Pendahuluan
Klasifikasi tumor Sistem Saraf Pusat berdasarkan, terutama pada gambaran
histopatologi dengan bahasan baru termasuk di dalamnya upgrade pada skema
klasifikasi berdasarkan gambaran morfologi dan biologi. Dekade pertengahan
tahun 2000 melihat ada perkembangan fundamental dalam pemahaman
bagaimanana fenomena genetik-molekular berpengaruh pada patogenesis tumor
otak dan mempengaruhi sifatnya. Sama pentingnya dengan pengertian biologi
tumor, data molekular genetik berkontribusi pada skema klasifikasi morfologi,
dan pada beberapa tumor dapat menjadi data dasar evidence base untuk protokol
terapi ajuvan.
angka harapan hidup mengindikasikan adanya rentang yang sangat luas pada
periode bertahan hidup setelah operasi pada pasien dengan tumor yang
digolongkan sebagai astrositoma anaplastik dengan fokus anaplastik (Fulling dan
Garcia 1985). Hal ini lebih mendekatkan pada pemeriksaan skema karakteristik
dan pergerakan yang berlandaskan gambaran histologik spesifik yang bertujuan
untuk menentukan gambaran mana yang dapat menjadi indikator independen dari
perilaku biologik dan angka ketahanan hidup. Upaya ini berusaha dilakukan oleh
skema grading berdasarkan St. Anne Mayo, yang dikembangkan oleh DaumasDuport dan Szikla pada tahun 1981, kemudian didukung dengan data angka
bertahan hidup (Daumas- Duport et al 1988a). Pada sistem ini, tumor
diklasifikasikan berdasarkan akumulasi dari empat gambaran morfologi: atipia
inti, mitosis, proliferasi sel endotel, dan nekrosis. Tumor grade I, tidak memiliki
salah satu pun dari gambaran ini, Tumor grade II memiliki satu gambaran
(terutama atipia inti), tumor grade III memiliki dua gambaran terutama (atipia inti
dan mitosis) dan Tumor grade IV memiliki tiga atau empat gambaran (atipia inti,
mitosis, proliferasi sel endotelial nekrosis). Pada publikasi mereka, pada tahun
1988, Daumas-Duport dan koleganya melaporkan hasil dari pengaplikasian sistem
St. Anne Mayo pada 287 tumor astrositik (Daumas Duport et al 1988a). Data
mereka menunjukkan perbedaan yang jelas antara empat derajat keganasan
dengan rata-rata waktu bertahan hidup selama 4 tahun untuk grade II, 1.6 tahun
untuk grade III, dan 0,7 tahun untuk grade IV. Mereka juga melaporkan sebesar
94% kesepakatan antara berbagai ahli patologis.
Seperti halnya dengan berbagai sistem pengklasifikasian, ada beberapa
masalah dalam pengaplikasian skema St. Anne Mayo. Keraguan muncul pada saat
memutuskan lesi tumor grade I harus dianggap sebagai tumor dikarenakan mereka
tidak memiliki gambaran yang dimiliki untuk dilakukan pengklasifikasian. Hanya
dua dari 287 astrositoma (0,7%) yang dianalisis yang disimpulkan sebagai grade I.
Terlebih lagi, tidak ada perbedaan yang bermakna antara masa bertahan selama 3
tahun pada Tumor grade II, III, dan IV berdasarkan klasifikasi St. Anne Mayo
(Daumas-Duport et al 1988a) bila dibandingkan dengan grade I, II, dan III
berdasarkan klasifikasi tiga tingkatan berdasarkan Ringetz (Burger et al 1953).
Kesimpulan yang diperoleh diantaranya adalah bahwa kriteria frekuensi relatif
dan perilaku biologis dari astrositik glioma lebih tepat dikelompokkan menjadi
tiga tingkatan diabndingkan dengan empat tingkatan. Keterbatasan dari sistem St.
