pengetahuan yang baik dari
kondisi manifestasi fisik dan psikologis pasien. Tindakan perawatan gigi dan
mulut dari penderita ini dapat ditempuh dengan cara yang sama pada penderita
(anak) normal. Sebagian besar penderita ini mempunyai kesehatan mulut yang
buruk dari penderita normal (Nurdin, 1999; Nuhoni dkk, 2008; anonim, 2008).
Banyak kemajuan dalam bidang kesehatan telah dicapai pada dua dekade ini,
banyak anak yang semestinya meninggal pada usia muda, sekarang dapat tumbuh
sampai dewasa. Kelompok penderita cacat makin meningkat, karena kemajuan
ilmu kedokteran yang dapat memperpanjang usia hidup mereka. Dengan semakin
1

tingginya kesadaran terhadap masalah kesehatan gigi dan mulut oleh orang tua
dan para medis, maka banyak penderita cacat ini telah mulai berobat ke praktek
dokter gigi, dan memerlukan bukan saja perawatan darurat, tetapi pemeliharaan
berkala yang baik dan teratur (Nurdin, 1999, Nuhoni dkk, 2008; Akhiruddin,
2008).
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Adapun

tujuan

dari

penulisan

makalah

ini

antara

lain

adalah

1. Untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis dan gejala klinis dari


penderita syndrom down.
2. Untuk Mengetahui beberapa gambaran kesehatan gigi dan mulut pada anak
penderita syndrom down.
3. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai masalah penanganan kesehatan gigi
dan mulut pada anak penderita syndrom down.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1

PENGERTIAN SINDROMA DOWN


Sindroma Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan

mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.


Sindroma Down, yang juga dikenal dengan sebutan Trisomi 21 adalah kelainan
kromosom yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu kelainan
genetik yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Trisomi 21 biasanya disebut
sindroma down karena pertama diidentifikasi pada tahun 1966 sebagai sebuah
kondisi yang spesifik oleh John Langdon Down, seorang dokter di Inggris (Pilcher,
1997).
Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai Mongolism, karena adanya
lipatan pada kelopak mata penderita, yaitu lipatan epicanthal, yang memberi kesan
seperti ras Mongoloid. Namun, untuk menghindari penghinaan ras tertentu, maka
nama yang sering digunakan adalah sindroma Down (Pilcher, 1997).
2.2 Insidensi Terjadinya Sindroma Down
Sindroma Down (SD) adalah kelainan genetik yang biasa terjadi. Frekuensi
terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran
hidup. Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan adalah 10 SD per 10.000 kelahiran
hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini telah meningkat. Untuk sebagian
besar, prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial-budaya. Di negara

negara di mana aborsi ilegal seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensinya
lebih tinggi. Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah, dan ini mungkin karena
tingginya persentase penghentian kehamilan SD. Di Belanda, ukuran yang paling
terbaru dari prevalensi SD adalah 16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris,
prevalensi kehamilan SD telah meningkat secara signifikan, namun belum ada
perubahan secara keseluruhan prevalensi kelahiran hidup dari SD. Angka kejadian
sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Semakin meningkat usia
ibu saat kehamilan, semakin besar resiko melahirkan anak dengan sindroma Down
(Sudiono, 2005).

Gambar 2.1: Peningkatan angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu
saat kehamilan. Sumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian
genetiks resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL:
www.genetiks.edu.au.

Tabel 2.1 Angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan

Sumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian genetiks resource book;
2007: 28. [internet]. Available from URL: www.genetiks.edu.au.
2.3 Etiologi Terjadinya Sindroma Down
Penyebab langsung terjadinya sindroma Down adalah adanya kelebihan kromosom 21.
Penyebab tidak langsung adanya kelebihan kromosom belum dapat diidentifikasi. Namun,
sindroma Down tidak diakibatkan oleh aktivitas ibu selama hamil.
Trisomi 21 dapat terjadi dalam satu dari tiga bentuk : (Chin, 2007; Loh, 2007, Anonim,
2007; Fenton, 2002)
a. Kegagalan berpisah pada meiosis. Sebuah kesalahan terjadi pada pemisahan sepasang
kromosom 21 selama pembelahan sel pada proses pembentukan sperma atau sel telur.
Seorang anak dengan sindroma Down mempunyai 47 kromosom yang berbeda pada
setiap sel (bandingankan dengan keadaan biasa dimana terdapat 46 kromosom). Ini
adalah tipe yang paling sering. Terhitung rata-rata 95% terjadi sindroma Down.
b. Translokasi. Sekitar 3 % terjadi sindroma Down. Hal ini terjadi jika salah satu
kromosom 21 yang berlebih menempel (translokasi) pada kromosom lain. Kromosom
5

