Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Dapat disimpulkan bahwa AIDS ( Acqquired Immune Deficiency Syndrome ) adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunya system kekebalan alamiah ( Kolapsnya system imun ) tubuh
melawan bibit penyakit (sel limfosit atau Sel T) secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
retro virus Human Immuno Deficiency Virus ( HIV ) sehingga mempermudah terkena berbagai
infeksi seperti bakteri, jamur, parsit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik, neoplasma
sekunder, kelainan neurogenik. ( Price, S, A,2005:241)
Sindrom imunodefinisi yang di dapat (AIDS,acquired imunodificiensi syndrome)diartikan
sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi
human imunodificiensi virus (brunner & suddarth,2001)
2. Etiologi
Penyebab AIDS adalah retrovirus (HIV/ Human Immunodeficiency Virus)yang terdahulu disebut
Virus limfotrofik sel T manusia tipe II (HTLV III) atau virus limfadenopati (LAV) adalah suatu
retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus dapat mengubah asam ribonukleat
(RNA)menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel penjamu. HIV I dan
HIV II adalah lentivirus sitopatik tetapi HIV I merupakan penyebab utama AIDS
(Price, S,A: Wilson,L,M, 2005, 224)
3. Patofisiologi
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor
membran CD4. Sasaran yang disukai HIV adalah limfosit T penolong positif CD4 atau sel T4. gp
120 HIV yang berikatan dengan lifosit CD4 dapat diperanterai fusi membrane virus ke
membrane sel oleh gp 41. 2 korereseptor permukaan sel CCR5 atau CXCR4 diperlukan agar
glikoprotein gp 120 dan gp41 daapt berilkatan dengan reseptor CD4. Yang menyebabkan
perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk kemembran sel sasaran.
Sel lain yang rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit makrofag. Monosit makrofag dapat
terinfeksi dan berfungsi sebagai reservoar tetapi tidak dihancurkan oleh virus HIV. HIV bersifat
politropik dan dapat menginfeksi sel seperti NK, limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel
alngerhans, sel denditrik dipermukaan mukosa tubuh, sel mikroglia, jaringan tubuh. Setelah virus
berfusi dengan limfosit CD4 belangsung serangkaian proses yang akhirnya menyebabkan
terbentuk partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Infeksi pada limfosit CD4 dapat
menimbulkan sipatogenisitas melalui apapoptosis (kematian sel terprogram, anergi (pencegahan
fusi sel lebih lanjut), pembentukan sinsitium (fusi sel).
Replikasi virus
Setelah terjadi fusi sel virus, RNA virus masuk kebagian tengah sitoplasma limfosit sel CD4,
setelah nukleokapsid dilepas terjadi trankripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai
tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus. Integrase HIV membantu insersi
cDNA virus ke dalam inti sel penjamu., mak 2 untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus
menghasilakn RNA Messenger (MRNA) yang meninggalkan intisel dan masuk ke dalam

sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan oleh mRNA yang lengkap dan mengalami
penggabungan setelah RNA genom dibebaskan ke sitoplasma. Tahap akhir produksi virus
membutuhkan suatu enzim protease yang memotong dan menata protein virus menjadi segmen
kecil yang mengelilingi RNA virus., membentuk poartikel yang menular dan menonjol dari sel
yang terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel penjamu, partikel virus akan terbungkus oleh
sebagian membran sel yang terinfeksi. HIV baru dapat menyerang sel rentan lain di tubuh.
HIV secara terus menerus teraplikasi dalam organ limfoid. Partikel virus juga dihubungkan sel
dendritik folikular yang memindahkan infeksi kesel selama migrasi melalui limfoid.
(Price, S,A, 2005:230)
4. Manifestasi Klinis
Manisfestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap
sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi IV dan penyakit AIDS terjadi akibat
infeksi, malignansi dan atau efek langsung IV pada jaringan tubu. Pembaasan berikut ini di
batasi pada manifestasi klinis dan akibat infeksi IV berat yang paling sering ditemukan
1. Respiratorius
Pneumonia pneumocystis carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas (dispnea), batuk
batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai pelbagai infeksi oportunis, seperti yang disebabkan
ole Mycobacterium ovium intracellulare (MAI), sitomegalovirus (CMV) dan Legionella.
Walaupun begitu, infeksi yang paling sering di temukan di antara penderita AIDS adala
pneumonia pneumocystis carinii (PCP) yang merupakan penyakit oportunis pertama yang
dideskripsikan berkaitan dengan AIDS. Pneumonia ini merupakan menisfestasi pendauluan
penyakit AIDS pada 60% pasien. Tanpa terapi profilaktik, PCP akan terjadi pada 80% orang
orang yang terinfeksi IV. P. Carinii awalny adi klasifikasikan sebagai protozoa; namun, sejumla
penelitian pemeriksaan analisis teradap struktur RNA ribosomnya menunjukan bawa
mikroorganisme ini merupakan jamur (fungus). Kendati demikian, struktur dan sensitivitaas
antimikrobanya sangat berbeda dengan jamur penyebab penyakit yang lain. P. Carinii anya
menimbulkan penyakitpad ospes yang kekebalanya terganggu. Jamur ini menginvasi yang
berpoliferasi dalam alveoli pulmonalis seingga terjadi konsolidasi parenkim paru.
Gambaran klinis PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila di bandingkan dengan
pasien gangguan kekebalan lain. Periode waktu antara awitan gejala dan penegakan diagnosa
yang benar bisa beberapa minggu inga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mula mula anya
memperliatkan tanda tanda dan gejala yang tidak kas seperti demam, menggigil, batuk
nonproduktif, nafas pendek, dispnea dan kadang kadang nyeri dada. PCP dapa di temukan
kendati tidak dapat krefitasi, konsentrasi oksigen dalam dara arterial pada pasien yang bernapas
dengan udara ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukan
ipoksemia minimal.
Bila tidak di atasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan
pada akirnya, kegagalan pernafasan. Beberapa pasien memperliatkan awitan yang dramatis dan
perjalanan penyakit yang fulminal yang meliputi ipoksemia berat, sianosis, takipnea dan
perubaan stasus metal. Kegagalan pernafasan dapat terjadi dalam waktu 2 ingga 3 ari setela

timbul gejala pendauluan.


Diagnosis pasti PCP dapat di tegakkan dengan mengenali mikroorganisme dalam jaringan paru
atau sekret bronkus. Penegakan diagnosa ini di laksanakan denga prosedur seperti induksi
sputum, lavase bronkial alveolar dan biopsi transbronkial (melalui bronkoskopi dan optik)
Kompleks mycobakterium avium. Penyakit kompleks mycobakterium avium (MAC;
mycobakterium avium complex) muncul sebagai penyebab utama infeksi bakteri pada pasien
pasien AIDS. Mikroorganisme yang termasuk ke dalam MAC adala M. Avium, M. Intracellulare
dan M. Scrofulaceum. MAC, yaitu suatu kelompok baksil taan asem, biasanya menyebabkan
infeksi pernafasan kendati juga sering di jumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus
dan sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS suda menderita penyakit yang menyebar luas ketika
diagnosis di tegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk. Infeksi MAC akan di
sertai dengan angka mortalitas yang tinggi.
M. tubercolosis yang berkaitan dengan IV cendrung terjadi di antara pemakai obat bius IV dan
kelompok lain dengan prevalensi infeksi tuberkulosis yang sebelumnya suda tinggi. Berbeda
dengan infeksi oportonis lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cendrung terjadi secara dini dalam
perjalanan infeksi IV dan biasanya mendaului diagnosa AIDS. Terjadinya tuberkulosis secara
dini ini akan di sertai denga pembentukan granuloma yang mengalami pengkijuan (kaseasi)
seingga timbul kecurigaan keara diagnosis TB. Pada stadium ini, penyakit TB akan bereaksi
dengan baik teradap terafi antituberkulosis. Penyakit TB yang terjadi kemudian dalam perjalanan
infeksi IV di tandai dengan tidakak terdapatnya respon tes kulit tuberkulin karna sisitem
kekebalan yang terganggu suda tidak mampu lagibereaksi teradap antigen TB. Dalam stadium
infeksi IV yang lanjut, penyakit TB di sertai dengan penyebaranke tempat tempat
ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium, lambung, peritonium, dan
skrotum, strain multipel baksil TB yang resisten obat kini bermunculan dan kerap kali
berkaitan dengan ketidakpatuan pasien dengan menjalani pengobatan antituberkulosis.
2. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinala penyakit AIDS mencakup ilangnya selera makan, mual, vometus,
kandidiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Diare merupakan masla bagi 50% ingga 90%
dari keseluruan pasien AIDS. Pada sebagian kasus, gejala gastrointestinal dapat berubungan
dengan efek lansung HIV pada sel sel yang melapisi intestinum. Sebagian microorganisme
patogen enteral yang paling sering di temukan dan identifikasi dalam pemeriksaan kultur feses
atau biovsi intestinum adalah cryptosporidium muris, salmonella, CMV, Clostridium, difficile,
dan M. Avium intracelluler. Bagi pasien AIDS, diare dapat membawa akibat yang serius
sehubungan dengan terjadinya penurunan berat badanyang nyata (lebih dari 10% berat badan),
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit ekskoriasi kulit perianal, kelemahan dan
ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari
hari.
Kondidiasis oral, suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara universal pada semua penserita
AIDS serta keadaan yang berhubungan dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi
serius lainya. Kandidiasis oral di tandai oleh bercak bercak putih seperti krim dalam rongga
mulut. Kalo tidak di obati. Kandidiasis oral akan berlanjut dengan mengenai esofagus dan

lambung. Tanda tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluahan menelan yang sulit serta
nyeri dan rasa skit di balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagai pasien juga menderita lesi oral
yang mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem
tubuh yang lain.
Sindrom pelisutan. Sindrom pelisutan (wasting syndrome) kini diikutsertakan dalam definisi
kasus yang di perbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan berat
yang tidak di kehendaki yang melampaui 10% dari berat badan dasar, diare yang kronis selama
lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa
adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein energi yang terjadi
bersifat multifaktor. Pada sebagian keadaan sakit yang berkaitan dengan AIDS, pasiennya akan
mengalami keadaan hipermetabolik di mana terjadi pembakaran kalori yang berlebihan dan
kehilangan lean body mass. Keadaan ini serupa dengan keadaan sters seperti sepsis serta trauma
dan dapat menimbulkan kegagalan organ. Pembedahan antara keadaan kekeksia (pelisutan) dan
malnutrisi atau antara kakeksia dan penurunan berat badan yang biasa terjadisangat penting
mengigat gangguan metabolik pada sindrom pelusutan tidak dapat di ubah dengan dukungan
nutrisi saja.
Anoreksia, diare, malabsorpsi gastrointestinal dan kekurangan gizi pada penyakit kronis
semuanya turut menyebabkan sindrom pelisutan. Kendati demikian, pelisutan jaringan yang
progresif terlihat pula pada pasien dengan gangguan gastrointestinal yang ringan dan tanpa diare
(Medyinski, 1993). TNF (tumor necrosis faktor) dan interleukin 1 (IL 1 ) merupakan sitokin
yang memainkan peranan penting dalam sindrom pelesutan yang berhubungan dengan AIDS.
Keduanya bekerja langsung pada hipotalamus untuk menimbulkan anoreksia. Demam yang di
timbulkan oleh sitikin akan mempercepat metabolisme sebanyak 14% untuk kenaikan suhu
sebesar 1 F. TNF menyebabkan pengguanaan lipid yang tidak efesien dengan menurunkan
jumlah enzim yang di perlukan untuk metabolisme lema. Sementara IL 1 memicu pelepasan
asam aminodari jaringan otot. Penderita AIDS pada umumnya mengalami peningkatan
metabolisme lemak yang mengakibatkan terjadinya penurunan yang signifikan pada lean body
mass sebagai akibat dari pemecahan protein dan otot.
Hipertrigliseridemia yang terlihat pada penderita AIDS di sebabkan oleh kenaikan kadar sitokin
yang terjadi secara menahun dan dapat bertahan pada penderita AIDS selama berbulan bulan
tanpa menimbulkan pelisutan jaringan serta kehilangan lean body mass. Infeksi dan keadaan
sepsis yang menyebabkan kenaikan sepintas kadar TNF, IL 1 dan mediator sel lainya di atas
kadar yang sudah meninggisecara menahun umumnya akan terlihat; kenaikan sepintas kadar
TNF dan IL 1 inilah yang memicu pelisutan otot.
3. Kanker
Penderita AIDS memiliki insidensi penyakit kanker yang terjadi lebih tinggi dari insiden yang
biasa terjadi. Keadaan ini mungkin terjadi dengan stimulasi HIV terhadap sel sel kanker yang
sedang tumbuh atau berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang memungkinkan substansi
penyebab kanker, seperti virus, untuk mengubah bentuk sel sel yang rentan menjadi sel sel
malignan. Sarkoma kaposi, tife tertentu limfoma sel-B dan karsinoma serviks yang invasif di
ikutsertakan dalam klasifikasi CDC untuk kelainan malingnitas (malingnansi) yang berhubungan

dengan AIDS. Karsinoma kulit, lambung pangkreas, rektum dan kandung kemih juga lebih
sering di jumpai dari pada yang di perkirakan dari pasien pasien AIDS.
Sarkoma kaposi. Sarkoma kaposi di (lapalkan KA-posheez), yaitu kelainan malingnitas yang
berkaitan dengan HIV yang paling sering di temukan, merupakan penyakit yang melibatkan
lapisan endotel pembuluh darah dan limfe. Ketika di temukan pertama kali pada tahun 1872 oleh
Dr. Moritz Kaposi, penyakit sarkoma kaposi ini secara khas di temukan sebagai lesi kulit di
bagian ekstremitas bawah pada laki laki usia lanjut pada keturunan eropa timur. Penyakit
tersebut berjalan lambat dan mudah di obati; bentuk ini sering di namakan sarkoma kaposi
klasik. Bentuk endemik sarkoma kaposi yang di temukan pada anak anak dan lelaki muda di
daerah ekuatorial Afrika merupakan bentuk yang lebih virulendi bandingkan bentuk klasik.
Sarkoma kopasi ekuisita terjadi pada orang orang yang di obati dengan preparat imunosepresif
dan umumnya terjadi pada pasien yang menjalani tranplantasi organ. Pada pasien semacam ini,
sarkoma kopasi akuisita biasanya akan sembuh setelah takaran obat imunosepresif di kurangi
atau pemberian obat itu di hentikan.pada penderita AIDS, sarkoma kopasi epidemik paling sering
di jumpai oleh para biseksual laki laki. Meskipun histopatologi semua bentuk sarkoma kaposi
yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang lebih agresif dan beragam yang
berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang meyebardan mengenai lebih dari
satu sistem organ.
Lesi kutaneus yang dapat timbul pada semua bagian tubuh biasanya berwarna merah muda
kecoklatan hinga ungu gelap. Lesinya dapat datar atau menonjoldan di kelilingi oleh ekimekis
(bercak bercak perdarahan) serta edema. Perkembanga lesi yang secap meliputi daerah
daerah kulityang luas akan di sertai dengan deformitas ekstensif.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan stasis aliran vena, limpedema serta rasa
nyeri, lesi ulseratif akan merusak integritas kulit yang meningkatkan ketidaknyamanan pasien
serta kerentanannya terhadap infeksi. Lokasi kelainan viseral yang paling sering di temukan
adalah nodus limpatikus (kelenjar limfe), traktus gastrointestinal dan paru paru. Kelainan pada
organ internal pada akhirnya menimbulkan kegagalan organ, perdarahan, infeksi dan kematian.
Diagnosa sarkoma kaposi di tentukan oleh biopsi lesi yang di jumpai, prognosis bergantung pada
luasnya tumor, adanya gejala konstitusional dan hitung CD4+. Kematian dapat terjadi akibat
perkembangan tumor. Kendati lebih sering di sebabkan oleh komplikasi penyakit HIV yang lain.
Limfoma Sel-B. Limpoma sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi di
antara paisen pasien AIDS. Limpoma yang berkaitan dengan AIDS biasanya berbeda yang
terjadi dalam populasi umum. Penderita AIDS biasanya berusia jauh lebih muda dari pada
populasi biasa yang terkena limpoma hodgkin (NHL) di samping itu limpoma yang berkaitan
dengan AIDS cendrung berkembang di luar kelenjar limfe; limpoma ini paling sering di
jumpaipada otak. Sumsum tulang dan traktus gastrointestinal. Timpo limpoma ini secara khas
memiliki derajat yang lebih tinggi yang menunjukan sifat yang lebih agresif yang resisten
terhadap terapi. Perjalanan limpoma yang berkaitan dengan AIDS mencakup lokasi organ
terkena yang multipel dan komplikasi yang berkaitan dengan terjadinya infeksi oportunis.
Meskipun kemotrapi kombinasi yang agresif kerap kali memberikan hasil yang baik pada
limpoma non-hodgkin yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, namun kemotrapi kombinasi ini

kurang membawa hasil pada penderita HIV karna toksisitasnya yang hebat pada hematologi dan
adanya komplikasi infeksi oportunis yang terjadi akibat terapi.
4. Neurologik
Di perkirakan dari 80% dari semua pasien AIDS yang mengalami bentuk kelainan neurologik
tertentu selama perjalanan infeksi HIV. Banyak kelainan neuropatologik yang kurang di laporkan
mengingat pasien pasien tersebut dapat menderita kelainan neurologik tanpa tanda tanda atau
gejala yang jelas. Komlikasi neurologik tanpa tanda tanda atau gejala yang jelas. Komplikasi
neurologik meliputi fungsi saraf sentral., perifer dan autonom. Gangguan langsung neurologik
dapat terjadi akibat efek langsung HIV pada jaringan sistem saraf, infeksi oportunis, neuplasma
primer atau metastatik, perubahan serebrovaskuler, ensefalopati metabolikatau komplikasi
sekunder karna terapi. Respons sistem imun terhadap infeksi HIV dalam sistem saaraf pusat
mencakup inplamasi, atrofi, demielinisasi, degenerasi dan nekrosis.
Ensefelopati HIV. Disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS (ADC; AIDS demensia
compleks), ensefelopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga pasien pasien AIDS. Bukti
akhir menunjukan bahwa kompleks demensia AIDS tersebut merupakan akibat lansung infeksi
HIV. HIV di temukan dalam jumlah yang besar dalam otak maupun dalam cairan serebrospinal
pasien pasien ADC. Sel sel otak yang terinfeksi HIV di dominasi oleh sel sel CD4+ yang
berasal dari monosit/magrofak. Infeksi HIV di yakini akan memicu toksin atau limfokin yang
mengakibatkan disfungsi seluler atau yang menganggu fungsi neurotransmiter ketimbang
menyebabkan kerusaakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang di tandai oleh
penuruna progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda dan gejalanya dapat
samar samar serta sulit di berikan dengan kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan
terhadap infeksi dan malignansi.
Manifestasi dini mencakup bagian daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, apatis dan
ataksia. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal,
gangguan afektif seperti pandangan yang kosong, hiperrefleksi paraparesis spastik, pskosis,
halusinasi, tremor, inkontininsia, serangan kejang, mutisme dan kematian. Tindakan memastikan
diagnosise nsefalopati HIV mungkin sulit di lakukan. Evaluasi neurologik ekstensif mencaakup
pemindahan CT yang dapat menunjukan atrofi serebral yang difusi dan pelebaran ventrikulus.
Pemeriksaan lain yang dapat mendeteksi abnormalitas adalah MRI (magnetic resonace imaging),
analisis cairan serebrospinal melali fungsi lubal dan biopsi otak.
Cryptococcus neoformans. Infeksi jamur, yaitu Cryptococcus neoformans, merupakan infeksi
oportunis paling sering keempat yang terdapat di antara pasien pasien AIDS dan penyebab
infeksi paling sering ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus di
tandai oleh gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan (malaise), kaku
kuduk, mual, vomitus, perubahan status metal dan kejang kejang. Diagnosis di tegakan dengan
analisis cairan serebrospinal.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf pusat dengan
demielinisasi yang di sebabkan oleh virus J.C (di beri nama demikian menurut nama pasien yang
kulturnya menumbuhkan virus tersebut); virus ini menginfeksi oligodendroglia. PML mengenai
kurang lebih 3% pasien pasien AIDS. Manisfestasi klinis dapat di mulai dengan konfusi