Anne Mayo dalam memprediksi prognosis dari astrositoma pada anak-anak
(Brown et al 1998) dan perbedaan pendapat antara indeks proliferasi dan grading
tumor (Giannini et al 1999a).
Klasifikasi World Health Organization (WHO) tentang tumor Sistem Saraf
Pusat, pertama kali dipublikasikan pada tahun 1979 (Zulch 1979). Klasifikasi ini
4
tentang semua tumor Sistem Saraf Pusat, tidak hanya tentang glioma. Tumortumor yang dimasukkan dalam klasifikasi ini disepakati oleh para ahli
neuropatologi: Klaus Zulch, Lucien Rubinstein, Kennteh Earle, John Hume
Adams, dan John Kepes, berdasarkan data dari 230 tumor yang ada selama 10
tahun terakhir. Klasifikasi awal ini, kemudian direvisi pada tahun 1988 dan 1990
dan klasifikasi yang diupdate diterbitkan pada tahun 1993 (Kleihues et al 1993).
Seperti pada skema awal pada tahun 1973, setiap tumor dibuatkan derajat dalam
hal skala keganasan dari jinak (grade I) sampai ganas (grade IV). Skema
klasifikasi ini berdasarkan kombinasi dari data angka bertahan hidup dan
gambaran histopatologi. Akan tetapi, pengarang dari skema terbaru pada tahun
1993 memperingatkan bahwa tidak semua tumor menunjukkan rentang derajat
keganasan dari grade I sampai grade IV. Revisi selanjutnya dari klasifikasi WHO
dan skema klasifikasi dipublikasikan pada tahun 2000 (Kleihues dan Cavenee
2000) dan 2007 (Louis et al 2007a). Revisi tahun 2000 memulai adanya
pengelompokkan berdasarkan genetika molekuler dari masing-masing tumor. Dan
ini terus berlanjut pada skema tahun 2007 (Lihat kotak 3.1).
Beberapa skema tentang pengklasifikasian lain juga dikembangkan di
pusat Neuroonkologi di Amerika Utara dan Eropa, dan masing-masing memiliki
data angka bertahan hidup secara lokal (De Armond et al 1987) dan masingmasing institusi mulai pula menerapkan skala klasifikasi berasarkan skema St.
Anne Mayo dan Ringetz. Akan tetapi, klasifikasi WHO adalah klasifikasi yang
paling diikuti secara luas, terutama para neuropatologis yang berpartisipasi pada
trial neuroonkologi.
Perbandingan antara skema klasifikasi antara Ringetz, Kernohan, WHO
dan St. Anne Mayo ditunjukkan pada gambar 3.2.
Klasifikasi terpisah tentang Tumor Otak pada anak-anak diajukan pada
tahun 1985 (Rorke et al 1985). Skema alternatif ini telah dibuktikan pada
beberapa penelitian yang membuktikan keterbatasan skema klasifikasi orang
dewasa bila diterapkan pada anak-anak dan mngidentifikasi gambaran histologi
yang penting untuk membedakan sub tipe tumor dengan membedakan perilaku
biologiknya (Gilles et al 2000a.b).
Skema grading dan klasifikasi berdasarkan WHO tahun 2007
menghasilkan tujuh kategori mayor berdasarkan asal sel atau jaringan (Louis et al
2007a; appendix).
