Anda di halaman 1dari 2

PATOFISIOLOGI.

Transmisidengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang
terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat terjadi transplacental (dari
ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary (dari ibu ke bayinya melalui air susu)
oleh karena pernah ditemukan kasusnya pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform
infektif menembus kulit menimbulkan Cutaneus Larva Migrans dan Visceral Larva Migrans.
Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung kanan
dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli
paru. Diduga saat keluar dari kapiler pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan
menimbulkan infiltrasi seluler pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat
yang menyebar pada gambaran radiologis paru (Loefflers pneumonia). Kumpulan gejala
klinis yang ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran
pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler.
Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke esofagus dan tertelan
masuk ke lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan cepat berkembang menjadi dewasa.
Betina lalu berkembang biak secara parthenogenesis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat
bahwa ada bentuk parasitik jantan, dan bahwa betina juga berkembang biak melalui kopulasi
yang terjadi di duodenum atau yeyunum. Walaupun para ahli selain mereka belum ada yang
dapat menemukan bentuk parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di mukosa
saluran cerna untuk menaruh telur telurnya . Pada infeksi berat gambaran mukosa dapat
terlihat seperti gambaran sarang tawon (honeycombed appearance). Telur yang menetas
mengeluarkan larva rhabditiform yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit ini berada
di saluran cerna, timbullah gejala gejala saluran cerna seperti nyeri abdomen, kram,
malabsorbsi dan sebagainya.
Pre paten period (= masa inkubasi ekstrinsik) 1 bulan. Keadaan terjadinya
autoinfeksi internal maupun eksternal akan mengarah ke hiperinfeksi. Hal ini akan
menyebabkan parasit ini dapat bertahan lama bahkan sampai bertahun tahun pada tubuh
seseorang sehingga dapat bertahan hidup di belahan dunia mana pun dan dalam iklim apapun.
Hal ini pula yang diduga sebagai penyebab sering rekurennya gejala klinis yang merupakan
ciri dari penyakit ini.
Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi aktif terjadi leukositosis (s/d
25.000) dengan eosinofilia ( > 40 %). Kemudian, saat infeksi menjadi kronis leukositosis
berganti menjadi neutropenia dan monositosis relatif, sementara eosinofilia moderat tetap

bertahan selama bertahun tahun. Pada keadaan kurangnya eosinofil, disertai dengan
leukopenia, pada kasus kronis menunjukkan prognosa yang buruk.
Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler pulmonal paru
menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan masuk ke sirkulasi sistemik
tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada disseminated infection yang dapat menyerang organ
organ lain seperti paru, hati, dan jantung. Namun keadaan disseminated (menyebar) ini
sendiri tidak berhubungan dengan beratnya infeksi. Kasus disseminated biasanya terjadi
pada penderita dengan immunosupresi / immunocompromised.
Hiperinfeksi Strongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi yang
meningkat dan gejala gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larva Strongyloides
stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda hiperinfeksi adalah
peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses. Faktor resiko hiperinfeksi Strongyloidiasis
adalah pasien yang immunocompromized, diantaranya :

Pengguna kortikosteroid.

Diduga ikatan antara kortikosteroid dengan reseptor hormon steroid mempercepat


transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform infektif. Kortikosteroid juga
menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi limfosit.

Pengguna obat obat imunosupresif untuk terapi kanker.


Penderita infeksi virus HTLV 1

Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV 1 (Human T cell Lymphotropic


Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV 1. Antigen strongyloides
mempecepat leukemogenesis.
Pengidap HIV / AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya awalnya diduga
memiliki angka kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang tinggi, ternyata angka
hiperinfeksi ini tidaklah sesignifikan atau pun sebesaryang diperkirakan. Dan penyebab
penyimpangan ini juga masih belum diketahui pasti. Sedang pasien yang mendapat
transplantasi organ memiliki angka hiperinfeksi yang tidak tinggi walaupun memakai obat
obat imunosupresif. Hal ini kemungkinan dikarenakan obat yang dipakai untuk menekan
sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi penolakan tubuh terhadap organ yang baru
ditransplantasikan) adalah cyclosporin yang juga mempunyai efek antihelmentik.

Anda mungkin juga menyukai