Anda di halaman 1dari 3

Penyortiran dan Penggolongan

Pilah-pilah polong yang tua dan polong yang muda untuk dipisahkan
berdasarkan derajat ketuaannya, lalu seleksi polong yang rusak atau busuk untuk
dibuang (Prihatman 2000).
Penyimpanan
Kacang tanah merupakan produk pangan yang bersifat semi perishable. Pada
kondisi optimum, kacang tanah dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama,
namun jika kondisi penyimpananya tidak optimum maka produk tidak dapat
dikonsumsi dalam waktu yang singkat. Kacang tanah sangat rentan terhadap
serangan jamur dan serangga. Kandungan lemaknya yang tinggi juga menjadi
pemicu ketengikan (rancidity) pada kacang tanah selama penyimpanan (Prihatman
2000). Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk keberhasilan penyimpanan
kacang tanah adalah
1. Kacang tanah harus mempunyai kualitas awal yang tinggi yaitu bebas dari
jamur, serangga, ketengikan, bau yang tidak diinginkan serta mempunyai rasa
dan sifat yang sesuai dengan varietasnya. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa daya simpan kacang tanah juga ditentukan oleh tingkat kematangan
panen yang tepat dan kehati-hatian saat penanganannya.
2. Suhu penyimpanan kacang tanah harus rendah. Dengan suhu rendah
diharapkan proses respirasi dan perombakan kimia lainnya yang terjadi dalam
biji kacang tanah selama penyimpanan dapat ditekan serendah mungkin
sehingga daya simpannya menjadi lebih panjang. Pada suhu 21 C kacang
tanah berkulit dapat bertahan dengan kualitas baik selama 6 bulan
penyimpanan, sedangkan pada kacang tanah tanpa kulit bisa bertahan
hingga 3-4 bulan.
3. Kelembababn relatif ruang simpan harus rendah. Hal ini untuk dapat
mengendalikan kadar air biji selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang
disarankan untuk penyimpanan kacang tanah adalah 65-70%. Kadar air awal
yang disarankan untuk penyimpanan kacang tanah adalah 8-10%.
4. Udara harus bebas dari bau-bauan dan tersirkulasi dengan baik. Hal ini
disebakan oleh sifat kacang tanah yang mudah mengabsorbsi baubauan/flavour dari udara di sekitarnya.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan pada penyimpanan kacang tanah yang
di lokasi-lokasi perdagangan adalah sebagai berikut :

1. Semua produksi yang ditujukan untuk penyimpanan harus dikeringkan


dengan baik sampai kadar air tertentu (8-10 %)
2. Selama mungkin kacang tanah agar disimpan bersama-sama polongnya. Hal
ini terbukti lebih memperpanjang daya simpan kacang tanah dibandingkan
penyimpanan dalam bentuk kupasan.
3. Jika penyimpanan dilakukan dalam bentuk biji maka polong harus dikupas
dengan hati-hati untuk menghindari biji belah atau pecah. Lama penyimpanan
biji harus dilakukan seminimal mungkin.
4. Penyimpanan kemas harus dilakukan dengan menggunakan wadah kemas
kedap air yang berkualitas baik. Penyimpanan dengan sistem curah hanya
disarankan jika jumlah produksinya tidak banyak. Penyimpanan dalam bentuk
polong kering, masukan polong kering kedalam karung goni atau kaleng
tertutup rapat lalu disimpan digudang penyimpanan yang tempatnya kering.
Penyimpanan dalam bentuk biji kering.Kupas polong kacang tanah kering
dengan tangan atau alat pengupas kacang tanah. Jemur (keringkan) biji
kacang tanah hingga berkadar air 9% lalu masukan ke dalam wadah.
Pengemasan dan Pengangkutan
Pengemasan bisa dilakukan untuk produk mentah/polong mentah dalam
bungkus plastik per 10 kg. Dapat juga berupa kemasan kue atau bentuk makanan
yang sudah dimasak seperti kacang rebus, kacang goreng dan berbagai jenis kue
dari kacang tanah. Untuk pengangkutan pada prinsipnya yang penting kondisi
komoditi tersebut tidak rusak atau tidak berubah dari kualitas yang sudah disiapkan
(Prihatman 2000).
Aflatoksin
Kacang tanah merupakan komoditas penting, di negara Indonesia yang
tergolong tropis dengan suhu dan kelembaban relatif yang tinggi, kacang tanah
rentan sekali kontaminasi terhadap aflatoksin yang diakibatkan oleh kapang
Aspergillus flavus and A. Parasiticus (Paramawati 2006) . Untuk meminimalkan
kontaminasi aflatoksin, perlu dilakukan upaya untuk memproses kacang tanah
dalam waktu yang relatif cepat, aflatoksin hampir selalu ditemukan dalam kacang
tanah terutama yang ada di pasaran dalam bentuk kacang ose (Syarief 2003). Hal
ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan di Indonesia dan cara budidaya,
pascapanen hingga penyimpanan yang dilakukan.

Penggunaan

mesin

untuk mempercepat

proses pascapanen

terbukti

menghasilkan kacang tanah ose dengan kontaminasi aflatoksin B1 yang jauh lebih
rendah dibandingkan cara petani. Panen kacang tanah sebaiknya pada saat tidak
hujan atau mendung, sehingga dapat langsung dikeringkan. Dalam proses
pascapanen, pengeringan merupakan faktor kritis yang mempengaruhi besarkecilnya kontaminasi aflatoksin, pengeringan dengan sinar matahari tetap dapat
dilakukan sepanjang cuaca cukup terik sehingga dalam 2 hari kadar air kacang
tanah dapat diturunkan ke tingkat aman (<12%). Namun bila mendadak cuaca
mendung atau hujan perlu digunakan mesin pengering seefisien mungkin. Kondisi
terbentuknya aflatoksin adalah pada interval suhu 10-400C dengan RH > 80%
(Syarief dan Halid, 1994). Iklim Indonesia yang termasuk dalam iklim tropik, dimana
suhu tinggi dan RH tinggi terjadi sepanjang tahun menyebabkan komoditas kacang
tanah sangat mudah terkontaminasi aflatoksin. Untuk meminimalkan kontaminasi
aflatoksin, perlu dilakukan proses pascapanen yang memungkinkan kadar air
kacang tanah diturunkan hingga aw aman dalam waktu yang relatif singkat.
Selanjutnya kacang tanah tersebut disimpan dalam kemasan yang mampu
mencegah perkembangan kapang tersebut, sehingga tidak terjadi peningkatan
kontaminasi aflatoksin. Penyimpanan dengan kemasan plastik hermetik merupakan
alternatif pilihan yang sangat berguna untuk mencegah peningkatan kacang tanah
berupa polong kering dalam penyimpanan lebih dari 3 bulan (Paramawati et al
2006).
Daftar Pustaka
Kemal Prihatman. 2002. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan,
Proyek PEMD, BAPPENAS. Jakarta.
Paramawati R, Arief W R , dan Triwahyudi S. 2006. Upaya menurunkan kontaminasi
aflatoksin b1 pada kacang tanah dengan teknologi pasca panen. Jurnal
Enjiniring Pertanian. Vol. IV, No. 1.
Syarief, R., dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan,
Jakarta.
Syarief, R., L. Ega dan C. C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press,
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai