Anda di halaman 1dari 7

BAB 6

PEMBAHASAN
Setelah pengumpulan data melalui kuisoner yang pengisiannya dibantu
oleh peneliti diolah, dilakukan interpretasi dan analisa data sesuai dengan
variabel yang diteliti. Dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai hubungan
antara Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Ekslusif terhadap kejadian diare dan
ISPA pada bayi usia 6-12 bulan di Puskesmas Cisadea.

6.2 Pelaksanaan IMD dan ASI Ekslusif


Data menunjukkan responden yang melaksanakan IMD sebanyak 38
(66%) dan yang tidak melaksanakan IMD 20 (34%). Artinya kesadaran
masyarakat akan pentingnya pelaksanaan IMD sudah meningkat. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan membandingkan data dari Riskesdas 2010, dimana di
daerah Jawa Timur pelaksanaan IMD masih sekitar 34%.
Diketahui bahwa 38 responden yang melaksanakan IMD tersebut
melakukan IMD karena IMD sudah menjadi program wajib dari Puskesmas atau
Rumah Sakit bersalin tanpa mengetahui esensi dari IMD itu sendiri. Hal yang
serupa juga didapat dari 20 responden yang tidak melakukan IMD. Alasan
responden tidak melaksanakan IMD antara lain karena tidak diminta oleh bidan
dan karena bayinya langsung dibawa oleh bidan untuk dirawat. Hal tersebut
dikuatkan oleh penelitian Sri Rati (2012) dimana ibu-ibu post partum
melaksanakan IMD karena sudah menjadi program wajib dari Puskesmas tanpa
diberi penjelasan mengenai IMD itu sendiri.

Menurut Nuraini (2009) kurangnya pengetahuan tentang IMD pada ibuibu post partum mengakibatkan mereka tidak mau memberikan ASI kepada
bayinya dikarenakan kelelahan setelah melahirkan. Morse (2000) juga
berpendapat bahwa ibu tidak melakukan IMD dikarenakan keyakinan dari budaya
mereka bahwa ASI yang pertama keluar tersebut tidak berguna bagi bayinya.
Meskipun angka pelaksanaan IMD sudah meningkat tetapi pemahaman ibu
mengenai IMD masih kurang.
Pada pelaksanaan ASI ekslusif didapatkan data 44 responden (76%)
melaksanakan ASI Ekslusif dan 14 responden (24%) tidak melaksanakan. Dari
14 responden didapatkan alasan tidak melaksanakan ASI ekslusif karena ASI
susah untuk keluar dan sibuk bekerja sehingga bayinya diberi susu formula.
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah menganjurkan untuk memberikan
ASI saja kepada bayi dalam jangka waktu minimal 4 bulan dan lebih baik lagi bila
diberikan sampai usia 6 bulan. Faktor presdiposisi kegagalan ASI ekslusif adalah
pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang dan juga karena ibu tidak
difasilitasi melakukan IMD. Bayi yang diberi kesempatan IMD hasilnya 8 kali lebih
berhasil dalam pemberian ASI ekslusif (Fika & Syafiq, 2003). Selain itu menurut
Sandra (2003) ibu yang melakukan IMD berpeluang 1,8 5,3 kali lebih besar
untuk tidak memberikan makanan/minuman prelaktal kepada bayinya.
6.3 Kejadian Diare dan ISPA
Dari data yang sudah ditabulasi didapatkan angka kejadian diare (+)
sebesar 10 responden (17%), diare (-) 48 responden (83%), ISPA (+) 30
responden (52%) dan ISPA (-) 28 responden (48%). Setidaknya bayi responden

mengalami episode ISPA 3 kali dalam 3 bulan terakhir dan diare dialami 1 kali
dalam 6 bulan terakhir.
Di Indonesia, ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama, terutama pada bayi (0-11 bulan) dan balita (1-4 tahun).
Berdasarkan hasil laporan SDKI (2012) sebanyak 88,8% bayi usia 6-11 bulan
dibawa ke fasilitas kesehatan dan 110 anak dengan gejala ISPA. Selain ISPA,
diare juga merupakan penyakit yang sering menyerang anak-anak.Pada bayi
salah satu penyebab diare adalah efek pemberian susu formula. Dimana bayi itu
sendiri bisa alergi dengan susu yang diberikan sehingga menyebabkan diare
ataupun karena proses penyajian dari susu formula yang kurang higienis
sehingga bakteri penyebab diare dapat masuk ke tubuh bayi.
6.4 Hubungan Antara Pelaksanaan IMD dan ASI Ekslusif Terhadap Kejadian
Diare dan ISPA
Dari hasil hitung crosstab hubungan pelaksanaan IMD terhadap diare
didapatkan nilai prevalensi rasio (PR) sebesar 1,2. Sedangkan untuk hasil
crosstab pelaksanaan IMD terhadap kejadian ISPA didapatkan nilai prevalensi
rasio (PR) sebesar 7,5. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan melaksanakan
IMD bayi akan mendapatkan proteksi terhadap kejadian diare sebesar 1,2 kali
dan sebesar 7,5 kali terhadap ISPA.
Pada hasil hitung crosstab pelaksanaan ASI ekslusif terhadap kejadian diare
didapatkan nilai prevalensi rasio (PR) sebesar 1,4 dan untuk hasil crosstab
pelaksanaan ASI ekslusif terhadap kejadian ISPA didapatkan nilai prevalensi
rasio (PR) sebesar 4,1. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan

mendapatkan ASI ekslusif bayi akan mendapatkan proteksi terhadap kejadian


diare sebesar 1,4 kali dan ISPA sebesar 4,1 kali.
Menurut hasil dari perhitungan uji korelasi Spearmen pada pelaksanaan IMD
terhadap kejadian diare didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 (p<0,05)
dan arah korelasi negatif. Artinya, pelaksanaan IMD memiliki hubungan (korelasi)
yang lemah dengan kejadian diare. Arah korelasi negatif menunjukkan adanya
penurunan kejadian diare pada pelaksanaan IMD (+). Sedangkan hasil uji
korelasi Spearmen pada pelaksanaan IMD terhadap kejadian ISPA didapatkan
nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 (p<0,05) dan arah korelasi negatif. Hal
tersebut berarti IMD juga memiliki korelasi yang lemah terhadap kejadian ISPA
dan arah korelasi negatif menunjukkan adanya penurunan kejadian ISPA pada
pelaksanakan IMD (+).
Dari hasil uji korelasi spearmen pada pelaksanaan ASI ekslusif terhadap
kejadian diare didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0,000 (p<0,05) dengan
arah korelasi negatif. Artinya pelaksanaan ASI ekslusif memiliki hubungan
(korelasi) yang lemah terhadap kejadian diare dan arah korelasi negatif
menunjukkan adanya proteksi dari diare pada bayi yang mendapatkan ASI
ekslusif. Pada hasil uji korelasi spearmen pada pelaksanaan ASI ekslusif
terhadap kejadian ISPA didapatkan nilai signifikansi (p) sebesar 0,006 dan arah
korelasi negatif. Artinya pelaksanaan ASI ekslusif memiliki hubungan (korelasi)
yang lemah terhadap kejadian ISPA dan arah korelasi negatif menunjukkan
adanya penurunan kejadian ISPA pada pelaksanaan ASI ekslusif (+).

Dari hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak sehingga


dinyatakan terdapat hubungan antara IMD dan ASI ekslusif terhadap kejadian
diare dan ISPA pada anak usia 6-12 bulan di Puskesmas Cisadea.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Jhon dkk (2000) dimana bayi
yang melaksanakan IMD menurunkan risiko terkena diare sebesar 26% selama
periode 6 bulan awal hidupnya. Daya proteksi dari IMD hanya bertahan selama 6
bulan awal kehidupannya, meskipun begitu efek proteksi ini sangat penting bagi
bayi. Karena dari hasil penelitian didapatkan setidaknya insiden diare sampai
bayi umur 6 bulan sangat tinggi yaitu dilaporkan 7 episode diare tiap bayi dalam
satu tahun. IMD dapat menurunkan insiden diare dengan mekanisme berikut. Ibu
yang berhasil melaksanakan IMD secara tidak langsung akan berhasil pula
dalam melaksanakan ASI ekslusif sehingga dalam 6 bulan awal kehidupannya
bayi hanya memperoleh nutrisi yang memang sudah disesuaikan dengan
kebutuhannya. Salah satunya adalah kebutuhan nutrisi untuk mematangkan
sistem imunnya.
Hasil ini juga didukung oleh penelitian Yunus (2013) yang menyebutkan
bahwa anak yang mendapatkan kesempatan IMD mempunyai risiko 2,3 kali lebih
renfah terhadap kejadian stunting dibandingkan dengan anak yang tidak
mendapat kesempatan IMD.
Penelitian lain memperlihatkan bahwa dari 1278 bayi dengan perlakuan ASI
ekslusif (59,3%), ASI non ekslusif (28,3%) dan susu formula (12,4%) didapatkan
insiden diare terjadi sekitar 25,0% pada bayi dengan perlakuan ASI ekslusif
(Bener dkk, 2011). Sedangkan pada penelitian Mardya (2000) didapatkan

setidaknya ISPA menyerang 20% bayi dari 170 bayi dengan 3 perlakuan (ASI
ekslusif, ASI non ekslusif dan susu formula).
Penelitian Dewa (2012) dengan sampel sebanyak 40 bayi dengan 2
perlakuan yaitu bayi diberi ASI ekslusif (20 bayi) dan bayi dengan ASI non
ekslusif (20 bayi ) memperlihatkan bahwa bayi yang diberi ASI tanpa makanan
atau minuman tambahan lebih jarang mengalami ISPA yaitu sebanyak 17 bayi
(42,5%), sedangkan bayi yang sering mengalami ISPA 3 bayi (7,5%). Untuk bayi
yang diberi ASI disertai makanan atau minuman tambahan lebih sering
mengalami ISPA yaitu sebanyak 11 bayi (27,5%) dan yang jarang mengalami
ISPA sebanyak 9 bayi (22,5%).
Pada penelitian Siti (2009) dari 27 ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan
didapatkan bayi yang mendapatkan ASI ekslusif dan pernah mengalami diare
sebanyak 12 bayi, sedangkan bayi yang tidak diberi ASI ekslusif dan pernah
mengalami diare sebanyak 14 bayi. Besar hubungan (OR) yang didapatkan
adalah 2,250 yang memiliki arti bahwa bayi yang tidak diberi ASI ekslusif
mempunyai peluang terkena diare 2,250 kali lebih besar dibanding dengan bayi
yang diberi ASI ekslusif.
Dari penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan melaksanakan IMD
dan diikuti dengan ASI ekslusif dapat menurunkan angka kejadian diare dan
ISPA (dalam hal ini batuk pilek). Hal tersebut sesuai dengan teori. ASI
memberikan zat-zat kekebalan yang belum dibuat oleh bayi. Bayi yang mendapat
kolostrum dari IMD dan ASI jarang terkena alergi, terutama terhadap protein susu
sapi dimana sering memberikan gejala diare. Komponen IgA pada kolostrum dan
ASI matur selain bekerja sebagai anti bakteri juga mencegah tereabsorpsinya

makromolekul asing. ASI melindungi bayi dari mikroba patogen yang berasal dari
sekitar, misal V.Kolera, E. Coli, Streptokokus dan Stapilokokus. Disamping itu IgA
melindungi bayi dari protein asing, sehingga bayi tidak mudah alergi. IgA adalah
molekul yang resisten terhadap enzim proteolitik dari saluran pencernaan dan pH
lambung dan masih menunjukkan anti bodi yang aktif pada tinja bayi yang minum
ASI.
6. 5 Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa pelaksanaan penelitian ini masih banyak
kekurangan, hal ini disebabkan karena:
a. Houthrone effect, subjek penelitian mengetahui bahwa dirinya sedang
diteliti sehingga sedikit akan mempengaruhi jawaban responden.
Dengan informed consent sebelum penelitian diharapkan dapat
mengurangi efek tersebut.
b. Adanya kemungkinan bias dalam penilaian pelaksanaan IMD karena
peneliti hanya menanyakan kepada responden apakah melakukan
IMD atau tidak.
c. Adanya keterbatasan jumlah sampel dikarenakan dalam 1 posyandu
lebih banyak jumlah balitanya daripada bayi berusia kurang dari 12
bulan.

Anda mungkin juga menyukai