Anda di halaman 1dari 72
BABI PENDAHULUAN A. LEKSIKOLOGI DAN LEKSIKOGRAFI Leksikologi dan leksikografi merupakan dua istilah yang hampir sama sehingga sering orang tidak dapat membedakannya dengan jelas. Menurut etimologi atau asal-usulnya, kedua istilah itu berasal dari kata Yunani fexikon yang berarti ‘ucapan, berbicara atau kata’. Keduanya mempunyai pokok bahasan yang sama, yaitu "kata” atau lebih tepat “leksikon”. Menurut Kridalaksana (1984: 114) leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa. Di samping itu, leksikon merupakan kekayaan kata yang dimilki seseorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa, Kosa kata, perbendaharaan kata. Demikian juga, leksikon adalah daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis Leksikologi ialah nama yang diberikan kepada_bidang studi di dalam ilmu bahasa teoritis (theoretical linguistics) sedangkan leksikografi merupakan imu bahasa terapan (applied linguistics). Jadi, leksikologi ialah bidang ilmu bahasa yang mempelajari atau menyelidiki kosa kata yang menjadi landasan tertulis bagi leksikolografi, ilmu tentang cara menyusun kamus (Doroszewaki 1973:33). Dengan kata lain leksikologi adalah cabang linguistik yang membicarakan atau menyelidiki makna kata. Selanjutnya, seluk beluk makna kata itu sebagai dasar penyusunan kamus. Lekiskologi termasuk bidang ilmu bahasa interdisipliner karena untuk leksikologi diperlukan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang, seperti: filsafat, antropologi, kesastraan, fonologi, morfologi, sintaksis, etimologi. Masalah yang dipelajari leksikologi ialah sebagai berikut: a. Fakta bahwa setiap bahasa memiliki sejumiah kata atau kosa kata. b. Fakta bahwa kosa kata atau leksikon merupakan daftar yang terbuka. . Hubungan antara bentuk kata dan makna kata. d. Fakta bahwa kata mempunyai sekian banyak segi yang masing- masing dapat dianalisis. Kata sebagai unsur leksikal harus dibedakan dari berbagai segi, yaitu segi fonetis, fonemis, morfemis dan sintaksis. Kata-kata baru senantiasa dapat bertambah, sedangkan jumlah morfem terikat (afiks) dan kaidah tata bahasa merupakan daftar yang tertutup, relatif sedikit sekali bertambah. Ditinjau dari kelas kata, nomina, verba, adjektiva termasuk kata-kata yang bersifat terbuka. Preposisi, kata sandang, konjugasi dan pronomina persona termasuk kata-kata yang bersifat tertutup. B. LEKSIKOGRAFI SEBAGAI ILMU BAHASA TERAPAN 1. Pengertian Leksikografi imu bahasa terapan berusaha menerapkan hasil penelitian ilmu bahasa teoretis untuk dimanfaatkan dalam bidang-bidang praktis yang hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Pendekatan ilmu bahasa digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam bidang praktis yang banyak sangkut pautnya dengan bahasa. Bertitik tolak dari pengertian ini maka kita dapat memberikan batasan lekikografi sebagai berikut: leksikografi adalah penerapan leksikologi, tetapi dengan kebebasan mengubah di sana sini, Dengan cara populer dapat dikatakan bahwa leksikografi ialah pemakaian opotunistis prinsip-prinsip leksikologi, dengan pengertian bahwa meskipun prinsip-prinsip leksikologi harus dipertahankan dalam leksikografi, namun kadang-kadang di dalam penyusunan kamus kita terpaksa mengubah sedikit-sedikit tadi demi alasan praktis bagi penyusunan kamus sebagai tugas-tugas praktis pula. Karena leksikografi mempunyai tugas khusus yang bersifat praktis, maka di antara hasil konkret yang akan diperoleh dari padanya ialah kamus. Jadi, leksikografi berarti Penulisan, deskripsi atau pencatatan Kosa kata suatu bahasa. Kosa kata harus dicatat selengkap-lengkapnya sebalk mungkin dan sesempuma-sempurnanya. Hasiinya lalu disusun dalam bentuk buku yang disebut kamus. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa leksikografi merupakan suatu bidang yang sangat musykil dalam kegiatan ilmu bahasa (Zgusta 1971:5). Dari pengalaman para ahli yang bergerak dalam bidang perkamusan ternyata bahwa tugas penyusun kamus sangat membosankan dan luar biasa luasnya. Dengan kata lain leksokograf harus mengetahui berbagai bidang ilmu dalam rangka mendeskripsikan atau memberi makna kata. Di samping itu, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa leksikografi merupakan suatu bidang yang sangat musykil dalam ilmu bahasa (1) Seorang leksikografer (ahli_ perkamusan) haruslah memiliki pengetahuan yang luas. Ta tidak hanya harus memusatkan perhatian pada kata, tetapi juga pada masalah lebih luas. Teori leksikografi bersangkut paut dengan semua bidang yang mempelajari sistem kata, seperti: semantik, leksikologi, tata bahasa, stilistika. (2)Kenyataan bahwa untuk menetapkan makna kata yang tepat, seorang leksikografer selalu akan mengahadapi kesulitan. Makna kata akan didukung oleh bentuk kata. Tanpa bentuk tidak ada makna, Perubahan bentuk akan mengakibatkan perubahan makna. Kesatuan bentuk dan maknalah yang akan membuat bahasa berfungsi sebgai alat penghubung antar manusia. (3) Tugas seorang leksikografer ialah tugas ilmiah, tetapi hasil karyanya harus disajikan kepada masyarakat dalam bentuk praktis. Pertimbangan komersial dan ilmiah selain dihadapi oleh seorang leksikografer dalam menjalankan tugasnya. Banyak kamus yang diterbitkan atas pertimbangan komersial untuk masyarakat umum. Sebaliknya, banyak pula kamus yang betul-betul bersifat ilmiah yang hanya dapat dimanfaatkan oleh kalangan ilmuwan yang sangat terbatas 2. Kamus dan Pengajaran Bahasa Jawa Pengajaran bahasa Jawa merupakan salah satu wadah pembinaan dan Pengembangan bahasa Jawa secara efektif. Karena itu, pembinaan dan Pengembangan bahasa Jawa mutlak harus dilakukan, Yang dimaksud dengan pengembangan pengajaran bahasa Jawa ialah usaha- usaha dan kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pengembangan pengajaran bahasa Jawa agar dapat dicapai tujuan pengajaran bahasa Jawa itu sendiri, yaitu agar penutur bahasa Jawa memiliki keterampilan berbahasa, pengetahuan yang baik tentang bahasa Jawa dan sikap positif terhadap bahasa Jawa. Dalam usaha mencapai tujuan pengembangan pengajaran bahasa Jawa kamus akan memberikan sumbangan yang besar. Sementara itu, apa yang dikemukakan di atas sebenarnya juga berlaku untuk pengembangan pengajaran bahasa-bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Sementara itu, kamus ialah hasil konkret leksikografi. Wujudnya ialah sebuah buku yang berisi daftar kata-kata sesuatu bahasa yang disertal dengan informasi yang lengkap dan disusun secara alfabetis. Dari batasan ini dapat disimpulkan bahwa kamus berisi daftar kata-kata dengan segala informasi tentang makna kata dan penggunaannya dalam suatu bahasa. Dengan kata lain, dari kamus kita dapat memperoleh berbagai informasi mengenai kata-kata Perkembangan imu bahasa dalam abad kedua puluh ini juga terasa Pengaruhnya dalam bidang leksikografi. Karena itu, leksikografi dewasa ini menghendaki agar penulisan kamus dilandasi oleh dasar-dasar ilmiah sehingga informasi yang diberikannya betul-betul dapat dipertanggungjawabkan dari aspek kebahasaan. Sebuah kamus yang lengkap biasanya akan memberikan berbagai informasi mengenai kata-kata. Demikianlah sebuah kamus bahasa Jawa yang lengkap umpamanya, dapat berfungsi sebagai: (1) Buku petunjuk ejaan bahasa Jawa tentang cara pemenggalan suku kata, kata-kata mana yang harus ditulis dengan huruf besar. (2) Buku petunjuk tentang makna kata. (3) Buku petunjuk tentang ucapan kata (4) Buku tata bahasa Jawa dalam bentuk sederhana, (5) Buku etimologi bahasa Jawa (6) Buku petunjuk mengenai pemakaian kata dalam kalimat, cara pemakaian kata dalam kalimat dan pada tingkat, bidang atau daerah mana sebuah kata tidak boleh dipakai. (7) Buku sumber kata yang dapat dipilih dan dimanfaatkan. (8) Kamus sinonim dan antonim. (9) Kamus frase, ungkapan dan peribahasa. (10) Kamus istilah. (11) Buku sumber ilmu pengetahuan sederhana. Beberapa kamus yang terkenal, seperti Webter’s New World Dictionary of the ‘American Language dan kamus The Advanced Learner's Dictionary of Current English, pada bagian pendahuluannya masing-masing dimuat secara eksplisit deskripsi mengenai sistem fonologi yang disertai sistem ejaan, morfologi dan sintaksis serta ungkapan dan aspek kebahasaan lainnya dari bahasa yang bersangkutan sehingga pemakai kamus mendapat petunjuk praktis mengenai keseluruhan struktur bahasa itu (Usman, 1986: 45). Sementara itu, dalam Baoesastra Djawa 'kamus bahasa Jawa’ karya Poerwadarminto (1939) dalam pendahuluannya dijelaskan mengenai singkatan label, penjelasan mengenai entri dan sub-entri, dan ejaan. Selanutnya, dalam Kamus Pepak Basa Jawa 'Kamus lengkap Bahasa Jawa’ dengan editor Sudaryanto dan Pranowo (2001) dalam Pendahuluannya disebutkan mengenai singkatan etimologi, Kelas kata, dan ragam bahasa. Dalam hubungan ini, apabila pengunaan kamus sudah menjadi kebiasaan di kalangan mahasiswa maka hal itu akan memberikan manfaat yang besar sekali untuk menunjang proses belajar-mengajar di pendidikan tinggi. Usaha perkamusan di negara kita masih belum menggembirakan betul, karena: (a) belum ada tradisi kita selama ini menerbitkan kamus-kamus secara teratur untuk berbagai tingkat pendidikan; (b) penerbitan kamus bahasa Jawa selama ini selalu tidak sejalan dengan perkembangan kosa kata bahasa Jawa yang sangat pesat. Seiring sebuah kamus bahasa Indonesia tidak dapat memberikan informasi mengenai kosa kata yang hidup dalam bahasa Jawa sekarang. Walaupun demikian, sudah terlihat gejala hari depan yang balk dengan adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, baik dalam bahasa-bahasa daerah, seperti kamus bahasa Jawa. C. HUBUNGAN LEKSIKOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA 1. Leksikologi dan Filsafat Filsafat sebagai studi tentang kearifan, pengetahuan, hakikat realitas maupun prinsip, memiliki hubungan sangat erat dengan leksikologi. Hal itu terjadi karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan adalah dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa. Sementara pada sisi lain, aktivitas berpikir itu sendiri tidak berlangsung tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Dalam situasi tersebut, bahasa pada dasarnya juga bukan hanya sekadar media proses berpikir maupun penyampaian hasil pikiran. W.D. Whitney via (Aminuddin, 1985: 18) dalam hal itu mengungkapkan bahwa /anguage is not only necessary for the formulation of thought but is part of the thinking process itself, Lebih lanjut juga disebutkan bahwa ... we can't get outside language to reach thought, nor outside thought to reach language. Maksud pendapat tersebut bahwa kami tidak mendapatkan bahasa di luar kita pikirkan atau tidak berpikir untuk bahasa kita capa’. Lebih lanjut, filosof Bertand Russel dalam (Aminuddin, 1985: 19) mengungkapkan bahwa ketepatan menyusun simbol Kebahasaan secara logis, merupakan dasar dalam memahami struktur realitas secara benar. Sebab itu, kompleksitas simbol juga harus memiliki kesesuaian dengan kompleksitas realitas itu sendiri sehingga antara keduanya dapat berhubungan secara tepat dan benar (Alston via Aminuddin, 1985: 19). Sehubungan dengan masalah tersebut, bahasa memang masih memiliki sejumlah kekurangan. Bahasa sehari-hari yang biasa kita gunakan, misalnya, bila dikaitkan dengan kegiatan filsafat, mengandung kelemahan, antara lain dalam hal (1) vagueness, (2) inexplicitness, (3) ambiguity, (4) context-dependence, dan (5) misieadingness. Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung di dalam suatu bentuk kebahasaan pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bunga mawar, tidak akan setepat dan sejelas dibandingkan dengan bersama-sama mengamati secara langsung aneka warna bunga mawar. Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Kata bunga, misalnya, dapat berkaitan dengan "bunga mawar”,"bunga melati”, “bunga anggrek” maupun “gadis”. Begitu juga untuk menentukan makna kata cendhek ‘rendah’, cedhak ‘dekat’, adoh ‘jauh’, seseorang harus mengetahui di mana konteks kata itu berada. Meskipun demikian, dalam dunia kepenyairan, kesamaran dan ketaksaan makna itu justru dimanfaatkan untuk memperkaya gagasan yang disampaikannya. Penyataan enyair Moch. Tahar (Riyadi (Ed.), 2001: 69) yang berbunyi Rembulan ndhadhari sumringah Purmama Langit resik paghang njingglang madhangi Kantor Pos gedhung Seni Sono lan gedung Agung Ngayogyakarta Pak Beja thenguk-thenguk madhep ngetan ‘Nyawang rembulan nyawang lintang kumelip nikmati endahing wengi ‘Nyawang monumen 1 Maret papat sanga , Gusti semanten paring panjenengan Dalem Terjemahan di atas terjemahannya kurang lebih: Rembulan bersinar terang Langit bersih terang sekali menyinari Kantor Pos Gedung Seni Sono dan gedung Agung Yogyakarta Pak Bejo Duduk-duduk menghadap ke timur Melihat rembulan melihat bintang berkedip melihat indahnya malam Melihat monumen 1 Maret empat sembilan , Gusti sebegitu pemberianMu Pada sisi lain bukan hanya menggambarkan suasana_sinar rembulan yang cerah dan indah, rembulan yang menyinari suatu tempat, di suatu tempat itu ada tokoh yang menghadap ke timur, dan memuji keaguangan anugerah Tuhan, melainkan juga mampu membawa pembaca kepada pemikiran filosofis tentang hakikat keberadaan manusia serta alam itu sendiri. Dari contoh itu juga dapat disimpulan bahwa kesamaran dan ketaksaan makna suatu bahasa sebenarnya juga akibat “kelebihan” bahasa itu sendiri yang memiliki muftifungsi, yakni selain berfungsi simbolik, bahasa juga memiliki fungsi emotif dan afektif: Selain itu, adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi juga menjadi faktor penyebab kesamaran dan ketaksaan makna. Sejumlah masalah tersebut, secra lebih lengkap akan dibahas tersendiri di belakang nanti. Akibat lebih lanjut dari adanya kekaburan dan ketaksaan makna adalah terjadinya inexplicitness, sehingga bahasa sering kali tidak mampu secara eksak, tepat dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang direpresentasikannya. Selain itu, pemakaian suatu bentuk sering kali berpindah-pindah_maknanya sesuai dengan konteks gramatik, sosial, serta Konteks situasional dalam pemakaian, sehingga juga mengalami context-dependent. Dari adanya sejumlah kekurangan di atas, tidak mengherankan apabila paparan lewat bahasa sering mengandung ‘misleadingness sehubungan dengan keberadaannya dalam —komunikasi. Pernyataan seperti, Wah, Ali uwis parah Wah, Ali sudah parah’, misalnya, dapat saja dimaknai Ali larane uwis parah ‘Ali sakitnya sudah parah’, sementara yang dimaksud penutur mungkin, “Bjine Bambang elek banget” 'Nilanya Bambang sangat jelek”, “Doni nakal banget lan ange dikandhani” ‘Doni sangat nakal dan sulit dinasihati”, serta sejumlah maksud isi pesan lainnya. Dalam situasi demikian itulah, pemilihan kata, pengolahan dan penataan unsur gramatikal maupun konteks harus dilakukan secara tepat dan cermat. Keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang khas milik manusia menjadi media, pengembangan pikiran manusia bagi para filsuf Yunani juga digunakan untuk merumuskan ciri-ciri manusia, Istilah anima/ rationale, misalnya, dalam bahasa Yunani berpangkal dari /agon ekhoon yang mengandung makna “dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi” (Peursen via Aminuddin, 1985: 20). Peursen juga menjelaskan bahwa istilah /ogas dalam bahasa Yunani mengandung makna ““syarat”, “perbuatan”, “inti sesuatu”, “cerita”, "kata maupun susunan kata’. Dari sejumlah fitur semantis itu para filsuf Yunani merumuskan pengertian logos sebagai kegiatan menyatakan sesuatu yang didukung oleh sejumlah komponen yang masing-masing Komponen tersebut antara yang satu dengan yang lain memiliki hubungan dengan menggunakan kata-kata. Dari adanya kenyataan di atas, meskipun leksikolgi maupun bahasa pada umumnya memiliki hubungan dengan cabang-cabang filsafat seperti antologi, epistemologi maupun metafisika, leksikologi pada akhimnya memiliki hubungan paling erat dengan Jogika. Sehubungan dengan cabang filsafat yang mengkaji masalah berpikir secara benar, peranan leksikologi tampak sekali dalam rangka menentukan pemyataan yang benar maupun yang tidak benar, dengan bertolak dari adanya premis serta kesimpulan yang diberikan. Selain itu, istilah yang lazim digunakan di dalam /ogika, Bentuk negasi seperti ora ‘tidak’, dudu ‘bukan’, konjugasi seperti /an ‘dan’, utawa ‘atau’, karo ‘dengan’, bentuk-bentuk yang lazim digunakan dalam logika 2. Leksikologi dan Antropologi Antropologi merupakan cabang disiplin ilmu yang membicarakan adat istiadat atau kebudayaan suatu masyarakat (Kuntjaraningrat’ 1979: 4). Dalam. masyarakat Jawa terdapat kebudayaan tentang pola perkawinan. Pola atau mode! perkawinan itu adalah model perkawinan tradisional. Model tradisional itu ada suatu tradisi yang harus dijalani. Salah satu tradisdi yaitu apa yang disebut nontoni ‘melihat’. Kata nontoni ‘melihat’ dari bentuk dasar fonton ‘lhat’ yang mendapat afiks gabung N — i. Selanjutnya, kata nontoni ‘melihat’ dalam model perkawinan tradisional tersebut berarti melihat calon isteri yang dilakukan oleh calon penganten pria. Sementata itu, kata nonton/ ‘melihat’ secara linguistik atau morfologis dari bentuk dasar ¢onton ‘that’ yang mendapat afiks gabung N— i yang berati melakukan tindakan yang seperti tersebut pada bentuk dasarnya secara berulangkali. Dengan demikian, kedua kata itu mempunyai makna yang sama yaitu makna sentral Conton ‘lihat’. Perbedaannya kata nontoni ‘melihat’ pada model perkawinan model tradisional referennya tertentu yaitu benda hidup atau wanita sebagai calon isteri, sedangkan kata nontoni ‘melihat’ secara linguistik mempunyai makna yang referennya bisa segala macam benda, Berdasarkan penjelasan di muka, dengan demikian ada hubungan antara leksdikologi dengan antropologi. Selanjutnya, contoh lain dalam hal hubungan leksikolgi dan antropologi, seperti menjelang proses kelahiran anak pertama. Dalam menjelang proses kelahiran anak pertama, masyarakat Jawa ada tradisi yang disebut mitoni yang berarti melakukan selamatan pada bulan ketujuh pada waktu ibu yang akan melahirkan anak pertama, dengan harapan segala sesuatunya lancar-lancar saja. Di samping itu, dalam upacara temanten Jawa ada syarat-syarat, seperti cengkir gadhing 'kelapa gading muda’, tebu ‘tebu’. Benda-benda itu seperti kata cengkir gadhing ‘kelapa gading muda’ melambangkan kencenging pikir "kebulatan pikir’ kedua manten untuk bersatu, sedangkan kata febu ‘tebu’ mempunyai makna secara simbolis anteping kalbu ‘hati yang telah mantap’ kedua temanten untuk bersatu atau berumah tangga. 3. Leksikologi dan Kesastraan Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa sebagai media pemaparnya. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari- hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasannya sendiri. Disebut demikian karena bahasa dalm satra merupakan salah satu bentuk idiosyncratic di mana tebaran kata yang digunakan merupakan hasil pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya (Lyons, 1979: 108). Selain itu, sebagi komunikasi tulis, karya satra juga telah kehilangan identitas sumber tuturan, kepastian referen yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menunjang pesan yang ingin direprensentasikan, seta keterbatasan tulisan itu sendiri dalam mewakili bunyi ujaran. Seperti halnya bahasa yang digunkan dalam kehidupan sehari-hari, Kode dalam sastra memilki dua lapis, yakni (1) lapis bunyi atau bentuk serta (2) lapis makna. Lapis makna, dalam hal ini, masih dapat menjadi beberapa stratum, yakni (a) unit makna literal yang secara tersurat direpresentasikan bentuk kebahasaan yang digunakan, (b) dunia rekaan pengarang, (c) dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu, serta (d) lapis dunia atau pesan yang bersifat metafisis (Aminuddin, 1984: 63). Dari terdapatnya berbagai lapis makna tersebut, dapat dimaklumi bila Roman Ingarden sebagai pencetus awal konsep strata makna dalam sastra itu mengungkepkan bahwa makna karya satra adalah proses kongkretisasi yang diadakan terus-menerus oleh pembaca (Tew, 1984: 191). Berhadapan dengan kompleksitas makna dalam karya satra, pembaca yang ingin memahami karya sastra secara “sungguh-sungguh dan benar” tentunya juga harus memahami ilmu tentang makna sebagai bekal awal dalam upaya memahami teks sastra. Disebut hanya sebagai bekal awal karena untuk memahami teks sastra juga harus memiliki pengetahuan tentang sistem konvensi maupun cabang ilmu humanitas lain memiliki hubungan dengan kreasi sastra itu sendiri, Peranan leksikologi yang sangat penting dalam kajian sastra terutama pada telah makna dalam gaya bahasa. Suatu contoh telaah makna dalam gaya bahasa, seperti dalam wacana Cakuntala tedapat gaya bahasa kias. Hal itu nampak pada kutipan frase pinaka ratna ning apasarl. Kata ratna secara denotatif berarti ‘emas', tetapi secara kias berarti ‘cantik’. Frase tersebut dalam wacana Cakuntala dapat diterjemahkan “paling cantik di antara bidadari-bidadari itu”, Sementara itu, dalam geguritan ‘puisi’ yang berjudul Bocah Bajang Nyunggi Watu Giang ‘Anak Bajang Membawa Watu Gilang’ karya Isngadi Marwah Atmaja dalam (Riyadi (Ed), 2001: 32) salah satu baitnya berbunyi: Blencong bleret Geber mobad-mabid nalika bocah bajang ngetap kasuatran nglengserake srengenge tuwa ing wanci sore Jaman kudu gumanti Bait puisi di atas terjemahannya seperti di bawah ini ‘Blencong redup’ ‘iayar bergerak ke kiri ke kanan ketika’ ‘Anak bajang memperlihatan kesaktiannya’ ‘menurunkan matahar tua di waktu sore’ ‘jaman harus berganti’ Kata _ngetap 'memperlinatkan’ di atas bermakna kias, karena kata ngetap ‘mengeluarkan’ sebelutnya berkaitan dengan dunia permesinan, seperti mesin motor dan mobil. Dalam kaitannya dengan itu kata ngetap — berarti “mengeluarkan oli dari mesin untuk diganti dengan oli baru’. Kata ngetap ‘mengeluarkan’ yang berhubungan dengan dunia permesinan itu. kemudian dikiaskan dalam puisi tersebut yang berarti ‘memperlihatkan’. Sementara itu, kata srengenge ‘matahari’ secara denotatif mempunyai makna "benda luar angkasa bersinar panas yang menyinari bumi yang terbit dari timur bergerak ke barat, dan kemudian tenggelam”. Pergerakan matahari itu dapat dikiaskan sebagai perjalanan hidup manusia. Oleh karena itu kata srengenge ‘matahari’ dalam puisi di atas _merupakan makna kias, yaitu “perjalanan hidup seorang penguasa yang akan diturunkan dari kedudukannya’, seperti dalam baris nglengserakake srengenge tuwa ing wanci sore jaman kudu _gumati ‘melengserkan matahati tua di sore hari jaman harus berganti’. 4. Leksikologi dan Fonologi Fonologi merupakan cabang linguistik yang menyelidiki tentang bunyi bahasa. Bunyi bahasa tersebut bersifat distingtif dan non-distingtif. Bunyi bahasa non-distingtif itu biasanya disebut lafal. Selanjutnya, untuk mengetahui makna kata bagi pembelajar bahasa Jawa harus dapat melafalkan bahasa Jawa secara tepat, karena kata bahasa Jawa ada kata-kata menurut ejaannya sama, tetapi lafainya berbeda. Misalnya, kata /emper [lémpér] ‘lemper’ (nama sebuah makanan)’ dan Jemper (lEmpEr] ‘lemper (nama alat untuk membuat bumbu atau sambal). Kedua kata itu jelas acuannnya berbeda dan maknanya berbeda. Contoh lain, seperti kata kere [kere] ‘kere (orang melarat yang hidup menggelandang)’ dan kere [kére] ‘kere (anyaman dari bambu yang berfungsi untuk menolak silau sinar matahari)’. Kedua kata tersebut tentunya acuannya berbeda. Dengan demikian, maknanya berbeda pula. 5. Leksikologi dan Morfologi Morfologi adalah cabang linguistik yang membicarakan pembentukan kata. Dalam bahasa Jawa ada pembentukannya melalui afiksasi. Sehubungan dengan itu, maka bahasa Jawa memiliki dua morfem, yaitu: morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas pada hakikatnya merupakan kata. Kata itu jika bentuknya merupakan bentuk dasar, seperti fur ‘tidur’, acu! ‘cangkul', ayy ‘cantik’ dapat dicari atau diketahui maknanya, tetapi morfem terikat seperti afiks N-, N-e, pa = an, ke - an dapat diketahui makna setelah melekat pada bentuk dasar atau morfem bebas. Afiks tersebut seperti pada kata nandur ‘menanam’, nukokake ‘membelikan’, paukuman ‘penjara’, kecamatan — kercamatan’. Afiks N- mempunyai makna melakukan tindakan seperti tersebut pada bentuk dasamya, ‘Afiks N — ake menyatakan tindakan seperti tersebut pada bentuk dasarnya secara benefaktif, dan afiks pa - an dan ke - an menyatakan tempat. Contoh lain, yaitu dalam hal pembentukan kata bahasa seperti kata majemuk rujak senthe ‘rujak sente (nama motif kain batik)’, sida muti ‘sida mukti (nama motif kain batik’, parang rusak ‘parang rusak (motif kain batik)’, gantung siwur nama keturunan’, debok bosok ‘nama keturunan’, randha royal ‘tape goreng’, nagasari ‘nagasar’, arum dalu sedap malam’, cocor bebek ‘cocor bebek’, lidhah buaya ‘lidah buaya’. Kata seperti rujak ‘rujak’, mukti 'bahagia’, parang ‘parang’, siwur ‘siwur, debok ‘batang pisang’, royalboros’, dan naga ‘ular’, arum ‘harum, cocor ‘sosor’, lidhah "lidah’ setelah bervalensi dengan kata-kata di atas —memilki makra lain, 6. Leksikologi dan Sintal Sintaksis merupakan cabang linguistik yang menyelidiki tentang seluk beluk kalimat. Adapun yang dikaji dalam sintaksis di antaranya frase. Misalnya frase, thengkleng Solo 'tengkleng Solo’, omah gedhe ‘rumah besar’, rada /arang ‘agak mahal’, ayu banget ‘cantik sekali’. Frase pertama di muka nomina diikuti nomina. Nomina kedua sebagai atribut. Dengan demikian, secara gramatis frase tersebut menyatakan tempat asal, Sementara itu, frase kedua nomina diikuti ajektiva. Kata ajektiva tersebut berfungsi sebagai penjelas, sedangkan frase ketiga terdiri dari unsur kata penjelas yang berfungsi sebagai atribut diikuti ajektiva sebagai inti frase. Selanjunya, frase keempat terdiri dari unsur ajektiva sebagai inti frase diikuti kata penjelas sebagai atribut. Dengan demikian, frase kedua, ketiga, dan keempat di atas kedua masing-masing frase secara gramatis, mempunyai makna atributi. Sementara itu, hubungan leksikologi dan sintaksis pada kata yang bermakna aktif dan pasif. Kata yang bermakna aktif seperti macul, sedangkan kata bermakna pasif seperti difuku ‘dibeli’. Kata tersebut dapat dilihat aktif atau pasif setelah hadir dalam konteks kalimat. Misalnya dalam kalimat “Aku macul sawah” 'Saya mencangkul sawah’ dan ‘Omah kuwi dituku Alr* ‘Rumah itu dibeli Ali’. Kalimat pertama subjek aku ‘aku’ melakukan tindakan secara aktif seperti kata predikat macu! ‘mencangkul', dan objek sawah ‘sawah’ sebagai sasarannya, Sementara itu, kalimat kedua ‘Omah kuwi dituku Ali” ‘Rumah itu dibeli Ali’ subjek amah ‘rumah’ sebagai sasaran predikat kata aituku ‘dibeli’, sedangkan objek A/ ‘Ali’ sebagai pelaku. 