Anda di halaman 1dari 17

KLASIFIKASI DAN PATOGENESIS TUMOR OTAK

Pendahuluan
Klasifikasi tumor Sistem Saraf Pusat berdasarkan, terutama pada gambaran
histopatologi dengan bahasan baru termasuk di dalamnya upgrade pada skema
klasifikasi berdasarkan gambaran morfologi dan biologi. Dekade pertengahan
tahun 2000 melihat ada perkembangan fundamental dalam pemahaman
bagaimanana fenomena genetik-molekular berpengaruh pada patogenesis tumor
otak dan mempengaruhi sifatnya. Sama pentingnya dengan pengertian biologi
tumor, data molekular genetik berkontribusi pada skema klasifikasi morfologi,
dan pada beberapa tumor dapat menjadi data dasar evidence base untuk protokol
terapi ajuvan.

Klasifikasi dan Grading Tumor-Tumor Sistem Saraf Pusat Aspek Sejarah


Deskripsi makroskopik pertama tentang tumor otak dipublikasikan pertama kali
oleh Cruveilhier pada tahun 1829. Pada tahun 1836, Bressler mendeskripsikan
sejumlah tumor otak dan mengkategorisasikan mereka secara makroskopik
sebagai fatty, fleshy and bony tumors, sarcoma medullar, melanose, tumor kistik
dan hidatid (Diambil dari Leestma 1980). Kemudian, pada tahun 1860, Virchow
memperkenalkan istilah neuroglia (dikenal dengan lem saraf), sebagai matriks
interstitial di otak di mana di dalamnya sel-sel dibatasi secara terpisah. Sebagian
besar dari pemikiran patologi yang terjadi pada tumor otak pada abad ke-19
berkiblat pada pemikiran Virchow. Beliau adalah orang pertama yang mencoba
untuk menghubungkan antara gambaran makroskopik dan mikroskopik,
merupakan orang pertama yang menggunakan istilah Glioma. Glioma
dideskripsikan sebagai lesi yang tumbuh lambat, yang berbatas tidak tegas yang
berinfiltrasi secara difus tetapi tidak menghancurkan parenkima otak. Sebaliknya,
sarkoma berbatas lebih tegas, tumbuh dengan sangat cepat, yang dikenal sekarang
sebagai efek massa pada struktur-struktur sekitar, dan yang paling sering
hemorargik dan nekrotik. Golgi, pada tahun 1884, mengajukan definisi yang lebih
sempit tentang glioma sebagai tumor yang terdiri dari sel-sel fibrosa. Dan definisi
ini dianggap sebagai jinak. Selanjutnya, pada tahun 1890 Virchow
mengintrepretasikan kembali tumor pada daerah dura, yang sekarang dikenal
dengan meningioma. Virchow menamainya dengan psammomas dikarenakan
mengandung lamella yang konsentris, struktur yang terkalsifikasi yang sekarang
dikenal dengan badan psamoma, dan membedakannya dengan sarkoma dural.

Dengan menggunakan teknik impregnasi logam berat yang disempurnakan


oleh Cajal pada tahun 1913 dan Rio- Hortega tahun 1919 untuk
mendemonstrasikan morfologi sel-sel yang berbeda yang ada di otak. Bailey dan
Cushing (1926) mempublikaskan skema mereka untuk mengklasifikasikan
glioma.
Ini berdasarkan hipotesis dari histogenesis Sistem saraf Pusat dari epitel
medullar primitif, yang sekarang dikenal dengan neuroektoderm primitif, melalui
prekursor glial dan neuronal. Skema mereka mengajukan 14 tipe tumor (Gambar
3.1), masing-masing berasal dari terhambatnya pertumbuhan pada stadiumstadium tertentu pada histogenesis neuronal (Ribbert 1918). Tumor dapat
diklasifikasikan dengan menghubungkan gambaran morfologi dari komponenkomponen sel dengan sel normal pada tahap tertentu dari histogenesis.
Meskipun bermanfaat dikarenakan secara langsung berfokus pada proses
diferensiasi. Klasifikasi Bailey dan Cushing kesulitan dikarenakan dasar
hipotesisnya dan realisasi bahwa sel pada tahap-tahap yang ditunjukkan pada
histogenesis sulit untuk dikenali secara morfologi. Kontribusi yang penting
kemudian oleh Cox (1933), yang menyatakan ada sel-sel non neoplasma termasuk
dalam sel-sel yang memiliki penampilan morfologi yang sama dengan sel-sel
yang terdapat pada berbagai tahapan histogenesis yang diajukan oleh Bailey dan
Cushing. Untuk alasan inilah, para neuropathologis menyatakan bahwa klasifikasi
ini sulit untuk diaplikasikan dengan kesamaan persepsi.
Skema Bailey dan Cushing mendominasi pemikiran tentang glioma
sampai tahun 1949, dan kemnudian James Kernohan (1949) dan koleganya di
Mayo klinik mengajukan klasifikasi yang lebih sederhana. Kernohan
mempercayai sejak lama bahwa tumor-tumor glia berkembang dari sel sel yang
terdiferensiasi penuh, dan penampilan histopatologi yang berbeda tidak
merepresentasikan tipe-tipe tumor yang berbeda tetapi perbedaan derajat dari
dediferensiasi dari satu tipe tumor. Mereka keluar dari terminologi histogenesis
yang membingungkan milik Bailey dan Cushing dan mereduksi kategorisasi dari
tumor glial menjadi lima: astrositoma, ependimoma, oligodendroglioma,
neuroastrositoma, dan medulloblastoma. Beliau juga mengenali tumor glial
campuran dapat juga terjadi, terutama oligoastrositoma, tetapi tidak membuatnya
sebagai kategori yang terpisah. Dan yang paling penting, akan tetapi, Kernohan
mengenalkan kembali ide yang sebelumnya dikembangkan oleh Tooth pada tahun
1912, bahwa perilaku biologis dari dari tumor-tumor ini dapat diperkirakan dari
gambaran histopatologi dan mengajukan sistem grading empat tingkatan untuk
astrositoma dan ependimoma. Hal ini berdasarkan bahwa meningkatnya anaplasia
dan menurunnya diferensiasi sejalan dengan meningkatnya grading tumor, sama

dengan prinsip penderajatan karsinoma yang sebelumnya dikembangkan oleh


Broders (1925).
Skema Kernohan menandai mulainya era bahwa perhatian sekarang lebih
diutamakan pada formulasi sistem penderajatan yang lebih dapat diterima
dibandingkan dengan memperbaiki klasifikasi berdasarkan histogenesis. Alasan
utama dari perubahan pemikiran ini adalah adanya peningkatan kesadaran dari
neuropatologis, ahli bedah saraf, dan neuroonkologis bahwa adanya klasifikasi
yang bermakna tentang tumor Sistem Saraf Pusat haruslah menyediakan indikasi
perilaku biologis sebagai dasar dari pengembangan protokol terapi yang efektif.
Beberapa hal menjadi kendala dalam menerapkan Skema Kernohaan.
Beberapa terutama tentang anaplasia dan derajat selularitas, yang ditemukan
sebagai hal yang subjektif dan cenderung menjadi variasi inter observer.
Subjektivitas ini mengakibatkan adanya grading yang tidak berarti dan meragukan
seperti I-II dan II-III. Masalah lainnya adalah nekrosis yang dimasukkan sebagai
gambaran yang terdapat pada astrositoma grade III dan IV. Kedua grade ini
dibedakan dengan densitas selularitasnya, anaplasia yang semakin parah dan
gambaran mitotik yang lebih tinggi termasuk dalam grade IV dibandingkan
dengan grade III. Publikasi dari skema ini melaporkan data 161 pasien post
operatif (Svien et al 1949). Penelitian ini menunjukkan periode survival yang
lebih panjang dan rasio bertahan 3 tahun untuk grade III (14,3%) dibandingkan
dengan tumor grade IV (3,8%). Akan tetapi, tidak ada perbedaan yang bermakna
antara rasio bertahan 3 tahun untuk tumor grade II dan grade III (15,8% dan
14,3%). Data ini menunjukkan bahwa pembagian derajat tumor berdasarkan tiga
tingkatan lebih akurat dalam merefleksikan biologi dari tumor-tumor ini.
Sebuah sistem yang mengajukan tiga tingkatan: astrositoma, astrositoma
dengan fokus anaplastik, dan glioblastoma multiforme diajukan ole Ringetz
(1950). Pada sistem ini, pembagian grading tumor berdasarkan kriteria histologik
lebih teliti, dengan keberadaan nekrosis tipe apa pun yang menandakan
glioblastoma multiforme. Meskipun sistem ini sederhana, sistem tiga tingkatan ini
tidak diterima secara luas sampai pertengahan tahun 1980an ketika sistem ini
kemudian diajukan kembali lagi sebagai alternatif pembagian dibandingkan
dengan sistem empat tingkatan dan juga untuk grading ependimoma dan
olgodendroglioma.
Hubungan antara nekrosis dengan astrositoma, yang diklasifikasikan
berdasarkan sistem tiga tingkatan, dengan perilaku biologik yang agresif dan
menurunkan angka bertahan hidup post operasi menjadi bahasan pada beberapa
laporan pada tahun 1980an (Burger dan Vollmer 1980; Nelson et al 1983; Burger
et al 1985; Fulling dan Garcia 1985; Garcia et al 1985). Akan tetapi, statistik
3

angka harapan hidup mengindikasikan adanya rentang yang sangat luas pada
periode bertahan hidup setelah operasi pada pasien dengan tumor yang
digolongkan sebagai astrositoma anaplastik dengan fokus anaplastik (Fulling dan
Garcia 1985). Hal ini lebih mendekatkan pada pemeriksaan skema karakteristik
dan pergerakan yang berlandaskan gambaran histologik spesifik yang bertujuan
untuk menentukan gambaran mana yang dapat menjadi indikator independen dari
perilaku biologik dan angka ketahanan hidup. Upaya ini berusaha dilakukan oleh
skema grading berdasarkan St. Anne Mayo, yang dikembangkan oleh DaumasDuport dan Szikla pada tahun 1981, kemudian didukung dengan data angka
bertahan hidup (Daumas- Duport et al 1988a). Pada sistem ini, tumor
diklasifikasikan berdasarkan akumulasi dari empat gambaran morfologi: atipia
inti, mitosis, proliferasi sel endotel, dan nekrosis. Tumor grade I, tidak memiliki
salah satu pun dari gambaran ini, Tumor grade II memiliki satu gambaran
(terutama atipia inti), tumor grade III memiliki dua gambaran terutama (atipia inti
dan mitosis) dan Tumor grade IV memiliki tiga atau empat gambaran (atipia inti,
mitosis, proliferasi sel endotelial nekrosis). Pada publikasi mereka, pada tahun
1988, Daumas-Duport dan koleganya melaporkan hasil dari pengaplikasian sistem
St. Anne Mayo pada 287 tumor astrositik (Daumas Duport et al 1988a). Data
mereka menunjukkan perbedaan yang jelas antara empat derajat keganasan
dengan rata-rata waktu bertahan hidup selama 4 tahun untuk grade II, 1.6 tahun
untuk grade III, dan 0,7 tahun untuk grade IV. Mereka juga melaporkan sebesar
94% kesepakatan antara berbagai ahli patologis.
Seperti halnya dengan berbagai sistem pengklasifikasian, ada beberapa
masalah dalam pengaplikasian skema St. Anne Mayo. Keraguan muncul pada saat
memutuskan lesi tumor grade I harus dianggap sebagai tumor dikarenakan mereka
tidak memiliki gambaran yang dimiliki untuk dilakukan pengklasifikasian. Hanya
dua dari 287 astrositoma (0,7%) yang dianalisis yang disimpulkan sebagai grade I.
Terlebih lagi, tidak ada perbedaan yang bermakna antara masa bertahan selama 3
tahun pada Tumor grade II, III, dan IV berdasarkan klasifikasi St. Anne Mayo
(Daumas-Duport et al 1988a) bila dibandingkan dengan grade I, II, dan III
berdasarkan klasifikasi tiga tingkatan berdasarkan Ringetz (Burger et al 1953).
Kesimpulan yang diperoleh diantaranya adalah bahwa kriteria frekuensi relatif
dan perilaku biologis dari astrositik glioma lebih tepat dikelompokkan menjadi
tiga tingkatan diabndingkan dengan empat tingkatan. Keterbatasan dari sistem St.
Anne Mayo dalam memprediksi prognosis dari astrositoma pada anak-anak
(Brown et al 1998) dan perbedaan pendapat antara indeks proliferasi dan grading
tumor (Giannini et al 1999a).
Klasifikasi World Health Organization (WHO) tentang tumor Sistem Saraf
Pusat, pertama kali dipublikasikan pada tahun 1979 (Zulch 1979). Klasifikasi ini
4