lain itu kemungkinan adalah kromosom 13, 14, 15, atau 22. Dengan terjadinya
translokasi, terdapat 46 kromosom dalam setiap sel ditambah kelebihan kromosom 21
yang menempel pada kromosom lain.
c. Mosaik. Sekitar 2 % terjadi sindroma Down. Mosaik sindroma down (46, XX/47, XX,
21) terjadi ketika beberapa sel dalam tubuh normal dan sel-sel lain trisomi 21.
2.4 Patogenesis Sindroma Down
Sindroma Down (SD) dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang disebabkan adanya
tiga kromosom 21. Berdasarkan pemeriksaan sitogenetik, umumnya sindroma Down
dibedakan atas tiga tipe, yaitu SD trisomi bebas, SD translokasi, dan SD mosaic. Sindroma
Down trisomi bebas merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Berikut ini akan diuraikan
lebih lanjut ketiga tipe sindroma Down tersebut (Sudiono, 2005).
Kromosom adalah struktur seperti benang yang terdiri dari DNA dan protein lain.
Kromosom-kromosom itu ada di setiap sel tubuh dan membawa informasi genetik yang
diperlukan oleh sel untuk berkembang. Gen adalah unit informasi yang dikodekan dalam
DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat disusun dalam 23 pasang. Dari
23 pasang, 22 sama untuk pria maupun wanita yang disebut dengan autosom. Pasangan
kromosom ke-23 adalah kromosom kelamin (X dan Y). Setiap anggota dari sepasang
kromosom membawa informasi yang sama, yang berarti bahwa gen yang sama berada di
daerah yang sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin terjadi. Contoh:
informasi genetik untuk warna mata disebut gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain
disebut alel (Sudiono, 2005; James dkk, 1994).
Ada dua cara pembelahan sel manusia. Yang pertama adalah pembelahan sel biasa
(mitosis). Dengan cara ini, satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki jumlah dan tipe
kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Yang kedua adalah pembelahan sel
yang terjadi dalam ovarium dan testis (meiosis) dan terdiri dari satu sel yang membelah
menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom sel induk. Jadi,
normalnya sel telur dan sel sperma hanya memiliki 23 kromosom bukan 46 (Sudiono, 2005;
James dkk, 1994).
Ada banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses pembelahan sel. Pada meiosis,
beberapa pasang kromosom membelah diri dan berpisah ke tempat yang berbeda, peristiwa
ini disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang tidak membelah, dan
seluruhnya pergi ke satu daerah. Ini berarti bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang
akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan memiliki 22 kromosom. Peristiwa
6

kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat terjadi pada meiosis I atau II (lebih
sering terjadi pada meiosis I). Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom yang
abnormal menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan memiliki jumlah
kromosom yang abnormal. Pada sindroma Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh
peristiwa ini, satu sel mempunyai dua kromosom 21, bukan satu sehingga sel telur yang
dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu sering disebut dengan nama
ilmiah, trisomi 21. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa dalam kasus ini, sekitar 90%
dari sel-sel yang abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan nondisjunction tidak
diketahui, tetapi pastinya memiliki kaitan dengan usia ibu. Penelitian saat ini bertujuan untuk
mencoba menentukan penyebab dan waktu terjadinya peristiwa nondisjunction (Sudiono,
2005; James dkk, 1994).

Gambar 2.2 : Proses meiosis (a) Proses meiosis normal, (b) Terjadi kesalahan pada meiosis I,
(c) Terjadi kesalahan pada meiosis II. Sumber : Girirajan S. Parental-age effects in sindroma
Down. USA: Journal of Genetiks 2009 Apr;88(1):1-7.
Tiga sampai empat persen dari semua kasus trisomi 21 adalah karena Translokasi
Robersonian. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom yang terpisah, biasanya
pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan ulang materi genetik sehingga beberapa dari
kromosom 14 digantikan oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah
kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa anak mungkin hanya terjadi
triplikasi pada kromosom 21 bukan pada keseluruhan kromosom, yang biasa disebut dengan
trisomi 21 parsial. Translokasi yang hasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat diwariskan, jadi
7

penting untuk memriksa kromosom orang tua dalam kasus ini untuk melihat apakah anak
mungkin memiliki sifat pembawa (carrier) (Sudiono, 2005; James dkk, 1994).
Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orang-orang ini memiliki
campuran garis sel, beberapa diantaranya memiliki sejumlah kromosom normal dan lainnya
memiliki trisomi 21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang sama.
Dalam mosaik jaringan, satu set sel, seperti semua sel darah mungkin memiliki kromosom
normal dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel kulit, mungkin memiliki trisomi 21
(Sudiono, 2005; James dkk, 1994).
Kromosom adalah pemegang gen, dimana sejumlah kecil DNA diarahkan dalam hal
produksi beragam materi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pengarahan oleh gen ini disebut
ekspresi gen. Pada trisomi 21, kehadiran sebuah gen tambahan menyebabkan overekspresi
dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi produk tertentu. Untuk sebagaian
besar gen, overekspresi memiliki pengaruh yang kecil karena adanya mekanisme tubuh yang
mengatur gen dan produknya. Akan tetapi, gen yang menyebabkan sindroma Down
tampaknya merupakan suatu pengecualian (Sudiono, 2005; James dkk, 1994).
Gen-gen apa saja yang terlibat? Itu menjadi pertanyaan peneliti-peneliti sejak ketiga
kromosom 21 ditemukan. Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang terkenal
menyebutkan bahwa hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya benar-benar
perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada sindroma Down, yang disebut sebagai Downs
Syndrome Critical Region. Namun, region ini bukan merupakan satu daerah yang kecil, tetapi
beberapa daerah yang kemungkinan besar tidak selalu berdampingan. Kromosom 21
mungkin benar-benar memegang 200-250 gen (menjadi kromosom yang terkecil dalam hal
jumlah gen), tetapi diperkirakan bahwa hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciriciri pada sindroma Down (Sudiono, 2005; James dkk, 1994).
Adanya Downs Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen kecil pada
kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab pada ciri-ciri utama
sindroma Down, telah mendominasi penelitian sindroma Down pada tiga decade terakhir.
Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan DSCR2
(Sudiono, 2005; James dkk, 1994).
Menurut Davies ae al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), DSCR1, yang
sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of Calcineurin 1) di overekspresikan dalam otak
fetus sindroma Down dan berinteraksi secara fisik dan fungsional dengan kalsineurin A,
sebuah katalitik sub unit dari kalsium / calmodulin-dependent protein phosphatase. Menurut
Fuentes et al. (1995) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang banyak
8

diekspresikan di otak dan jantung menunjukkan overekspresi itu berhubungan pada


patogenesis sindroma Down, terutama retardasi mental dan / atau kelainan jantung.
Sedangkan menurut Vidal-Taboada et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008),
DSCR2 lebih banyak diekspresikan pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti
jaringan fetus, testis, dan sel kanker (Inga dkk, 2012)
Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya sindroma Down meliputi : (Inga dkk,
2012)
a. Superoxide Dismustase (SOD1) overekspresi yang menyebabkan penuaan dini dan
b.
c.
d.
e.

menurunnya fungsi sitem imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.
COL6A1 overekspresi yang menyebabkan cacat jantung.
ETS2 overekspresi yang menyebabkan kelainan tulang (abnormalitas skeletal).
CAF1A overekspresi yang dapat merusak sintesis DNA.
Cystathione Beta Synthase (CBS) overekspresi yang menyebabkan gangguan

f.
g.
h.
i.

metabolisme dan perbaikan DNA.


DYRK overekspresi yang menyebabkan retardasi mental.
CRYA1 overekspresi yang menyebabkan katarak.
GART overekspresi yang menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan DNA.
IFNAR gen yang mengekspresikan interferon, overekspresi yang dapat mengganggu
sistem kekebalan tubuh dan sistem organ lainnya.
Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, diantaranya APP, GLUR5, S100B, TAM,

PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi, penting untuk diketahui bahwa belum ada gen
yang sepenuhnya terkait dengan setiap karakteristik yang berhubungan dengan sindroma
Down.

2.5 Karakteristik Sindroma Down


Karakteristik sindroma Down terbagi atas 2, yaitu : (Loh, 2002; Partakusuma, 2003)
a. Karakteristik Fisik
1) Penurunan laju pertumbuhan dan perkembangan fisik. Kebanyakan orang dengan
sindroma down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata
2) Mempunyai bentuk kepala atipikal. Kepala mungkin lebih kecil dari rata-rata
(Microcephaly), dengan daerah datar di bagian belakang (tengkuk)
3) Mata yang miring ke atas, menuju tepi wajah (upslanting palpebral fisura) dan
kelebihan lipatan kulit di atas sudut dalam mata (Lipatan Epicanthal)
9

4) Bintik-bintik putih (Brushfield) di bagian berwarna dari mata


5) Telinga kecil atau berlipat, hidung datar, dan mulut kecil dengan tonus otot mulut yang
rendah dan lidah yang menonjol
6) Tangan pendek dan lebar dengan jari pendek dan sebuah garis selebar telapak tangan
(single palmar crease).
7) Penurunan tonus otot.
b. Karakteristik Perkembangan
1) Keterlambatan perkembangan kognitif, biasanya dengan retardasi mental kategori
ringan hingga sedang. Pada individu tertentu, dengan genotip mosaik mungkin memiliki
2)
3)
4)
5)

IQ di kisaran rata-rata.
Keterlambatan berbicara dan berbahasa
Keterlambatan perkembangan keterampilan sosial.
Keterlambatan keterampilan motorik
Kemungkinan adanya gangguan perkembangan lain, kesehatan mental atau kondisi
perilaku.

Gambar 2.3 : Anak sindroma Down. Sumber : Leonard H, dkk. Understanding sindroma
Down: capturing family experiences through research. Telethon Institute for Child Health
Research; 2011. Available from URL : www.childhealthresearch.com.au
2.6 Kondisi Sistemik
10

Gambar 2.4 : Kondisi sistemik pada anak sindroma Down. Sumber : Leonard H, dkk.
Understanding sindroma Down: capturing family experiences through research. Telethon
Institute

for

Child

Health

Research;

2011.

Available

from

URL

www.childhealthresearch.com.au.

Kondisi sistemik sindroma Down adalah sebagai berikut (Loh, 2002; Partakusuma,
2003)
11

a. bertubuh pendek.
b. penyakit jantung kongenital. Lebih dari 40% anak-anak lahir dengan sindroma Down
akan memiliki kelainan jantung bawaan.
c. infeksi telinga yang sering dan infeksi saluran pernafasan lainnya.
d. Gangguan pendengaran. Bayi dan anak-anak mungkin mengalami gangguan konduktif
sebagai hasil dari efusi telinga tengah atau kelainan struktural dari telinga, gangguan
sebuah saraf sensoris, atau kedua-duanya. Beberapa orang dengan sindroma Down
mungkin mulai mengembangkan gangguan pendengaran setelah 10 tahun. Jika tidak
terdeteksi, hal ini secara signifikan dapat berdampak pada semua bidang pembangunan.
e. Masalah mata termasuk kesalahan bias, strabismus, nystagmus, dan
katarak. Katarak kongenital dapat menyebabkan kehilangan penglihatan jika tidak
diobati.
f. Gigi anomali dan penyakit gusi.
g. kelainan fungsi tiroid (hipo- atau hipertiroidisme) lebih sering terjadi diantara individu
dengan sindroma Down.
h. Penyakit obstruktif saluran napas. Gejala-gejalanya termasuk mendengkur, posisi tidur
yang tidak biasa, kelelahan yang berlebihan atau tidur siang sepanjang hari, kurang
perhatian dan distractibility, atau perubahan perilaku.
i. Peningkatan mobilitas tulang belakang leher antara tulang yang pertama dan kedua
(ketidakstabilan atlantoaxial). Kondisi ini ditemukan dengan x-ray sekitar 14 persen
dari individu dengan sindroma Down. Gejala, terjadi di sekitar 1-2 persen dari individu
dengan sindroma Down, termasuk sakit leher, posisi kepala dan leher yang tidak biasa,
perubahan gaya berjalan, hilangnya kekuatan tubuh bagian atas, refleks neurologis yang
abnormal, dan perubahan dalam usus / fungsi kandung kemih
j. Cacat kongenital saluran pencernaan. Ini termasuk atresia duodenum, suatu obstruksi
segmen pertama dari usus kecil.
k. Insidensi yang tinggi (tapi masih hanya sekitar 1 persen) dari leukimia limpoblastik
akut dibandingkan pada populasi umum. Dalam kondisi ini, terjadi abnormalitas sel-sel
darah putih dalam mengganti elemen sumsum darah yang normal, menjadikan anak
rentan terhadap anemia, perdarahan, dan infeksi. Gejala mungkin termasuk perdarahan
yang berlebihan dan memar, bintik-bintik merah (pteki), nyeri tulang atau sendi, dan
pembesarn kelenjar getah bening.
l. kecenderungan terjadi obesitas.