7. Leksikologi dan Etimologi Setiap masyarakat pemakai suatu bahasa memiliki kesepakatan tentang bahasanya, misalnya berkaitan dengan kaidah atau struktur dan kosa kata. Kesepakatan kaidah dan kosa kata itu sampai batas waktu tertentu secara umum masin mampu mewadahi seluruh Konsep, gagasan, dan ide para pemakainya, Namun, pada saat tertentu akan sampailah pada suatu kebutuhan akan adanya kesepakatan baru yang memperkaya dan melengkapi kesepakatan sebelumnya, yaitu manakala kesepakatan lama telah tidak cukup laghi mewadahi konsep, gagasan, dan ide yang ada, Apabila telah sampai pada tik waktu seperti itu, maka masyarakat bahasa yang bersangkutan biasanya melirik kesepakatan masyarakat pemakai bahasa lain. Dengan, demikian maka terjadilah sebuah proses kreativitas masyarakat bahasa yang disebut pemungutan (borrowing) unsur bahasa terutama kosa kata dari bahasa lain (Sadie 1997/1998:1). Dengan demikian pemungutan atau penyerapan menjadi salah satu penyebab terjadinya Perkembangan suatu bahasa. Proses terjadinya penyerapan itu sendiri tentu saja diawali oleh adanya kontak antarbahasa, Kontak anatrbahasa terjadi karena adanya Kontak antarmasyarakat bahasa. Jadi kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Individu-individu tempat terjadinya Kontak bahasa _disebut dwibahasawan. Mackey (dalam Suwito 1982:34) memberikan pengertian kontak bahasa sebagi pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain balk langsung maupun tak langsung, sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki ekabahasawan. Sedangkan kedwibahasaan diartikan sebagai pemakaian dua bahasa atau lenin oleh seorang penutur. la memberi tekanan agar kontak bahasa dan kedwibahasaan tidak dikacaukan. Menurut pendapatnya kontak bahasa cenderung kepada gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan lebih cenderung sebagai gejala tutur (parole). Karena /angue pada hahikatnya merupakan sumber dari parole, maka Kontak bahasa sudah selayaknya nampak dalam dwibahasawan. Dengan kata lain, kedwibahasawan terjadi akibat adanya kontak bahasa. Kontak bahasa terjadi karena antarbangsa, balk secara langsung maupun tidak langsung. Kontak antar bangsa tidak dapat dihindari. Tidak ada bangsa yang dapat membebaskan diri dari kontak dengan dunia luar. Hal ini menyebabkan tidak ada satu bangsa pun yang terbebas dari Kontak dengan bahasa yang lain. Sebuah bahasa yang tidak kontak dengan bahasa lain lambat laun akan menjadi bahasa yang mati atau menjadi bahasa yang tidak ada penuturnya lagi. Oleh Karena itu, bahasa Jawa dalam perkembangannya selalu terbuka untuk menerima kosa kata dari bahasa lain (termasuk kosa kata bahasa Sansekerta). Penerimaan atau donor dari bahasa lain ke dalam bahasa tertentu itu disebut etimolog atau asal usul kata. Selanjutnya, etimologi merupakan cabang linguistik yang menyelidiki tentang asal-usul kata serta perubahannya dalam bentuk dan makna (Kridalaksana, 1984: 47). Sehubungan itu, banyak kosa kata bahasa Jawa yang berasal dari bahasa Sansekerta. Kosa kata bahasa Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Jawa ada yang tanpa mengalami perubahan bunyi, perubahan bentuk kata, dan makna kata. Kosa kata tersebut, seperti nara ‘orang’, guru ‘guru’, iti ‘demikian’, huti ‘selamatan’, dwi ‘dua’, tf ‘tiga, catur ‘empat’, asa “harapan, tuna ‘rugi’, jaya 'selalu berhasil, sukses’. Sementara itu, ada kosa kata bahasa Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Jawa dengan mengalami Perubahan bunyi, tetapi tidak mengalami perubahan bentuk dan makna kata. Kata tersebut, seperti kata duiana ‘durjana’, putra ‘putra’, varta ‘berita, kabar’, dharma ‘kewajiban’, madhu ‘madu’, nirbhaya ‘tidak takut, tidak bahaya’. Kata tersebut dalam bahasa Jawa mengalami perubahan bunyi menjadi duyjana [durjon0} ‘orang jahat’, putra [putrO] ‘anak lak-laki’, warta [wartO] ‘kabar, berita’, darma [darmO] ‘kewajiban’, mad. [madu] ‘madu’, nirbaya [nirbOyO] ‘tidak takut, tidak bahaya’ Sementara itu, contoh lain kosa kata bahasa Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Jawa dengan mengalami perubahan bunyi, tetapi tidak mengalami Perubahan bentuk dan arti kata. Kata bahasa Jawa itu seperti, karma ‘perbuatan’, pertiwi 'bumi’. Kata bahasa Jawa karma ‘perbuatan’ itu dari bahasa Sansekerta Karman ‘perbuatan’. Kata bahasa Sansekerta Karman ‘perbuatan’ diserap ke dalam bahasa Jawa mengalami penghilan atau peluluhan konsonan akhir ’n” sehingga menjadi karma ‘perbuatan dalam bahasa Jawa. Selanjutnya kata bahasa Jawa pertivi ‘bumi’ berasal dari bahasa Sansekerta_prthivi ‘bum’. Selanjutnya, ada kosa kata bahasa Jawa berasal dari bahasa Sansekerta dengan mengalami perubahan bunyi, tanpa mengalami perubahan bentuk kata, tetapi mengalami perubahan arti kata. Kata bahasa Jawa itu negara [n&gOr0] ‘kota’. Kata tersebut dari bahasa Sansekerta nagara [nagara] ‘desa, wilayah’. i samping penyerapan seperti yang dikemukakan di atas, kosa kata bahasa Jawa juga menyerap bahasa Sansekerta dengan mengalami perubahan bunyi dari konsonan rangkap menjadi konsonan tunggal , tanpa mengalami perubahan bentuk kata, tetapi mengalami perubahan arti.. Proses penyerapan seperti itu, terjadi pada kata bahasa Jawa wisuda ‘pelantikan atau peresmian’. Kata bahasa Jawa wisuda ‘pelantikan atau peresmian’ dalam bahasa terdiri dari prefiks vit dan kata sifat cudaha ‘bersih’. Dari contoh itu bunyi Konsonan rangkap adh pada kata cudaha ‘bersih’ bahasa Sansekerta diserap menjadi bunyi ’d” (konsonan tunggal) pada kata wisuda ‘pelantikan atau peresmian’ dalam bahasa Jawa. Sementara itu, Kosa kata bahasa Jawa yang bersal dari bahasa Sansekerta ada yang mengalami penambahan bunyi dari kata dasar, tanpa mengalami erubahan bentuk kata, dan tanpa mengalami perubahan arti kata. Kata itu, seperti kata gajah ‘gajah’. Kata tersebut berasal dari kata benda gaia ‘gajah’ dalam bahasa Sansekerta. Dalam kasus nominatif (berfungsi sebagai subjek) singularis mestinya berdeklinasi menjadi gajas ‘gajah’, namun karena berdiri sendiri, terkena hukum bunyi "s” berubah menjadi “nh”, sehingga menjadi gajah ‘gajah’. Sementara itu, bahasa Jawa juga menerima atau menyerap bahasa asing lainnya, seperti dari bahasa Inggris. Bahasa Jawa dari bahasa Inggris tersebut, seperti kata: afiks ‘afiks’ yang mempunyai makna peranganing tembung andhahan sing avwuyjud ater-ater, seselan, utawa panambang ‘bagian dati kata jadian yang berwujud atau berbentuk awalan, sisipan, atau akhiran’. Contoh lain, seperti kata afiiasi ‘afiliasi’ yang bermakna rasa tresna marang pepadha ‘rasa sayang terhadap sesama. Contoh lain seperti kata Aonsultan ‘konsultan’ artinya wong sing ahii ing babagan tartamtu lan pagaweyane menehi pituduh marang wong pakumpulan sing mbutuhake, konsuitasi ' ‘orang yang ahli di bidang tertentu dan pekerjaannya memberi penjelasan terhadap perkumpulan orang yang membutuhkan’; konsultas/ 'konsultasi’ artinya ngrembug perkara tartamtu karo wong utawa pakumpulan sing abil ing babagan mau, Kontak 'membahas masalah tertentudengan orang atau perkumpulan yang ahli di dalam masalah ‘adi’; kontak ‘kontak’ yang berarti sesambungan wong, utawa kumpulane sifi an sijine ‘wubungan orang, atau kumpulannya yang satu dengan yang lain’, Kata bahasa Jawa berasal dari bahasa inggris: affix, afflation, consultant, consultation, dan contax Berdasarkan contoh-contoh tentang kata serapan bahasa Jawa dari bahasa Sansekerta dan bahasa Ingaris di atas jelas ada hubungan antara leksikologi dan etimologi. Dengan demikian, bahasa Jawa dalam perkembangannya menyerap kosa kata dari bahasa lain. BAB IT MASALAH MAKNA A. PENGERTIAN MAKNA Makna adalah sesuatu yang berada di dalam ujaran itu sendiri atau makna adalah gejala dalam ujaran (ulterance-internal_phenomenom), sedangkan informasi adalah sesuatu yang ada di luar ujar (uéterance externa). Selanjutnya, yang dimaksud maksud adalah dari segi subjektif dari pembicara, Setiap leksem atau unsur leksikal, hal itu merupakan tugas abli leksikologi dan leksikografi. Akan tetapi, dalam kedua bidang tersebut sudah diandaikan suatu teori tentang makna unsur leksikal. Ferdinand de Saussure memberikan suatu teori yang kita pinjam pula, yaitu teorinya tentang “tanda linguistis” (signe Jinguistique), yang terdiri dua unsur, yakni "yang diartikan” (signifie) dan "yang mengartikan” (signifiand. "yang diartikan” itu dalah yang lazimnya kita sebut "makna”, sedang "yang mengartikan” itu adalah deretan bunyi yang merupakan bentuk fonetis atau fonemis dari kata yang bersangkutan. Apa yang disebut "kata", atau “tanda linguistis” menurut peristilahan Saussure, terdiri dari kedua unsur tadi. Diagram yang berikut dapat menjelaskan apa yang diuraikan di sini: signi ified yang diartikan makna sia T = sign ------~- = tanda = kata signifian signifier — yang mengartikan — — bunyi- bunyi (Perancis) ingaris) (Indone Di sini haruslah ditambahakn bahwa “yang mengartikan” dan “yang diartikan” tidak sama dengan “yang menandai” dan “yang ditandai” masing-masing. ‘Alasannya jelas, apa yang mengartikan dan apa yang diartikan bersama-sama merupakan tanda, jadi “yang menandai”. Bila demikian, maka “yang ditandai’” itu apa ? Yang ditandai itu adalah barang yang ditujukan. Misalnya dalam bahasa Jawa ada kata omah ‘rumah’ terdiri dari dua unsur tadi (“yang mengartikan” dan “yang diartikan”) dan satu daripadanya, yakni "yang diartikan” atau makna, adalah apa yang dijelaskan tentang unsur leksikal itu dalam kamus. Kata tersebut terdiri dari deretan bunyio- m-a—h serta maknanya omah ‘rumah’ bersama-sama merupakan kata omah ‘rumah’, dan lebih pendek dapat dirumuskan begini, kata omah ‘t mah’ berarti omah ‘rumah’. Lalu barang yang ditujukan itu adalah ...... sebuah omah ‘rumah. Jelasiah sebuah kata omah ‘rumah’ adalah sebuah bangunan tempat tinggal manusia, bukan suatu unsur bahasa. Kata sebuah omah ‘rumah’ adalah sesuatu luar-ujaran (extralingua). Barang yang ditujukan itu lazimnya disebut “acuan atau referen” (referent). ‘Acuan atau referen itulah sama dengan "yang ditandai”. Sedangkan maksud merupakan segi subjektif pembicara. Dengan demikian, kalau bukan itu yang dimaksud tentunya bukan omah ‘rumah. Dalam bahasa Jawa tidak semua kata menunjukkan sesuatu. Misal kata angin ‘udar tau achuh ‘aduh’ tidak menunjukkan sesuatu, tidak ada referennya. Kata-kata semacam itu jelas bermakna, tetapi tidak bermakna referensial. Kata seperti meia ‘meja’, pitik ‘ayam’ (yang menunjukkan sesuatu) disebut bermakna referensial. Dalam pasal yang berikut akan tampak ada persoalan khusus dalam hal kata-kata yang bermakna referensial. B. MACAM MAKNA. Masalah bentuk lazim dibicarakan dalam tata bahasa setiap bahasa. Bagaimana bentuk sebuah kata dasar, bagaimana menurunkan kata baru dari bentuk kata dasar atau gabungan bentuk-bentuk dasar atau jadian biasanya dibicarakan secara_terperinci dalam tata bahasa. Misalnya kata pacu! ‘cangkul, ‘macul ‘mencangkul’, maculf ‘mencangkul’, maculake 'mencangkulkan’, dipacu! ‘dicangkul, ajpaculi ‘dicangkul’, djpaculake ‘dicangkulkan’, dan lagi macul ‘sedang mencangkul’. Dari bentuk dasar pacu/ ‘pacul’ menurunkan bentuk atau kata jadian seperti di atas, yang kemudian ada gabungan kata seperti frase /ag/ ‘macul ‘sedang mencangkul’ Jelas kata-kata di muka mempunyai makna yang berbeda-beda. Secara garis besar kata tersebut memiliki makna leksikal seperti kata dasar pacul ‘cangkul’. Selebihnya merupakan makna gramatikal. Untuk itu di bawab ini dibahas tentang macam-macam makna kata. 1. Makna Leksikal dan Makna Gramatil Makna leksikal adalah makna leksikon atau leksem atau kata yang berdiri sendiri, tidak berada dalam konteks, atau terlepas dari konteks. Ada yang mengartikan bahwa makna leksikal adalah makna yang terdapat dalam kamus. Hal itu tidak selalu benar berdasarkan pertimbangan berikut. (1) Kamus tidak hanya memuat makna leksikal. Sejumlah kemungkinan makna ditampilkan dalam konteks sehingga makna itu bukan makna leksikal. (2) Jika kamus diartikan sebagai teks yang memuat kata beserta maknanya, definisi tersebut tidak berlaku bagi bahasa yang tidak memiliki kamus. Padahal, makna leksikal selalu ada pada suatu bahasa walaupun bahasa itu belum memiliki kamus. Makna_leksikal merupakan makna yang diakui ada dalam leksem atau leksikon tanpa leksikon itu digunakan. Begitu kata amplop dapat diberi makna “sampul surat”, dengan tanpa menggunakan kata itu dalam konteks, maka makna “sampul surat” yang terkandung dalam kata amplop itu merupakan makna leksikal. Makna gramatikal merupakan makna yang timbul kareana peristiwa gramatikal. Makna gramatikal itu dikenali dalam kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Jika satuan yang lain itu merupakan konteks, maka gramatikal itu disebut juga makna kontekstual. Dalam Konteks itu, kata amplop ‘amplop,, misalnya, tidak lagi bermakna "sampul surat”, tetapi dapat berarti ‘besel ‘ang suap’, seperti yang tampak pada kalimat: “Wenehana amplop urusanmu mesthi beres” 'Berilah amplop urusanmu pasti beres’, Walupun makna leksikal tetap bertahan, jika makna itu muncul dalam konteks juga tetap merupakan makna gramatikal. Jadi, makna amplop dalam kalimat berikut merupakan makna gramatikal karena munculnya makna itu ditentukan oleh satuan gramatikalnya, Makna gramatikal tidak hanya berlaku bagi kata atau unsur leksikal, tetapi juga morfem. Dalam bahasa Inggris, misalnya, morfem {-er}, memiliki beberapa kemungkinan makna seperti makna seperti yang tampak pada contoh-contoh kata berikut. (1) trainer (2) earlier (3) stabilizer Pada contoh (1) terdapat makna “orang yang...” pada (2) terdapat makna “"ebih..." dan pada (3) terdapat makna “alat untuk...”