tentang semua tumor Sistem Saraf Pusat, tidak hanya tentang glioma. Tumortumor yang dimasukkan dalam klasifikasi ini disepakati oleh para ahli
neuropatologi: Klaus Zulch, Lucien Rubinstein, Kennteh Earle, John Hume
Adams, dan John Kepes, berdasarkan data dari 230 tumor yang ada selama 10
tahun terakhir. Klasifikasi awal ini, kemudian direvisi pada tahun 1988 dan 1990
dan klasifikasi yang diupdate diterbitkan pada tahun 1993 (Kleihues et al 1993).
Seperti pada skema awal pada tahun 1973, setiap tumor dibuatkan derajat dalam
hal skala keganasan dari jinak (grade I) sampai ganas (grade IV). Skema
klasifikasi ini berdasarkan kombinasi dari data angka bertahan hidup dan
gambaran histopatologi. Akan tetapi, pengarang dari skema terbaru pada tahun
1993 memperingatkan bahwa tidak semua tumor menunjukkan rentang derajat
keganasan dari grade I sampai grade IV. Revisi selanjutnya dari klasifikasi WHO
dan skema klasifikasi dipublikasikan pada tahun 2000 (Kleihues dan Cavenee
2000) dan 2007 (Louis et al 2007a). Revisi tahun 2000 memulai adanya
pengelompokkan berdasarkan genetika molekuler dari masing-masing tumor. Dan
ini terus berlanjut pada skema tahun 2007 (Lihat kotak 3.1).
Beberapa skema tentang pengklasifikasian lain juga dikembangkan di
pusat Neuroonkologi di Amerika Utara dan Eropa, dan masing-masing memiliki
data angka bertahan hidup secara lokal (De Armond et al 1987) dan masingmasing institusi mulai pula menerapkan skala klasifikasi berasarkan skema St.
Anne Mayo dan Ringetz. Akan tetapi, klasifikasi WHO adalah klasifikasi yang
paling diikuti secara luas, terutama para neuropatologis yang berpartisipasi pada
trial neuroonkologi.
Perbandingan antara skema klasifikasi antara Ringetz, Kernohan, WHO
dan St. Anne Mayo ditunjukkan pada gambar 3.2.
Klasifikasi terpisah tentang Tumor Otak pada anak-anak diajukan pada
tahun 1985 (Rorke et al 1985). Skema alternatif ini telah dibuktikan pada
beberapa penelitian yang membuktikan keterbatasan skema klasifikasi orang
dewasa bila diterapkan pada anak-anak dan mngidentifikasi gambaran histologi
yang penting untuk membedakan sub tipe tumor dengan membedakan perilaku
biologiknya (Gilles et al 2000a.b).
Skema grading dan klasifikasi berdasarkan WHO tahun 2007
menghasilkan tujuh kategori mayor berdasarkan asal sel atau jaringan (Louis et al
2007a; appendix).

Tumor jaringan neuroepithelial


Tumor saraf spinal dan paraspinal

Tumor meninges
Limfoma dan neoplasma hemopoietik
Tumor sel germ
Tumor regio sella
Tumor metastase

Sejumlah temuan baru juga turut diikutsertakan, astrositoma pilomiksoid,


papilloma pleksus khoroideus, glioma angisenstrik, tumor glioneuronal papiller,
tumor glioneuronal bentuk rosette pada ventrikel keempat, tumor papiller pada
regio pineal, pituicytoma, dan onkositoma sel spindel pada adenohipofisis. Tipe
tumor terbaru ini dimasukkan dengan alasan distribusi pada umur berbeda, lokasi,
profil genetik atau perilaku klinik (Louis et al 2007b).
Tumor-Tumor Jaringan Neuroepithelial
Tumor yang berasal dari neuroepithelium dibagi menjaadi sembilan kategori:
astrositik, oligodendroglial, ologoastrositik, dan tumor ependidimal, tumor
pleksus khoriodeus, tumor neuroepithelial lainnya (histogenesisnya masih belum
jelas), tumor neuronal dan tumor campuran neuronal dan glial, tumor dari regio
pineal, dan tumor embrional. Tumor-tumor neuroepithelial sebagai grup besar
memiliki rasio insidensi di Amerika Serikat 7,67/100.000 setiap tahun pada lakilaki dan 5,35/100.000 setiap tahun pada wanita (CBTRUS 2005).
Tumor-Tumor Astrositik

Astrositoma pilositik WHO I


o Pilomyxoid astrositoma WHO II
Sunependymal giant cell astrocytoma WHO I
Pleomorphic xantoastrocytoma WHO II
Diffuse Astrocytoma WHO II
o Fibrillary Astrocytoma
o Gemistocytic Astrocytoma
o Protoplasmic Astrocytoma
Anaplastik Astrocytoma
Glioblastoma, WHO IV
o Giant Cell Glioblastoma
o Gliosarcoma
Gliomastosis cerebri WHO III/IV

Tumor-tumor astrositik diklasifikasikan sama seperti dengan skema tahun


2000 tetapi diurutkan dengan urutan dari yang terendah sampai yang tertinggi
dalam skala keganasan. Dan sama halnya, astrositoma pilositik tipikal,
6

xanthoastrositoma pleomorfik, dan subependymal giant cell astrocytoma


(SEGCA) dibedakan dengan astrositoma difuse, astrositoma anaplastik, dan
glioblastoma multiforme. Histopatologi masing-masing berbeda.
Pilocytic astrocytoma biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.
Tipe ini tumbuh lambat, neoplasma ini berbatas tegas dengan predileksi terjadi
pada struktur garis tengah, saraf optik, dan khiasma, hipotalamus, dan batang otak
bagian dorsal. Tumor ini dapat juga timbul pada pada hemispherium cerebellum
dan jarang terjadi pada hemispherium cerebri pada orang dewasa (Palma dan
Guidetti 1985). Mayoritasnya memiliki sifat yang non agresif yang setelah
tindakan bedah baik komplit maupun tidak komplit dan dianggap sebagai WHO
grade I. Akan tetapi, rekurensi dan perkembangan astrositoma pilositik pada orang
dewasa telah dilaporkan (Stuer et al 2007). Perkembangan angka kebertahanan
hidup untuk pasien-pasien yang telah mengalami reseksi yang tidak sempurna
dikaitkan dengan level ekspresi dari marker diferensiasi oligidendroglial. Olig-1,
Olig-2, myelin base protein (MBP) dan platelet derived growth factor receptor-)
(Wong et al 2005; Takei et al 2008).
Pilomyxoid astrocytoma adalah jenis baru. Tumor ini pertama kali
dikenalkan pada akhir tahun 1990an (Tihan et al 1999) sebagai varian dari
pilocytic astrocytoma, dan terjadi paling sering pada anak-anak. Dimasukkan
sebagai WHO grade II dikarenakan perilaku yang agresif (Chikai et al 2004;
Fernandez et al 2003; Komotoar et al 2004).
Sub ependymal giant cell astrocytoma terjadi pada pasien dengan tuberous
sclerosis complex (Ahlsen et al 1994; Ess et al 2005). Meskipun tercatat memiliki
gambaran anaplastik (mitosis, hiperplasia sel endotel vaskular, nekrosis), sifat
tumor ini pada dasarnya jinak (Cuccia et al 2003, Kim et al 2001) dan mereke
diklasifikasikan sebagai WHO grade I.
Pleomorphic xanthoastrocytoma (PXA) terjadi terutama pada anak-anak
dan dewasa muda dan biasanya lokasinya superfisial, dan terkadang meluas ke
mengingens yang berada di atasnya.
Ketika pertama kali dilaporkan (Kepes et al 1979), PXA sifatnya tidak
agresif. Akan tetapi, progresi dan angka kejadian bertahan hidup yang memendek,
merupakan gambaran anaplastik, dan dicatat dalam beberapa studi kasus (Weldon
Linne et al 1983; Whitle et al 1989; McLean et al 1998). Istilah pelomorfik
xanthoastrositoma dengan gambaran anaplastik telah diajukan untuk menamai
varian ini (Giannini et al 199b) tetapi terminilogi spesifik ini tidak digunakan pada
skema klasifikasi WHO 2007 dan PXA diklasifikasikan sebagai WHO grade II.

Adanya nekrosis pada PXA dihubungkan dengan adanya waktu ertahan hidup
yang diperpendek (Pahapill et al 1996). Pleomorphic xanthoastrocytoma jarang
membentuk komponen glial dari ganglioglioma (Kordek et al 1995) dan adanya
PXA dan ganglioglioma sebagai tumor yang terpisah juga telah dilaporkan (Perry
et al 1997a). Histogenesis dari PXA masih kontroversial. Dalam seri aslinya,
Kepes dan koleganya mengajukan berasal dari astrosit sub-ependymal,
berdasarkan kesamaan ultrastruktur antara ini dan sel tumor PXA. Akan tetapi,
ekpresi dari marker neuronal (Powell et al 1996) dan antigen sel progenitor
hemopoietik, CD34 juga telah dicatat. Meskipun jarang terjadi, adanya displasia
kortikal juga meningkatkan kemungkinan bahwa PXA mungkin berasal dari
hamartoma atau lesi yang perkembangan tidak sempurna (Lach et al 1996; Im et
al 2004).
Diffuse astrocytoma, anaplastic astrocytoma, dan glioblastoma multiforme
mewakili sejumlah besar jenis astrositoma. Secara histopatologi, perilakunya
sering membentuk morfologi yang tumpang tindih lain halnya dengan adanya
pembagian yang jelas pada pilocytic, subependymal giant cell, dan pleomorphic
astro cytoma. Diffuse astrocytoma memiliki tiga subtipe: fibrillary, gemistocytic,
dan protoplasmic, dibedakan dengan dasar histopatologi. Meskipun gemistocytic
astrositoma memiliki kecenderungan untuk berkembang menajdi anaplastik
astrositoma dan glioblastoma (Krouwer et al 1991; Schiffer et al 1988), diffuse
astrocytoma dimasukkan ke dalam WHO grade II. Anaplastik astrocytoma (WHO
grade III) dan glioblastoma multiforme (WHO grade IV) dibedakan dengan
diffuse astrocytoma dengan hiperselularitasnya yang lebih padat, nukleus yang
lebih besar, dan pleomorfisme selular, gambaran mitosis yang lebih banyak,
proloferasi sel endotelial, dan nekrosis. Baik kedua dari gambaran terkahir
(proliferasi sel endotelial dan atau nekrosis) mewakili grading glioblastoma pada
skema WHO. Meskipun tidak ditabulasi dalam skema 2007, glioblastoma primer
dan sekunder tidak dikenal pada basis perubahan genetik molekular pada DNA sel
tumor. Glioblastoma primer terjadi pada individu yang lebih tua (rata-rata usia 62
tahun) dan muncul dengan riwayat klinis yang singkat, biasanya 3 bulan.
Glioblastoma sekunder biasanya memiliki riwayat klinis yang lebih lama,
berlangsung beberapa tahun, pada individu yang lebih muda (rata-rata usia 45
tahun), sering muncul dengan tumor yang derajatnya lebih rendah. Mutasi dari
gen TP53, terjadi pada awal evolusi tumor adalah penanda glioblastoma sekunder,
sementara apmplifikasi dan penyusunan ulang dari reseptor gen epidermal growth
factor (EGFR) adalah karakteristik dari glioblastoma primer (Ohgaki et al 2004,
Ohgaki dan Klihues 2007). Hilangnya heterozigositas pada kromosom 10q
biasanya ada pada kedua bentuk glioblastoma (Ohgaki et al 2004).

Giant cell glioblastoma dan gliosarcoma adalah subtipe histologik dari


glioblastoma. Varian sel raksasa terdapat pada 5% glioblastoma. Gambaran
khasnya secara histopatologi adalah tumor berukuran besar yang berbentuk tidak
biasa yang mengandung inti-inti multiple yang hiperkromatik. Gambaran mitotik
atipikal sering ditemukan. Meskipun perjalanan klinisnya cukup singkat, giant cell
glioblastoma memiliki jejak molekular genetik glioblastoma sekunder- biasanya
mutasi TP53. LOH pada kromosom 10q dan berkurangnya amplifikasi EFGR
(Meyer-Puttlitz et al 1997).
Gliosarcoma terdapat sekitar 2% dari glioblastoma dan dibedakan dengan
elemen mesekimal neoplastik dengan komponen astrositik. Meskipun
perbedaannya terlihat jelas pada komponen glial dan mesenkimal, dari penelitian
sitogenetik dan genetik molekular, mendokumentasikan mutasi TP53 dan PTEN,
mengindikasikan bahwa kedua komponen merepresentasikan glia neoplastik
(Paulus et al 1994, Biernat et al 1995).
Gliomastosis cerebri menjelaskan fenomena infiltrasi difus pada
setidaknya tiga lobus pada cererum oleh sel glia neoplastik, biasanya astrosit
(Nevin 1938). Sementara keterlibatan cerebrum adalah pola yang paling sering
ditemui, proses ini juga dapat terjadi pada khiasma optikum dan sarafnya,
hipothalamus, mesencephalon, thalamus, ganglia basalis, cerebellum dan medulla
spinalis (Vates et al 2003). Sel-sel atipikal berakumulasi antara serabut saraf pada
white matter. Kasus jarang tentang gliomatosis oligodendroglial cerebri telah
dijelaskan (Balko et al 1992). Kebanyakan dari kasus ini merepresentasikan WHO
grade III dan IV tergantung pada keberadaan proliferasi sel endotelial dan
nekrosis (Vates et al 2003).
Tumor Oligodendroglial dan oligoastrocytic

Oligodendroglial tumor
o Oligodendroglioma WHO II
o Anaplastic oligodendroglioma WHO III
Oligoastrocytic tumor
o Oligoastrocytoma WHO II
o Anaplastic oligoastrocytoma WHO III

Klasifikasi dan grading dari tumor-tumor ologodendroglial dan


oligoastrocytic sama dengan klasifikasi pada tahun 2000. Dikenali dua grading,
oligodendroglioma/oligoastrocytoma
(WHO
II)
dan
anaplastik
oligoastrocytoma/anaplastic oligoastrocytoma (WHO grade III). Kedua tipe tumor
ini menunjukkan peningkatan densitas sel tumor dan juga mitosis dan hiperplasia
sel endotelial vaskular. Sel-sel kecil dengan gemitocystes tetapi dengan inti yang
9

bulat juga terlihat pada oligodendroglioma anaplastik dan oligostrocytoma


anaplastik. Hal ini menunjukkan imunoreaktivitas GFAP pada sitoplasma.
Komponen astrositik pada tumor-tumor oligoastrositik bervariasi dalam jumlah
dan bisa saja bercampur dengan sel-sel oligodendroglial (tipe difuse) atau dapat
terpisah dari mereka (tipe bifasik atau kompak) (Hart et al 1974). Tipe yang
terakhir ini mungkin tidak terdeteksi pada biopsi. Interpretasi tentang nekrosis
pada varian anaplastik menjadi masalah. Adanya nekrosis pada pada
oligodendroglioma anaplastic tidak mengindikasikan kurangnya angka bertahan
hidup (Miller et al 2006). Nekrosis pada oligoastrostima anaplastik, dikaitkan
dengan dengan angka bertahan hidup yang rendah (Miller et al 2006).
Oligoastrositoma anaplastik dengan nekrosis menurut panel rekomendasi tahun
2007 harus diklasifikasikan sebagai glioblastoma dengan dengan komponen
olgidendroglial dengan perkiraan bahwa tipe tumor ini memiliki outcome yang
lebih baik daripada glioblastoma tipikal (He et al 2001; Kraus et al 2001),
terutama jika bisa dibuktikan hilangnya kromosom 1p (Kraus et al 2001,Eoli et al
2006).
Skema WHO dua tingkatan untuk klasifikasi oligodendroglial berbeda
dengan skema sebelumnya yang mengajukan empat tingkatan (Smith et al 1983;
Mork 1986). Daumas-Duport dan kolega mengajukan skema klasifikasi dua
tingkatan berdasarkan gambaran histopatologi dan pencitraan: grade A dengan
tidak ada hiperplasia sel endotelial dan tidak menyengat kontras; grade B dengan
antara hiperplasia sel endotel atau menyengat kontras (Daumas Duport et al
1997). Follow up terhadap 79 pasien (59 grade A, 20 grade B) menunjukkan
angka bertahan hidup 11 tahun pada grade A dan 3,5 tahun pada grade B
(Daumas-Duport et al 1997).
Delesi pada keseluruhan lengan kromosom 1p, baik sendiri atau kombinasi
dengan delesi pada seluruh lengan kromosom 19q sekarang dikenal dengan tanda
genetik molekular pada tumor-tumor oligodendroglioma (Jeuken et al 2004;
Gonzales et al 2006) tetapi lebih jarang terjadi pada astrositoma. Co-delesi adalah
faktor predidiktif pada agen kemoterapi alkilasi (Cairncross et all 1998; Ino et al
2000, 2001). Pada saat ini pada evolusi pada skema klasifikasi WHO, tidak ada
rekomendasi formal untuk menggunakan tanda molekular genetik ini untuk
mengkonfirmasi jalur oligodendroglial pada tumor-tumor Sistem Saraf Pusat.

Tumor-Tumor Ependymal

Subependymoma WHO I
Myxopapillary ependymoma WHO I
Ependymoma WHO II

10

o Cellular
o Papillary
o Clear cell
o Tanyctic
Anaplastic ependymoma WHO III

Seperti pada skema tahun 2000, terdapat empat kategori pada tumor
ependymal: subependymoma, myxopapillary ependymoma, ependymoma (dengan
varian selular, papiler, clear cell, dan tanycytic) dan ependymoma anaplastik.
Myxopapillary ependymoma dan sub ependymoma diklasifikasikan sebagai WHO
I, ependymoma dan masing-masing subtipenya sebagai grade II, dan
ependymoma anaplastik sebagai grade III. Sebagaimana dengan klasifikasi
sebelumnya, pembedaan subependymoma dan myxopapillary ependymoma dari
ependymoma berdasarkan karakteristik gambaran histopatologi dan lokasi
anatomi spesifik. Diagnosis histopatologi dari ependymoma anaplastik bisa sesuai
bila ada jumlah gambaran mitosisnya yang bermakna, hiperplasia sel endotelial,
dan atau nekrosis. Akan tetapi, tumor-tumor dengan area nekrosis yang tidak
disertai dengan aktivitas mitosis dan proliferasi sel endothelial tidak harus
dianggap sebagai ependymoma anaplastik (Kurt et al 2006). Ependymoma dengan
gambaran-gambaran lebih sering terjadi pada fossa kranialis posterior dan
biasanya mempunyai indeks proliferasi yang rendah (Korshunov et al 2000).
Tumor-Tumor Pleksus Khoroideus

Papilloma pleksus khoroideus WHO I


Papilloma pleksus khoroideus atipikal WHO II
Papilloma pleksus khoroideus WHO III

Tiga kategori tumor pleksus khoroideus mewakili spektrum dari jinak sampai
ganas. Papilloma pleksus khoroideus atipikal ditambahkan pada klasifikasi tahun
2000 dan dibedakan dengan papilloma pleksus khoroideus karena aktivitas
mitotiknya. Masuknya papilloma atipikal pada klasifikasi tahun 2007
diformulasikan pada penelitian tunggal tentang 164 tumor pleksus khoroideus
(Jeibmann et al 2006). Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa tumor
dengan dua atau lebih gambaran mitotik dalam pembesaran 10 x dapat
dipertimbangkan sebagai atipikal. Diagnosis histopatologi karsinoma pleksus
khoroideus ditegakkan bila terdapat empat dari lima gambaran anaplastik: terdapat
5 mitosis pada pembesaran 10x, peningkatan densitas selular, pleomorfisme inti,
kaburnya gambaran papiler dengan invasi inti fibrovaskular pada struktur papil
dan nekrosis (Paulus dan Brandner 2007). Invasi pada struktur otak terdekat juga
dapat terlihat. Imunoreaktivitas epitel khoroid terhadap transthretin dan

11

synaptophysin sangatlah bermanfaat dalam membedakan tumor-tumor pleksus


khoroidalis ini dengan neoplasma papiler lainnya, khususnya karsinoma
metastatik papiler.
Tumor-Tumor Neuroepithelial lainnya

Astroblastoma
o Glioma Chordoid pada ventrikel ketiga WHO II
o Glioma angiocentric WHO I

Kategori ini menggantikan Tumor glial yang tidak diketahui asalnya yang
terdapat pada skema tahun 2000.
Istilah astroblastoma diajukan pertama kali oleh Bailey dan Bucy pada
tahun 1930 untuk tumor-tumor yang aktif pada gliovaskular dengan bentuk
pseudorosette perivaskular yang tajam yang dibentuk oleh astrosit, Telah
dipertimbangkan pula oleh para neuropatologis bahwa neoplasma jenis ini
merupakan jenis yang terpisah, terpisah dari astrositoma atau subtipe astrositoma.
Terutama karena area yang ditemukan pada pada astroblastoma dapat ditemukan
pada astrositoma anaplastik dan glioblastoma. Dikarenakan sediktnya data
patologi klinis astroblastoma tidak dimasukkan dalam skema tahun 2007. Akan
tetapi, astroblastoma cenderung berbatas lebih tegas, karakteristik yang bisa
mempermudah reseksi total secara makros dan meningkatkan outcome yang lebih
baik (Bonnin dan Rubinstein 1989; Brat et al 1999a).
Dengan kurang dari 50 sample yang dicontohkan, histogenesis dari glioma
khoroid dari ventrikel ketiga masih enimagmatik. Kasus pertama dilaporkan
tentang varian yang tidak biasa dari meingioma, yang mengekspresikan glial
fibrilarry acidic protein (GFAP) (Wanchitz et al 1995). Yang terbaru, yang berasal
dari ependyma telah diformulasikan berdasarkan gambaran ultrastuktur (Leeds et
al 2006; Jain et al 2008). Dikarenakan sifatnya yang agresif lokal (Kurian et al
2005) , glioma khordoid diklasifikasikan sebagai WHO grade II.
Glioma angiosentrik sangat dengan derajat rendah (WHO I), tumor non
agresif yang histogenesisnya diduga tetapi belum bisa dipastikan berasal dari glia,
yang terjadi paling sering pada hemispherium cerebral. Terdapat 30 contoh telah
dilaporkan, paling sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda (LellouchTubiana et al 2005; Wang et al 2005; Preuser et al 2006). Mayoritas dari pasien
memiliki riwayat kejang parsial kompleks.

12

Tumor-Tumor Neuronal dan Tumor Neuronal dan Glial Campuran

Dysplasia gangliocytoma pada cerebellum (Lhermitte-Duclos) WHO I


Desmoplastic infantile astrocytoma/ganglioglioma tumor WHO I
Dysembroplastic neuroepithelial tumor WHO I
Gangliocytoma WHO I
Ganglioglioma WHO I
Anaplastic ganglioglioma WHO III
Central neurocytoma WHO II
Extraventricular neurocytoma WHO II
Cerebellar liponeurocytoma WHO II
Papillary glioneuronal tumor WHO I
Rosette-forming glioneuronal tumor of the fourth ventricle WHO I
Paraganglioma (spinal) WHO I