Tumor meninges
Limfoma dan neoplasma hemopoietik
Tumor sel germ
Tumor regio sella
Tumor metastase
Adanya nekrosis pada PXA dihubungkan dengan adanya waktu ertahan hidup
yang diperpendek (Pahapill et al 1996). Pleomorphic xanthoastrocytoma jarang
membentuk komponen glial dari ganglioglioma (Kordek et al 1995) dan adanya
PXA dan ganglioglioma sebagai tumor yang terpisah juga telah dilaporkan (Perry
et al 1997a). Histogenesis dari PXA masih kontroversial. Dalam seri aslinya,
Kepes dan koleganya mengajukan berasal dari astrosit sub-ependymal,
berdasarkan kesamaan ultrastruktur antara ini dan sel tumor PXA. Akan tetapi,
ekpresi dari marker neuronal (Powell et al 1996) dan antigen sel progenitor
hemopoietik, CD34 juga telah dicatat. Meskipun jarang terjadi, adanya displasia
kortikal juga meningkatkan kemungkinan bahwa PXA mungkin berasal dari
hamartoma atau lesi yang perkembangan tidak sempurna (Lach et al 1996; Im et
al 2004).
Diffuse astrocytoma, anaplastic astrocytoma, dan glioblastoma multiforme
mewakili sejumlah besar jenis astrositoma. Secara histopatologi, perilakunya
sering membentuk morfologi yang tumpang tindih lain halnya dengan adanya
pembagian yang jelas pada pilocytic, subependymal giant cell, dan pleomorphic
astro cytoma. Diffuse astrocytoma memiliki tiga subtipe: fibrillary, gemistocytic,
dan protoplasmic, dibedakan dengan dasar histopatologi. Meskipun gemistocytic
astrositoma memiliki kecenderungan untuk berkembang menajdi anaplastik
astrositoma dan glioblastoma (Krouwer et al 1991; Schiffer et al 1988), diffuse
astrocytoma dimasukkan ke dalam WHO grade II. Anaplastik astrocytoma (WHO
grade III) dan glioblastoma multiforme (WHO grade IV) dibedakan dengan
diffuse astrocytoma dengan hiperselularitasnya yang lebih padat, nukleus yang
lebih besar, dan pleomorfisme selular, gambaran mitosis yang lebih banyak,
proloferasi sel endotelial, dan nekrosis. Baik kedua dari gambaran terkahir
(proliferasi sel endotelial dan atau nekrosis) mewakili grading glioblastoma pada
skema WHO. Meskipun tidak ditabulasi dalam skema 2007, glioblastoma primer
dan sekunder tidak dikenal pada basis perubahan genetik molekular pada DNA sel
tumor. Glioblastoma primer terjadi pada individu yang lebih tua (rata-rata usia 62
tahun) dan muncul dengan riwayat klinis yang singkat, biasanya 3 bulan.
Glioblastoma sekunder biasanya memiliki riwayat klinis yang lebih lama,
berlangsung beberapa tahun, pada individu yang lebih muda (rata-rata usia 45
tahun), sering muncul dengan tumor yang derajatnya lebih rendah. Mutasi dari
gen TP53, terjadi pada awal evolusi tumor adalah penanda glioblastoma sekunder,
sementara apmplifikasi dan penyusunan ulang dari reseptor gen epidermal growth
factor (EGFR) adalah karakteristik dari glioblastoma primer (Ohgaki et al 2004,
Ohgaki dan Klihues 2007). Hilangnya heterozigositas pada kromosom 10q
biasanya ada pada kedua bentuk glioblastoma (Ohgaki et al 2004).
Oligodendroglial tumor
o Oligodendroglioma WHO II
o Anaplastic oligodendroglioma WHO III
Oligoastrocytic tumor
o Oligoastrocytoma WHO II
o Anaplastic oligoastrocytoma WHO III
Tumor-Tumor Ependymal
Subependymoma WHO I
Myxopapillary ependymoma WHO I
Ependymoma WHO II
10
o Cellular
o Papillary
o Clear cell
o Tanyctic
Anaplastic ependymoma WHO III
Seperti pada skema tahun 2000, terdapat empat kategori pada tumor
ependymal: subependymoma, myxopapillary ependymoma, ependymoma (dengan
varian selular, papiler, clear cell, dan tanycytic) dan ependymoma anaplastik.