12

Tabel 2.2 Prevalensi masalah sistemik pada anak sindroma Down


Sumber : Weijerman M. Consequences of Sindroma Down for patient and family.
Amsterdam : Ipskamp Drukkers B.V.; 2011. p. 13,15,17
2.7 Manifestasi Extra Oral dan Intra Oral
1.

Extra Oral (Zyland, 2008)


a. Retardasi Mental
Penderita sindroma Down mengalami retardasi mental kategori sedang sampai
berat. Berdasarkan skor IQ (Intelligence Quotient), digolongkan:

1)

Retardasi ringan (IQ = 55-65), cukup mampu berbicara untuk komunikasi.


2) Retardasi sedang (IQ = 40-54), dapat dilatih untuk komunikasi terbatas atau tingkat
dasar.
3) Retardasi berat (IQ = 25-39), sulit dilatih dan sulit berkomunikasi.
4) Retardasi sangat berat (IQ < 25), tidak dapat dilatih dan tidak mampu
berkomunikasi.
Penderita sindroma Down biasanya bersifat menyenangkan, namun ada pula yang
bersifat kurang memperhatikan, selalu gelisah, dan bersifat perusak.

b. Tubuh
Pada umumnya sosok tubuh penderita sindroma Down pendek dengan leher
pendek dan bungkuk.
c. Wajah
Wajah penderita sindroma Down lebih ke arah bentuk bulat dengan kepala
brachicephalic dan pangkal hidung lebar dan datar. Rambut terlihat jarang dan halus.
13

Hipoplasia maksila, deformitas pada tulang sphenoid, tulang rusuk, dan tulang
pelvis, dislokasi pinggang dan subluksasi patella sering dijumpai pada penderita
sindroma Down.
d. Mata
Penderita memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini disebabkan bagian luar canthus
lebih tinggi dari pada bagian dalam, sehingga mata terlihat sipit dan agak ke atas, secara
klinis memberikan kesan seperti ras Mongol.
Karakteristik pada mata lainnya adalah ditemukannya bintik putih pada iris yang
dinamakan brushfield spots, strabismus, nistagmus, kelainan refraksi, dan katarak
kongenital.

Gambar 2.5 : Brushfield

spots. Sumber :

Weijerman M. Consequences of Sindroma Down for patient and family. Amsterdam :


Ipskamp Drukkers B.V.; 2011. p. 13,15,17

e. Tangan
Telapak tangan hanya memiliki satu garis tangan melintang dengan jari pendek
dan lebar yang dinamakan simian crease.

Gambar 2.6 : Single palmar crease. Sumber : Weijerman M.


Consequences of Sindroma Down for patient and family. Amsterdam :
Ipskamp Drukkers B.V.; 2011. p. 13,15,17
2.

Intra Oral
a. Palatum
14

Palatum berkurang dalam ukuran panjang, lebar, dan tinggi, sehingga tampak
berbentuk anak tangga atau dapat pula berbentuk V.
b. Hipotonus otot
Hipotonus otot orbicularis, sigomatikus, masseter, dan temporal menyebabkan
perubahan fasial yang bermakna, seperti sudut mulut turun dan mulut terbuka.
c. Lidah
Lidah membesar atau makroglosia dan berfisura pada permukaan dorsal 2/3
anterior dengan panjang dan kedalaman yang bervariasi. Pada penderita sindroma
down, hal ini dapat terjadi dengan kombinasi geographic tongue. Permukaan dorsal
lidah biasanya kering dan merekah serta tepinya mempunyai pola cetakan gigi yang
dinamakan scalloped tongue.
Kebiasaan menjulurkan lidah selama waktu minum, menghisap dot, makan, dan
bicara akan terjadi pada lidah hipotonus. Jaringan lidah bagian tengah bersifat
hipotonus dengan cekungan berlebihan di bagian 2/3 anterior lidah dan hipotonus pada
frenulum lidah.
d. Gigi-geligi
Kelainan gigi-geligi pada penderita sindroma Down dapat berupa mikrodonsia, partial
anodonsia, taurodonsia. Mikrodonsia dapat terlihat pada gigi sulung maupun tetap,
mahkota klinis berbentuk kerucut, pendek, dan kecil. Hal ini menyebabkan timbulnya
celah antar gigi (spacing). Keadaan gigi berjejal sering terjadi pada rahang atas,
sedangkan pada rahang baawah sering terjadi spacing. Taurodonsia terjadi dengan
manifestasi perpanjangan ruang pulpa dan perubahan letak apical, bifurkasi, atau
trifurkasi akar, paling sering terjadi pada molar kedua bawah tetap. Penyakit periodontal
dapat terjadi sejak usia 6 tahun. Kelainan periodontal yang dijumpai adalah gingivitis
marginalis, ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis), periodontitis lanjut, resesi
gusi, pembentukan poket, keterlibatan furkasi dan bifurkasi pada gigi molar, mobilitas
gigi anterior dan posterior, kehilangan gigi terutama pada regio anterior bawah. Pola dan
penyebaran penyakit periodontal pada penderita sama dengan pasien normal yaitu melalui
akumulasi plak yang berat pada gigi. Berbeda dengan keadaan jaringan periodontal,
insidensi karies pada penderita sindroma Down rendah. Hal ini karena efek buffer saliva
yang baik.

15

BAB III. PEMBAHASAN


Kelainan pada anak terjadi akibat perkembangan abnormal yang dialami oleh anak
tersebut dalam fase tumbuh kembangnya, fase ini tidak hanya terbatas pada keadaan postnatal
dari anak tersebut, tetapi k.ondisi prenatal juga berpengaruh penting terhadap perkembangan
abnormal yang dialami oleh anak (Sudiono, 2005; James dkk, 1994, Koch dan Poulsen,
2001).
Perkembangan merupakan suatu proses yang dinamis. Oleh karena itu, jika terjadi
ketidakdinamisan perkembangan, maka akan terjadi gangguan perkembangan. Gangguan
perkembangan ini sering disebut sebagai kecacatan. Kecacatan dapat berupa fisik, cacat
mental, cacat motorik, cacat social dan lain sebagainya. Tidak jarang kecacatan itu dianggap
sebagai kesalahan orang tua, misalnya: anak yang lahir dengan tangan yang tidak normal
dihubungkan dengan dosa orangtua yang pernah mencelakakan orang lain dan memotong
tangannya pada saat istrinya sedang hamil (James dkk, 1994, Pertiwi, 2005).
Gangguan perkembangan antara lain meliputi gangguan fisik dan psikomotorik,
gangguan fungsi mental dan gangguan yang nampak pada prilaku psikososial dan moral yang
dicakup dalam pengertian devisiensi (Fayol, 2004).
16

Sindrom Down merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan


mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini
terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadinya
pembelahan. Kelainan kromosom ini dipengaruhi oleh umur ibu, kelainan kehamilan ,
kelainan endokrin pada ibu (Sudiono, 2005).
Gambaran umum rongga mulut anak sindroma down Oral hygiene. Sesuai dengan
meningkatnya usia, baik pada lidah maupun bibir terbentuk celah dan fissure. Ini merupakan
hasil dari mouth breathing yang kronis. Pembentukan fissure pada lidah dapat menjadi berat
dan merupakan faktor konstribusi pada terjadinya halitosis (Sudiono, 2005).
Pasien diinstruksikan untuk menyikat pada saat menyikat gigi. Pernapasan mulut kronik
lainnya dapat menurun dalam saliva dengan mengeringnya mulut. Terjadi penurunan
pembersihan alamiah pada kavitas mulut dapat menjadi faktor konstribusi pada
perkembangan karies. Pernapasan melalui mulut dapat menyebabkan iritasi pada sudut mulut
(Sudiono, 2005).
Keadaan jaringan lunak
Menurunnya muscule tone umumnya ditemukan pada sindroma down. Hal ini
mempengaruhi otot-otot kepala dan rongga mulut sesuai dengan otot-otot tengkorak yang
lebar. Menurunnya muscule tone pada bibir dan pipi memepengaruhi tekanan yang tidak
seimbang pada gigi dan tekanan pada lidah menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan
terjadinya open bite pada penderita sindroma down. Selain itu, berkurangnya muscule tone
menyebabkan efisiensi mengunyah dan natural cleansing dari gigi. Kemungkinan makanan
tertinggal pada gigi setelah makan yang diakibatkan oleh pengunyahan yang tidak sempurna
(Sudiono, 2005).
Insiden dari mouth breathing sangat tinggi disebabkan oleh jalan nasal yang kecil.
Lidah dapt protrusi dan membesar atau makroglosia atau berfissura pada permukaan dorsal
2/3 anterior dengan panjang dan kedalaman yang bervariasi. Pada penderita sindroma down,
hal ini dapat terjadi dengan kombinasi geographic tongue. Permukaan dorsal lidah biasanya
kering dan merekah serta tepinya mempunyai pola cetakan gigi yang dinamakan scalloped
tongue. Kebiasaan menjulurkan lidah selama waktu minum, menghisap dot, makan, dan
bicara terjadi pada lidah hipotonus. Jaringan lidah pada bagian tengah bersifat hipotonus
dengan cekungan berlebihan dibagian 2/3 anterior lidah dan hipotonus pada frenulum lidah.
Makroglosia sebenarnya sangat jarang ditemukan, makoglosia hanya relatif ditemukan
17