Dengan pengecualian dari ganglioglioma anaplastik dan minoritas


neurositoma, tumor-tumor neuronal dan tumor campuran neuron dan glial bersifat
tidak begitu agresif. Banyak diantaranya berhubungan dengan epilepsi. Terdapat
dua hal yang termasuk di dalamnya: tumor glioneuronal papiler dan tumor
glioneuronal berbentuk rosette pada ventrikel keempat.
Apakah gangliostoma displastik pada cerebellum adalah sebuah tumor atau
nhamartoma masih belum jelas. Lesi yang pertama kali dideskripsikan pada tahu
1920 (Lhermitte dan Duclos 1920). Telah tercatat juga berhubungan dengan
sindroma Cowdens. (Padberg et al 1991).
Tumor-tumor astrositik dengan lokasi superfisial dengan stroma desmoplastic
dideskripsikan sebagai meningoserebral astrositoma oleh Taratuto dan kolega
pada tahun 1984. Kemudian, Vandeberg dan kolega (1987) mendokumentasikan
tumor-tumor neuroepithelial desmoplastik supratentorial dengan diferensiasi
divergen
dan
menyebut
ini
sebagai
desmoplastic
infantile
astrocytoma/ganglioma, digunakan pada klasifikasi pada 2000 dan 2007, berubah
dari pengenalan bahwa tumor ini menggambarkan spektrum histologik dari
predominan astrosit sampai ke campuran sel astrosit dan ganglion. Tumor-tumor
ini ini diklasifikasikan sebagai WHO grade I.
Dysembryoplastic neuroepithelial tumor (DNET) pertama kali dilaporkan
oleh Daumas Duport dan koleganya pada tahun 1998 ( Daumas Duport et al
1988b). Meskipun terdapat beberapa pertimbangan yang menyatakan bahwa
DNET adalah lesi hamartoma yang mengalami kelainan pertumbuhan, mereka
tetap dianggap sebagai neoplasma. Yang paling sering terjadi secara klinis adalah

13

kejang parsial kompleks pada individu yang lebih muda yang biasanya refrakter
terhadap terapi secara medis. Secara
makroskopis, DNET adalah lesi
multinodular, baik hanya berada pada korteks saja atau bisa mengenai korteks dan
white matter. Kebanyakan berlokasi pada lobus temporal dan sering mengenai
struktur-struktur mesial (Daumas Duport 1993). Mereka juga pernah ditemukan
pada nucleus caudatus (Cervera Pierot et al 1997), cerebellum (Daumas Duport et
al 1988b; Kuchelmeister et al 1995) dan pada pons (Leung et al 1994). Gambaran
histopatological yang khas adalah elemen glioneuronal yang terbentuk dari sel-sel
neuron berukuran kecil yang tersusun di dalam kolom yang terkadang berorientasi
pada sudut kanan pada permukaan korteks. Hal ini dapat menyerupai ruangan
seperti kista kecil yang terisi dengan material miksoid dan musinous dan
mengandung neuron yang sudah matur. Sel-sel kecil ini, pada awalnya
dideskripsikan memiliki gambaran oligodendroglial tetapi prosesusnya
imunoreaktif terhadap synapyophysin dan enolase spesifik neuron (Leung et al
1994), yang menyatakan bahwa tumor ini berasal dari jalur neuronal. Dengan
menggunakan mikroskop elektron, mereka terlihat sebagai granul-granul yang
dengan inti pekat neurosekretor dan mikrotubule, dan pada tempat dimana
prosesusnya melakukan kontak dengan sel lainnya maka akan terlihat lebih tebal
(Leung et al 1994)
Terdapat tiga subtipe berdasarkan histologi yaitu sederhana, kompleks dan non
spesifik (Daumas Duport 1993). Bentuk yang sederhana hanya terdiri elemen
glioneuronal sementara bentuk yang kompleks mengandung satu atau lebih nodul
dari sel glia, baik astrosit atau oligodendrosit, selain adanya elemen glioneuronal,
dan struktur sekitar korteks serebral menunjukkan gambaran displasia dalam
bentuk dislaminasi dan malorientasi badan sel neuronal. Bentuk yang non spesifik
masih kontroversial, dikarenakan sedikitnya elemen glioneuronal dan arsitektur
multinodular. Secara klinis dan radiologis, hal ini overlap dengan tumor glia
derajat rendah lainnya, khususnya pilocytic astrocytoma dan oligodendroglioma.
Follow up terhadap berbagai kasus membuktikan bahwa kebanyakan dari tumor
ini bersifat jinak. Akan tetapi ada kemungkinan juga bahwa sebagian kecil DNET
dapat berubah menjadi oligodendroglioma (Gonzales et al 2007).
Gangliocytoma dan ganglioglioma merepresentasikan spektrum histologik
dari tumor-tumor neuroepithelial yang variasinya terdiri dari terutama sel-sel yang
dewasa di gangliocytoma sampai campuran dari sel ganglion dan glia, dan
terutama astrosit bila pada ganglioglioma. Dapat timbul pada tempat mana saja di
SSP. Akan tetapi banyak timbul pada lobus temporal dan sering dikaitkan dengan
epilepsi lobus temporal. Keduanya WHO grade I.

14

Anaplasia pada ganglioglioma anaplastik (WHOIII) merujuk pada gambaran


komponen glial yang paling sering terlihat pada astrositoma anaplastik dan
glioblastoma multiforme, contohnya peningkatan mitosis, proliferasi endotelial
vaskular, nekrosis dan peningkatan indeks proliferasi. Transformasi ganas
contohnya perkembangan gambaran anaplastik dalam rekurensi dari ganglioma
yang sebeleumnya dikenal jinak juga pernah ditemui. Pada satu penelitian,
ekspresi dari protein anti-apoptotik, yaitu survivin, pada >5% sel glia
dihubungkan dengan adanya kekambuhan dan perkembangan gambaran
anaplastik.
Neurositoma sentral adalah tumor yang berbeda secara histologi yang terdiru
dari sel-sel kecil dengan gambaran imunohistokimia dan
gambaran
ultrastrukturnya sebagai neuron. Tumor biasanya timbul pada ventrikel lateral
dekat dengan foramen Monro, Sebelum penjelasan tentang asal tumor neuronal,
tumor ini dianggap sebagai ependimoma atau oligodendroglioma intraventrikular.
Contoh tumor menunjukkan kedua sifat neuronal dan astrositik juga pernah
ditemukan (Tsuchida et al 1996). Beberapa diantara tumor ini dianggap
glioneurocytoma (Min et al 1995), sementara yang lainnya dengan sel ganglion
yang matur yang bercampur dengan sel neurocytic dianggap sebagai
ganglioneurocytomas (Funato et al 1997). Tumor dengan gambaran histopatologi,
imunohistokimia dan ultrastruktur mirip dengan neurositoma sentral, tetapi yang
terdapat pada white matter hemisfer otak dianggap sebagai neurositoma
ekstraventrikular. Neurositoma yang terjadi pada medulla spinalis juga pernah
ditemui. Mayoritas dari tumor-tumor ini bersifat tidak agresif dan diklasifikasikan
WHO II. Akan tetapi ada beberapa kasus jarang penyebaran dari otak ke medulla
spinalis (Yamamoto et al 1996; Eng et al 1997). Rekurensi dikaitkan dengan
indeks proliferasi Ki-67/MIB-1. Beberapa tumor neurosit yang terjadi pada otak
kecil menunjukkan adanya komponen adiposit yang dewasa. Hal ini
diklasifikasikan sebagai cerebellar liponeurocytoma dan digrade WHO II, karena
terdapat juga rekurensi. Sebelum klasifikasi WHO tahun 2000, hal ini dianggap
sebagai varian medulloblastoma (Bechtel et al 1978; Budka dan Chimeli 1994;
Soylemezoglu et al 1996). Akan tetapi, penelitian genetik molekular telah
mengindikasikan perbedaan yang jelas antara cerebellarneurocytoma dan
medulloblastoma (Horstmann et al 2004).
Tumor glioneuronal primer adalah salah satu dari dua jenis baru yang
termasuk dalam kategori neuronal dan campuran tumor neuronal dan glial.
Awalnya dijelaskan pada tahun 1996 sebagai ganglioneurositoma pesudo papiller
(Komori et al 1996) tetapi kemudian sebagai tumor glioneuronal papiler (Komori
et al 1998), tumor ini grade rendah (WHO I), tumor yang non agresif yang paling
sering muncul pada lobus temporal. Gambaran histopatologi yang
15

membedakannya adalah adanya struktur papiler yang tervaskularisasi yang


tertutup oleh satu atau lebih sel-sel glia kecil, yang dapat menyertai Olig2
oligodendrogliaimunoreaktif. Campuran sel-sel neuronal kecil dan intermediate
juga sel ganglion dewasa juga terdapat diantara papil-papil. Berikut adalah
immunoreaktif untuk beberapa antigen neuronal: synaptohysin, neuron specific
enolase (NSE), class III tubulin, dan neuronal nuclear antigen (NeuN)
Tumor glioneuronal dari ventrikel empat yang berbentuk rosette merupakan
bentuk kedua dari tumor neuronal dan campuran antara neuron dan glia dengan
kategori WHO grade I. Ketika pertama kali dilaporkan, neoplasma ini dianggap
sebagai dysembryoplastic neuroepithelial tumor yang melibatkan cerebellum.
Penelitian selanjutnya dengan skala yang lebih besar mempertegas perbedaan dari
neoplasma ini (Komori et al 2002). Lokasi yang paling sering adalah pada
ventrikel keempat, dengan terkadang juga mengenai vermis, batang otak dan
akuaduktus serebri (Komori et al 2002). Gambaran histopatologi yang khas adalah
roset Homer Wright dan pseudo-rosette perivascular yang dibentuk dari sel-sel
neurisitik kecil.

Patogenesis Tumor Sistem Saraf Pusat


Patogenesis dari Tumor Sistem Saraf Pusat, terutama glioma, yang paling penting
melibatkan perubahan dalam inisiasi yang dimediasi gen, diferensiasi, proliferasi
sel tumor. Gen-gen ini mengkode faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptornya,
protein second messenger, yang mempengaruhi kontrol siklus sel, apoptosis dan
nekrosis, faktor-faktor transkripsi dan angiogenesis yang dimediasi oleh protein
dan interaksi antara sel-sel tumor dengan matriks ekstraselular. Perubahan
melibatkan onkogen (meningkatnya jumlah gen, overekspresi) yang menghasilkan
peningkatan fungsi, sementara inaktivasi gen supresor tumor (delesi, translokasi)
mengakibatkan hilangnya fungsi. Sebagai tambahan, fenomena epigenetik, dalam
metilasi promoter tertentu, mempengaruhi ekspresi protein. Perubahan genetik
pada sel-sel progenitor dan sel dasar putative glioma menyebabkan populasi sel
resisten terhadap terapi ajuvan dan bertanggungjawab terhadap rekurensi tumor
dan perkembangannya (Singh et al 2004). Sindrom tumor familial berkaitan
dengan mutasi. Faktor-faktor lingkungan yang berhubungan dengan patogenesis
tumor memberikan pengaruhnya dengan cara dengan menginduksi mutasi
somatik. Selain dari perannya dalam patogenesis, beberapa perubahan gen
mempengaruhi respon terhadap terapi ajuvan dan perilaku biologik tumor.

16

Sejarahnya, bahan kimiawi dan virus dianggap sebagai faktor lingkungan


yang berkontribusi dalam patogenesis sel-sel tumor. Yang paling baru terdapat
perdebatan antara peranan radiasi elektromagnetik radiofrekuensi yang
dihubungkan dengan penggunaan telepon seluler. Debat ini berasal dari penelitian
klinik dan epidemiologi.
Meskipun hubungan antara bahan kimia industri dan Tumor Sistem Saraf
Pusat diajukan oleh beberapa penelitian epidemiologi (Selikoff dan Hammond
1982), hal ini tidak dikonfirmasi lagi oleh investigasi selanjutnya dan satu-satunya
bukti dari induksi tumor secara langsung dari bahan kimiawi berasal dari
penelitian dari hewan. Bukti dari induksi virus pada tumor Sistem Saraf Pusat
lebih meyakinkan pada studi eksprimental pada hewan-hewan di laboratorium
dengan sangat meyakinkan hubungan antara virus dan tumor-tumor SSP pada
spesies tertentu.

17

Anda mungkin juga menyukai