Anda di halaman 1dari 9

BALANCE SCORECARD SEBAGAI PENGUKURAN KINERJA DALAM

ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

PENDAHULUAN
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan limpahan Pemerintah
Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu seperti politik luar
negeri,
Implikasi langsung pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah
kebutuhan untuk mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan

Negara

mengatur

antara

lain

pengelolaan

keuangan

daerah

dan

pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran Pendapatan dan


Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan keuangan yang komprehensif
sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
Untuk merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan tersebut,
pengembangan dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat mendesak dilakukan
sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan akuntabilitas publik untuk
mencapai good governance (accounting for governance).
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk
mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme), tidak adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah
dan kebijakan pembangunan (Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas, seperti halnya akuntabilitas
memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan mekanisme akuntabilitas, diperlukan
manajemen kinerja yang didalamnya terdapat indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan
1

kinerja, dan mekanisme reward and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator
pengukuran kinerja yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective,
dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi sebagai sinyal atau
alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang memerlukan tindakan manajemen
dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses, dan orang (pegawai dan
masyarakat)

yang

dibandingkan

dengan

standar

yang

ditetapkan

dengan

wajar

(benchmarking) yang dapat berupa anggaran atau target, atau adanya pembanding dari luar
(Hoque, 2002). Hasil pembandingan digunakan untuk mengambil keputusan mengenai
kemajuan daerah, perlunya mengambil tindakan alternatif, perlunya mengubah rencana dan
target yang sudah ditetapkan apabila terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, dan sumber
kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik memperhatikan value
for money yang mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama-sama. Dalam
pengukuran kinerja value for money, efisiensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi
alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi teknis atau manajerial (efisiensi 2). Efisiensi alokasi terkait
dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal.
Efisiensi teknis terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat
output tertentu. Kedua efisiensi tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat apabila dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap
rakyat (Mardiasmo, 2002a).
Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik perlu gencar
dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good
governance. Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor
publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas layanan
publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan publik karena
hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan uang publik (public
costs awareness).
Kinerja organisasi publik harus dilihat secara luas dengan mengidentifikasi keberhasilan
organisasi tersebut dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pendekatan dalam pengukuran
kinerja bisa dimodifikasi agar layak digunakan untuk menilai kinerja akuntabilitas publik
2

dengan sebenarnya. Balanced Scorecard dan Value for Money bisa digunakan dalam berbagai
macam cara agar mampu mendeteksi ketercapaian organisasi publik dalam melayani
pelanggan (masyarakat).
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi konsep-konsep di atas
seperti value for money, NPM, dan best value meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard
sektor publik berbeda dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus
pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders, lebih berfokus
pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh keadaan politik, dan mempunyai
stakeholders yang lebih beragam dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif yang mencerminkan lingkungan
kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard berfokus pada strategi yang diterapkan
bukan pada pengendalian penerapan scorecard (Hoque, 2002), meskipun pengawasan
terhadap scorecard perlu dilakukan mengingat fokus strategi terus berubah seiring dengan
perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat perspektif BSC yaitu
perspektif financial, customer, internal business dan learning and growth (Kaplan and
Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000) secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah
seharusnya tidak hanya diukur dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.

PEMBAHASAN
Pengertian Balanced Scorecard
Konsep BSC dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang berawal dari
studi tentang pengukuran kinerja di sektor bisnis pada tahun 1990. Balanced Scorecard terdiri
dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Kartu skor adalah
kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja suatu organisasi atau skor
individu.

Kartu

skor

juga

dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak

diwujudkan di masa depan. Melalui

kartu

skor,

skor

yang

hendak

diwujudkan

organisasi/individu di masa depan dibandingkan dengan hasil kinerja sesungguhnya. Hasil


perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja organisasi/individu yang
bersangkutan.

Kata

berimbang

dimaksudkan

untuk

menunjukkan

bahwa

kinerja

organisasi/individu diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan,
jangka pendek dan jangka panjang, internal dan eksternal. (Pusat Analisis Dan Harmonisasi
Kebijakan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, Jakarta, Januari 2010 : Panduan
Pengelolaan Kinerja Berbasis Balanced Scorecard Di Lingkungan Kementerian Keuangan)
Pengakuan atas beberapa kelemahan dan ketidakjelasan dari pendekatan pengukuran kinerja
keuangan sebelumnya, BSC menyajikan sebuah perspektif yang jelas sebagaimana sebuah
perusahaan harus mengukur supaya tercapai keseimbangan perspektif keuangan. Kaplan dan
Norton merangkum rasional untuk BSC sebagai berikut. BSC tetap mempertahankan
pengukuran keuangan tradisional. Tetapi pengukuran keuangan menceritakan kejadian masa
lalu, suatu laporan yang cukup untuk era industri untuk kemampuan investasi jangka panjang
dan relationship pelanggan tidak secara kritis untuk keberhasilan. Pengukuran keuangan
adalah tidak layak, bagaimanapun juga, untuk memandu dan mengevaluasi suatu perjalanan
yang mana perusahaan pada era informasi harus membuat suatu nilai masa depan melalui
investasi dalam pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi.
Balanced Scorecard Model ini pada awalnya memang ditujukan untuk memperluas area
pengukuran kinerja organisasi swasta yang profit-oriented. Pendekatan ini mengukur kinerja
berdasarkan aspek finansial dan non finansial yang dibagi dalam empat perspektif, yaitu
4

perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses internal, dan perspektif inovasi &
pembelajaran (Quinlivan, 2000).
Untuk menjembatani aplikasi BSC yang awalnya diterapkan di lembaga bisnis maka perlu
diperhatikan karakteristik antara lembaga bisnis dan lembaga publik, sebagaimana
ditunjukkan dalam table berikut.
PERBANDINGAN ANTARA LEMBAGA BISNIS DAN PUBLIK
Strategic Feature
General Strategic Goal
General Financial Goals

Private Sector
Competitiveness
Profit, growth, market share

Public Sector
mission effectiveness
Cost reduction, efficiency,

values

innovation, creativity, good

accountability to public,

Desired outcome

will recognition
Customer satisfaction

integrity, fairness
Customer satisfaction

Stakeholders

Stakeholders, owners,

Taxpayers, inspectors,

Budget priorities defined

market
Customer demand

legislators
Leadership, legislators,

Protection of intellectual

planners
National security

by :
Justification for secrecy

capital, propriertary
knowledge, growth rate,
Key success factors

earnings, market share


Uniqueness

Best management practices.

Advanced technology
Source : Paul Aversen, Translating Performance Metrics from The Private to The Public
Sector, 1999.

Perspektif BSC
Kaplan dan Norton menggunakan empat standar perspektif BSC yaitu , customer,
internal business process, dan learning and growth.
1. Perspektif Finansial
BSC dibangun dari studi pengukuran kinerja di sektor bisnis, sehingga yang
dimaksud perspektif

di sini adalah terkait dengan sustainability.

Perspektif

ini

digunakan oleh shareholder dalam rangka melakukan penilaian kinerja organisasi.


Apabila dinarasikan akan berbunyi: organisasi harus memenuhi sebagaimana harapan
shareholder agar dinilai berhasil oleh shareholder.
2. Perspektif customer
Perspektif customer adalah perspektif yang berorientasi pada pelanggan karena merekalah
pemakai produk/jasa yang dihasilkan organisasi. Dengan kata lain, organisasi harus
memperhatikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Perspektif pelanggan meliputi
faktor-faktor seperti customer satisfaction, customer retention, customer profitability, dan
market share
3. Perspektif internal business process
Perspektif internal business process adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam
organisasi untuk menciptakan produk/jasa dalam rangka memenuhi harapan pelanggan.
Perspektif ini menjelaskan proses bisnis yang dikelola untuk memberikan layanan dan
nilai-nilai kepada stakeholder dan customer. Perspektif ini mengidentifikasi faktor kritis
dalam proses internal organisasi dengan berfokus pada pengembangan proses baru yang
menjadi kebutuhan pelanggan.
4. Perspektif learning & growth.
Perspektif learning & growth adalah perspektif yang menggambarkan kemampuan
organisasi untuk melakukan perbaikan dan perubahan dengan memanfaatkan sumber
daya internal organisasi. Kesinambungan suatu organisasi dalam jangka panjang sangat
bergantung pada perspektif ini. Perspektif ini mengukur faktor-faktor yang berhubungan
dengan teknologi, pengembangan pegawai, sistem dan prosedur, dan faktor lain yang
perlu diperbaharui.

Proses Balanced Scorecard


Proses implementasi BSC dapat diuraikan sebagai berikut:
1.

Mendefinisikan Tujuan, Sasaran, Strategi, Dan Program Organisasi


Kita tidak bisa menilai segala sesuatu jika tidak mempunyai kriteria yang jelas sebagai
pedoman penilaian. Demikian juga, jika kita hendak menilai kinerja organisasi harus
mempunyai kriteria yang jelas. Kriteria ini adalah indikator pencapaian tujuan, sasaran,
strategi, dan program. Dengan demikian langkah pertama pengukuran kinerja dengan
BSC adalah pendefinisian tujuan, sasaran, strategi, dan program sebagai dasar
menentukan indikator pengukuran.

2.

Merumuskan Framework Pengukuran Setiap Jenjang Manajerial.


Dalam tahap ini dirumuskan area pengukuran kinerja secara bertingkat dengan
berpedoman pada struktur organisasi yang ada untuk diarahkan pada pencapaian tujuan
dengan tingkat kedalaman yang berbeda-beda. Selain itu juga dirumuskan pengukuran
kinerja untuk setiap individu, team, dan kelompok organisasi.

3.

Mengintegrasikan Pengukuran ke Dalam Sistem Manajemen.


Sistem pengukuran kinerja yang telah dirumuskan merupakan sub sistem manajemen
organisasi. Oleh karena itu, sistem pengukuran kinerja harus diitegrasikan ke dalam
sistem manajemen baik formal maupun non formal organisasi. Sistem pengukuran kinerja
merupakan bagian dari perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, motivasi dan
pengendalian yang ditetapkan organisasi.

4.

Monitoring Sistem Pengukuran Kinerja.


Monitoring dapat diartikan sebagai aktivitas untuk menjamin kesesuaian pelaksanaan
kegiatan dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dengan cara mengamati
perkembangan kegiatan tersebut. Kegiatan ini dilakukan direncanakan. Hasil monitoring
digunakan untuk melaksanakan evaluasi. Periode monitoring dan evaluasi capaian kinerja
disesuaikan dengan level unit organisasi.
Implementasi sistem pengukuran kinerja harus selalu dimonitor karena organisasi selalu
menghadapi lingkungan yang dinamis. Kondisi pada saat sistem didesaian sangat
mungkin tidak relevan lagi akibat perubahan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
monitoring terhadap ukuran yang telah ditetapkan dan hasilnya secara terus menerus
7

secara konsisten, dan mengevaluasinya untuk memperbaiki sistem pengukuran pada


periode berikutnya. Menghadapi turbulensi lingkungan ini, organisasi kemungkinan
mengubah strategi pencapaian tujuannya. Monitoring dilakukan dengan mengidentifikasi
permasalahan berkaitan dengan (1) Bagaimana organisasi berjalan sampai saat ini?, (2)
Bagaimana efektivitas strategi organisasi dalam pencapaian tujuan?, (3) Bagaimana
strategi berubah sejak awal hingga akhir? (3) Bagaimana sistem pengukuran bisa
mencapai strategi yang berubah-ubah? (4) Bagaimana organisasi bisa memperbaiki sistem
pengukuran?.

KESIMPULAN
Pada pertama kali dikenalkannya konsep Balanced scorecard pada tahun 1990 oleh Robert S
kaplan dan David P. Norton, Balanced scorecard hanya digunakan sebagai alat pengukuran
kinerja pada organisasi bisnis. Balanced scorecard sebagai suatu sistem pengukuran kinerja
dapat digunakan sebagai alat pengendalian, analisa dan merevisi strategi organisasi.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan antara organisasi bisnis dan publik, maka Balanced
scorecard harus dimodifikasikan terlebih dahulu agar sesuai dengan kebutuhan organisasi
publik. Meskipun organisasi publik tidak bertujuan untuk mencari profit, organisasi ini terdiri
dari unit-unit yang saling terkait yang mempunyai misi yang sama yaitu melayani
masyarakat. Pada sektor publik, Nilai (value) diasosiasikan dengan proses penciptaan produk
dan jasa (output) yang diikuti dampak (outcome) pada sosial ekonomi masyarakat pada
umumnya
Balanced scorecard merupakan sistem manajemen strategis yang menterjemahkan visi dan
strategi suatu organisasi kedalam tujuan dan ukuran operasional. Tujuan dan ukuran
operasional tersebut kemudian dinyatakan dalam empat perspektif yaitu perspektif finansial,
pelanggan (customers), proses bisnis internal (internal business process), serta pembelajaran
dan pertumbuhan (learning and growth).

Implementasi Balanced Scorecard pada organisasi sector publik merupakan suatu alternatif
yang sangat tepat didalam upaya menjabarkan strategi organisasi melalui langkah-langkah
aksi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, memadukan internal maupun
eksternal, keuangan maupun non keuangan dan menunjukkan aspek hubungan sebab dan
akibat, kedalam bentuk alat ukur yang lengkap dan memadai serta accountable.
Hal ini tentu saja harus diimbangi dengan pentahapan menuju organisasi yang berfokus pada
strategi, tidak sekedar berada pada tingkatan ukuran kinerja organisasi sehingga tema strategi
organisasi sektor publik pada upaya peningkatan layanan mesyarakat dapat dilakukan secara
lengkap dan komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai