Opini Kinerja SBY Dalam 2 Periode
Opini Kinerja SBY Dalam 2 Periode
: 135020300111045
Periode awal
Dimasa awal pemerintahan baru yang akan berjalan, yaitu pada 20 oktober 2014, Calon
Bapak Presiden sudah dihadapkan dengan berbagai masalah. Masalah seperti utang
Negara dan Pengakusisian salah satu asset Negara yaitu Indosat oleh singapura, membuat
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya akan disingkat SBY) harus menata ulang
perekonomian yang ada dengan merencanakan program kerja yang baru. Dimana salah
satu program kerjanya yaitu pertumbuhan ekonomi meningkat 7,6% pada tahun 2009 (2003
dan 2004 masing-masing 4,1% dan 4,8%), dan pengangguran terbuka pada tahun yang
sama turun menjadi 5,1% dari total angkatan kerja ( tahun 2003 mencapai 10,1% ).
program-program kerja dan tujuan pembangunan yang digariskan oleh SBY akan tetap
berada di awang-wang kalau tidak dijabarkan secara kongkret tentang bagaimana
melakukan dan mencapainya. Memang sangat menarik Presiden dan Wapres ini telah
berani menunjukkan indikator-indikator yang jelas tentang target-target makro ekonomi,
seperti laju pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, pendapatan per kapita,
hingga ke target peningkatan IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Berbagai target tersebut harus didukung dengan program yang jelas, dan juga
proses bagaimana mewujudkan target kuantitatif tersebut. Proses pencapaian target
menjadi penting karena dalam perekonomian sering terjadi trade off antara tujuan satu
dengan tujuan lainnya. Misalnya saja contoh klasik yang sering dikemukakan berkaitan
dengan trade off yang bisa muncul antara pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dengan
pemerataan.
Proses
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
dengan
Ketika Pembangunan yang direncanakan SBY sedang berjalan pada awal masa periode, di
Tahun 2005 terjadi 2 peristiwa tak terduga yaitu kenaikan harga minyak mentah(BBM) di
Internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar As, Ini membuat PDB
menurun.
Kenaikan
harga
minyak
ini
menimbulkan
tekanan
terhadap
keuangan
pemerintah(APBN).
Lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Disatu sisi, hal ini mengurangi pengeluaran Negara dalam hal subsidi, namun dengan
kenaikan harga BBM, harga barang barang yang diminta menjadi naik sehingga konsumsi
masyarakat menjadi berkurang. Jika dilihat, pendapatan nasional dengan pendekatan
pengeluaran juga menurun, sehingga mempengaruhi APBN Negara yang juga berkurang.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke
tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan
yang
ditempuh
untuk
meningkatkan
pendapatan
perkapita
adalah
mengandalkan
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari
luar negeri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Ditahun 2008, Dunia mengalami kejadian yang cukup menggemparkan, yaitu terjadinya
krisis moneter dunia yang diawali pada krisis ekonomi Amerika Serikat yang lalu menyebar
ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi Amerika diawali
karena adanya dorongan untuk konsumsi (propincity to Consume. Akibatnya lembaga
keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya,
karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada
lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan perusahaan tersebut harus
bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya yang mengalami jatuh
tempo pada saat yang bersamaan. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan nonkeuangan di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor
menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai
produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat.
Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu
dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula,
terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.
Krisis yang pada awalnya diperkirakan akan mengulang terjadinya krisis Indonesia pada
Tahun 1998 menjadi titik terang hasil kerja keras SBY. Indonesia tidak hanya menjadi salah
satu dari beberapa Negara yang terkena dampak negatif yang sangat kecil, namun juga
menjadi Negara yang memiliki tren pertumbuhan ekonomi yang positif selain China.
Nilai ekspor Indonesia berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global tahun 2008
lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB (Product Domestic Bruto) cukup menjadi
penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2008 lalu. Di regional Asia
sendiri, Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari
krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa
selamatnya Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah
berkat minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor
dengan PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura
yang rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia
sendiri terselamatkan dengan hanya memiliki rasio ekspor sebesar 29%
Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi yang
serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus
daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena
Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk
Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan
permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah
yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia
memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada
tahun 2008.
Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari
Indonesia khususunya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank
Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio
mencatat defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008. Selain itu,
adanya sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya
pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut
menjadi defisit.
dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar
mengambang. Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung
pada supply dan demand di pasar. Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange
rate dimana Bank Indonesia berkewajiban menjaga Rupiah konstan dengan aktif membeli
dan menjual valas untuk menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah.
Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis
akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri
menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang
diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih
memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan
ekspor warga Negara Indonesia meningkat.
Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti
Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya
beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta
merta membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan
laporan BPS awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari
2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada
Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008,
nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%.
Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong
dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga
komoditi global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008
karena harga komoditi yang menurun dan penurunan harga subsidi BBM.
Terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008 yakni hingga bulan September
2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan.
Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan
pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya
harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia. Penyebab lain dari terus
menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah menurunkan harga BBM jenis solar
dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan dalam negeri yang relatif bagus.
Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi
karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan.
Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari keberhasilan
instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat meningkat tajam
pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun 2008 mencapai
11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.
Periode baru, masalah lama.
Pada periode yang selanjutnya, SBY kembali mengurus Krisis yang masih menghantui
perekonomian seluruh dunia. Krisis ini terus menjadi beban perekonomian bangsa
Indonesia hamper senpanjang periode kedua SBY memerintah. Di Tahun 2013, Indonesia
terancam kembali terkena krisis. Pada Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah.
Hal yang sama juga dialami oleh mata uang beberapa Negara emerging markets (negara
berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya. Hal ini
disebabkan Rupiah melemah karena penawaran atasnya tinggi, sementara permintaan
atasnya rendah.
Namun, apa yang menyebabkan penawaran atas Rupiah tinggi, sementara permintaan
atasnya rendah? Setidaknya ada dua faktor. Pertama, keluarnya sejumlah besar investasi
portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai
tukar Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang negara
lain untuk diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah.
Adapun indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan kecenderungan
menurun dari Rupiah.
Kenapa investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia? Alasan yang sering disebut
adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk mengurangi Quantitative
Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres
AS pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging
markets pun anjlok (lihat Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the
Fed untuk mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bankbank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi
pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.
Keempat paket ini dipercaya bisa memulihkan kembali perekonomian Indonesia yang
tengah dilanda krisis global.
Paket kedua, pemerintah akan menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Caranya pemerintah akan memberikan insentif dengan tetap membuktikan bahwa fiskal dan
defisit berada pada kisaran angka 2,38%. Dengan menjaga defisit pada batas aman ini,
maka pemerintah memastikan pembiayaan APBNP 2013 dalam kondisi aman.
Paket ketiga, pemerintah akan menjaga daya beli masyarakat dan menjaga tingkat inflasi.
Untuk itu, Pemerintah akan bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI).
Dari sisi pemerintah, untuk mengatasi inflasi atau harga yang bergejolak, pemerintah akan
mengubah tata niaga. Ambil contoh, tata niaga daging sapi dan hortikultura dari pembatasan
kuantitas atau menggunakan kuota menjadi mekanisme yang mengandalkan pada harga.
Paket keempat, percepatan investasi. Hatta bilang, untuk itu pemerintah akan mengambil
langkah-langkah seperti menyederhanakan izin dengan mengefektifkan pelayanan satu
pintu, menyederhanakan jenis-jenis perizinan investasi. "Saat ini sudah dirumuskan
penyederhanaan izin migas dari 69 jenis perizinan menjadi hanya delapan jenis perizinan,"
tegas Hatta.
Efek yang paling berpengaruh dalam pemerintahan SBY adalah krisis yang menyebabkan
inflasi yang tidak menentu.Namun kekahawatiran mengenai krisis finansial global yang kini
sedang melanda negara maju di Eropa dan Amerika, memang tidak bisa dikesampingkan.
Kondisi ekonomi dunia yang belum sepenuhnya pulih akan berdampak buruk terhadap
perkembangan ekonomi dinegara lainnya termasuk Indonesia. Namun kekhawatiran
tersebut tidak perlu berlebihan, mengingat kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik
dibanding ketika krisis moneter yang terjadi tahun 1997 yang diawali dengan krisis mata
uang yang terjadi di Thailand telah menarik Indonesia kedalam krisis keuangan yang parah.
Salah satu sebab terjerumusnya Indonesia ke dalam jurang krisis satu dekade yang lalu
terjadi karena struktur utang luar negeri yang tidak sehat. Ketika itu dengan mudahnya
swasta dan sektor perbankan menarik pinjaman luar negeri yang kemudian dipakai untuk
spekulasi dan juga untuk membiayai sektor properti yang tumbuh tidak wajar.
Pada waktu itu, kekuatan ekonomi Indonesia juga masih lemah, cadangan devisa masih
rendah dan ekspor juga belum begitu signifikan dalam menunjang ketahanan ekonomi
Indonesia.
Setelah berpengalaman lebih dari satu dekade dalam menghadapi krisis moneter, kini
Pemerintah, Bank Indonesia dan Perbankan telah cukup berhati-hati untuk tidak kembali
terjerumus kedalam krisis keuangan. Dengan struktur utang luar negri yang relatif moderat
dan cadangan devisa yang makin besar didukung oleh ekspor yang terus meningkat maka
dengan tetap berhati-hati, Indonesia tidak perlu terperosok kejurang krisis ekonomi seperti
yang dialami negara Eropa.
Grafik 1
Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS, Januari-Agustus 2013
Indeks, 15 Mei 2013 = 100
Grafik 2
IHSG April-Agustus 2013
Referensi terkait:
http://nurullitakiki.blogspot.com/2012/05/sejarah-ekonomi-indonesia.html
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul21_2.htm
http://elsaryan.wordpress.com/2009/09/08/krisis-ekonomi-global-2008-serta-dampaknyabagi-perekonomian-indonesia/
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3698
http://www.datacon.co.id/Telekomunikasi-2011Fokus.html
http://nasional.kontan.co.id/news/ini-4-paket-kebijakan-sby-stabilkanekonomi