. Jadi, {-er} dalam bahasa Inggris tidak bermakna sebelum digunakan dalam kata. Dengan diketahuinya makna dalam tiga kata tersebut dapat diputuskan bahwa dalam bahasa Inggris terdapat tiga morfem yang memiliki bentuk (morf) /-er/, yakni (1) {-er} “orang yang...", (2) {-er} "lebih..." dan (3) {-er} “alat untuk... muncul karena peristiwa gramatikal. Sehubungan dengan itu, morfem N- dalam ". Sekali lagi, makna itu bahasa Jawa memiliki makna melakukan tindakan pada bentuk dasarnya seperti kata nandur ‘menanam’, macuf ‘mencangkul’, nuku ‘membeli. Selanjutnya konfiks ka-an memiliki makna tempat seperti pada kata kalurahan ‘kelurahan'’, ‘kecamatan kecamatan’. Demikian juga konfiks pa-an mempunyai makna yang menyatakan tempat, seperti kata palagan ‘palagan’, paukuman ‘penjara’ Makna gramatikal juga dapat berupa hubungan semantis antarunsur. Dua unsur yang membentuk frase memiliki makna. Frase yang terbentuk dari nomina dan ajektiva memiliki makna atributif atau penjelas seperti pada frase omah gedhe ‘rumah besar’, wong sugih ‘orang kaya’. Nomina diikuti nomina memiliki makna asal seperti solo Kudus ‘soto kudus’, tahu Kediri ‘tahu Kediri’, bakso ‘pasar Klewer 'bakso pasar Klewer’. Nomina dlikuti kata ganti memiliki makna milik seperti frase omahku ‘rumahku’. 2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif Makna denotatif merupakan makna dasar suatu kata atau satuan bahasa yang bebas dari nilai rasa. Makna konotatif adalah makna kata atau satuan lingual yang merupakan makna tambahan, yang berupa nilai rasa. Nilai rasa itu bisa bersifat positif, bersifat negatif, bersifat halus atau bersifat kasar. Dua buah kata atau lebih memiliki makna denotatif yang sama. Perbedaannya terletak pada makna konotatifnya. Kata penjenengan ‘kamu’ dan kowe 'kamu’, misalnya memiliki makna denotatif yang sama, yakni “orang kedua tunggal”. Kedua kata itu berbeda makna konotatifnya: kata penjenengan ‘kamu’ berkonotasi ‘halus atau hormat’ dan kowe ‘kamu’ berkonotasi ‘kasar’. Contoh lain seperti babaran ‘melahirkan’ dan manak ‘melahirkan’, Kedua kata itu memiliki makna denotatif yang sama, yaitu. mengeluarkan sesuatu (anak) dari perut melalui rahim. Kedua kata tersebut memiliki konotatif berbeda. Kata babaran ‘melahirkan’ berkonotasi “halus’, sedangkan kata makna ‘melahirkan’ berkonotasi kasar. Nilai positif dan negatif yang menjadi ukuran nilai rasa, dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Hormat dan tidak hormat menggambarkan nilai rasa. Sopan dan kurang sopan juga menggambarkan nilai rasa. Kata menehi‘memberi’ merupakan kata yang menggambarkan nilai rasa ‘kurang sopan’ dibandingkan dengan nyaosi'member'’, dalam pemakaian berikut. (1) Aku wenehi dhuwit ibu’aku memberi vang ibu’. (2) Aku nyaosi dhuwit ibu ‘aku memberi uang ibu’. Selama ini perkembangan pemahaman yang keliru mengenai makna denotatif dan makna konotatif itu. Makna denotatif sering dipahami sebagi makna yang belum berubah dari makna dasarnya, sedangkan maka konotatif merupakan makna yang sudah berubah dari makna dasamnya. Pemahaman seperti itu mengaburkan makna denotatif dan makna konotatif di satu pihak dan makna lugas dan makna kias di pihak lain. Uraian lebih terinci tentang makna lugas dan makna kias itu dikemukakan berikul 3. Makna Lugas dan Makna Kias Makna lugas merupakan makna sebenamya. Makna lugas disebut juga makna langsung, makna yang belum menyimpang atau belum mengalami Penyimpangan. Sebaliknya, makna kias adalah makna yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau benda yang dimaksud penutur dengan hal/benda yang sebenarnya. Sebuah kata dapat digunakan secara lugas dan dapat pula digunakan secara kias. Dengan kata lain, sebuah kata dapat memiliki makna lugas dan memiliki makna kias. Kedua kemungkinan itu tergantung pada penggunaannya. Misalnya kata siki! ‘kaki’ yang merupakan bagian organ tubuh manusia yang berfungsi untuk berjalan mengandung makna lugas. Akan tetapi, kata siki/ ‘kaki” /ambe ‘bibir’ pada kalimat dua dan empat berikut ini bermakna kias. (1) Sikiku kesandhung waktu. ‘Kakiku tersandung batu. (2) Sikil meja kuwi saka kayu. 'Kaki meja itu dari kayu’, (3) Lambene Atik gedhe. 'Bibimnya Atik besar”. (4) Dhuwitku keri neng lambe sumur ‘Uangku tertinggal di bibir sum’. Makna kias timbul karena ada hubungan kemiripan atau persamaan. Orang yang menjadi pembicaraan disebut kembang lambe ‘ouah bibir’, wanita cantik dan menjadi idola remaja disebut kembang desa ‘bunga desa’, orang yang Piawai dalam bertanding disebut jago ‘Jago’. Kadang-kadang, hubungan itu ditampakkan dalam isi dan wadah, seperti amplop ‘amplop’ yang berarti ‘uang suap’. Sementara itu, kata Auping telinga’ dalam metafora-metafora seperti kata Auping wajan ‘telinga wajan’, kuping panci ‘telinga panci’ secara kiaas kata yang pertama mempunyai makna perangane saka wajan kang bolong fungsine anggo gocekan "bagian dari wajan yang terletak kiri kanan berlobang berfungsi untuk pegagangan. Demikian juga, kata kedua tersebut memiliki makna ‘peranganing saka panci kang bolong fungsine kanggo gocekan bagian dari panci terletak kiri kanan berlobang berfungsi untuk pegangan’. Berhubung kata kuping wajan telinga wajan’ dan kuping panci “telinga panci’ merupakan benda mati, kata tersebut juga dapat dikiaskan pada benda lain, yaitu telinga manusia. Kalau kata kuping wajan “telinga wajan’ dan kuping panci ‘telinga panci’ itu yang dimaksud telinga manusia, maka kedua kata itu bermakna buaheg ‘tul’. Hal itu dapat dilihat dalam konteks kalimat 3 dan 4 di bawah ini merupakan makna kias yang berarti “tuli’, sedangkan kalimat 1 dan 3 bermakna kias yang merupakan “agian dari wajan dan panci yang berlubang berfungsi untuk pegagangan. (1) Gocekan kuping wajan kuwi supaya tanganmu ora panas. 'Pegangan telinga wajan itu supaya tanganmu tidak panas’. (2) Kuping wajan mula ora krungu "Telinga wajan oleh Karena itu tidak dengar’ (3) Gocekaan kuping panci kuwi supaya segane ora utah. 'Pegangan telinga anc’ itu supaya nasinya tidak tumpal’. (4) Eling-eling kuping panci ora krungu. ‘Mengingat telinga panci tidak dengar’, 4, Makna Luas dan Makna Sempit Dilihat dari segi cakupan atau tingkat keluasan makna dua buah kata, makna dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni makna luas dan makna sempit. Makna luas merupakan akibat perkembangan makna suatu tanda bahasa. Kata ‘bapak ’bapak’ tidak lagi mengacu orang tua dari anak-anak lagianak. Demikian juga, kata iéu yang digunakan untuk ‘bukan ibu kandung’. Kata terdebut merupakan kata yang memiliki makna luas, yaitu orang yang dianggap lebih tua disebut bapak'bapak’ atau ibu ‘bu’. Contoh-contoh di atas merupakan contoh-contoh yang berlaku pada kata benda (pronomina). Makna luas ditemukan juga pada verba atau ajektiva, seperti yang tampak pada makna kata dicetak tebal berikut ini. (1) Suarane pancen enak dirungokake. 'Suaranya memang enak didengar’ (2) Bambang Pamungkas jagone nglebokake bal. 'Bambang Pamungkas Jagonya memasukkan bola’. Kata enak ‘enak’ pada kalimat di atas pertama-tama sebetulnya berkaitan dengan indera_perasa, erkembangan selanjutnya berkaitan dengan indera pendengan seperti namapak pada kalimat nomor satu tersebut. Sementara itu, kata nglebokake ‘memasukkan’ berarti melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam suatu tempat yang kemudian dalam keadaan tertutup, kata pada kalimat nglebokake berkaitan dengan soal makanan, tetapi dalam ‘memasukkan’ dalam kalimat kedua di atas berarti melakukan kegiatan memasukkan barang dengan keadaan terbuka dengan cara ditendang Makna sarjana ‘sarjana’ merupakan makna sempit. Kata savjana ‘sarjana’ yang berarti “orang pandai atau orang pintar” itu tidak lagi berarti "sembarang orang pandai atau orang pintar”, tetapi kata sarjana ‘sarjana’ tersebut digunakan sebutan semua orang yang telah lulus dari universitas atau perguruan tinggi. 5. Makna Referensial Makna referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang diamatian oleh leksem (Pateda, 1986: 67). Acuan atau referen, yaitu kenyataan yang disegmentasikan dan fokus lambang. Sementara itu Palmer (1976: 30) berpendapat, ‘reference deals with the relationship between the Jinguistic elements, words, sentences, etc, and the non-linguitic world experience” (hubungan antara elemen-elemen dan dunia pengalaman di luar bahasa). Dengan demikian, kalau kita mengatakan javan ‘Kuda’ maka yang diacu oleh lambang tersebut adalah binatang berkaki empat dan memiliki ekor berbulu. Panjang. Leksem Javan ‘kuda’ langsung kita hubungkan dengan acuannya. Jad, tidak mungkin timbul asosiasi lain. Bagi mereka yang telah melihat jaran *kuda’ tentu mudah memahami apa yang dimaksud kata atau leksem jaran‘kuda’. Sementara itu, kosa kata bahasa Jawa yang bermakna referensial dari kata benda jumlahnya cukup banyak, seperti omah ‘rumah’, sapilembu’, pitik ayam’, ‘ucing “kucing’, kebo ‘kerbau', belo ‘anak kuda’, pedhet ‘anak lembu', kuthuk ‘anak ayam’, pelem ‘mangga’, jambu ‘buah jambu', ula ‘ular’, dan sebagainya. Di samping itu, juga terdapat bermakna referensial dari kata sifat, seperti emu ‘gemuk’, kuru ‘kurus’, gedhe ‘besar’, cilik *kecil, ayu ‘cantik’, cendhek pendek’, dawa’panjang’, bagus ‘bagus, tampan’, dan lain-lain 6. Makna Kolokasi Makna kolokasi adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa leksem di dalam lingkungan yang sama (Pateda, 1986: 60). Misainya, kalau kita berbicara kata gereh ‘kan asin’, /wak laut ‘ka laut’, daging ‘daging’, Jombok ‘cabe’, mrica 'merica’, tumbar 'ketumbar’, tempe bosok ‘tempe busuk’ dan sebagainya, leksem-leksem itu lebih banyak berhubungan dengan lingkungan dapur. Selanjutnya, kalau kita berbicara masalah kata pacu/ ‘cangkul’, /uky "bajak’, garu "bajak’, sorok 'sorok’, anit ‘sabit’ dan sebagainya, kata itu banyak berkaitan dengan dunia pertanian. Contoh lain, seperti kata graj/ ‘gergaji, cethok ‘cetok’, irik 'saringan’, tatah ‘tatah’, bur bur’ pasah ‘pasah’ dan sebagainya, leksem itu lebin banyak dengan dunia pertukangan. Sementara itu, ada juga kata atau leksem yang sama maknanya, tetapi tidak cocok untuk lingkungan tertentu. Misalnya, kata modar ‘meninggal dunia’, ‘™mampus ‘meninggal dunia’ yang pemakaiannya tidak cocok untuk manusia. Sementara itu, leksem di muka lebih cocok untuk binatang atau orang durhaka. Demikian juga kata nguntal makan', mbadhok ‘makan’, nyekek‘makan’, kata itu untuk manusia jahat atau durhaka 7. Makna Ekstensi Kridalaksana (1984, 120) berpendapat bahwa makna ekstensi ialah makna yang mencakup semua ciri-ciri subjek atau konsep. Misalnya kata simbok ‘ibu’ atau iby ‘ibu’ yang memiliki makna: (1) telah bersuami, (2) orang tua dari anak- anak, (3) memakai kebaya, jarit, atau rok. Contoh lain, seperti kata sap/ ‘lembu’ mengandung makna: (1) berkaki empat, (2) memiliki ekor: (3) pemakan rumput. 8. Makna Afektif Makna afektit (affetive meaning) merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa (Pateda: 1986: 54), Karena makna afektif bethubungan denan reaksi pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa, maka dengan sendirinya makna afektif berhubungan pula dengan gaya bahasa. Misalnya, kalau ada orang berkata: "—E mas suk yen tindak Yooya mampir neng gubugku”. 'E mas besuk kalau pergi ke Yogya harap datang ke rumahku’, Kata atau leksem gubug ‘rumah’ memiliki makna afektif “merendahkan dir”. Dalam makna afektif terlihat reaksi yang berhubungan dengan perasaan pendengar atau pembaca setelah mendengar atau membaca sesuatu. Sementara itu, kalau ada orang berkata: “Asem tenan kowe” ‘Asam betul kamu’. Kata asem ‘asam’ mengandung makna afektif, karena pendengar atau pembaca mereaksi leksem tersebut bahwa kemungkinan pembicara mempunyai rasa kecewa atau rasa heran terhadap lawan bicara. Berdasarkan contoh di muka, maka makna afektif berhubungan dengan perasaan yang timbul setelah kita mendengar atau membaca sesuatu. Selanjutnya, kata edan ‘gila’ secara denotatif memiliki makna "sakit ingatan”, tetapi di sisi lain kata itu memiliki makna "rasa heran”, berikut kalimat nomor 1 bermakna denotatif, sedangkan kalimat nomor 2 bermakna afektif. (1) Saiki si Al lara edn. *Sekarang si Ali sakit ingatan’. (2) Wah, edan tenan gawean satumpuk kaya ngono rampung sewengi ‘Wah, gila sekali pekerjaan setumpuk seperti itu selesai dalam satu alam C. PERUBAHAN MAKNA. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan manusia pemiakai bahasa. Sesuai dengan perkembangan bahasa itu, maka makna mengalami perubahan sesuai dengan pemakai bahasa. Dengan kata lain, makna kata tidak selalu statis, dari waktu ke waktu makna kata dapat mengalami perubahan. Adapun erubahan-perubahan makna kata dapat diuraikan berikut di bawah ini. 1. Meluas Perubahan makna meluas adalah suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang tadinya mengandung makna khusus, tetapi kemudian meluas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum. Misalnya, Jayar “ayar’ dahulu berarti ‘bagian alat dari perahu yang bisa dikibarkan agar perahu bisa berjalan sesuai dengan arah yang dikehendaki", kemudian berarti “parang yang terbuat sejenis kain yang biasanya ditancapkan di tengah lapangan untuk menerima gambar yang dipancarkan atau disortkan dari kamera. Perkembanmgannya selanjutnya kata layar ‘layar’ merupakan “bagian dari televisi yang terbuat dari sebangsa kaca untuk dapat dijihat gambarnya dari bagian aiat lain di dalam televisi”. Contoh lain, seperti kata ‘Dapak’ ‘bapak’ atau ‘ibu ‘ibu’ dahulu hanya dipakai dalam hubungan biologis, yaitu orang tua dari anak-anak. Dalam perkembangannya kata bapak ‘bapak’ berarti “semua orang yang dianggap lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya disebut bapak ’bapak’. Demikian juga, kata Jbu ‘ibu’. Kata simbok ‘ibu’ atau Jbu ‘ibu’ itu dahulu berarti “orang tua dari anak-anak, sekarang dalam perkerkembangannya berarti “orang yang dianggap lebih tua disebut simbok ‘ibu’ atau ibu ‘ibu’. Contoh lain seperti kata “pangan” ‘makenan’ yang berarti makanan, seperti nasi, lauk pauk, makanan kecil. Kata tersebut mengalami perluasan makna, yaitu bermakna ketidaksportifan seorang pemain di dalam olahraga, seperti sepakbola. Misalnya dalam kalimat: pangan wae 'makan saja’ di sini berarti seorang pemain mencederai lawan mainnya. 2. Menyempit Penyempitan sebuah makna kata merupakan sebuah proses yang dialami sebuah kata di mana makna yang lama lebih luas cakupannya dari makna yang baru. Misalnya kata sarjana ‘sarjana’ dahulu dipakai untuk menyebut seorang cendekiawan. Sekarang kata sayjana ‘sarjana’ dipakai untuk menyebut orang- orang yang telah lulus dari universitas atau institut. Contoh lain seperti kata "gerombolan” ‘gerombolan’ dahulu bermakna sekelompok massa atau orang- orang. Sekarang makna pengacau atau sekelompok orang yang cenderung berbuat negatif. Sementara itu, kata pendhita ‘pendeta’ dahulu semua orang pandai disebut endhita ‘pendeta’. Kata pendhita ‘pendeta’ itu sekarang untuk sebutan ulama Kristen. 3. Asosiasi ‘Asosiasi merupakan perubahan makna karena persamaan sifat. Misalnya kata cathut ‘catut’ yang maknanya alat untuk mencabut paku. Berdasarkan ersamaan sifat ini dipakai untuk orang-orang yang menjual barang dengan harga tinggi atau untuk mencari keuntungan untuk diri pribadi secara tidak wajar. Misainya dalam kalimat aja tuku karcis neng tukang cathut ‘jangan membeli karcis di tukang catut’. yen dikongkon mesthi nyahut 'kalau disuruh asti mengambil keuntungan’. Contoh lain seperti kata amplop ‘amplop’ yang berarti kertas untuk membungkus surat, karena persamaan sifat kata tersebut mengalami perbuhan makna yang berarti bese/ ‘uang suap’, seperti dalam kalimat wenehana amplop urusanmu mesthi beres ‘oerilah amplop urusanmu pasti beres’. Kata amplop ‘amplop’ di sini berarti uang sogok atau uang suap. Sementara itu, kata kemladhean ‘benalu’. Kata itu adalah jenis tumbuh- tumbuhan yang hidup di dalam pohon tertentu. Oleh karena itu, Kemladhean “benalu’ itu makanannya menyerap pada pohon yang ia tumpangi, lambat laun ohon yang ia tumpangi akan mati, Karena makannya terserap oleh kemihean “benalu’ itu. Karena persamaan sifat kata kemlaghean ‘benalu’ itu. mengalami erubahan makna yang berarti nganggur ‘tidak bekerja, pengangguran’. Hal itu dapat dilihat dalam konteks kalimat: “Urjomu kaya kemladhean, rana rene mung njaluk” 'Hidupmu seperti benalu, ke sana ke sini hanya meminta’. Kata ‘kemladhean ‘benalu’ dalam frase uriomu kaya kemladhean "nidupmu seperti benalu’ merupakan atribut seseorang yang tidak bekerja. 4. Amelioratif Amelioratif merupakan perubahan makna kata di mana makna baru dirasakan lebih tingg! atau lebih baik nilainya daripada dahulu. Misalnya kata wanita 'wanita’ dirasa lebih tinggi nilainya daripada kata wadon ‘perempuan’. Selanjutrnya, kata puta ‘anak’ juga dirasa lebih tinggi nilainya daripada anak. Demikian juga, kata babaran ‘melahirkan’ dirasa lebih tinggi nlainya atau hormat dari pada_manak'manak’. 5. Peyoratif Peyoratif merupakan suatu proses perubahan makna sebagai kebalikan dari amelioratf. Dengan kata lain, peyoratif adalah suatu proses perubahan makna di mana arti baru dirasakan lebih rendab nilainya dari dahulu. Misalnya kata manak ‘melahirkan’ dianggap baik pada jaman lampau, sekarang dirasakan kasar. Contoh jain, seperti kata baby ‘pembantu rumah tanga’ dianggap baik pada jaman lampau. 6. Sinestesia Sinestesia merupakan perubahan makna akibat pertukaran tanggapan antara dua indera yang beriainan. Misalnya kata pedhes ‘pedas’ sebenarnya berkaitan dengan indera perasa, seperti tampak pada kalimat: “Wah sambele peches ‘banget” Wah sambalnya pedas sekali’. Di sisi ain kata pedhes ‘pedas’ berkaitan dengan indera pendengaran, misalnya dalam konteks kalimat suaramu peaches tenan ‘suaramu pedas betul'. Selanjutnya, kata enak ‘enak’ sebenarnya memiliki makna yang berkaitan dengan rasa, misalnya dalam kalimat: “Wah jangane enak tenan” "Wah sayurnya enak betul’. Di sisi lain kata enak ‘enak’ berkaitan dengan indera Pendengaran, seperti nampat dalam konteks kalimat: “Suarane Siti enak dirungokeke” ‘Suaranya enak didengarkan’. 7. Metafora Perubahan makna yang dinamakan meluas, menyempit, ameliorasi, dan peyorasi dilihat dari nilai rasa dan luas lingkup makna dulu dan sekarang. Di samping itu, perubahan makna dapat dilihat dari sudut persepsi kemiripan fungsional antara dua objek. Oleh Karena itu, metafora adalah perubahan makna karena persamaan antara dua objek. Metafora merupakan pengalihan semantik berdasarkan kemiripan makna. Kata kuping panci ‘telinga panci (bagian dari Panci sebagai alat pegangan)’, kuping wajan ‘telinga wajan (bagian dari wajan yang berfungsi untuk pegangan), /ambe sumur ‘bibir sumur’, kembang lambe “ouah bibir’, Kembang desa ‘bunga desa’, silit kwali_‘bagian belakang kuwali’ ganti silt’ganti orang, ganti pimpinan’, siki! meja 'kaki meja’ semuanya dibentuk berdasarkan metafora. 30 D. Hubungan Makna Berdasarkan hasil studi semantik leksikal menunjukkan bahwa sejumlah kata yang diasumsikan memiliki hubungan makna temyata hubungan maknanya dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe hubungan makna berdasarkan ciri hubungan antarkomponen makna. Nida dalam (Wedawati, 1987: 18) mengemukakan bahwa sejumlah dapat memiliki hubungan makna yang lebih dekat daripada beberapa makna sebuah kata. Misalnya, kata miaku ‘berjalan’ yang mengandung makna “gerak fisik yang dilakukan oleh makhluk hidup atau benda tiruannya yang dihidupkan dihidupkan dengan menggunakan anggota badan” memiliki hubungan makna yang lebih dekat dengan kata kata miaku ‘perjalan’, mlayu ‘berlari’,_mlangkah 'melangkah, aris ‘berbaris', njoget ‘menari, dan mbrangkang ‘merangkak’ daripada dengan kata miaku ‘berjalan’ di dalam konteks (1) Montore ora bisa mlaku marga busine reged ‘motornya tidak bisa jalan karena businya kotor’; Jamku ora mlaku marga batune entek ‘jam saya tidak jalan karena batunya habis’; Dheke umure lagi limang tahun nem mklaku ‘Dia umumya baru lima tahun berjalan (menjelang enam tahun) Makna kata miaku ‘berjalan’ di dalam ketiga kalimat di atas dapat dikatakan merupakan makna perluasan dari makna sentral miaku ’berjalan’ sehingga dapat pula dikatakan memi hubungan makna. Akan tetapi, hubungan maknanya lebih jauh daripada hubungan makna kata mlaku ‘berjalan’ dengan miayu ‘perlar,_mlumpat 'melompat’, mlangkah ‘melangkah, baris ‘berbaris, njoget ‘menari’, dan mbrangkang ‘merangkak’. Hubungan maknanya dikatakan lebih jauh Karena kata miaku ‘berjalan’ di dalam ketiga kalimat di atas hanya mengandung satu Komponen makna yang sama dengan kata miaku ’berjalan’ dengan makna “gerak fisik yang dilakukan oleh makhluk hidup atau benda tiruannya yang dihidupkan dengan menggunakan anggota bada”, yaitu komponen makna + GERAK FISIK. Sebaliknya hubungan makna kata mlaku ‘perjalan’ dikatakan lebih dekat dengan makna miayu ‘beriari’, mlumpat ‘melompat’, mlangkah ‘melangkah’, aris ‘berbaris’, nyoget ‘menari’, dan mbrangkang ‘merangkak daripada dengan kata miaku ‘berjalan’ di dalam ketiga kalimat di atas Karena sejumiah itu mengandung mengandung tiga komponen 31 makna yang sama, yaitu + GERAK FISIK, + DILAKUKAN OLEH MAKHLUK HIDUP, + DENGAN MENGGUNAKAN ANGGOTA BADAN. Sejumiah kata yang mengandung makna umum (common componen) yang dimiliki bersama semacam itu membentuk suatu wilayah makna (sematic field atau semantic domain) atau medan makna (istilah Kridalaksana, 1984: 122), Berdasarkan hubungan makna yang terdapat di dalam sejumlah kata. Nida Via (Wedawati: 18) mengemukakan empat macam tipe hubungan antarmakna, yaitu: (1) hubungan makna inklusi (/nclution), (2) hubungan makna tumpang tindih (overlapping), (3) hubungan makna komplentasi (complementation), dan hubungan _makna_kontigitas (contiguity). Hubungan makna inklusi adalah hubungan antara makna generik dan makna spesifik atau hubungan makna secara hirarkis. Istilah lain untuk hubungan makna ini hiponimi. Di dalam hubungan makna inklusi seperangkat Komponen makna sebuah kaya termasuk ke dalam atau terdapat di dalam makna kata yang lain. Misainya, makna njypuk ‘mengambil'sebagai_makna generik meliputi_ makna kata nyidhuk’mengambil benda cair’,njimpit’mengambil sesuatu (cair atau kental) dengan ujung jari’, dan nimba ‘mengambil air dari dalam sumur dengan alat tertentu(timba)’. Makna kata nyidhuk,njimpit, dan nimba adalah makna spesifik dan dapat pula dikatakan merupakan hiponim dari makna njupuk. Hubungan makna tumpang tindih ialah hubungan makna dua kata atau lebih yang saling memiliki Komponen makna yang sama sehingga dapat saling menggantikan di dalam konteks tertentu tetapi dapat juga tidak dapat saling menggantikan di dalam konteks tertentu tetapi dapat juga tidak dapat saling menggantikan di dalam konteks yang lain. Misalnya, makna kata mangan ‘makan’ dan madhang ‘makan’. Kedua kata itu dapat dikatakan bersinonim. Akan tetapi, makna kedua kata itu sesungguhnya tidak mutlak sama. Di dalam konteks Dheweke lagi mangan Dia sedang makan’, kata mangan dapat digantikan oleh kata madhang 'makan’ sehingga menjadi Dheweke lagi madhang ‘Dia sedang makan’ dengan makna yang sama. Makna mangan ‘makan‘dan madhang ‘makan’ di dalam konteks tersebut sudah mengandung Komponen objek yang bersifat definit, yaitu sega ‘nasi’ dan objek itu sudah memiliki Keumuman referen yang 32 maksimal (the maximum generality of reference, Leech via Wedawati: 1987: 19) berdasarkan kebiasaan masyarakat bahasa yang bersangkutan sehingga objek itu tidak perlu dinyatakan secara lingual. Di dalam Konteks yang lain, misalnya, Dheweke lagi mangan roti 'Dia sedang makan roti’ kata mangan ‘makan’ tidak pernah digantikan oleh kata madhang ‘makan’ (*Dheweke lagi madhang rot) karena makna madhang ‘makan’ tidak dapat berkolokasi dengan obyek yang bukan sega ‘nasi’. Sebaliknya, makna mangan ‘makan’ dapat berkolokasi dengan obyek yang bukan sega ‘nasi, misalnya, roti ‘roti’ dan dalam hal itu obyek itu harus dimunculkan secara lingual untuk membatalkan Komponen obyek yang sudah terkandung di dalam makna mangan 'makan’. Jadi, mangan ‘makan’ mempunyai jangkauan makna yang lebih luas daripada maghang ‘makan’. Hal itu membuktikan bahwa kedua kata itu tidak memiliki makna yang mutlak sama meskipun memiliki Komponen yang sama. Hubungan makna komplementasi atau hubungan makna eksklusi (meaning exclusion) atau disebut juga _hubungan makna_ inkompabiltas (incompability, Kedua istilah terakhir adalah istilah yang dipergunakan oleh Leech,1981:92) ialah hubungan antarmakna yang memiliki Komponen yang sama tetapi sekurang-kurangnya mengandung satu komponen makna yang kontras dengan komponen makna yang lain. Hubungan makna ini dikenal dengan istilah antonim. Ada tiga macam hubungan makna komplementasi, yaitu (a) oposisi; (b) reversi; dan (c) konversi. Hubungan makna oposisi ialah hubungan makna yang mengandung kesamaan komponen tetapi mengandung komponen yang kontras secara mutlak. Leech via (Wedawati: 1987: 20) menyebutnya oposisi polar (polar appositions). Misalnya, hubungan makna antara kata miebu ‘masuk’ dan metu ‘keluar’. Keduanya mengandung komponen yang sama, yaitu + ARAH KE DALAM di dalam makna mlebu ‘masuk’ dan - ARAH KE DALAM di dalam makna metu ‘keluar’. Contoh lain seperti kata sugih ‘kaya’ dan milarat.