metal dan mengalami k(paralisis ringan) serta kematian infeksi sistem saraf yang sering
ditemukan lainya adalah Toxoplasma gondii, CMV dan M. Tuberculosis.
Kelainan neurologik lainya. Manifestasi neurologik lain mencakup neuropati sentral dan perifer.
Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif yang mengenai kolumna lateralis dan
posterior medulla spinalissehingga terjadi paraparesis spastik proggresiva, ataksia serta
inkontinensia. Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV di perkirakan merupakan
kelainan demielinisasi dengan di sertai rasa nyeri serta patirasa pada ekstremitas, kelemahan,
penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan impotensi.
5. Struktur integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi opportunis serta malignasi yang
mendampinginya. Infeksi opportunis seperti herpes zoster herpes simpleks akan disertai dengan
pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit. Moluskum kontagiosum
merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan flak yang disertai deformitas.
Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai
kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema
atau psoriasis. Hingga 60 % penderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol(TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia pneumocytis carinii akan
mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berupa pruritis yang disertai pembentukan
papula serta makula berwarna merah muda. Terlepas dari penyebab ruam ini, pasien akan
mengalami gangguan rasa nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk menderita infeksi
tambahan akibat rusaknya keutuhan kulit.
6. Manifestasi klinis spesifik pada wanita
Kandidiasis vagina yang persisten atau recuren dapat menjadi tanda pertama yang menujukan
infeksi HIV pada wanita. Ulkus genitalis yang terjadi dimassa lalu dan sekarang merupakan
faktor resiko bagi penularan infeksi HIV. Wanita dengan infeksi HIV lebih rentan terhadap ulkus
genitalis serta kandiloma akumimata (venereal warts), dan akan mengalami peningkatan
frekuensi serta kekambuhan kedua penyakit kelamin tersebut. Penyakit menular seksual yang
ulseratif seperti syangkroid,sifilis dan herpes lebih berat pada wanita ini. Human papilomavirus
(HPV) menyebabkan kandiloma akuminata dan merupakan faktor resiko untuk teritjadinya
neoplasia intraepitel serviks , yaitu prekusor kanker serviks. Kini semakin bertambah jelas bahwa
wanita yang menderita infeksi HIV memiliki kemungkinan 10 kali lebih besar untuk menderita
neoplasia intraepitel serviks dari pada wanitayang tidak terinfeksi HIV. Antara hasil sediaan apus
papanicoloau yang abnormal dan hasil HIV seropositif dengan karsinoma serviks akan
ditemukan dengan stadium penyakit yang lebih lanjut dan menderita penyakit yang lebih
persisten serta rekuren dengan interval yang lebih singkat untuk terjadinya kekambuhan dan
kematian bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita infeksi HIV(gibbs &
zeeman,1993)
Wanita yang memerlukan perawatan di rumah sakit untuk penyakit inflamasi pelvik (PID : pelvic
inflammatory disease) menderita infeksi HIV dengan persentase yang signifikan. Wanita
wanita ini menghadapi peningkatan resiko untuk menderita PID, dan inflamasi yang menyertai

PID dapat memperbesar potensi penularan HIV. Lebih lanjut, pada wanita yang menderita infeksi
HIVakan terdapat insidensiyang lebih tinggi untuk terjadinya abnormalitas menstruasi yang
mencakup amemore atau perdarahan pervaginam di antara saat saat haid bila dibandingkan
dengan wanita tanpa infeksi HIV.
Kegagalan petugas kesehatan untuk mepertimbangkan infeksi HIV pada wanita dapat
menyebabkan diagnosis yang terlambat sehingga wanita tersebut tidak segera mendapatkan
terapi yang tepat.
5. Penatalaksanaan
Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan infeksi
yang berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewa praparat
antivirus dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui penggunaan preparat
imonomodulator. Perawatan suportif mengupakan tindakan yang penting karena efek infeksi
HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien, efek tersebut
mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan, imobilitas dan perubahan status mental.
a. Obat-obatan untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV
Infeksi Umum. Trimetoprim sulfametokzasol yang disebut pula TMP-SM2 (Bactrim, Septra)
merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi brbagai mikroorganisme yang menyebabkan
infeksi. Pemberian secara IV keapda pasien pasien dengan fungsi gastrointestnal yang normal
tidak memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat
mengalami efek yang merugikan dengan iseidensi tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam,
ruam, leukopenia, trombositopenia dan gangguan fungsi renal. Akhir akhir ini telah dilakukan
terapi desensitisasi dengan hasil yang baik untuk mengurangi rekasi yang berhubungan dengan
penggunaan obat TMP-SMZ.
Pentamidin, suatu obat antiprozoa digunakan sebagai preparat alternatif untuk melawan PCP.
Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika
diobati dengan TMP-SMZ petugas kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin. Penyuntikan
intramuskuler harus dihindari karena berpotensi untuk terbentuknya abses steril yang nyeri.
Penyuntikan pentamidin IV dapat menyebabkan hipotensi berat jika diberikan terlalu cepat. Efek
pentamidin yang merugikan juga mencakup gangguang metabolisme glukosa (dengan dabetes
melitus yang nyata) kerusakan ginjal, gangguan fungsi hari dan neutropenia. Keberhasilan awal
preparat pentamidin berbentuk aerosol telah membuat preparat ini digunakan sebagai pengobatan
bagi PCP yang ringan hingga sedang, kendati demikian, preparat ini ternyata kurang begitu
efektif dan lebih mahal harganya bila dibandingkan dengan preparat TMP-SMZ dan ekserbasi
dini sering terjadi. Karena keterbatasan inilah preparat inhalasi perntamidin hanya digunakan
untuk pasien PCP yang ringan hingga sedang yang tidak toleran terhadap bentuk pengobatan
lain. Kombinasi TMP-SMZ dan pentamidin ternyata tidak menunjukkan manfaat tambahan
penggunaan preaparat kombinasi ini harus dihindari karena dapat mengakibatkan efek kumulatif
yang toksik.
Kombinasi trimetoprin oral dan dapson (Avlosulfon, DDS) terbukti sangat efektif untuk PCP

yang ringan hingga sedang. Obat obat lain yang tengah dievaluasi sebagai perapi penyelamat
bagi pasien pasien yang tidak berhasil disembuhkan atau yang tidak responsif dengan terapi
konvensional mencakup preparat klindamisin IV (Cleosin HCI), primawuin oral, trimetrexate,
hidroksinaftokuinon dan atovaquone (Mepron). Pemberian kortikosteroid sistemik mungkin
bermanfaat bagi sebagian pasien dengan PCP yang ringan hingga berat, namun demikian, data
data yang membenarkan penggunaan kortikosteroid untuk terapi PCP yang ringan atau terapi
penyelamatan masih belum ada.
Kompleks Mycobacterium avium. Terapi kompleks Mycobacterium avium (MAC.
Mycobacterium avium complex) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan
lebih dari satu macam obat selama periode waktu yang lama. Terapi kombinasi dengan
etambutol, rifampin, klofazimin (lamprene) dan siprofloksasin (Cipro) dengan atau tanpa
amikasin ternyata disertai dengan efek toksisistas obat, tidak menghasilkan kesembuhan secara
bakterial dan juga memberikan prognosis penyakit yang buruk. Klaritromosin (Biaxin) dan
azitromisin (Zithromaza0 yaitu preparat antibiotik yang lebih baru dalam pengobatan multidrug,
sedang dievaluasi efektivitasnya dalam pengobatan MAC, Rifabutin ternyata efektif untuk
mencegah MAC. Rifabutin ternyata efektif untuk mencegah MAC pada penderita infeksi HIV
dengan jumlah sel CD4 + sebesar 200/MM2 atau kurang.
Meningtis. Terapi primer yang mutakhir untuk meningtis kriptokokus adalah amforerisin B IV
dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (diflucan). Keadaan pasien harus dipantau untuk
mendeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari amfoterisin B, yang mencakup rekasi
anafilaksis, ganguan renal serta hepar gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan
menggigil. Pemberian amfterisin B intratekal telah digunakan sebagai pengganti pemberian
intravena atau dalam bentuk kombinasi dengan pemberian intravena pada pasien paien yang
tidak responsif terhadap cara terapi yang terakhir antifungus yang baru itu disetujui dan
digunakan untuk terapi supresif seumur hidup, kejadian relaps yang frekuen dan angka mortalitas
yang tinggi kerapkali mengharuskan terapi yang lama dengan amfoterisi B IV. Pada sebagian
kasus, pasien terus mendapatkan amfoterisin B IV di rumah. Preparat flukonazol oral digunakan
sebagai terapi supresif kalau pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang negatif
untuk mikroorganisme tersebut. Obat ini tidak begitu toksik dan lebih ditoleransi oleh pasien
ketimbang amfiterisin B.
Retinitis Sitomegalovirus. Retinitis yang disebabkan oleh Sitomegalovirus
(CMV,Cytomegalovirus) merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit AIDS.
Pada tahun utama pada penderita penyakit AIDS. Pada tahun 1989 FDA menyetujui penggunaan
gansiklovir untuk mengobati retinitis CMV. Karena gansiklovir tidak mematikan virus tetapi
lebih mengendalikan pertumbuhannya, obat ini harus diberikan sepanjang sisa usia pasien.
Penghentian pengobatan ini akan diikuti oleh eksaserbasi retinitis tersebut dalam waktu 1 bulan.
Pada awalnya gansiklovir disuntikkan IV setiap 8 hingga 12 jam sekali selama 2 hingga 3
minggu. Terapi pemeliharaan diberikan sekali sehari selama 5 hingga 7 CMV tetap berlanjut
sekalipun terapi berikan. Efek merugikan yang membuat pendidikan pasien dan pemantauan
rataw jalan sangat penting adalah supresi sumsum tulang (yang akan menurunkan jumlah sel
darah putih dan tombosit), kandidiasis oral dan gangguan hepar serta ginjal.