Myxopapillary ependymoma dan sub ependymoma diklasifikasikan sebagai WHO
I, ependymoma dan masing-masing subtipenya sebagai grade II, dan
ependymoma anaplastik sebagai grade III. Sebagaimana dengan klasifikasi
sebelumnya, pembedaan subependymoma dan myxopapillary ependymoma dari
ependymoma berdasarkan karakteristik gambaran histopatologi dan lokasi
anatomi spesifik. Diagnosis histopatologi dari ependymoma anaplastik bisa sesuai
bila ada jumlah gambaran mitosisnya yang bermakna, hiperplasia sel endotelial,
dan atau nekrosis. Akan tetapi, tumor-tumor dengan area nekrosis yang tidak
disertai dengan aktivitas mitosis dan proliferasi sel endothelial tidak harus
dianggap sebagai ependymoma anaplastik (Kurt et al 2006). Ependymoma dengan
gambaran-gambaran lebih sering terjadi pada fossa kranialis posterior dan
biasanya mempunyai indeks proliferasi yang rendah (Korshunov et al 2000).
Tumor-Tumor Pleksus Khoroideus
Tiga kategori tumor pleksus khoroideus mewakili spektrum dari jinak sampai
ganas. Papilloma pleksus khoroideus atipikal ditambahkan pada klasifikasi tahun
2000 dan dibedakan dengan papilloma pleksus khoroideus karena aktivitas
mitotiknya. Masuknya papilloma atipikal pada klasifikasi tahun 2007
diformulasikan pada penelitian tunggal tentang 164 tumor pleksus khoroideus
(Jeibmann et al 2006). Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa tumor
dengan dua atau lebih gambaran mitotik dalam pembesaran 10 x dapat
dipertimbangkan sebagai atipikal. Diagnosis histopatologi karsinoma pleksus
khoroideus ditegakkan bila terdapat empat dari lima gambaran anaplastik: terdapat
5 mitosis pada pembesaran 10x, peningkatan densitas selular, pleomorfisme inti,
kaburnya gambaran papiler dengan invasi inti fibrovaskular pada struktur papil
dan nekrosis (Paulus dan Brandner 2007). Invasi pada struktur otak terdekat juga
dapat terlihat. Imunoreaktivitas epitel khoroid terhadap transthretin dan
11
Astroblastoma
o Glioma Chordoid pada ventrikel ketiga WHO II
o Glioma angiocentric WHO I
Kategori ini menggantikan Tumor glial yang tidak diketahui asalnya yang
terdapat pada skema tahun 2000.
Istilah astroblastoma diajukan pertama kali oleh Bailey dan Bucy pada
tahun 1930 untuk tumor-tumor yang aktif pada gliovaskular dengan bentuk
pseudorosette perivaskular yang tajam yang dibentuk oleh astrosit, Telah
dipertimbangkan pula oleh para neuropatologis bahwa neoplasma jenis ini
merupakan jenis yang terpisah, terpisah dari astrositoma atau subtipe astrositoma.
Terutama karena area yang ditemukan pada pada astroblastoma dapat ditemukan
pada astrositoma anaplastik dan glioblastoma. Dikarenakan sediktnya data
patologi klinis astroblastoma tidak dimasukkan dalam skema tahun 2007. Akan
tetapi, astroblastoma cenderung berbatas lebih tegas, karakteristik yang bisa
mempermudah reseksi total secara makros dan meningkatkan outcome yang lebih
baik (Bonnin dan Rubinstein 1989; Brat et al 1999a).
Dengan kurang dari 50 sample yang dicontohkan, histogenesis dari glioma
khoroid dari ventrikel ketiga masih enimagmatik. Kasus pertama dilaporkan
tentang varian yang tidak biasa dari meingioma, yang mengekspresikan glial
fibrilarry acidic protein (GFAP) (Wanchitz et al 1995). Yang terbaru, yang berasal
dari ependyma telah diformulasikan berdasarkan gambaran ultrastuktur (Leeds et
al 2006; Jain et al 2008). Dikarenakan sifatnya yang agresif lokal (Kurian et al
2005) , glioma khordoid diklasifikasikan sebagai WHO grade II.
Glioma angiosentrik sangat dengan derajat rendah (WHO I), tumor non
agresif yang histogenesisnya diduga tetapi belum bisa dipastikan berasal dari glia,
yang terjadi paling sering pada hemispherium cerebral. Terdapat 30 contoh telah
dilaporkan, paling sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda (LellouchTubiana et al 2005; Wang et al 2005; Preuser et al 2006). Mayoritas dari pasien
memiliki riwayat kejang parsial kompleks.
12
13
kejang parsial kompleks pada individu yang lebih muda yang biasanya refrakter
terhadap terapi secara medis. Secara
makroskopis, DNET adalah lesi
multinodular, baik hanya berada pada korteks saja atau bisa mengenai korteks dan
white matter. Kebanyakan berlokasi pada lobus temporal dan sering mengenai
struktur-struktur mesial (Daumas Duport 1993). Mereka juga pernah ditemukan
pada nucleus caudatus (Cervera Pierot et al 1997), cerebellum (Daumas Duport et
al 1988b; Kuchelmeister et al 1995) dan pada pons (Leung et al 1994). Gambaran
histopatological yang khas adalah elemen glioneuronal yang terbentuk dari sel-sel
neuron berukuran kecil yang tersusun di dalam kolom yang terkadang berorientasi
pada sudut kanan pada permukaan korteks. Hal ini dapat menyerupai ruangan
seperti kista kecil yang terisi dengan material miksoid dan musinous dan
mengandung neuron yang sudah matur. Sel-sel kecil ini, pada awalnya
dideskripsikan memiliki gambaran oligodendroglial tetapi prosesusnya
imunoreaktif terhadap synapyophysin dan enolase spesifik neuron (Leung et al
1994), yang menyatakan bahwa tumor ini berasal dari jalur neuronal. Dengan
menggunakan mikroskop elektron, mereka terlihat sebagai granul-granul yang
dengan inti pekat neurosekretor dan mikrotubule, dan pada tempat dimana
prosesusnya melakukan kontak dengan sel lainnya maka akan terlihat lebih tebal
(Leung et al 1994)
Terdapat tiga subtipe berdasarkan histologi yaitu sederhana, kompleks dan non
spesifik (Daumas Duport 1993). Bentuk yang sederhana hanya terdiri elemen
glioneuronal sementara bentuk yang kompleks mengandung satu atau lebih nodul
dari sel glia, baik astrosit atau oligodendrosit, selain adanya elemen glioneuronal,
dan struktur sekitar korteks serebral menunjukkan gambaran displasia dalam
bentuk dislaminasi dan malorientasi badan sel neuronal. Bentuk yang non spesifik
masih kontroversial, dikarenakan sedikitnya elemen glioneuronal dan arsitektur
multinodular. Secara klinis dan radiologis, hal ini overlap dengan tumor glia
derajat rendah lainnya, khususnya pilocytic astrocytoma dan oligodendroglioma.
Follow up terhadap berbagai kasus membuktikan bahwa kebanyakan dari tumor
ini bersifat jinak. Akan tetapi ada kemungkinan juga bahwa sebagian kecil DNET
dapat berubah menjadi oligodendroglioma (Gonzales et al 2007).
Gangliocytoma dan ganglioglioma merepresentasikan spektrum histologik
dari tumor-tumor neuroepithelial yang variasinya terdiri dari terutama sel-sel yang
dewasa di gangliocytoma sampai campuran dari sel ganglion dan glia, dan
terutama astrosit bila pada ganglioglioma. Dapat timbul pada tempat mana saja di
SSP. Akan tetapi banyak timbul pada lobus temporal dan sering dikaitkan dengan
epilepsi lobus temporal. Keduanya WHO grade I.
14
16
17