Anda di halaman 1dari 5

Sumber Aqidah Islam

Oleh Rizky Adi Purwoko, 1406531694


Judul : 1. Majalah Hijrah Edisi Ketiga
2. Aqidah dan Akhlak
Penulis : 1. Pemuda Muhammadiyah Ranting Mulyodadi
2. Kahar Zchaa
Data Publikasi : 1. Majalah Hijrah, IX : September 2011
2. Zchaa, K., 2013. Aqidah dan Akhlak. [Online]
Available at: http://a2hk.blogspot.com/2013/05/sumber-aqidah-islam.html
[Diakses 19 Maret 2015]
Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya
dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Artinya, semua yang
disampaikan Allah dalam Al Quran dan disampaikan Nabi dalam Sunnahnya wajib diimani,
diyakini, dan diamalkan. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran
dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri,
dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah
salallahu `alaihi wasalam. Akal pikiran tidak menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi
memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba- kalau
diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al Quran dan
sunah. Harus didasari pula dengan kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Akal
tidak akan mampu menjangkau masalah gaib, bahkan akal tidak akan mampu menjangkau
sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Oleh karena itu, akal tidak boleh dipaksa
memahami hal-hal gaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal
gaib. Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita
tentang hal-hal gaib tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran ? Hanya itu.
Al Quran adalah perkataan Allah yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah dengan
proses wahyu, membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalan
mutawaatir (jumlah orang yang banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), dan

terjaga dari penyimpangan, perubahan, penambahan dan pengurangan. Dalam hal ini Allah
berfirman:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya". (Q.S. Al-Hijr: 9)
Al Quran adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah sholallahu alaihi
wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang
dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia
merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang
beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah
ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Quran, sebagaimana dalam firman-Nya
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak
ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui (Q.S. Al Anam:115) Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan
atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang
dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah. Allah menurunkan Al
Quran sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang
hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui
banyak ayat dalam Al Quran yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun
secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami
akidah yang bersumber dari Al Quran karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung
dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.
As Sunnah Seperti halnya Al Quran, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang
dari Allah subhanahu wataala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang
dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah Dan dia (Muhammad) tidak berkata
berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan (Q.S An Najm : 3-4)
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam juga bersabda: Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya.
(Riwayat Abu Dawud) Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di
tengah umat karena begitu banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya,
hadits yang shohih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata mutiara yang
bukan berasal dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini

tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk
mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah menjaga
kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga
kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela
sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini
tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah
dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya.
Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya
jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka agar tidak terseret dalam jurang
penyimpangan.
Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber
hukum dalam agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara
akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Quran, diantaranya firman Allah yang artinya :
Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka
tinggalkanlah (Q.S Al Hasyr:7)
Dan firman-Nya
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Q.S An Nisaa:59)
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk
juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman ulama.
Ibnul Qoyyim juga pernah berkata Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati
Rasul-Nya shalallahu alaihi wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang
menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa harus mencocokkan
terlebih dahulu dengan Al Quran, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan
tidak akan pernah ada pertentangan antara Quran dan Sunnah.
Ijma Para Ulama, Ijma adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para
mujtahid umat Muhammad sholallahu alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan
pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga
memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma, Allah subhanahu wataala
berfirman yang artinya Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang
yang beriman, maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali

(Q.S An Nisaa:115). Imam Syafii menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan
disyariatkannya ijma, yaitu diambil dari kalimat jalannya orang-orang yang beriman yang
berarti ijma. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syari yang wajib untuk
diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul.
Di dalam pengambilan ijma terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh
ditinggalkan. Ijma dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al Quran
dan Sunnah yang shahih karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak
diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma adalah menguatkan Al Quran
dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani
sehingga menjadi qathai.
Akal Sehat Manusia Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber
hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal
serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal
juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam
pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki
keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa. Agama Islam tidak membenarkan
pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan
akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqah) yang
menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Akal merupakan syarat untuk
memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi
sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai
sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan
cahaya iman dan Al Quran ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika
ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali
dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan. Eksistensi akal memiliki
keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan
pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh
oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang
abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya
dan petunjuk wahyu baik dari Al Quran dan As Sunnah yang shahih. Al Quran dan As
Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah
tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka
karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari

Al Quran dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus
meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat
dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang
bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Quran,
Sunnah dan Ijma, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak
memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.
Fitrah Kehidupan Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu alaihi wassalam
bersabda Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
membuat ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi (H.R Muslim). Dari hadits ini dapat
diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba kepada
Alloh. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir telah mengetahui rincian
agama Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki
fitrah untuk sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti
mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta
alam yang memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun
banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya.
Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali
Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling, dan manusia
adalah sangat kufur (Q.S Al Israa:67)

Anda mungkin juga menyukai