‘miskin’. Kedua kata itu memiliki Komponen yang sama, yaitu + HARTA YANG CUKUP UNTUK HIDUP di dalam makna sugih ‘kaya’ dan - HARTA YANG CUKUP UNTUK HIDUP di dalam makna miarat ‘miskin’ 33 Hubungan makna reversi jalah hubungan makna yang memliki kesamaan dan perbedaan komponen tetapi perbedaan Komponen itu tidak bersifat mutlak. Misalnya, hubungan makna /ungguh ‘pantat bertumpu pada sesuatu (kursi, bangku, dan sebagainya), ‘tidak berbaring atau berdiri’ dengan makna ngadeg ‘tubuh dalam keadaan tegak dan kaki bertumpu pada sesuatu (lantai,tanah,dan sebagainya)’. Kedua makna itu mengandung kesamaan komponen, yaitu + TUMPUAN tetapi mengandung perbedaan makna yang tidak bersifat mutlak, yaitu + DALAM KEADAAN TEGAK DARI KAKI KE ATAS di dalam makna ngadeg dan ~ DALAM KEADAAN TEGAK DARI KAKI KE ATAS di dalam makna /ungguh, Hubungan makna konversi ialah hubungan makna yang mengandung komponen yang beroposisi secara resiprokal. Misalnya, hubungan makna tuku ‘memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu’. Kedua makna itu mengandung kesamaan Komponen, +OBJEK ‘sesuatu yang diperoleh atau dibeli’ di dalam tuku dan'sesuatu yang diberikan atau dijual’ di dalam ngedol. Di samping itu, kedua makna itu mengandung komponen yang kontras secara reprisokal, yaitu +PERBUATAN RESIPROKAL'memberikan dan memperoleh’. Hubungan makna kontiguitas, ialah hubungan antarmakna yang membentuk satu wilayah makna dan perbedaan makna yang satu dengan yang lain sekurang-kurangnya dibedakan oleh satu Komponen makna. Misalnya, makna kata ngeplak ‘menampar kepala’, nothok ‘memukul kepala punggung tangan tergenggam’, njambak ‘merenggut rambut (banyak), njenggit’merenggut rambut (sedikit), nyulek ‘mencolok mata’, napuk '‘menampar muka’, dan newer ‘merenggut telinga’, semuanya membentuk satu wilayah makna, yaitu ‘perbuatan yang menyebabkan orang merasa sakit pada bagian badan tertentu dengan menggunakan alat tangan’. Di dalam satu wilayah makna itu terdapat komponen. makna yang membedakan makna yang satu dengan yang lainnya, yang disebut Ciri pembeda atau komponen pembeda (alagnostic components, Nida 1975:33), yaitu komponen pembeda + OBJEK. Misalnya, perbedaan antyara makna njambak ‘menarik rambut’ dan njewer ‘menarik telinga’ ditentukan oleh komponen objeknya. Di dalam makna /jambak ‘menarik rambut’ komponen 34 objeknya adalah rambut, sedangkan di dalam makna ewer ‘menarik telinga’ komponen objeknya adalah telinga 35 BAB IIT STRUKTUR LEKSIKAL Struktur leksikal_merupakan bermacam-macam relasi_makna yang terdapat pada kata. Hubungan antara kata itu dapat berwujud: sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi dan antonimi. Kelima macam relasi antara kata itu dapat dikelompkkan atas: (1) relasi antara bentuk dan makna yang melibatkan sinonimi dan polisemi: (a) sinonimi: lebih dari satu bentuk bertalian dengan satu makna. (b) polisemi: bentuk yang sama memilki lebih dari satu makna. (2) relasi antara dua makna yang melibatkan hiponimi dan antonimi: (2) hiponimi: cakupan-cakupan makna dalam sebuah makna yang lain. (b) antonimi: posisi sebuah makna di luar sebuah makna yang lain. (3) relasi antara dua bentuk yang melibatkan homonimi, yaitu satu bentuk mengacu kepada dua referen yang berlainan. ‘A. SINONIMI Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memillki makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang hampir sama. Sebaliknya, sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama. Kata sinonimi tersebut berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata syn yang berarti “sama” dan onoma yang berarti_ nama. Dengan demikian, secara harafiah sinomini berarti adalah dua atau lebih bentuk linguistik yang maknanya sama. Selanjutnya, dua kata atau lebih yang maknanya sama atau hampir sama trsebut disebut sinonim. 36 Dalam ilmu bahasa yang muni, sebenarnya tidak diakui adanya sinonim- sinonim (Keraf: 1991; 34). Tiap kata mempunyai makna atau nuansa makna yang berlainan, walaupun ada ketumpang-tindihan antara satu kata dengan kata yang lain. Ketumpang-tindihan makna inilah yang membuat orang menerima konsep sinonimi atau sinonim sebagai dikemukakan di atas. Di samping itu, konsep ini juga diterima untuk tujuan praktis guna mempercepat pemahaman makna sebuah kata yang baru, yang dikaitkan dengn kata-kata lama yang sudah dikenal. Dengan demikian, proses perluasan kosa kata seseorang juga akan berjalan lebih lancar. Sementara itu, contoh dua kata atau lebih yang maknanya sama, seperti cangkem ‘mulut’ yang mempunyai sinonim /esan ‘mulut’ dan tutuk ‘mulut’. Contoh lain kata ‘rung ‘hidung’ memiliki sinonim grana ‘hidung’. Kata siki! ‘kaki’ memilki sinonim suku ‘kaki’ dan samparan ‘kaki’. Selanjutnya, telah dua kata atau lebih yang mempunyai makna hampir sama, seperti kata kuru ‘kurus! bersinonim dengan kata /angsing "langsing’. Dalam kecenderungan saat ini orang berbahasa lebih sering menggunakan gaya bahasa eufisme, yaitu suatu gaya bahasa penghalusan, sehingga orang mengatakan “kurus betul” tidak tega hati. Dengan demikian, mereka lebih memilih dengan diksi “langsing’. Kalau itu yang dimaksud tentunya referennya sama. Namun demikian, orang atau anak muda sekarang lebih cenderung senang memiliki bentuk badan yang langsing. Jadi, kata “langsing” yang mempunyai referen antara bentuk badan dan bobotnya ideal jelas referennya berbeda. Contoh lain kata omah ‘rumah’, wisma ‘rumah’, dan gubug ‘gubug’. Kata wisma ‘rumah’ merupakan bentuk arkhais dari omah ‘rumah’. Jadi, referennya kurang lebih sama. Sedangkan kata gubug ‘rumah’ merupakan gaya bahasa litotes atau merendahkan diri orang mengatakan kata seperti itu. Misalnya ada seorang konglomerat yang rumahnya luasnya ribuan meter dan bertingkat berjumpa dengan temannya berkata: “E mas yen tindak neng Yogya mampir neng gubugku” ’E mas kalau pergi ke Yoaya singgah ke gubugku’, Kata gubug ‘gubug’ jelas mempunyai referen yang berbeda. Kata gubug tersebut secara denotatif adalah rumah-rumahan yang ada 37 di sawah untuk menjaga atau menghalau burung agar tidak memakan buah padi. B. Polisemi Polisemi adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan kata lain, polisemi merupakan kata yang memiliki makna ganda. Selanjutnya, Palmer (1976: 65) berpendapat “7t also the case that the same word may have a set of different” ‘suatu leksem atau kata yang memiliki seperangkat makna yang berbeda atau memiliki makna ganda’. Berdasarkan pengertian itu, maka endengar harus dapat menafsirkan makna kata yang didengar. Misalnya dalam bahasa Jawa ada sebuah kalimat: $7 Atik wis tak rembug mateng 'Si Atik sudah saya bicarakan matang-matang’. Dengan demikian, pendengar harus bisa menafsirkan kata mateng ‘masak’ dalam kalimat di atas. Kata mateng ‘masak’ dalam kalimat tersebut sebenarnya memiliki makna "bulat atau sudah selesai’’ Sehubungan dengan kata mateng ‘masak’ tersebut memiliki makna ganda: (1) wis enak dipangan tumrap olahan ‘sudah enek dimakan bagi barang yang telah dimasak’, (2) wis tuwa lan enak dipangan tumrap woh-wohan ‘sudah tua dan enak dimakan bagi buah-buahan, (3) wis tutug pangolahe kayata pangolahe sawah 'sudah selesai pekerjaannya seperti mengerjakan sawah’, (4) wis daai tumrap rembugan ‘sudah ada kesepaktan bagi pembicaraan: (4) wis bisa diplothot tumrap penyakit ‘sudah bisa dapat dipecah bagi penyakit’. Sementara itu, kata menteng ‘postur tubuh dengan perut agak buncit’ memiliki makna ganda: (1) mlaku wetenge katon maju 'berjalan perutnya kelihatan maju atau ke depan’: (2) nganggo clana rada mlorot mudhun marga wetenge geahe 'memakai celana agak turun ke bawah Karena perutnya besa’. Contoh lain tentang polisemi, seperti kata meteng ‘hamil atau mengandung’ yang memiliki makna: (1) ngandhut jabang bayi ‘nami, (2) wis isi tumrap ‘tarang kayata pari 'sudah berisi bagi barang seperti padi’. Sementara itu, kata nontoni ‘melihat’ memiliki makna: (1) nonton barang makaping-kaping ‘melihat barang secara berulang kali, (2) nonton utawa niliki kahanane wong wadon minangka calon bojo ‘melihat atau meninjau wanita sebagai calon isteri’. 38 Sementara itu kata apak ‘bapak’ memiliki makna: (1) wong tuwane bocah- bocah ‘orang tua dari anak-anak’, (2) wong kang dlanagep luwit tuwa ‘orang yang dianggap lebih tua’, (3) wong kang dituakake ‘orang yang dituakan’. Selanjutnya, kata amplop ‘amplop’ memiliki makna: (1) dluwang urung kanggo tapih layang 'kertas berkantong untuk membungkus surat, (2) bese/ 'suap’. Selanjutnya, kata nandur ‘menanam’ memeliki makna: (1) nindakake pagawean kaya kasebut ing linggane 'melakukan tindakan atau pekerjaan seperti tersebut ada bentuk dasamya’, (2) mapakake wong ing papan tartamtu 'menempatkan manusia pada tempat tertentu’, (3) menehi ‘member’. Sementara itu, kata pedhes ‘pedas’ berarti: (1) rasa semegrak utawa rada panas tumrap sambel ‘rasa semegrak atau agak panas bagi samba’, (2) ora penak dlrungokake tumrap suara ‘tidak enak didengarkan bagi suara’. C. Hiponi Hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah Komponen yang lebih kecil, dan ada sejumlah kelas bawah yang merupakan komponen-komponen yang tercakup dalam Kelas atas, maka kata yang berkedudukan sebagai Kelas atas tersebut disebut superordinat dan kelas bawah disebut hiponim. Kata kembang — ‘bunga’ merupakan superordinat_ yang ~memabawahi sejumiah hiponim, seperti kata mawar ‘mawar’, mlathi ‘melati, nanga ‘kenanga’, ceplok piring ‘ceplok piring’, cocor bebek ‘cocor bebek’, kembang srengenge 'bunga matahari’, kantihil ‘kantil, mandha kaki ‘manda kaki’, pacar banyu ‘pacar banyu', kembang semboja ‘bunga semboja’, kembang menur ‘kembang menur”, anggrek ‘anggrek’, Kembang sepatu ‘bunga sepatu’, enting- enting ‘enting-enting’, gelombang cinta ‘gelombang cinta’, lidhah mertua "idan mertua’, jemani'jemani’, palem ‘palem’, cemara ‘cemara’, sri rejeki’sri rejek'' terate ‘teratai, senthe ‘sente’, cengger ‘cengger’, puring ‘puring’, kamboja ‘kamboja’, arum dalur ‘sedap malam’, bougenville ‘bougenville’, kates ‘kates, adhenium ‘adenium’, dan sebagainya. Selanjutnya, kata panganan ‘makanan’ 39 yang membawahi kelas bawah atau hiponim, seperti kata gathot ‘gatot’, thinul ‘uwul’, Chinu! inthil "iwul inti’, grontol ‘grontol, /apis ‘apis’, Balok ‘balok’ atau Dlenggreng ‘planggreng’, tape ‘tape’, tape ketan ‘tape Ketan’, satru ‘satru’ tela godhok 'ketela rebus', tela goreng ’ketela goreng’ atau /impung ‘ketela goreng’, tela bakar ‘ketela baka’, sermiyer ‘sermiyer’, romeyo ‘romeyo’ atau gropak ‘gropak, randha gulung ‘randa gulung’, dadar gulung ‘dadar gulung’, klenyem ‘Klenyem’, cothot ‘cothot’, kicak ‘kicak’, manggleng 'manggleng’, geahang godhok ‘pisang rebus’, pisang molen ‘pisang molen’, carang gesing ‘carang gesing’, randha royal "ape goreng’, Jadah ‘jadal’, jadah bakar ‘adah bakar’, Jadah goreng 'jadah goreng’, jadah manten ‘jada manten’, wajik ‘wajk’, Jemper "lemper’, mendut ‘mendut’, ondhe-ondhe ‘onde-onde’, lemet ‘iemet’, aremvarem ‘arem-arem’, lentho ‘lento, ayurrayun ‘ayun-ayun’ atau. ayung- ayung ‘ayung-ayung’, klepon ‘klepon’, katu! ‘katul’, nagasari 'nagasari’, garut ‘garut’, uwi ‘Ubi jalar’, bolo ‘ubi jaar, ganyong ‘ganyong’ atau fembong ‘tembong’, kimpul 'kimpu, dhele goahok ‘dele rebus’, ahele goreng ‘dele goreng’, cengkarok ‘cengkarok’, pondhoh ‘pondoh’, semar mendem ‘semar mendem’, mata kebo ‘mata kerbau’, loncis “oncis,, wingka babad 'wingka babad’, geplak ‘geplak’, fahu goreng ‘tahu goreng’, tahu susur ‘tahu susur’, tahu kentucky ‘tahu kentuky’, mendhoan ‘mendoan’, gembus bacem ‘gembus bacem’, gembus goreng ‘gembus goreng’, jagung goahok ‘jagung rebus’, jagung ‘Bakar "jagung bakar’, gipang ‘gipang’, maming ‘maming’, brandang ‘orandang’, ‘martabak ‘martabak’, bakpia 'bakpia’, pokis ‘pokis’, srabi ‘serabi', lompya ‘lumpia’, rengginan ‘rengginan’, siondhok ‘slondok’, ongor-ango! ‘ongol-ongol’, JJenang grendol ‘jenang grendot’, Jenang ketan ireng'jenang ketan ireng’, jenang baru-baru ‘jenang baru-baru’, jenang sungsum ‘jenang sungsum, sele ‘sele’, ketan ‘ketan’, ketan irang ‘ketan hitam’, ledre ‘ledre', sagon ‘sagon’, apem ‘apem, kipa 'kipa’, cara bikan ‘cara bikan’, prastl’prasti', Korket’korket’, bakwan ‘pakwan, kwaci 'kuwaci, gadhung ‘gadung’, enting-enting ‘enting-enting’, rempeyek ‘rempeyek, bakmi’bakmi’, bakso'bakso’, puthu ‘putu’, sukun ’sukun’, puthu ayu ‘putu ayu’, gethuk ‘getuk’, gethuk lindri‘getuk lindr’, pro! tape ‘prol tape’, roti tawar ‘roti tawar', roti mandharin, roti cokiat ‘roti coklat’, roti bakar 40 ‘roti bakar’, emping ‘emping’, mata mating ‘mata maling’, klathak ‘kiatak’, sempe ‘sempe’ dan sebagainyai. Di samping itu, kata rypa ‘warna’ membawahi kata, seperti abang ‘merah’, jjo ‘hijau’, ireng ‘hitam’, putih ‘putin’, ungu ‘ungu’, oranye ‘oranye’, cokiat ‘coklat’, kuning ‘kuning’, bin ‘biru’, forek ‘orek’, kothak-kothak —‘kotak-kotak’, abu-abu abu-abu, Kamu —'Klawu', dan sebagainya. ‘Sementara itu, kata mala ‘menyakiti’ membawahi hiponim seperti ngantem meninju’, njotos ‘meninju’, nonyo ‘meninju’, njambak ‘merenggut atau menarik rambut