Akses vena jangka panjang harus dibuat dan kepada pasien serta orang yang merawatnya perlu
diajarkan teknik pemberian gansiklovir di rumah. Reaksi merugikan yang sering terjadi pada
pemberian gansiklovir adalah neutropenia berat yang membatasi penggunaan zidovudin (ZDV,
AZT) bersama gansiklovir. Bagi pasien yang tidak dapat mentolerir pemberian gansiklovir secara
sistemik karena terjadinya neuropenia yang berat, infeksi pada lokasi akses vena atau kerharusan
untuk memakai zidovudin, maka penyuntikan gansiklover dirumah. Reaksi merugikan yang
sering terjadi pada pemberian gansiklover adalah neutropenia berat yang membatasi penggunaan
zidovudin (ZDV, AZT) bersama gansiklovir. Bagi pasien yang tidak dapat mentolerir pemberian
gansiklovir secara sistemik karena terjadinya neutropenia yang berat, infeksi pada lokasi akses
vena atau keharusan untuk memakai zidovudin, maka penyntikan gansiklovir intravitreus
merupakan terapi yang efektif. \ foskarnet (Foscavir) yaitu preparat lain yang digunakan untuk
mengobati retinitis CMV, disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu.
Terapi pemeliharaan diberikan selama 2 hingga 3 jam sebanyak lima kali seminggu. Preparat ini
dapat diberikan bersama zidovudin. Rekasi merugikan yang lazim terjadi pada pemberian
foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencakup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan
elektrolit yang mencakup hipoklasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia semua keadaan
ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazin dijumpai adalah serangan
kejang kejang ganggungan gastrointestinal, anemia, flebitis pada tempat infus dan nyeri
punggung bawah. Obat obat yang lain yang sedang dievaluasi untuk terapi retinitis CMV
adalah asiklovir (Zovirax), alfainterferon dan terapi kombinasi dengan gansiklovir (Cytovene)
serta immune globulin.
Keadaan Lain, asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati ensefalitis yang
disebabkan oleh herpes simpleks atau herpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan sulfadiazin atau
klindamisin (Cleosin HCI) digunakan untuk pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup
bagi infeksi Toxoplasmosis gonddi. Kandidiasis esofagus atau oral diobati secara topikal dengan
obat isap (troches) orang diobati secara topikal dengan obat isap (troches) oral klotrimazol
(Mycelex) atau suspensi nistatin. Infeksi kronis yang membandel oleh kandidiasis (thrush) atau
lesi esofagus diobati dengan ketokonazol atau flukonazol.
b. Pelaksanaan Diare Kronik
Meskipun banyak bentuk diare yang infeksius akan beraksi terhadap pengobatan, namun infeksi
tersebut tidak jarang terjadi kembali sehingga menjadi masalah kronik. Terapi dengan oktreotid
asetat (sandostatin), yaitu suatu analog sitentik somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi
diare yang berat dan kronik. Kosentrasi reseptor somatostatin yang tinggi ditemukan dalam
traktus gastrointestinal maupun jaringan lainnya. Somatostatin akan menghambat banyak fungsi
fisiologi yang mencakup motilitas gastroitestinal dan sekresi intestinal air serta elektrolit.
c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penanganan penyeban yang mendasari infeksi
oportunis sistemik maupun gastrointestinal. Malnutrisi sendiri akan memperbesar risiko infeksi
dan dapat pula meningkatkan insidens infeksi oportunis. Terapi nutrisi harus disatukan dalam
keseluruhan rencana penatalaksanaan dan harus disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
pasien, terapi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makanan lewat sonde (terapi

nutrisi enteral) hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan. Sebagaimana halnya dengan
semua pasien, diet seimbang merupakan HIV jumlah kalori yang diperlukan harus dihitung bagi
semua penderita AIDS dengan penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya,
penghitungan jumlah kalori ini dilakukan untuk mengevaluasi status nutrisi pasien dan memulai
terapi nutrisi yang tepat. Tujuannya adalah untuk mempertahankan berat badannya. Pedoman
berikut ini dapat dipakai untuk menghitung jumlah kalori dan asupan protein yang diperlukan
(Hoyt & Staats, 1991):
Kalori : 35 hingga 44 kilokalori/ kilogram berat badan/ hari.
Protein : 2 hingga 2,5 gram protein/ kilogram berat badan/ hari.
Suplemen oral dapat diberikan untuk melengkapi diet yang kurang mengandung kalori dan
protein. Idealnya suplemen oral tersebut harus bebas laktosa (banyak pasien infeksi HIV yang
menderita intoleransi lakdisa), tinggi kalori dan protein yang mudah dicerna, rendah lemak
dengan mengandung lemak yang mudah dicerna, selain itu supelem oral harus pula memiliki
citarasa yang enak, tidak mahal dan dapat diterima pasien tanpa menimbulkan diare. Advera
merupakan suplemen nutrisi yang dibuat khusus untuk penderita infeksi HIV dan penyakit AIDS.
Nutrisi parenteral merupakan pilihan akhir karena biayanya yang tinggi dan resiko yang
menyertainya, termasuk infeksi.
Penggunaan preparat stimulan selera makan memberikan hasil yang memuaskan pada pasienpasien anoreksia yangberhubungan dengan penyakit AIDS. Megastrol asetat (Megace) yaitu
suatu preparat sintetik progesteron oral yang digunakan untuk pengobatan kanker payudara, akan
menggalakkan kenaikan berat badan yang signifikan dan menghambat sitesis sitokin IL-1.
Preparat ini sudah digunakan pada penderita infeksi HIV. Penggunaannya akan meningkatkan
berat badan terutama dengan menaikkan simpanan lemak tubuh. Dronabinol (Marinol)
merupakan preparat sitetik tetrahidrokanabinol (THC) yang merupakan unsur aktif dalam
marijuana. Preparat ini dapat diberikan untuk mengurangi mual dan vomitus yang berkaitan
dengan kemoterapi kanker. Hasil hasil pendahuluan memperlihatkan bahwa sesudah terapi
Marinol dimulai hampir semua pasien infeksi HIV akan mengalami kenaikan berat badan yang
cukup berarti (Gorter 1991: Medynski, 1993). Efek preparat ini pada komposisi tubuh tidak
diketahui.
d. Penanganan Keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit kerena sangat beragamnya gejala dan sistem
organ yang terkena. Sarkoma Kaposi jarang mengancam jiwa penderitanya kecuali bila
mengenai paru atau saluran cerna. Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuran lesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan
edema serta ulserasi dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi mukosa serta
organ viseral. Tidak ada satu pun terapi sistemik yang terbukti mampu meningkatkan
kelangsungan hidup pasien. Terapi lokal mencakup eksisi lesi atau pengolesan nitrogen cair pada
lesi kulit setempat dan penyuntikan lesi intraoral akan disertai rasa nyeri dan iritasi setempat.
Hingga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa ABV (adriamisin, bleomisin
dan vinkristin). Mielosupresi yang signifikan terjadi pada 40% hingga 50% pasien yang

menjalani terapi ini dengan peningkatan insidens infeksi oportunis sebesar 30%. Terapi raiasi
sama efektifnya seperti tindakan paliatif untuk meringankan nyeri lokal akibat masa tumor
(khususnya pada tungkai) atau untuk mengatasi sarkoma Kaposi yang menimbulkan deformitas
atau perubahan anatomis yang tidak menyenangkan.
Alfa interferon untuk Sarkoma Kaposi. Interferon dikenal karena efek anti virus dan antirumor
yang dimilikinya. Paseien yang diobati dengan alfa interferon untuk mengatasi sarkoma Kaposi
kutaneus akan mengalami regresi tumor dan perbaikan fungsi sistem imun. Respons yang positif
terlihat pada 30% hingga 50% pasien, dengan respons terbaik pada mereka yang penyakitnya
terbatas dan tanpa infeksi oportunis. Alfa interferon dapat diberikan intravena, intramuskuler
atau subkutan. Pasien dapat menyuntikkan sendiri preparat interferon dapatd diberikan intravena,
intramuskuler atau subkutan, pasien dapat menyuntikkan diri sendiri preparat interferon di rumah
atau mendapatkannya pada klinik rawat jalan . petunjuk tentang cara penyuntikan yang benar dan
penanganan efek yang merugikan harus diberikan oleh perawat.
Limfoma keberhasilan terapi limfoma yang berhbungan dengan AIDS sangat terbatas mengingat
progresivitas malignansi ini yang cepat. Kombinasi kemoterapi dengan terapi radiasi akan
mencapai angka respons sebesar 50% dengan durasi yang pendek secara nyata. Karena terapi
standar untuk limfoma non AIDS tidak efektif banyak praktisi menganjurkan agar limfoma yang
berhubungan dengan AIDS dipelajari sebagai suatu kelompok tersendiri dalam uji klinis.
e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk pengobatan
infeksi HIV, keempat preparat tersebut adalah zidovudan (ZDV: dahulu disebut azidotimidin
(AZT) atau Retrovir), dideoksinosin atau didanosin (ddl (Videx) atau retrovir), dideoksidosin
atau didanosin (ddl (Videx), didieksisitidin (ddC). Semua obat ini menghambat kejra enzim
reverse transriptase virus dan mengedah reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah satu
subtansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi partikel
partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang
baru akan dihambat,
Zidovudan. Penemuan zidovudan sangat signifikan dalam memerangi penyakit AIDS. Pada
tahun 1987, FDA menyetujui penggunaan zidovudan untuk pengobatan infeksi HIV/AIDS yang
berat. Pada tahun 1990, zidovudan disetujui FDA untuk penggunaan yang lebih awal dalam
perjalanan infeksi terebut sebelum terjadi imonosupresi yang berat. Pada tahun 1994,
penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif disetujui untuk memperkecil risiko
penularan perinatal infeksi virus tersebut.
Pengukuran jumlah CD4+ merupakan parameter penting untuk menentukan tingkat
imunosupresi. Jumlah CD4+ mencerminkan jumlah limfosit sel-T helper yang beredar. Jumlah
CD4+ yang normal berkisar dari 700 hingga 1200/mm3. saat ini terapi dengan zidovudin sudah
disetujui untuk semua orang yang terinveksi HIV dengan jumlah CD4 + di bawah 500/mm3.
penelitian memperlihatkan bahwa zidovudin memperlambat perjalanan penyakit AIDS atau
penyakit yang simtomatik pada pasien-pasien dengan HIV-positif tanpa gejala kecuali dengan
jumlah sel CD4+ di bawah 500/mm3 (Volberding et al 1990) atau pada pasien pasien dengan
gejala yang ringan sementara jumlah sel CD4+ di bawah 200/mm3 (Fischl el al, 1990).

Zidovudin menurunkan kadar antigen p24 dan meningkatkan jumlah sel T4.
Zidovudin merupakan preparat yang cukup toksik bagi sumsum tulang dengan menimbulkan
anemia yang membatasi dosis pemberiannya dan neutropenia yang menuruskan penghentian
pemberian obat tersebut. Pemberian zidovudin harus dihentikan jika pasien memerlukan terapi
untuk infeksi oportunis, limfoma dan kelainan malignansi lainnya karena terapi bagi semua
keadaan ini dapat pula menimbulkan toksisitas hematologi. Faktor penstimulasi koloni granulosit
(G-CSF; granulocyte colony-stimulating factor) dan epeotin alfa (human recombinant
arythropoietin [Epogen, proerit]) terbukti efektif untuk mengobati anemia dan neutropenia yang
berkaiatan dengan pemberian zidovudin. Faktor penstimulasi-koloni merupakan substansi yang
secara alami diproduksi oleh tubuh untuk menstimulasi pertumbuhan serta produksi sel darah
merah dan putih.
Efek merugikan lainnya pada pemberian zidovudin mencakup mual, rasa tidak nyaman pada
abdomen, demam/panas, mengigil, mialgia dan sakit kepala; efek merugikan yang lebih jarang
terjadi adalah konfusi., somnolen dn kejang. Kepada pasien harus diberitahukan mengenai dan
pentingnya pemeriksaan medis yang teratur, dan penilaian serta penatalaksanaan efek yang
merugikan tersebut perlu dilakukan. Rujukan untuk konseling finansial kerapkali diperlukan
mengingat penggunaan obat ini memerlukan biaya tinggi.
Didioksinosin. Bagi banyak pasien, didioksinosin (didanosine [ddl]) memberikan hasil yang
menjanjikan sebagai preparat alternatif pengganti zianidovudin. Efek toksik utama yang
membatasi dosis pemberian ddl adalah pankreatitis yang dapat berakibat fatal dan neuropati
perifer. Efek toksik lainnya mencakup diare, kegelisahan dan peningkatan kadar asam urat (kalau
ddl diberikan dengan dosis yang tinggi).
Dideoksistidin, Dideoksistidin (ddC) tidak menembus cairan spinal sehingga tidak seefektif
zidovudin bila digunakan untuk mengobati ensefalopati yang berhubungan dengan AIDS.
Beberapa neuropati perifer ditemukan pada pemberian ddC dengan dosis tinggi. Efek toksiknya
yang lain adalah intoleransi gastrointestinal dan ulserasi mukosa. Karena virus HIV dapat dapat
mengadakan mutasi dengan cepat, maka resistensi obat akan terjadi; karena itu, terapi kombinasi
antivirus memberikan harapan terbaik untuk mengendalikan vinfeksi HIV.
Stavudin. Stavudin dapat dipreskripsikan nagi pasien-pasien infeksi HIV stadium lanjut yang
tidak responsif terhadap preparat antivirus lain atau yang tidak dapat mentolerir efek
sampingnya. Reaksi yang merugikan utama mencakup neuropati perifer, supresi sumsum tulang,
mialgia dan hepatotoksisitas. Neuropati perifer merupakan efek-samping utama yang membatasi
dosis pemberian obat tersebut; kepada pasien harus diberitahukan agar melapor bila terdapat
nyari, rasa terbakar, pegal-pegal, kelemahan atau perubahan sensibilitas lainnya.
f. Inhibitor Proontease
Inhibitor protease merupakan obat yang menghambat kerja enzim protease, yaitu anzim yang
dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi protease HIV-1
akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim reverse
transcriptase. Karena menghambat replikasi virus dengan cara yang berbeda dari inhibitor
reverse transcriptase seperti zidovudin, maka preparat ini memberikan harapan jika diberikan
bersama inhibitorreverse transcriptase. L-524 dan RO 31-8959 merupakan dua buah preparat

inhibitor protease yang masih diselidiki. Efek sampingnya mencakup sakit kepala dan gangguan
gastrointestinal.
Sebagai obat mengganggu infinitas HIV untuk limfosit T4. Sebagian lainnya mengubah
membran virus dan mencegah masuknya virus kedalam sel-sel hospes. Inhibisi reprodiksi virus
merupakan mekanisme kerja yang lain. Sebagian bear preperat berada dalam berbagai fase ujiklinis yang mengevaluasi toksisitas serta dosis maksimal yang ditoleransi (uji-klinis fase I),
aktivitas terhadap HIV (fase II), dan efektivitasnya bila dibandingkan dengan obat-obat lain (fase
III). Untuk daftar preparat antiretrovirus, lihat tabel 50-3
g. Imunomodulator
Untuk melawan penyakit AIDS bukan hanya diperlukan preparat yang akan menghambat
pertumbuhan virus, tetapi juga preparat yang akan memulihkan atau menguatkan sistem imun
yang rusak. Preparat oral alfa-interferon dosis rendah (IFN-alfa) kini sedang diuji untuk meneliti
sifat-sifat antivirusnya disamping kemampuannya dalam menstimulasi sel-sel makrofag dan
limfosit sel-T. Sebagaimana dibahas sebelumnya dalam bab ini, preparat parenteral alfainterferon juga digunakan untuk mengobati sarkoma kaposi kutaneus. Substansi lain yang sedang
dievaluasi peranannya dalam stimulasi makrofag dan limfosit mencakup interleukin 2,
isoprinosin, dietilditiokarbama; (DTC), lentinan dan G-CSF (granulocyte macrophage colonystimulating factor). Sebagaimana dibicarakan sebelumnya, G-CSF bersama-sama eritropoietin
kini digunakan untuk memulihkan anemia dan neutropenia yang disebabkan oleh terapi
zidovudin.
Banyak substansi ini manyababkan reaksi mirip flu yang mencakup demam, menggigil, artralgi,
mialgia dan sakit kepala. Di samping itu, sebagai preparat menimbulkan gejala mual, vomitus,
kenaikan kadar enzim hati, neutropenia, konfusi dan perubahan perilaku . Perawat memainkan
peranan yang penting dalam bentuk terapi ini dengan turut berpartisipasi dalam penilaian dan
penanganan efek yang merugikan, memberikan dukungan.
Preparat antivirus
Obat Efek samping
Analog nukleosida-inhibitor reverse transcriptase
Zidovudin(ZDV) (retrovir)
(Dahulu disebut AZT)
Didanosin (ddi) (videx)
Zaltisabin, dideoksisitidin
(ddc) (HIVID)
Stavudin, (dt) (zerit)