bilamana lidah berukuran normal tetapi ukuran rongga mulut yang kecil disebabkan karena
tidak berkembangnya pertumbuhan dari wajah bagian tengah (Sudiono, 2005).
Pada pemeriksaan palatum penderita sindroma down terlihat sempit dengan cekungan
yang tajam. Cekungan tersebut normal tingginya, namun ukuran dari palatum durum yang
abnormal tebal. Keadaan ini mengakibatkan kurangnya ruangan pada kavitas oral untuk
lidah, yang akan mempengaruhi fungsi bicara dan mastikasi (Sudiono, 2005).
Keadaan jaringan keras
Erupsi gigi pada anak sindroma down biasanya tertunda. Waktu erupsi berbeda-beda
bagi anak sindroma down dan beberapa anak, gigi primernya tidak erupsi hingga berumur 2
tahun. Pada beberapa kasus masalah erupsi dapat disebabkan oleh gingival hiperplasia yang
dihasilkan dari beberapa medikasi seperti phenytoin dan cyclosporin. Pemeriksaan gigi secara
rutin pada saat anak sindroma down berumur satu tahun dapat membantu dalam
mengidentifikasi ketidakteraturan pola erupsi gigi (Sudiono, 2005).
Bruksism terjadi pada anak sindroma down dan dapat dipicu oleh maloklusi gigi,
disfungsi TMJ dan tidak berkembangnya nervus kontrol. Mikrodontia dan malformasi gigi
juga dapat ditemukan. Crowding yang berat dapat terjadi pada penderita sindroma down yang
telah erupsi semua gigi permanennya (Sudiono, 2005).
Masalah kesehatan rongga mulut pada sindroma down
Orang-orang dengan sindrom down tidak memiliki masalah rongga mulut yang unik.
Akan tetapi, beberapa masalah cenderung sering terjadi dan bisa menjadi parah. Perwatan
professional secara dini dan perawatan harian di rumah dapat mengurangi keparahannya dan
membuat penderita sindroma down memiliki perbaikan kesehatan rongga mulut (James dkk,
1994).
1. Penyakit periodontal
Merupakan masalah rongga mulut yang paling utama pada penderita sindrom down,
dimana anak cepat mengalami penyakit periodontal. Sebagai akibatnya, kehilangan banyak
gigi permanen anterior di usia muda. Faktor lain yang mendukung termasuk oral hygiene
buruk, maloklusi, bruksism, bentuk akar yang konus, dan respon host yang abnormal, karena
sistem imun yang menurun (James dkk, 1994).
2. Karies gigi
Anak-anak dan dewasa muda penderita sindrom down memiliki insidensi lebih tinggi
terkena karies dibandingkan dengan orang tanpa cacat mental. Beberapa gambaran rongga
mulut anak dengan sindroma down menunjukkan bahwa erupsi gigi sulung dan permanen
18

yang terlambat, kehilangan gigi permanen dan ukuran gigi yang kecil dengan space atau jarak
satu sama lain yang memberikan kemudahan untuk menghilangkan plak (James dkk, 1994).
3. Maloklusi
Pada sebagian besar penderita sindrom down ditemukan maloklusi karena erupsi dari
gigi permanen yang terganggu dan tidak berkembangnya maksilla. Kecilnya maksilla
menyebabkan terjadinya open bite, posisi gigi yang jelek dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya penyakit periodontal dan karies gigi (James dkk, 1994).
4. Anomali gigi
Keadaan anomali gigi umumnya terjadi pada sindrom down misalnya kongenitalis
missing teeth lebih sering terjadi pada penderita sindrom down daripada populasi umum. Gigi
yang lebih sering tanggal umumnya insisivus lateral dan premolar kedua rahang bawah.
Penanganan gigi dan mulut pada penderita sindroma down.
Pada penderita sindroma down dapat ditemukan adanya perubahan mental dan fisik
yang akan berpengaruh pada rongga mulut sebelum menentukan perawatan, medical history
pasien harus diketahui. Konsultasi antara dokter, keluarga dan perawat sangat penting unutk
mendapatkan medical history yang akurat. Selain itu, harus ditentukan siapa yang akan
dimintai informed consent untuk pelaksanaan perawatan pasien sindroma down.
Secara umum penanganan gigi dan mulut untuk sindroma down yang dapat dilakukan dokter
gigi (Suemartono, 2003).
1. Speech Pathologist dapat menolong untuk mengajari posisi lidah dan meningkatkan
penyesuaian terhadap otot-otot orofacial. Pada kasus-kasus berat, pembedahan lidah dapat
diindikasikan.
2. Alat orthodonsi diperlukan unutk mengawasi pencabutan gigi pada saat penanganan
crowding.
3. Ahli anastesi diperlukan pada kasus-kasus tertentu yang memerlukan perawatan yang
lebih luas, dengan obat-obatan anastesi, baik sedasi ringan maupun anastesi umum.
4. Ahli gizi menginstruksikan kepada orang tua atau penjaga anak tentang makanan
siplemen, sehubungan dengan keterbatasan otot-otot pengunyahan anak sindroma down.
Secara khusus penanganan gigi dan mulut anak sindroma down yang dapat dilakukan dokter
gigi (Fayol, 2004).
Tindakan preventif
a. Pemberian fluor
19

Pemberian fluor secara sistemik pada anak sindroma down dapat berbentuk cairan,
tablet maupun obat kumur. Pemberian fluor dengan topikal diberikan setelah pembersuhan
gigi yang rutin (Fayol, 2004).
b. Kontrol Plak
Dalam hal ini perlu diperhatikan diet anak sindroma down termasuk disini adalah
kualitas makanan dan macam makanannya. Meskipun umumnya anak sindroma down cepat
menelan makanannya dengan hanya sedikit mengunyahnya, tetapi sisa makanan sering kali
masih terkumpul disekitar giginya, terlebih dengan keadaan hipotonia ototnya, maka sulit
dicapai self cleansing yang baik. Untuk itu obat kumur dapat digunakan unutk membantu
membersihkan sisa makanan tersebut, disamping obat kumur berperan sebagai antiseptik.
c. Scalling dan root planing
Keberadaan calculus supra dan subgingiva, inflamasi gingiva dan poket periodontal
(lebih besar atau sama dengan 5 mm) dan kehilangan tulang alveolar ditemukan pada anakanak (10 19 tahun) dengan sindroma down pada grup kontrol berdasarkan usia dan jenis
kelamin. Anak-anak sindroma down menderita oleh karena inidensi yang tinggi dari penyakit
Rapid Destructive Periodontitis yang dapat disebabkan oleh faktor lokal, seperti morfologi
gigi, bruksism, maloklusi dan oral hygiene yang rendah. Faktor-faktor sistemik tertentu
diyakini memberikan konstribusi yang penting terhadap penyakit periodontal, seperti sistem
sirkulasi yang buruk, penurunan respon humoral, kemunduran fisik secara umum pada usia
dini, dan pengaruh genetik (Fayol, 2004).
Oral hygiene yang bagus dan semi annual prophylaxis appoitment mungkin tidak
mencukupi untuk mencegah terjadinya penyakit periodontal pada pasien ini. Perawatan yang
cepat dan agresif diperlukan. Pasien ini perlu dikontrol sedikitnya 3 bulan sekali untuk
scaling dan root planing dan juga menguntungkan bila diberikan obat kumur Chlorhexidine
dan terapi antibiotik sistemik (Fayol, 2004).
d. Penutupan pit dan fissure sealant
Penutupan pit dan fissure sealant secara efektif dapat mengurangi karies oklusal.
Sealant cocok digunakan dalam populasi anak sindrom down dan sebaiknya digunakan
apabila dibutuhkan. Pasien yang membutuhkan prosedur gigi dibawah anastesi umum
sebaiknya memiliki pit dan fissure oklusal yang dalam yang direstorasi dengan amalgam atau
komposit pemakaian jangka panjang untuk mencegah kerusakan gigi lebih lanjut (Fayol,
2004).
Tindakan kuratif
a. Pemberian tumpatan
20

b. Pencabutan gigi
Tindakan rehabilitatif
a. Perawatan orthdonsi
b. Pembuatan gigi tiruan
Pemberian tumpatan, pencabutan gigi, perawatan orthodonsi dan pembuatan gigi tiruan
dapat dilakukan sama seperti halnya anak normal. Namun hal yang perlu diingat adalah
penderita sindrom down mempunyai masalah retardasi mental dan hipotonia otot yang perlu
penanganan khusus dalam perawatan. Masalah tersebut menyangkut komunikasi, kooperatif
anak, mulut yang selalu terbuka, lidah yang menjulur atau saliva yang berlebihan. Untuk anak
yang masih kecil sering kali dilakukan perawatan dengan knee to knee, yaitu dokter gigi dan
orang tua duduk berhadapan dengan lutut saling beradu dan anak ditidurkan diatas pangkuan
sehingga perawatan dapat dilakukan dengan lebih stabil (Fayol, 2004).
Perawatan ortodontik pada anak-anak sindroma down perlu dipertimbangkan secara
hati-hati karena beberapa mungkin menguntungkan sementara yang lainnya tidak.
Kemampuan dari pasien atau perawat untuk menjaga kebersihan oral hygiene sangat
berpengaruh terhadap kesuksesan perawatan (Fayol, 2004).
Teknik Penanganan Perawatan Kesehatan Gigi dan Mulut Pada sindroma down:
Perawatan gigi dan mulut pada penderita cacat dengan orang normal pada dasarnya sama,
hanya pendekatan damn teknik yang dilakukan operator lebih lama dan tergantung dari
manifestasi atau karekteristiknya. Pada umumnya apabila pendekatan tidak biasa dilakukan
maka tindakan perawatan gigi di bawah anastesi umum dan ini merupakan salah satu pilihan
yang dapat dilakukan maka tindakan perawatan gigi dibawah anastesi umum, dan ini
merupakan salah satu teknik alternative yang digunakan oleh para dokter gigi dalam
menangani pasien dengan kondisi cacat (Soemartono, 2003).
Teknik TSD (Tell- Show-Do)
Teknik perawatan ini dapat dilakukan pada penderita sindrom down yaitu salah satu
cara pendekatan yang biasa dilakukan dengan membangun kepercayaan antara dokter gigi
dan pasien. Dengan kunjungan yang berulang dan pengenalan terhadap peralatan kedokteran
gigi, dapat memfamiliriasasi pasien terhadap lingkungan. Hindari tindakan yang dapat
menimbulkan rasa sakit (Fayol, 2004).
Reinforcement
Merupakan tindakan untuk menghargai prestasi yang telah dicapai, agar prestasi
tersebut diulang. Tindakan ini dapat dilakukan pada anak penderita cacat fisik dan psikososial
yang cenderung merasa terabaikan oleh lingkungan sosialnya. Dengan menghargai prestasi
21

yang telah dicapainya terhadap apresiasi yang ditunjukkan terhadap perawatan giginya dapat
meningkatkan kekooperatifan pasien anak sehingga dapat memperlancar tindakan perawatan
yang akan dilakukan oleh dokter gigi. Bentuk imbalan dapat berupa materi atau imbalan
social misalnya dengan senyuman, belaian atau pujian. (Fayol, 2004).
Desensitasi
Desensitasi adalah cara yang paling sering digunakan oleh psikolog untuk mengatasi
rasa takut. Desensitasi merupakan suatu cara yang dilakukan oleh dokter gigi untuk
menghilangkan kebiasaan respon takut dengan pertama kali menghadirkan rangsangan yang
menimbulkan suatu respon yang ringan. Desensitasi meliputi: melatih pasien melemaskan
otot, menyusun hierarki rasa takut, dan mengerjakan berdasarkan hieraraki rasa takut.Ikatan
antara rangsangan dan rasa takut diperlemah perlahan-lahan dengan rileksasi rasa takut dan
relaksasi otot yang dalam hal adalah hal yang bertentangan dan tidak akan terjadi bersamasama (Fayol, 2004).
Sedasi
Berbagai cara yang telah dikemukakan adalah yang paling sering diterapkan, dan merupakan
dasar modifikasi tingkah laku. Setelah dilakukan beberapa kali kunjungan, mungkin anak
masih merasa takut mengahadapi perawatan gigi dan tidak kooperatif terhadap tindakan
khusus, biasanya suntikan atau bur. Pilihan lain untuk menghadapi kasus demikian,
digunakan sedasi, sehingga waktu pasien menghadapi menghadapi perawtan gigi telah rileks.
Golongan obat-obatan yang digunakan adalah sedasi-hipnotik, agen ansietas dan narkotik.
Sedasi dapat diberikan dengan cara: Oral, intra venous dan intra muskuler serta inhalasi
(Fayol, 2004).

22

BAB IV. KESIMPULAN


Dari Materi makalah yang telah dituliskan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sindroma Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Etiologinya adalah
kelebihan kromosom 21. kegagalan disjangsi kromosom pada proses pembelahan sel
sehingga terdapat kromosom 21 yang berlebih pada satu sel. Sindroma down memiliki gejala
klinis seperti tumbuh pendek, kepala kecil, mata miring ke atas, terdapat bintik-bbintik putih
pada bagian mata yg berwarna, telinga kecil atau melipat, hidung datar, mulut kecil, lidah
menonjol, dan mengalami keterlambatan kerkembangan mental.
2. Gambaran umum rongga mulut anak sindroma down Oral hygiene. Sesuai dengan
meningkatnya usia, baik pada lidah maupun bibir terbentuk celah dan fissure. Ini merupakan
hasil dari mouth breathing yang kronis. Pembentukan fissure pada lidah dapat menjadi berat
dan merupakan faktor konstribusi pada terjadinya halitosiis. Diperlukan penanganan khusus
dan ketekunan serta pembiasaan agar anak penderita sindroma down dapat melakukan
kontrol plak dan menghilangkan kebiasaan buruknya seperti mouth breathing.
3. Teknik Penanganan Perawatan Kesehatan Gigi dan Mulut Pada penderita Cacat memiliki
pendekatan khusus seperti Teknik TSD (Tell- Show-Do), Reinforcement, Desensitasi dan
Sedasi.

23

DAFTAR PUSTAKA
.
Akhiruddin. Tugas keterampilan belajar dan teknologi informasi : syndroma down. Jakarta:
Universitas Islam Indonesia.2008.
Anonim. Perkembangan abnormal pada anak. [serial online] 2008 : [internet]. Available from:
http://www.kalbe.co,id/files/cdk/files/cdk/files/cdk_27_masalah anak-anak.pdf.
Anonim. US Department of Health and Human Services. Practical Oral care for people with
devlopment disabilities. [serial online] 2007. [internet]. Available from:
http://nccanch.afc.hhs.gov.
Chin M. Practical oral care for people with developmental disabilities.[serial online] 2007:6.
[internet]. Available from: http://www.nidcr.nih.gov.html.
Fayol H. Perawatan gigi pada anak penderita sindroma down. Indonesian Journal of Oral and
Maxillofacial Srgenos 2004; 2: 308.
Fenton SJ. Practical oral care for people with down syndrome. .[serial online] 2002 :2.
[internet]. Available from: http://www.nidcr.nih.gov.html.
Inga CJ, Reddy AK, Richardson SA, Sanders B. Pediatric dental health. Available from:
http://dentalresource.org/topic32cp.htm
James AW, McKown CG,Sander BJ, Jones JE. Dental problems in Disabled child dalam
McDonald RE, Avery DR, (ed) : Dentistry For Child And Adolescents, 6th, Mosby, St
Louis. 1994; 529-533.
Koch G, Poulsen S. Pediatric dentistry a clinical approach. Copenhgen: Munksgaard; 2001.
p.451.
Loh IM. Dental Problems in People with Down Syndrome 2002:4
Noerdin S. Masalah penanganan perawatan gigi pada penderita cacat. Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia. 1999; 6 (1):36-41.
Nuhoni., Krismanto Prawirosumarto,dkk. Rehabilitasi anak yang cacat tubuh. Jakarta:
Universitas Indonesia, 2008.
Partakusuma FB. Penanggulangan perilaku anak penyandang autisme dalam kedokteran gigi.
Dentika Dental Journal 2003; 8 (2):127-9.
Puspa Pertiwi AS. Pendekatan perawatan gigi dan mulut anak sindroma down. Dentika
Dental Journal 2005; 10 (2): 98.
24

Pilcher ES. Dental care for patient with down syndrome.[serial online] 1997. [internet].
Available from: http://www.altonweb.com/cs/downsyndrome/pilcher.html.
Sudiono J. Manifestasi oral sindrom down. Jurnal PDGI 2005 ;55(1):23,25..
Soemartono S.. Penanggulangan anak takut dalam perawatan gigi. J kedokteran gigi
Universitas Indo````nesia. 10 (1).2003:35-40.
Zyland. National Institute of Dental and Craniofacial Research. Practical oral care for people
with autism. Available from:
http://www.nidcr.nih.gov/HealthInformation/DiseasesAndConditions/DevelopmentalDi
sabilitiesAndOralHealth/Autism.htm
Soemartono S.. Penanggulangan anak takut dalam perawatan gigi. J kedokteran gigi
Universitas Indo````nesia. 10 (1).2003:35-40.

25

Anda mungkin juga menyukai