dengan posisi jari tangan mengenggam, njenggit ‘merenggut atau menarik rambut dengan ibu jari dan telunjuk’, njiwit 'mencubit’, menthung ‘memukul dengan alat seperti kayu, bambu, besi’, newer ‘merenggut atau menarik telinga’, nyakot ‘menggigit’, nyikut menyakiti badan dengan siku diarahkan kebe lakang’, mbacok ‘membacok’, nyolok ‘mencolok’, nyakar mencakar’, ngepruk 'mengepruk’, mbalang melempar dengan jarak agak jauh, mbanghem 'melempar dengan jarak agak dekat’, njejak ‘menendang dengan kaki berposisi_mendatar’, nendhang ‘menendang’, ndugang ‘menendang’, nylenthik ‘menylentik’, napuk 'menampar dengan sasaran pip’, nothok ‘menotok, ngethak 'mengetak’, mbanting ‘membanting’, nusuk ‘menusuk’, nylunt ‘menclurit, nyabet ‘menyabet’, ninju ‘meninju’, nungkak 'menyakiti badan dengan menggeraken tumit ke belakang, nguleng ‘menarik atau merenggut rambut kemudian menjatuhkan badan ke tanah, dan badan itu dibenturkan atau diputar-putar dalam tanah’, miintir’memepetkan ibu jari pada rambut samping muka kiri atau kanan, kemudian diarahkan atau ditarik ke atas’, nabok ‘memukul bagian belakang badan manusia’, mabacok ‘menyakiti atau melukai badan dengan alat’, dan sebagainya. Selanjutnya, kata nggawa ‘membawa' membawahi hiponim seperti kata nyunggi 'membawa benda mati tidak begitu berat di atas kepala’, mikul ‘memikul', manggul 'membawa benda hidup atau mati di atas bahu’, mbopong ‘membawa benda hidup atau mati (lazimnya benda hidup) di atas kedua belah tangan di depan dada’, nggendhong ‘membawa benda hidup atau mati di Punggung atau di pinggang’, ngindhit ‘membawa benda hidup atau mati 4 (lazimnya benda mati) diletakkan di pinggang dan dirangkul’, ngempit ‘membawa benda mati yang relatif kecil dan tipis dengan cara diletakan di ketian dan dikempit’, nyengkelit ‘membawa benda mati yang agak panjang dengan cara diselipkan di pinggang sisi belakang, samping kanan, dan sebagian benda itu berada di luar’, nagembo! ‘membawa benda mati yang relatif kecil dan tipis, diletakan di dalam kain bagian atas’, ngandut ‘membawa benda mati, relatif kecil dan tipis, dengan cara diselipkan pada ikat pinggang (setagen)’, ngesak ‘membawa benda mati relatif kecil dan tipis, di dalam saku’, nandhu ‘membawa benda hidup dengan alat tandu’, mboyong ‘membawa atau memindahkan benda hidup tanpa atau dengan segala barang miliknya ke tempat lain’, ngusung ‘membawa atau mengangkut benda mati yang banyak dan relatif berat, dapat dibawa sedikit demi sedikit atau sekaligus, dapat dengan atau tanpa alat bantu dilakukan oleh dua orang (binatang, mobil) atau lebih’, nagotong ‘membawa benda hidup atau mati yang relatif besar dan berat dengan cara diangkat oleh dua orang atau lebih, dapat dengan atau tanpa alat bantu, atau dengan cara digigit oleh dua binatang atau lebih’, ngangkat ‘menhgangkat benda mati atau hidup yang relatif berat untuk dibawa pergi, dapat dengan atau tanpa alat bantu’, miku! ‘membawa benda mati atau hidup dengan alat bantu’, nyangking ‘membawa benda mati yang tidak begitu besar dengan cara dijinjing’, nyengkiwing 'membawa benda hidup atau mati dengan cara membibit bagian pinggir, ujung, tangan, kaki, atau telinganya’, nuntun ‘membawa benda hidup atau mati yang dapat dijalankan dengan cara menggandeng atau mengikat benda itu dengan tali yang digunakan atau mengikat benda itu dengan tali yang digunakan untuk membimbing benda yang dibawanya lazimnya orang yang membawa benda itu berjalan di depan benda yang dibawanya)’ nggiring, ‘membawa benda hidup atau mati (lazimnya benda hidup) ke suatu tempat dengan cara mengawasi atau mengawalnya dari belakang’, ngglandhang ' membawa benda hidup dengan cara dihela dengan paksa’ nglarak’ membawa benda hidup atau mati dengan cara dihela dengan paksa dan objeknya bergeser pada tanah atau sejenisnya’, nyeret ‘membawa benda hidup atau mati dengan cara dihela dengan paksa dan objeknya bergeser pada tanah dan sejenisnya’, 42 nggondho! ‘membawa benda hidup atau mati dengan cara digigit (dilakukan oleh binatang)’ sangu ’ membawa benda mati (uang atau makanan) dalam perjalanan’ D. Antoni Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan lawan makna, sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim. Antonimi adalah relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan, misainya, panas ‘panas’ - ahem ‘dingin’, cendhak ‘pendek’ - dawa ‘panjang’, apik ‘baik’ - elek “jelek’, gedhe 'besar’ - cilk 'keci, sugih ‘kaya’ - mlarat 'melarat’, endhe ‘pendek’ — dhuwur tinggi’, kuru'kurus’ ~ lemu‘gemuk’, dan sebagainya. Walaupun kita menerima konsep antonimi secara umum, sebenarya terdapat perbedaa antara bermcam-macam kata yang berantonim itu. Oposisi antarkata dapat berbentuk: (1) Oposisi Kembar Oposisi kembar merupakan oposisi yang mencakup dua anggota seperti kata Janang ‘laki-laki' - wadon ‘wanita', pejah ‘mati’ - gesang ‘hidup’, cendhek ‘pendek’ - dhumur ‘tinggi’, gedhe ’besar’ - cilk ‘keci, amba ‘was’ - cut ‘sempit, awa 'panjang’ - cendhak ‘pendek’. Ciri dari kelas antonim ini adalah penyangkalan terhadap yang satu berarti penegasan terhadap anggota yang lain. Misalnya: “Bocahe cendhek” “Anaknya pendek’ = “Bocahe ora cendhek” "Bocahe tidak pendek’. Contoh lain seperti kalimat “Sanahe Pak Sastra amba” * Sawahnya Pak Sastra luas’ = "Sawahne Pak Sastra ora amba” 'Sawahnya Pak Sastra tidak luas’ (2) Oposisi Majemuk Oposisi ini mencakup suatu perangkat yang terdiri dari dua kata. Oposisi bertalian terutama dengan hiponim-hiponim dalam sebuah kelas: /ogam, tumbuh-tumbuhan, warna, buah-buahan, species binatang. Ciri utama Kelas antonim ini, yaitu penegasan suatu anggota akan mencakup penyangkalan atas tiap anggota lainnya secara terpisah, tetapi penyangkalan terhadap suatu anggota akan mencakup penegasan mengenai kemungkinan dari semua anggota 43 lain. Misalnya kalau kita berbicara atau mengatakan sebuah kalimat: “Klambine Suwardi abang” 'Bajunya Suwardi merah’, maka tercakup tercakup di dalamnya Pengertian “Klambine Suwardi ora putih” ‘Klambine Suwardi tidak putih’, “Klambine Suward ora ireng” "Klambine Suwardi tidah hitan’, “Klambine Suwardi ora kuning” 'Bajunya Suwardi tidak kuning”, ‘Klambine Suwardi ora ungu” ‘Bajunya Suwardi tidak ungu’. dan seterusnya. Sebaliknya, kalau dikatakan “Klambine ora abang” Bajunya tidak merah’, maka tercakup di dalamnya Pengertian ‘Klambine ireng, biru, kuning, lorek, kothak-kothak, jjo, atau ungu” ‘Bajunya hitam, biru, kuning, lorek, kotak-kotak, ijo, atau ungu’ dan seterusnya. Contoh lain seperti pada kalimat: “Kalunge Siti saka emas” ‘Kalungnya Siti dari emas’, maka tercakup di dalamnya pengertian “Kalunge Siti udu saka tembaga, perak, timah, atau wesi” ‘Kalungnya Siti bukan dari tembaga, perak timah, atau besi, dan sebagainya. Sebaliknya, kalau kita berbicara sebuah kalimat: ” Kalunge Siti dudu saka emas” ‘Kalungnya Siti bukan dari emas’, maka tercakup di dalamnya: ’Kalunge Siti perak, timah, atau tembaga” 'Kalungya Siti perak, timah, atau tembaga’. (3) Oposisi Relasional Oposisi relasional, yaitu oposisi antara dua kata yang mengandung kebalikan. Misalnya, seperti kata guru ‘guru’ - murid ‘murud’, enom ‘muda’ - tuna ‘tua’, apik ’baik’ ~ elek ‘lak’, ngalor ‘utara’ - ngidul ‘ke selatan’, ngarep ‘depan’ — uri ‘belakang’. Relasi ini biasanya dinyatakan dengan mempergunakan kata yang beriainan dalam konstruksi yang sama. Misalnya dalam kalimat: "Bambang Junga ngalor” "Bambang perke ke utara’ - “Bambang lunga ngidul” "Bambang pergi ke selatan’; ‘Kambine regane Jarang” 'Bajunya harganya mahal’ — “Klambine regane murah” ‘Bajunya harganya murah’. (4) Oposisi Hirarkis Oposisi hirarkis merupakan oposisi yang terjadi karena tiap istilah menduduki derajat berlainan. Oposisi ini sebenarnya sama dengan oposisi majemuk, namun di sini terdapat suatu Kriteria tambahan, yaitu “tingkat”. Termasuk dalam kelas ini adalah: perangkat ukuran, penanggalan, keturunan. Dalam hal perangkat ukuran, seperti milimeter- centimeter, desimeter-meter- dekameter-hetometer- 44 kilometer. Sementara itu, dalam hal penanggalan seperti Januari-Februari-Maret- April-Juni-Juli-Agustus-September dan seterusnya. Selanjutnya, dalam hal keturunan seperi kata anak-putu-buyut-canggah-wareng- udheg-udheg, gantung sivur ‘anak-cucu—buyut-canggah-wareng, udeg-udeg, gantung siwur’, gropak ssenthe ‘gropak sente’, dan seterusnya. Dalam hal binatang, seperti “ayam” ada hirarki kuthuk ‘anak ayam-kemanggang ‘ayam yang masih muda sekali’-dhere ‘ayam muda'-pitik (ayam yang kelasnya di atas dere dan siap bertelur bagi betina). (5) Antonim yang bertalian dengan ruang Yang dimaksud dengan antonim yang bertalian dengan ruang adalah dua kata yang maknanya menunjukkan tempat yang bertentangan di dalam suatu ruangan. Misalnya kata: ngisor ‘bawah’ — chuwur ‘atas', ngarep ‘depan’ — buri ‘belakang’, jaba ‘uar’— jero ‘dalam’. (6) Antonim yang bertalian dengan waktu ‘Antonim yang bertalian dengan waktu merupakan dua kata yang bertentangan maknanya dalam menunjukkan waktu. Misalnya kata: dhisik ‘dahulu’ - saiki ‘sekarang’, Kuno ‘kuna’ — modheren 'moderen’, saiki ‘sekarang’ - sesuk ‘yang akan datang’, saiki 'sekarang' — sesuk ‘besuk’ E, Homonimi Homonimi istilah inggris adalah homonymy. Kata itu berasal dari bahasa Yunani onoma yang berarti nama dan fhomos yang berarti sama. Dengan demikian, secara harafiah homonimi bermakna nama sama untuk benda lain \Verhaar (1977: 137) berpendapat homonimi merupakan ungkapan seperti kata yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain. Homonimi ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu homograf dan homofon. Homograf adalah dua bentuk linguistik yang berbeda maknanya, tetapi tulisannya sama, nya. kata gembrot ‘gemuk atau nama lauk’. Kata gembrot yang pertama maknanya adalah badan yang gemuk setali, dan kata kedua berarti lauk yang terbuat dari daun sembukan yang diberi kelapa muda yang sudah diparut, kemudian diberi bumbu secukupnya seperti bawang, Kencur, gula jawa, garam, terasi, yang 45 selanjutnya dibungkus dengan daun pisang lalu dikukus. Contoh lain kata buk. Kata fuk pertama berarti bangunan jembatan di atas sungai kecil yang diberi bangunan memanjang dan ke atas yang dapat untuk duduk. Kata buk kedua berarti tidak kalah tidak menang dalam dunia perjudian. Sementara itu, kata ‘Balok ‘palok’, kata yang pertama berarti "nama makanan yang terbuat dari ketela pohon yang digoreng”, sedangkan kata kedua berarti "potongan kayu”. Sementara itu, kata bal/ ‘kembali’ kata pertama mempunyai makna “kembali ke tempat asal”, sedangkan kata kedua merupakan nama wilayah atau pulau. Selanjutnya, kata babad ‘babad’ kata pertama memilki makna "lauk dari daging jeroan”, sedangkan kata kedua memiliki makna tentang “naskah”. Sementarai itu, homofon ialah dua bentuk linguistik yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda. Misalnya kata bang yang berarti sebelah, seperti pada frase bang wetan ‘sebelah timur’, Kata selanjutnya adalah bank ‘bank’ yang berarti tempat sirkulasi uang seperti menabung, meminjam, mengirim atau transfer uang. Selanjutnya, masalah kata yang berhomonimi ini di dalam kamus biasanya ditulis dalam entri atau kata kepala dengan memberi angka romawi berturut-turut ke bawah. 46 BABIV MASALAH KAMUS A. Pengertian dan Macam Kamus Kamus adalah buku referensi yang memuat daftar kata atau gabungan kata dengan keterangan mengenai pelbagai keterangan mengenai pelbagai_segi maknanya dan penggunannya dalam suatu bahasa, biasanya disusun menurut abjad (Kridalaksan, 1984: 86). Sebenamya kamus tidak hanya sekadar pencatat atau perekam makna kata, jauh lebih dari itu. Dalam beberapa hal kamus merupakan tempat penyimpanan pengalaman-pengalaman manusia yang telah diberi nama, dan dengan demikian merupakan sarana penting bagi pengajaran kosa kata. Kamus di samping memberikan informasi makna, juga memberikan informasi lafal, derivasi kata, ungkapan, singkatan, dan kata asing, dan sebagainya Sementara itu, kadang-kadang untuk tujuan praktis, disusun sebuah kamus singkat, yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan untuk disebut kamus. Kamus semacam itu tidak lain adalah sebuah daftar kata. (glosari) biasanya disusun secara alfabetis. Selanjutnya, yang dimaksud dengan kamus dalam uraian ini adalah kamus dalam arti sebenarnya, yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan tertentu itu, seperti leksikon termasuk jumlahnya seberapa kata yang menjadi entri dan sub-entrinya, lafal, ejaan dan sebagainya. Kamus dibedakan menurut ruang lingkup isinya. Berdasarkan isinya ada kamus umum dan kamus khusus. Yang dimaksud kamus umum, yaitu kamus yang memuat segala macam topik yang ada dalam sebuah bahasa. Bila kamus itu hanya memuat kata-kata dari suatu bidang tertentu, maka kamus itu disebut kamus khusus. Selanjutnya, kamus berdasarkan penggunaan bahasanya dibedakan tiga macam, yaitu (1) kamus eka Bahasa, (2) kamus dwi bahasa, (3) kamus multi bahasa. Kamus eka bahasa adalah kamus yang memuat sebuah bahasa tertentu, sedangkan kamus dwi bahasa memuat dua bahasa. Sementara itu, kamus multi bahasa adalah kamus yang memuat lebih dari dua bahasa. Di 47 samping itu, ada kamus standar. Yang dimasuk kamus standar adalah kamus yang diakui dan memuat kata-kata yang standar dalam suatu bahasa. Selanjutnya, berdasarkan waktunya ada kamus sinkronis dan kamus diakronis. B. Susunan Kamus Susunan kamus yang baik biasanya terdiri tiga bagian, yaitu (1) Pendahuluan, (2) isi kamus, dan (3) bagian pelengkap. 1. Bagian pendahuluan Biasanya sebelum daftar kata yang menjadi inti kamus itu, terdapat bagian pendahuluan yang memuat keterangan tentang cara menggunakan kamus itu. Dalam kamus dwi bahasa Jawa Kuna - Indonesia karya Zoetmulder terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprajitna (2004) dalam pendahuluannya memuat hal-hal berikut: ~ susunan umum ~ ejaan dan transiiterasi ~ susunan abjad ~ susunan bentuk jadian sebagai sub-entri ~ nasalisasi ~ sumber-sumber - daftar pustaka; dan - daftar singkatan. Cara mana saja yang dipergunakan tidak menjadi masalah. Yang penting adalah harus disiapkan sebuah bagian pendahuluan yang memuat keterangan- keterangan yang diperlukan oleh setiap pemakai kamus. Unsur-unsur atau pokok-pokok mana yang perli dimasukkan dalam bagian pendahuluan ini, tergantung dari pertimbangan penyususn dan kebutuhan setiap bahasa C. Isi Kamus si kamus merupakan bagian terpenting dari sebuah kamus. Isi Kamus terdiri dari daftar kata yang disusun menurut abjad disertai keterangannya. Kamus eka bahasa Baoesastra Djawa karya Poerwadarminto (1939), misalnya 48 mempergunakan abjad Latin, yaitu: a, &, ch, d, dd e(@,e69%44%&4m, 1, 1, 9, 02, 0, Bt, §, & Ub w, 5. Dengan demikian, fonem-fonem tersebut mempunyai status sendiri-sendir. Untuk setiap pokok kata atau entri dalam sebuah kamus tentunya disertakan sejumlah keterangan. Keterangan yang diperoleh mengenai sebuah pokok kata atau kata Kepala, yaitu: ejaan, suku kata, kapitalisasi, lapal atau ucapan, Kelas kata, etimologi D. Bagian Pelengkap Di samping pokok di atas yang biasa terdapat dalam sebuah kamus , kamus yang baik biasanya menambahkan suatu bagian pelengkap. Bagian ini dapat berupa kata atau frase asing, dan penggunaan makna kata dalam konteks kalimat. Dalam kamus Bahasa Jawa Kuna - Indonesia karya Zoetmulder terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprajitna (2004) memasukkan label-label dari bahasa asing, yaitu bahasa Sansekerta. Dengan Kata lain kata yang masuk dalam bahasa Jawa Kuna berasal dari Bahasa Sansekerta. Kata-kata tersebut, seperti kata: amria ‘abadi, sesuatu yang abadi, dewa’, anekalaksa ‘beberapa ratus ribu’, anekarasa ‘berbagai macam rasa’, dewapdis pemujaan dewa’, dewaputra 'putra dewa’, kasturi ‘kesturi’, kataksa ‘pandangan sekilas’, katha ‘dongeng, ceritera’. Sementara itu, kamus dimaksud di atas makna dari entri atau kata kepala diberikan atau dihadirkan dalam konteks kalimat. Misalnya kata damar “lampu’. Kata itu hadir dalam kontek kalimat yan ing wéngi sang hyang canara sira pinakadamar ‘kalau di malam hari itu sang hyang candra ia sebagai lampu'. Contoh tain, seperti kata jaladhard ‘aliran air’. Kata tersebut diberikan cintoh dalam sebuah kalimat wénang amijlakén jaladharamrta tulya ‘dapat mengeluarkan aliran air amerta lagi’. E. Pengaruh Kebahasaan dalam Penyusunan Kamus Masalah kebahasaan mempunyai peranan penting dalam penyusunan kamus. Dengan memasukkan unsur kebahasaan dalam penyusunan kamus akan 49 memperiancar atau mempermudah bagi pengguna kamus. Penyusunan kamus dengan memperhatikan dan memasukkan unsur-unsur kebahasaan_tersebut akan membantu para pembaca atau pengguna kamus secara tepat. Hal-hal yang perlu diperhatikan masalah kebahasaan dalam penyusunan kamus, seperti: ejaan, sukuku kata, kapitalisasi, lafal, Kelas kata atau jenis kata, definis’ 1. Ejaan Setiap kata yang tercatat dalam kamus itu sekaligus merupakan ejaan yang berlaku bagi kata itu. Dengan demikian, kepada siapa pun yang ragu-ragu bagaimana menuliskan kata itu, hendaknya membuka Kembali sebuah kamus untuk mendapatkan kepastiaan mengenai ejaan itu. Misalnya kata pitik [pitIk] ‘ayam’, gurih (gurth] ‘gurih’, siki! [sikI!] ‘kaki’, asin [asin] ‘asin’, bunyi / pada suku kata tertutup itu diucapkan seperti bunyi [ e] Untuk kamus eka bahasa seperti karya Poerwadarminto (1939) tentunya tidak akan membawa persoalan bagi pembaca atau pengguna mengenai masalah ejaannya. Karena antara bunyi dan ejaannya boleh dikatakan tidak ada perbedaan cata menuliskan. Demikian juga, dalam kamus dwi bahasa (Jawa Kuna - Indonesia) karya Zoetmulder terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprajina (2004) tentunya tidak akan membawa permasalahan atau mermitkan pembaca atau pengguna kamus tersebut, karena antara lafal atau ucapan dan ejaannya sama, apalagi ejaan baik dalam entri maupun sib-entri dilengkapi dengan tanda-tanda diakritk. 2. Suku Kata Suku kata adalah bagian dari sebuah kata yang membentuk suatu kesatuan puncak kenyaringan. Dengan demikian, suku kata sangat penting untuk diketahui setiap orang terutama dalam hubungan dengan pemisahan sebuah kata atau bagian-bagiannya. Dalam tulisan harus diadakan pemisahan suku kata itu dengan cermat. Sehubungan dengan masalah suku kata tersebut, baik kamus eka bahasa karya Poerwadarminto dan kamus dwi bahasa karya Zoetmulder terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprajitna tersebut tidak menyertakan tentang suku kata tersebut. Leksikograf di atas tidak memasukkan suku kata kemungkinan mereka tida berpikir sejauh itu. ‘Suku kata dalam bahasa Jawa dapat terdiri dari vokal (V) dilikuti konsonan vokal (KV), seperti kata a — ku saya’, konsonan vokal (KV) diikuti konsonan vokal (KV), seperti kata du - du ’bukan. Berkaitan dengan suku kata bahasa Jawa bahwa kata bahasa Jawa ada yang terdiri satu suku kata. Di bawah ini diberi beberapa contoh-contoh pola suku kata bahasa Jawa. Vor VK ah V-KV a- lu ‘alu (alat penumbuk padi); a= 6 “hati; a - yu'cantik’ V— KVK a- pik ’baik’; a- sin ‘asin’ KV—KV @@—fu'tahu’; Au — du ‘harus’; su—ry ‘suru’; su su'susu’ KV = KVK pi- tikayam’, ko ~ cak ‘kocak’, su - kun 'sukun’ KVK ~ KV bak - mi ‘bakmi’; bak - so “bakso’ KVK = KVK sen = dhok ‘sendok’; bak - wan'bakwan KKV ~ KVK &71~ pik ’keripik; cri ~ ping ‘ceriping’ KKVK — KV lam — bi ‘baju’, klam — bu ‘klambu’ KV —KV—KVK se — ko — /ah 'sekolah’ KVK - KV = KVK sam pe - yan ‘kamu’ Berdasarkan ketentuan pola suku kata di atas, tidak mungkin Kita memisahkan kata seperti: futyp ‘tutup’, ker’ ‘tertinggal’, amplop ‘amplop’ menjadi tut - yp, ker - i, amp ~ lop, karena tidak ada pola suku kata KVK - VK atau KVK — V dan sebagainya. Di samping patokan di atas masih terdapat patokan tambahan , yaitu bahwa unsur-unsur imbuhan tetap dipisahkan sesuai dengan struktur imbuhannya, misalnya: nu ~ kok ~ ake ‘membelikan’; ma - cul — 7 ‘mencangkul’, oi - pa ~ cul ~ i ‘dicangkul, ke - ca - mat - an ‘kecamatan’; ka — lu ~ rah —an "kelurahan’. 3. Kapitalisasi Huruf Kapital atau huruf besar dipergunakan kata kepala atau lema untuk nama dir, seperti nama-nama orang. Misalnya: Ali "ali"; Kartadimeja ‘Kartadimeja’, Adi Pranata ‘Adi Pranata’ dan sebagainya. Di samping itu, huruf kapital juga digunakan untuk nasma tempat, seperti kata: Surabaya ‘Surabaya’, Surakarta “Surakarta’, Kartasura ‘Kartasura', Semarang ‘Semarang’, Sragen ‘Saragen’, Mganjuk ‘Nganjuk’ dan sebagainya, Demikian juga, nama-nama bulan: Januari Januari, Februari'Februar’, Maret ‘Maret’, April ‘Apri, Me/ Mel’ dan seterusnya, 4. Lafal Lafal atau ucapan periu dimasukkan dalam penyusunan kamus, karena lafal ini akan membantu bagi para pembaca atau pengguna kamus dalam hal membaca kata kepala atau lema atau ingin menguasai bahasa Jawa dengan balk dan benar. Dengan demikian, lafal atau ucapan itu sebaiknya diletakan setelah kata kepala. Misalnya, kata kepala atau entri emper [lémpér] ‘lemper, emper [IEmper] ‘lemper’, /emu [lému] ‘gemuk’, sore [sore] ‘sore’, dan sebagainya 5. Kelas Kata Kelas kata sering pula disebut kategori kata atau jenis kata. Kelas kata perlu ada dalam penyusunan kamus. Dengan disebutkan Kelas kata untuk setiap entri akan membantu para pengguna kamus dalam menyusun sebuah kalimat. Berkaitan dengan kalimat itu, kelas kata akan hadir dalam distribusi tertentu. Dengan kata lain, Kelas kata tersebut akan menduduki fungsi-fungsi sintaksis tertentu seperti subjek (S), predikat (P), (0), atau keterangan (K). Kelas kata tersebut dapat ditempatkan di belakang lafal atau ucapan. Kelas- kelas kata itu dapat menggunakan singkatan far untuk fembung aran "kata benda’, t kr untuk fembung kriya ‘kata kerja’, ¢ ka untuk tembung kaanan ‘kata sifat’, & ac untuk tembung ancer-ancer kata depan. Singkatan kelas kata itu dapat diberikan contoh seperti di bawah ini, dan kata di bawah ini seandainya sebagai entri dalam sebuah kamus, serta diberi suku kata. © mah [omab] t. ar ‘rumah’ tury [turu] t kr"tidur’ a— yu [ayu] t. Ka ‘cantik’ ku ~ tuk [kutUk] t. ar ‘kutuk (nama jenis ikan sungai ku ~ thuk [kutUK] t. ar ‘anak ayam pi tk [pitik] t. ar ‘ayam’ su bur [subUr] t. ka ‘subur? sun ~ duk [sundUK] t. ar ‘tusuk’ me - nyang [méiian] t. ac 6. Etimologi Kamus yang baik tentunya menyertakan pula keterangan asal-usul katanya atau etimologinya, bila hal itu memang ada. Agaknya kebanyakan dari kita menganggap bahwa asal-usul kata itu tidak perlu diketahui, yang perlu ialah mengetahui makna kata yang berlaku pada saat ini, Walaupun anggapan ini tidak dapat ditolak, namun tidak dapat disangkal bahwa mengetahui asal-usul sebuah kata dengan maknanya yang dahulu, sering lebih memantapkan makna kata itu daripada sekadar menghafal makna kata yang sekarang, Berkaitan dengan masalah etimologi di atas, bahasa Jawa banyak sekali menerima atau menyerap dari kata asing, seperti dari bahasa Sansekerta, Kata bahasa Jawa dari bahasa Sansekerta itu di antaranya fav ‘pohon’, surga ‘surga’, karma ‘perbuatan’, bakti ‘bakti, das ‘nol;', eka ‘eka’, dwi ‘dua’, tri ‘tiga’, catur ‘empat’, sruti ‘Kitab suc’, garba ‘perut, rahi’, guima ‘semak’, ‘hasta “tangan’, hasti ‘gajah’, kusuma ‘bunga’ yatna ‘hati-hati’ dan sebagainya. Kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta faru ‘pohon’, svarga ‘surga’, karman ‘perbuatan’, bhakti ‘bakti’, das ‘nol’, eka ‘satu’, dwi ‘dua’, tri ‘tiga’, catur ‘empat’, sruti ‘Kitab suc’, garbha ‘perut, rahim’, guima ‘semak’, hasta “tangan’, hastin ‘gajah’, yatna ‘hati-hati. Di samping itu, bahasa jawa juga menyerap bahasa asing lainnya, seperti bahasa Inggris. Misalnya kata: ‘komunikasi “komunikasi’ yang berarti wawan sabda ‘saling bicara’, kondhisi ‘kondisi’ yang berarti kaanan ‘keadaan’, khondhusif ‘kondusif’ kaanan sing nyempuyung ngrembakakake sing dikarepake utawa sing arep digayuh *keadaan yang mendukung mengembangkan yang dikehendaki atau yang akan dikehendaki’, Kata tersebut dari bahasa Inggris: communication, condition, conducive. 7. Definisi Inti dari sebuah kamus adalah memberikan batas pengertian atau definisi sebuah kata. Pengertian batasan atau definisi di sini pun tidak bisa diartikan secara formal, tetapi dibuat secara singkat dan sederhana. Karena makna kata itu sering kali mengalami perubahan dan pergeseran, maka sesudah diberi engertian yang sentral, disertai pengertian turunan atau makna yang bergeser itu. Kadang-kadang terjadi pula bahwa ada kata yang sulit diberi batasan maknanya, hanya diberi keterangan umum atau Klasi suwek, kimpul ‘kimpul’. Kata tersebut sebetuinya dapat diberi makna araning asi. Misalnya kata suwek woh-wohan kang mapane ing jero lemah ‘nama umbi-umbian yang berada di dalam tanah’. Batasan itu pun tidak jelas. Oleh Karena itu, untuk mengatasi hal semacam itu kamus yang balk sering disertakan gambar atau referen dari barang yang diartikan. Sementara itu, ada kata yang tidak dapat dibatasi dalam pengertian tunggal, tetapi ada sejumiah pengertian yang ganda (polisemi). Pemakai kamuslah yang harus memilih sendiri, makna yang paling cocok baginya sesuai dengan teks atau kalimat yang dihadapinya. Semua makna yang secara potensial dimiliki sebuah kata merupakan makna potensial. Misalnya kata nandur ‘menanam’ mempunyai makna sebagai berikut (1) nindakake pagawean kaya kasebut ing Iinggane ‘melakukan tindakan seperti tersebut pada bentuk dasamya. Misalnya dalam kalimat “Pak Sastra nandur pelem” "Pak Sastra menanam mangga’. (2) mapakake ‘menempatkan’. Misalnya dalam kalimat “Aku wis nandur wong ing desa Kadisana” ‘Aku sudah menempatkan orang di desa Kadisana’. (3) menehi ‘member’. Misalnya dalam kalimat “Aku wis nandur kabecikan ‘marang dheweke” ‘Aku sudah memberi kebaikan pada dia’. Sehubungan dengan definisi atau batasan makna kata yang telah dikemukakan di atas, maka kata bahasa Jawa dapat diberi makna dengan cara~ cara atau model-model seperti di bawah ini. 1) Sinonim Seperti telah dijelaskan di muka sinonim merupakan dua kata atau lebih bentuk linguistik yang berbeda, tetapi maknanya sama atau hampir sama. Kata bahasa Jawa yang dapat diberi makna seperti itu, misalnya: abang ‘merah’ : abrit ‘merah’, rekta ‘merah’ anak ‘anak’: putra ‘anak’, atmaja ‘anak’, yoga ‘anak’.

Anda mungkin juga menyukai