Inhibitor reverse transcriptase non-nukleosida


Foskarnet(foskarvir)
Nevirapin
Inhibitor protease
L-drug (L524) dan R031-8985
Animea, granulositopenia, mual, gangguan rasa nyaman pada perut, sakit kepala, konfusi,
hepatitis, perubahan warna kuku, kejang, miositis, demam, atau panas, menggigil
Pankreatitis, neuropati, perifer, mual, diare, konfusi, kejang, sakit kepala, abnormalitas elektrolit,
aritmia jantung,
Ulkus esofagus, neuropati, perifer stomatis, pankreatitis, demam/panas, ruam, seriawan pada
mulut (stomatitis aftosa) hiperglikemia,
Neuropati perifer, hepatotoksisitas, animea, mual
Peningkatan rasa haus, mual, anoreksia, sakit kepala, rasa sakit pada pinggang, kedutan otot,
kegagalan renal, kenaikan kadar kreatinin, proteinuria ringan, tremor, kejang, ulkus genitalis
Ruam, demam/panas, trombositopenia
Sakit kepala, gangguan gastrointestinal
Serta pendidikan yang tepat kepada pasien, dan turut berpartisipasi,dalam mengumpulkan data
data untuk uji klini
Vaksin merupakan substansi yang memicu projaduksi antibody dalam upaya untuk
menghancurkan mikroorganisme penyerang. Para ahli riset telah dan sedang bekerja untuk
mengembangkan vaksin bagi virus HIV sejak virus tersebut ditemukan,. Beberapa uji vaksin kini
tengah dilakukan pada para relawan manusia yang seronegatif. Karena sifat dan prilaku virus
HIV yang kompleks, kebanyakan ilmuan yang sepakat bahwa vaksin untuk virus HIV masih
belum akan tersedia dalam beberapa tahun ini. Tanpa adanya pedoman untuk mengembangkan
perlindungan jangka-panjang, terhadap infeksi HIV, kita tidak mengetahui tipe respon imun apa
(yaitu, antibodi yang menetralkan limfosit T sitotoksik atau keduanya) yang diperlukan untuk
memberikan perlindungan secara penuh. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan dalam
mengembangkan dan menguji sebuah vaksin adalah pengidentifikasian populasi penelitian yang
tepat. Sebagai contoh, kita mungkin sulit menentukan apakah penurunan angka infeksi pada
kelompok homoseksual pria terjadi akibat penggunaan vaksin atau akibat perubahan praktik
seksual sebagai hasil dari upaya penyuluhan yang masif. Penelitian terhadap kelompok pemakai
obat bius IV selama beberapa tahun dalam uji vaksin kemungkinan besar juga sulit terlaksana

karena orang orang ini sering tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan terlibat dalam
aktivitas yang gelap. Akhirnya terdapat pula beberapa masalah hukum dan etika, termasuk
pertanggungjawaban pabrik pembuat vaksin, kemungkinan timbulnya seropositivitas AIDS pada
subjek penelitian dan munculnya efeksamping yang serius
h. Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat dari sakit
kronik yang berkaitan dengan infeksi HIV memerlukan banyak macam perawatan suportif.
Dukungan nutrisi merupakan tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan
atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan yang lanjut karena penurunan
asupan makanan, sindrom pelisutan atau malabsorpsi saluran cerna, yang berkaitan dengan diare,
mungkin diperlukan pemberian makanan melalui pembuluh darah seperti nutrisi parental total.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi akibat mual, vomitus, dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit
yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilitas ditangani dengan
perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencakup tindakan membalikan tubuh
pasien secara teratur membersihkan dengan mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan
kasa steril.
Gejala paru seperti dispnea dan nafas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi, sarkoma
kaposi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi oksigen,
pelatihan relaksasi dan tehnik-tehnik penghemat tenaga. Pasien dengan gangguan fungsi
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang
menyertai lesi kulit, keram perut, neuropati perifer/ sarkoma kaposi dapat diatasi dengan preparat
analgetik yang diberikan secara teratur dalam 24jam. Tehnik relaksasi dan guided imagery (terapi
psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
kecemasan pada sebagian pasien.
i. Terapi alternatif
Ilmu kedokteran barat tradisional memfokuskan perhatiannya pada pengobatan
penyakit.pengobatan atau intervensi ini di ajarkan pada sekolah kedokteran dan di gunakan oleh
para dokter dalam merawat pasien-pasien mereka.terapi alte rnatif di pandang sebagai cara-cara
terapi yang non-konvensional dan non-ortodok sehingga tidak sama seperti yang ajarkan secara
tradisional di sekolah kedokteran .terapi alternative menekankan perlunya penanganan secara
utuh sebagai satu kesatuan dan mengakui adanya intraksadanya intraksi tubuh ,jiwa dan roh.apa
yang di anggap sebagai terapi alternatif dalam salah satu budaya mungkin merupakan terapi
tradisional dalam budaya lain.pengguna terapi alternatif pada penyakit HIV dan penyakit AIDS
mungkin terjadi karna harapan yang keliru pada terapi medis standar yang sampai pada saat ini
belum menghasilkan ksembuhan bagi penyakit tersebut.bersama dengan terapi medis
tradisional,terapi alternative mungkin dapat memperbaiki kesejahteraan pasien secara
keseluruhan.
Terapi alternatif dapat di bagi empat kategori.1)terapi spiritual yang mencangkup
tumor,hypnosis,kesembuhan karna iman kepercayaan (faith healing),guided imagery dan

afirmasi positif.2)terapi nutrisi yang mencangkup diet vegetarian mak-obiotik, suplemen vitamin
c atau beta- karoten dan kunir/kunyit (suatu umbi tanaman yang digunakan sebagai penyedap
makanan) yang mengandung curcumin. Obat tradisional cina seperti campuran herbal tradisional
serta senyawa Q (ekstrak ketimun cina) dan monmordica harantia (bitter malon) yang diberikan
sebagai enema juga digunakan dalam terapi alternative. (3) terapi obat dan biologik termasuk
obat-obat yang pemakaiannya tidak disetujui oleh FDA. Contoh terapi ini adalah N-setiisistein
(NAC), pentoksifilin (Trental) dan I-kloro-4-dinetrobenzena (DNCB). Yang juga termasuk dalam
kategori ini adalah terapi oksigen, terapi ozon dan terapi rin. (4) terapi dengan tenaga fisik dan
alat yang tercangkup akupuntur, akupresur , terapi masase, refleksologi terapi sentuhan, yoga dan
Kristal.
Banyak pasien yang menggunakan terapi alternative tidak selalu melaporkannya kepada petugas
kesehatan. Untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang lengkap, perawat harus menanyakan
penggunaan terapi alternatif. Pasien mungkin harus di dorong untuk melaporkan penggunaan
terapi alternative keada dokter atau petugas kesehatan yang memberikan pelayanan primer.
Masalah dapat timbul kalau pasien menjalani terapi alternatif sementara turut serta dalam uji
klinis obat. Mereka dapat mengalami efek-merugikan yang signifikan yang mempersulit
penilaian khasiat obat dalam uji klinis. Perawat harus memahami efek samping merugikan yang
dapat terjadi dari terapi alternatif. Perawat yang mencurigai terjadinya efek samping akibat terapi
alternatif harus membebicarakannya dengan pasien. Orang yang memberikan terapi alternative
dan petugas pelayanan kesehatan primer. Hal yang amat penting bagi perawat adalah
memandang terapi alternative dengan pikiran terbuka dan mencoba memahami makna terarp ini
bersama pasien. Dengan melakukan hal tersebut, komunikasi dengan pasien akan menjadi lebih
baik dan kemungkinan konflik bisa dukungan sehingga semua orang yang terlibat dalam
pernyataan dalam perawatan dapat memenuhi kebutuhan pasien.
(Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare,2001)
6. Komplikasi
a. Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi/jamur Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV,
karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan
(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC
terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit .
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya
terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang

terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal
infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada
stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian
tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering
menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah
bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.Dengan demikian, gejala yang muncul
mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
b. Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke
lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur
kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh
mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai
penyebab, antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella,
Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan
virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu,
diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani
bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare
diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap
nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.
c. Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf
(neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang
telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut
(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
mata dan paru-paru
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam,
sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan,
yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang
menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga
merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya

terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang
cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam
waktu sebulan setelah diagnosis.
d. Kanker dan tumor ganas (malignan)
Sarkoma Kaposi. Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki resiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi
genetik,yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan
virus papiloma manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi
(KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat
menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah
putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitts
lymphoma) atau sejenisnya (Burkitts-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL),
dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma adalah tanda-tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus
Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini
disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker
usus besar bawah (rectum), dan kanker anus.
Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus
besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat
dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS,
kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang
sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang
terinfeksi HIV.
e. Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama
demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang
pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang
positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang potensial termasuk praktik
seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius IV status fisik dan psikologis pasien harus di
nilai semua factor yang mempengaruhi pungsi system imun perlu di gali dengan seksama.
Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali factor-faktor yang dapat
mengganggu asupan oral seperti anareksia.mual voanius nyeri oralatau kesulitan menelan.Di
samping itu kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus di
nilai.penimbangan berat badan,penilaian antrometrik,pemeriksaan kadar BUN (blood urea
nitrogent)protein serum,albumin dan transferin akan memberikan parameter status nutrisi yang
objektif.
Kulit dan membrane mukosa di inspeksi setiap hari untuk menemukan tanda-tanda lesi,ulserasi
atau infeksi.rongga mulut di periksa untuk memantau gejala kemerahan,ulserasi dan adanya
bercak-bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasis.daerah perianal harus di periksa
untuk menemukan ekskoreasi dan infeksi pada pasien propus.pemeriksaan kultur luka dapat di
mintakan untuk mengidentifikasi mikro organism yang infeksius.
Status respiratorius di nilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk,produksi
sputum,napas yang pendek,ortopnia,takepnea dan nyeri dada.keberadaan suara pernapasan dan
sifatnya juga harus di periksa.ukuran pungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen
toraks,hasil pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru .
Status neorologis di tentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien,orientasi terhadap orang
,tempat serta waktu dan ingatan yang hilang.pasien juga di nilai untuk mendeteksi gangguan
sensorik (perubahan gaya jalan,paresis atau paralisis) dan serangan kejang.
Status cairan dan elektrolit di nilai dengan memeriksa kulit serta membrane mukosa untuk
menentukan turgor dan kekeringannya.peningkatan rasa haus,penurunan pengeluaran
urin,tekanan darah yang rendah dan penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 Mmhg dengan
di sertai kenaikan frekuensi dengan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk,denyut nadi yang
lemah serta cepat dan berat jenis urin sebesar 1,025atau lebih menunjukkan dehidrasi.gangguan
keseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar natrium,kalium,kalsium,magnesium dan klorida
dalam serum secara khas akan terjadi karna diare hebat.pemeriksaan pasien juga di lakukan
untuk menilai tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit.,tanda-tanda ini tanda-tanda mencakup
penurunan status mental,kedutan otot,kram otot,denyut nadi yang tidak teratur,mual serta
pomitus,dan pernapasan yang dangkal.
Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit harus di
evaluasi.di samping itu,tingkat pengetahuan keluarga dan sahabat perlu di nilai.reaksi psikologis
pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting yang harus di gali.reaksi
dapat berpariasi antara pasien satu dengan lainnya dan dapat mencakup penolakan,amarah,rasa
takut,rasa malu,menarik diri dari pergaulan sosial dan depresi.pemahaman tentang cara pasien
menghadapi sakitnya dan riwayat stress utama yang pernah di alami sebelum nya kerap kali
bermanfaat.sumber-sumber yang di miliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya harus
di identifikasi.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Diare yang berhubungan dengan patogen enterik dan infeksi HIV
2. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia pneumocytispeningkatan
sekresi bronkial,dan penurunan kemampuan untuk batuk yang berhubungan dengan kelemahan
dan keletihan
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan oral
5. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara cara pencegahan penularan HIV
6. Isolasi sosial yang berhubungan dengan penyakit,menarik diri dari sistem dukungan,prosedur
isolasi dan rasa takut terhadap orang lain yang terinfeksi
3. Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan 1
Diare yang berhubungan dengan patogen enterik dan infeksi HIV
Tujuan
Mendapatkan kembali defekasi yang lazim
Intervensi keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
1. Kaji kebiasaan defekasi normal pasien
2. Kaji terhadap diare,sering,feses,encer, nyeri atau kram abdomen, volume feses cair, dan faktor
pemberat dan penghilang
3. Dapatkan kultur feses dan berikan terapi antimikroba sesuai ketentuan
4. Lakukan tindakan untuk mengurangi pembatasan sesuai ketentuan dokter
a. Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai ketentuan dokter
b. Hindari merokok
c. Hindari irotan usus seperti makanan berlemak atau gorengan, sayuran mentah, dan kacang
kacangan, berikan makanan sedikit tapi sering
5. Berikan anti spamodik, antikolinergis, atau obat sesuai ketentuan
6. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 3 L kecuali dikontraindikasikan 1. Memberikan dasar
untuk evaluasi
2. Mendeteksi perubahan pada status, kuantitas kehilangan cairan, dan memberikan dasar untuk
tindakan keperawatan
3. Mengidebtifikasi organisme patogenik
4. Tirah baring dapat menurunkan episode akut
a. Menurunkan stimulasi usus
b. Nikotin bertindak sebagai stimulan usus

c. Mencegah merangsang ususdan distensi abdomen dan mrningkatkan nutrisi adekuat


5. Menurunkan spasme dan motilitas usus
6. Mencegah hipovolemia 1. Kebiasaan defekasi kembali normal
2. Melaporkan penurunan episode diare dan kram abdomen
3. Mengidentifikasi dan menghindari makanan yang mengiritasi traktus gastrointestinal
4. Terapi yang tepat dilakukan sesuai ketentuan
5. Menunjukan luktur feses yang normal
6. Mempertahankan masukan cairan yang adekuat
7. Mempertahankan berat badan dan melaporkan tidak ada penuruna berat badan tambahan
8. Menyatakan rasional untuk menghindari merokok
9. Libatkan dalam program berhenti merokok
10. Menggunakan obat sesuai ketentuan
11. Mempertahankan status cairan adekuat
12. Menunjukan turgor kulit normal,membran mukosa lembab, haluaran urin adekuat, dan tidak
ada ras haus berlebihan
Diagnosa keperawatan 2
Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi
Tujuan
Tidak ada infeksi
Intervensi Rasional Hasil yang diharapkan
1. Pantau adanya infeksi, demam, mengigil dan diaforesis,nyeri oral dan nyeri menelan,bercak
berwarna krim dalam rongga oral, sering berkemih,dorongan(urgensi)atau
disuria,kemerahan,bengkak,atau drainase dari luka,lesi vesikuler,di wajah,bibir,atau area perianal
2. Ajarkan pasien atau pemberi perawatan tentang perlunya melaporkan kemungkinan infeksi
3. Pantau jumlah sel darh putih dan diferensial
4. Dapatkan kultur drainase luka,lesi kulit,urin,feses,sputum,mulut,dan darah sesuai ketentuan,
berikan terapi antimikrobial sesuai ketentuan
5. Instruksikan pasien cara mencegah infeksi:
a. Bersihkan dapur dan permukaan kamar mandi dengan disinfektan
b. Bersihkan tangan secara seksama setelah terpajan cairan tubuh
c. Hindari pemajanan pada cairan tubuh lain atau penggunaan alat makan bersama
d. Membalik,batuk, dan nafas dalam khususnya ketika aktivitas dikurangi
e. Pertahankan kebersihan area perianal
f. Hindari memegang kotoran binatang piaraan atau membersihkan kontak sampah, sarang
burung atau aquarium
g. Masak daging dan telur sampai matang
6. Pertahankan teknik aseptik bila melakukan prosedur invasif seperti pungsi vena,kateterisasi
kandung kemih dan injeksi 1. Deteksi dini terhadap infeksi penting untuk melakukan tindakan
segera.Infeksi lama dan berulang memperberat kelemahan pasien

2. Berikan deteksi dini terhadap infeksi


3. Peningkatan SDP dikaitkan dengan infeksi
4. Organisme pengganggu harus diidentifikasi sesuai kebutuhan untuk memulai tindakan yang
tepat
5. Minimalkan pemajanan pada infeksi dan penularan infeksi HIV pada orang lain
6. Mencegah infeksi yang didapatkan dirumah , sakit 1. Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
yang dapat dilaporkan
2. Melaporkan tanda dan gejala infeksi bila ada
3. Menunjukan dan melaporkan tidak ada demam, menggigil dan disforesis
4. Menunjukan bunyi nafas normal tnpa bunyi nafas adventisius
5. Mempertahan kan berat badan
6. Melaporkan tingkat energi adekuat tanpa keletihan berlebihan
7. Melaporkan tidak ada nafas pendek atau batuk
8. Menunjukan membran mukosa merah muda,lembab tanpa fisura atau lesi
9. Terapi yang dapat diberikan
10. Infeksi dicegah
11. Menyatakan rasional untuk strtegi menghindari infeksi
12. Mengubah aktivitas untuk menurunkan pemajanan pada infeksi atau individu infeksius
13. Mempraktikan seks yang aman
14. Hindari menggunakan alat makan dan sikat gigi bersama
15. Menunjukan suhu tubuh normal
16. Menggunakan teknik mempertahankan kebersihan kulit, lesi kulitdan area perianal sesuai
kebutuhan
17. Meminta orang lain untuk menangani kotoran binatang piaraan dan membersihkannya
18. Menggunakan teknik memasak yang dianjurkan
Diagnosa keperawatan 3
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia pneumocytispeningkatan
sekresi bronkial,dan penurunan kemampuan untuk batuk yang berhubungan dengan kelemahan
dan keletihan
Tujuan
Bersihan jalan nafas membaik
Intervensi Rasional Hasil yang diharapkan
1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala perubahan status pernafasan, takipnea,penggunaaan otot
aksesori, batuk,warna dan jumlah sputum, bunyi nafas abnormal,warna kulit abu abu atau
sianotik, gelisah, konfusi atau somnolen
2. Dapatkan sampel sputum untuk kultur yang diprogramkan oleh dokter. Berikan terapi anti
mikrobial sesuai ketentuan
3. Bikan perawatan paru(batu, napas dalam. Drainase postural ,vibrasi) setiap 2 sampai 4 jam
4. Bantu pasien untuk mengambil posisi fowler tinggi atau semi
5. Dorong periose istirahat adekuat

6. Lakukan tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi


a. Mempertahankan masukan cairan sedikitnya 3 L per hari kecuali dikontraindikasikan
b. Lembabkan udara yang diinspirasikan sesuai ketentuan dokter
c. Konsulkan dengan dokter mengenai penggunaan agen mukolitik yang diberika melalui
nebulizer atau tindakan IPPB
7. Lakukan penghisapan trakeal sesuai kebutuhan
8. Berikan terapi oksigen sesuai ketentuan
9. Bantu inubasi endotrakeal, pertahankan lingkunga ventilator sesuai ketentuan
1. Menunjukan fungsi pernafasn abnormal
2. Membantu dalam identifikasi organisme patogenik
3. Mencegah stasis sekresi dan meningkatkan bersihan jalan nafas
4. Memudahkan bersihan jalan nafas dan pernapasan
5. Memaksimalkan penggunaan energi dan mencegah keletihan berlebihan
6. Memudahkan ekspetorasi sekresi, mencegah stasi sekresi
7. Membuang sekresi bila pasien tidak dapat melakukannya
8. Meningkatkan availabilitas oksigen
9. Mempertahankan ventilasi 1. Mempertahankan bersihan jalan nafas normal :
a. Frekuensi pernapasan < 20/ menit
b. Pernapasan tidak sulit tanpa menggunakan otot aksesori dan pernapasan cuping hidung
Kilt berwarna merah muda (tanpa sianosis)
c. Sadar dan waspada pada sekitarnya
d. Nilai gas darah arterial normal
e. Bunyi napas normal tanpa bunyi napas adventisius
2. Mulai terapi yang tepat
3. Gunakan obat sesuai ketentuan
4. Laporkan perbaikan pernapasan
5. Mempertahankan jalan napas bersih
6. Batuk dan napas dalam setiap 2 4 jam sesuai anjuran
7. Menunjukan posisi yang tepat dan praktik drainase poistural setiap 2 4 jam
8. Melaporkan penurunan kesulitan pernapasan ketika pada posisi semi fowler tinggi
9. Mempraktikan strategi penghematan energi dan penggantian aktivitas dan istirahat
10. Menunjukan penurunan dalam kekentalan (viskositasi)sekresi paru
11. Melaporkan peningkatan kemudahan dalam membatukan sputum
12. Menggunakan udara yang dilembabkan atau oksigen sesuai ketentuan dan indikasi
13. Menunjukan kebutuhan terhadap bantuan pembuangan sekresi paru

14. Memahami kebutuhan terhadap dan bekerja sama dalam intubasi endotrakea dan penggunaan
ventilator mekanis
15. Mengungkapkan kekuatiran tentang kesulitan pernapasan, intubasi,dan ventilasi mekanis
DIAGNOSA KEPERAWATAN 3
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhyang berhubungan dengan penurunan masukan
oral.
SASARAN : perbaikan status nutrisi
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan,usia,BUN, protein, serum,
albumin, kadar transferin, hemoglobin, hematokrit, energi kutan dan pengukuran antropometrik.
2. Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan yang di sukai dan yang tidak di sukai serta
intoleransi makanan.
3. Kaji faktor yang mempengaruhi pemasukan oral.
4. Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi pasien.
5. Kurangi faktor yang membatasi masukan oral.
a. Dorong pasien untuk istirahat sebelum makanan.
b. Rencana kan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera setelah prosedur yang
menimbulkan nyeri atau tidak enak.
c. Dorong pasien untuk makan dengan pengunjung atau orang lain bila mungkin.
d. Hidangkan makan, makan sering :6 kali perhari
e. Batasi cairan 1 jam sebelum makan dan pada saat makan.
6. Intruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi , mengkonsumsikan makanan
kaya protein ( daging, unggas, ikan) dan karbohidrat ( pasta, buah, roti)
7. Konsul dengan dokter tentang makanan pengganti ( nutrisi interal atau parenteral)
8. Konsulkan dengan pekerja sosial atau petugas komunitas tentang bantuan , finansial, bila
pasien tidak dapat mengusahakan makanan.
RASIONAL.
1. Memberikan pengukur objektif terhadap status nutrisi
2. Memastikan kebutuhan terhadap pendidikan nutrisi.
3. Memberikan dasar dan arahan untuk intervensi
4. Memudahkan perencanaan makan.
a. Meminimalkan keletihan yang dapat menurunkan nafsu makan.
b. Menurunkan rangsang mencemaskan.
c. Membatasi isolasi sosial
d. Membatasi penggunaan energi
e. Mencegah pasien terlalu kenyang
5. Memberikan protein dan kalori tambahan
6. Memberikan dukungan nutrisi bila pasien tidak dapat mengkonsums jumlah yang cukup
perolal
7. Meningkatkan ketersedian sumber dan nutrisi.

HASIL YANG DI HARAPKAN


Mengidentifikasi faktor yang membatasi masukan oral dan menggunakan sumber untuk
meningkatkan nafsu makan.
Melaporkan peningkatan nafsu makan.
Menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi
Mengidentifikasi cara untuk meminimalkan faktor yang membatasi masukan oeral.
Istirahat sebelum makan.
Makan dalam lingkung yang menyenangkan dan bebas bau.
Mengatur makan untuk di sesuaikan dengan kunjungan
Melaporkan peningkatan masukan diet
Melaksanakan higine mulut sebelum makan.
Menggunakan obat nyeri sebelum makan sesuai ketentuan
Menyatakan cara untuk meningkatkan masukabn protein dan kalori
Mengidentifikasi makanan tinggi protein dan kalori
Melaporkan penurunan kecepatan berat badan
Mempertahankan masukan adekuat
Menyatakn rasional untuk nutrisi enteral atau parenteral bila diperlukan
Menunjukan ketermpilan dalam menyiapkan pengganti nutrisi
DIAGNOSA KEPERAWATAN 4
kurang pengertahuan yang berhubungan dengan cara cara pencegahan penularan HIV
SASARAN : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan penyakit
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Intruksikan pasien , keluarga, dan teman tentang rute penularan HIV
2. intrusikan keluarga, teman,pasien tentang pencegahan penularan hiv
a) Menhindari kontak seksual dengan pesangan ganda,dan pengunaan kewaspadaaanbila status
HIV pasangan seksual tidak pasti
b) Gunakan kondom selama hubungan seksual (vaginal, oral, anal genetalia) hindari kontak
mulut dengan penis, vagina atau rektum;hindari praktik sosialyang dapat menyebabkan robekan
laporan rektum, vagina atau venis.
c) Hindarai seksual dengan protistusi dan orang lain berisiko tinggi
d) Jangan mengunakan obatb intra vena ; bila terakdiksi dan tidak mampu atau tidak ingin
mengubah prilaku mengunakan jarum dan spuit bersih
e) Wanita yang telah terpajan pada AIDS melalui pratek seksual atau obat harus konsul dengan
dokter sebelum hamil : pertimbangan pengunaan ZDV bila hamil
RASIONAL
1. Pengetahuan tentang penularan penyakit dapat membantu mencagah penebaran penyakit juga
dapat menimbulkan rasa takut
2. Resiko infeksi meningkat bersamaan dengan jumblah pasangan seksua pria atau wanita dan
kontak sosial dengan orang yg berprilaku resiko tinggi
Menurunkan resiko penularan HIV
- Banyak prostitusi terinfeksi HIV melaui kontak seksual dengan pasangan multipel atau

pengunaan obat intravena


- Bersihkan jarum dan sepuit hanya satu satunya cara mencegah HIV untuk orang yang terus
mengunakan obat. Kewaspadaan pentik untuk orang yang antibodi positif untuk mencegah HI
- Aid dapat ditularkan dari ibu ke anak didalam kandungan ZDV selama kehamilan mengurangi
secara bermakna penular HIV perinatal
`HASIL YANG DI HARAPKAN
Pasien, keluarga dan teman menyebutkan cara penularan
Melaporkan dan menunjukan praktek untuk menurunkan pemajanan pada orang lain terhadap
HIV
Menghindari pengunaan obat intravena
Menunjukan praktik seksual aman
Mengidenvikasi cara pencegahan penularan penyakit
Menyebutkan bahwa pasangan seksual diberi informasi tentang antibodi posif dalam darah
Mengurangi pegunaan obat IV dan pengunaan alat bersama untuk obat
DIAGNOSA KEPERWATAN 5
isolasi sosial berhubungan dengan penyakit menarik diri dari sistem dukungan, persedur isolasi,
dan rasa takut terhadap orang lain yg interaksi
SASARAN: penurunan rasa isolasi sosial
INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Kaji pola interaksi sosial pasien yang lazim
2) Observasi terhadap prilaku indakatif isolasi sosual, seperti penurunan interaksi dengan orang
lain, bermusuhan, ketidak patuhan, efeksedih, dan merasakan perasan ditolak dan kesepian
3) Berikan intruksi mengenai cara penularan hiv
4) Bantu pasien untuk mengidenfikasi dan mengenali sumber untuk mendukung dan mekanisme
positif untuk koping ( mis: kontak dengan keluarga, teman kelompok kerja AIDS)
5) Berikan waktu untuk bersama pasien lebih banyak daripada untuk pengobatan dan persedur
6) Dorong partispasi dalam aktivitas pengalih seperti membaca televisi atau kerajinan tangan
RASIONALISASI
1) Menetapkan dasar untuk intervensi individual
2) Isolasi sosial dapat dimanifestasikan dalam beberapa cara
3) Pengawasan imformasi yang akurat memperbaiki kesalahan konsepsi dan mengilangnya
asientas
4) Meningkatan perasaan diri bermakna dan memberikan interaksi sosial
5) Memberikan distraksi
HASIL YANG DIHARAPAN
Bagi orang lain kebutuhan terhadap interaksi sosial bermakna
Menujukan minat dalam peristiwa aktivitas dan komunikasi
Mengungkapkan persaan dan reaksi terhadap diagnosis, prognosis, dan perubahan hidup
Mengidenfikasi cara cara penularan AIDS
Menyebutrkan cara cara vpencegahan penularan virus AIDS pada orang lain mempertahan
kontak dengan teman dan kerabat yang berati

Menyatakan diagnosis AIDS pada orang lain bila tepat


Mengidenfikasi sumber sumber ( mis; keluarga, teman, dan kelompok pendukung)
Menukan sumber sumber bila tepat
Menerima tawaran bantuan dan dukungan
Melaporkan penurunan rasa terisolasi
Mempertahan kontak dengan yang pentik untuk dirinya
Mengembangkan atau mengajutkan hoby yang secara efektif bertindak sebagai pengalih atau
distraksi.
4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan meliputi :
1. Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang normal
2. Tidak mengalami infeksi
3. Mempertahankan tingkat toleransi yang memadai terhadap aktivitas
4. Memperrtahankan tingkat proses berpikir yang lazim
5. Mempertahankan saluran nafas yang efektif
6. Mengalami peningkatan ras nyaman,penurunan ras nyeri
7. Mempertahankan status nutrisi yang memadai
8. Mengalami pengurangan perasaan terisolir dari pergaulan sosial
9. Melaporkan peningkatan pemahaman tentang penyakit AIDS serta turut berpartisipasi
sebanyak mungkin dalam kegietan perawatan mandiri
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C, Bare Brendo G Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner, Suddart,
Edisi 8, vol 3, Jakarta: EGC 2002
Price, Wilson, Patofisiologi Konsep klinis Proses Penyakit(1995),EGC,Jakarta.
Doenges, ME and Moor House, Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke 3, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai